MAHASISWA APA MAHASISWA SIH?

Posted by mochihotoru | Posted in | Posted on 6:03:00 PM

0

Kekerasan tampaknya mulai bertransformasi menjadi sebuah budaya di negeri yang katanya menjunjung tinggi civility ini. Kalimat itu mungkin sudah banyak dipakai oleh banyak orang––mungkin para blogger juga––sejak bertahun-tahun lalu. Anarkisme atau tindakan kekerasan itu memang sudah terlalu sering dipertunjukkan di layar kaca sebagai dampak dari miskonsepsi dan misinterpretasi dari sebuah istilah yaitu demokrasi dan kebebasan berekspresi.

Terutama sejak Indonesia ‘merdeka’ dari kungkungan pemerintahan diktatorial Orde Baru sepuluh tahun silam, Indonesia seperti kuda liar yang baru dilepas dari kandangnya setelah sekian lama. Reformasi yang semula diusung oleh rakyat Indonesia, terutama mahasiswa, bukannya semakin berkembang dan membuat negeri dengan 17.508 pulau ini membaik, tetapi malah tak terkendali tanpa arah.

Atas nama reformasi yang tak jelas arahnya ini pula, atau demokrasi yang tak berbingkai ini pula, kekerasan, kerusuhan, anarkisme, dan sebagainya terjadi di mana-mana. Banyak yang mengatasnamakan kebebasan berekspresi, ideologi, agama, maupun supremasi. Semua bisa berubah menjadi rusa jantan yang memperebutkan sang betina di masa kawin. Semua lupa bahwa semua berasal dari bangsa yang sama, ras yang sama, spesies yang sama, masa lalu yang sama, juga perjuangan yang sama.

Baru-baru ini, media massa diguncangkan oleh beberapa kejadian yang sebenarnya mengerikan untuk disaksikan––lebih mengerikan daripada film-film horor yang bebrapa waktu lalu sempat marak di bioskop kita. Selain banyak orang mulai mati kelaparan akibat harga kebutuhan naik, aksi kelompok mahasiswa di jalan juga agaknya perlu mendapat perhatian lebih.

Mahasiswa dianggap sebagai tonggak pembangunan negara. Sejak dahulu sejarah nasional hampir tidak lepas dari tangan mahasiswa. Kemerdekaan Indonesia pun bisa terwujud karena para intelektual muda seperti Bung Karno, Bung Hatta, Wahidin Sudirohusodo, Raden Mas Soewardi Soerjaningrat alias Ki Hadjar Dewantara, dan lainnya. Runtuhnya kekuasaan Soeharto pun hasil tangan mahasiswa. Tapi untuk semua itu, rasa terima kasih masih bisa kita kirimkan. Tidak seperti beberapa tahun terakhir.

Kemarin siang, hari Selasa (24/6), program berita di beberapa televisi nasional mempertontonkan gambar-gambar yang sangat mencoreng citra mahasiswa. Mereka, mahasiswa gabungan dari beberapa universitas, berdemonstrasi menentang kebijakan pemerintah yang menaikkan harga BBM di depan gedung DPR/ MPR di Senayan. Selain itu, mereka pun menuntut pemerintah untuk lekas menyelesaikan perkara kematian Maftuh Fauzi, mahasiswa UNAS yang meninggal tertembak aparat dan kematiannya sampai hari ini menjadi kontroversi. Saat itu di dalam gedung tengah berlangsung sidang paripurna yang membahas hak angket dan interpelasi atas kenaikan harga BBM––belakangan diketahui bahwa hak angket saja yang lolos.

Yang perlu dicatat dan dikritisi pada demonstrasi ini adalah tindakan para mahasiswa. Dalam aksinya itu, mereka bertindak sangat brutal seperti: merobohkan pagar gedung dewan dan membakar mobil aparat keamanan. Tentu saja polisi yang sudah berjaga di sana kepayahan menghentikan aksi mereka. Mereka malah dilempari batu. Hal ini bertahan selama beberapa jam.

Tak sampai di situ. Pukul enam, ketika polisi akhirnya berhasil membubarkan aksi ini, mereka beralih menuju kampus Atmajaya di Semanggi. Sebelumnya mereka memaksa menerobos jalan tol dan memblokirnya sehingga memacetkan jalan sepanjang ruas Semanggi hingga Sudirman. Para pengendara kendaraan diturunkan dengan paksa dan disuruh memutar arah. Lebih parah lagi, pagar pembatas tol sepanjang 30 meter yang dibeli dengan uang rakyat mereka hancurkan secara beramai-ramai sembari tertawa puas.

Sesampainya di sekitar Semanggi, mereka melakukan sweeping terhadap mobil-mobil berpelat merah. Salah satunya mobil milik Kementerian Riset dan Teknologi. Mobil itu dirusak dan dibakar sampai akhirnya dipadamkan polisi seperti nasib mobil polisi siang harinya. Otomatis, aksi para alleged mahasiswa ini melumpuhkan sebagian aktivitas di Jakarta Pusat.

Apapun alasannya, semua tindakan ini tidak mencerminkan tindakan para intelektual muda yang seharusnya menjadi tumpuan rakyat di masa depan. Sama sekali tidak ada pembenaran atas hal ini. Tindakan mereka tak lebih dari tindakan para preman kampung yang marah ketika ‘uang setoran’ yang harus mereka terima tidak dibayarkan. Tindakan yang sama sekali tidak menggunakan otak (baca: logika berpikir) yang harusnya lebih mereka dahulukan daripada otot dan emosi. Aku yakin, banyak dari mereka yang meneriakan pentingnya konsep masyarakat ilmiah (scientific society). Tapi mengapa kekerasan seolah menjadi satu-satunya jalan untuk menyelesaikan masalah bagi mereka?

Bukankah mereka pernah membaca buka-buku sejarah Indonesia? Walaupun telah banyak dicampuri pemerintah, di sana tergambarkan secara jelas perlawanan para pahlawan kita terhadap penjajah yang memiliki banyak kemajuan melalui jalan diplomasi. Indonesia melawan penjajahan dengan kekuatannya selama ratusan tahun dan selama itu pula para penjajah terus menginjak-injak martabat kita. Akan tetapi, ketika Indonesia mulai memiliki banyak lulusan perguruan tinggi yang loyal terhadap bangsanya dan melawan penjajahan Belanda lewat jalur diplomasi, terutama tercatat sejak lahirnya Boedi Oetomo 1908, negeri ini dalam waktu singkat mendapatkan kembali martabatnya sebagai sebuah bangsa dan merebut kemerdekaan. Intinya, leluhur kita menyadari bahwa kekuatan otak jauh lebih hebat daripada kekuatan otot.

Katanya mau membela kepentingan rakyat, tapi nyatanya?

Mahasiswa seharusnya membela rakyat. Tapi dengan tindakan anarkis seperti itu—merusak fasilitas-fasilitas umum termasuk mobil polisi dan pagar gedung DPR yang dibeli dengan uang rakyat––mereka obviously telah mengkhianati kepercayaan rakyat. Sebagian fasilitas itu mungkin ada yang dibangun dengan keegoisan tangan-tangan yang merasa berkuasa. Akan tetapi tetap saja namanya uang rakyat! Kalau dirusak massa, terus dibangun lagi, dirusak, dibangun lagi, sama saja mereka membuang uang rakyat yang seharusnya dipakai untuk pembangunan!

Apa yang ada di pikiran mereka? Bagaimana pun aku menghargai niat mereka untuk membantu rakyat––seandainya itu memang benar. Tapi dengan melihat tindakan yang banyak memecundangi hukum, membunuh hak rakyat, dan melecehkan pemerintah seperti itu, aku menjadi tidak respek terhadap ‘perjuangan’ mereka.

Beberapa insiden yang terjadi antara mahasiswa dan polisi yang menyebabkan mahasiswa terluka tidak sepenuhnya merupakan kesalahan aparat. Malah di beberapa kejadian, alleged mahasiswalah yang menjadi dalang, yang memprovokasi, yang memaksakan kehendak, yang melecehkan aparat, dan menyulut api kerusuhan. Dalam kejadian kemarin saja, dua orang terpaksa dilarikan ke rumah sakit. Tapi entah mengapa aku tidak merasa kasihan kepada mereka. Orang tua mereka yang tidak berniat menuntut aparat atas apa yang terjadi kepada anak mereka mungkin karena mereka sadar insiden ini karena ulah anak mereka sendiri. Baguslah kalau mereka sadar!

Bukannya mau menyudutkan mahasiswa. Aku sendiri adalah mahasiswa di sebuah perguruan tinggi negeri di Jawa Barat. Aku pun ingin sekali membantu mengubah bangsa ini menjadi lebih baik. Tapi aku hanya tidak setuju dengan cara-cara mereka. Makanya, aku menghindari ajakan untuk berdemonstrasi, apalagi yang tanpa memiliki izin kepolisian. Aku lebih suka mengkritik pemerintah lewat jalur yang lebih damai, lewat tulisan. Yang paling penting, aku tak mau menghancurkan harapan ayah-ibuku yang sudah susah-payah menyekolahkanku setinggi ini untuk ikut arak-arakan yang mungkin akan berubah menjadi kerusuhan karena ada orang tolol menyusup untuk merusak acara atau memang agendanya nggak bener.

Mahasiswa bukan monyet yang memegang buku tebal, bukan?

Garut, 25 Juni 2008