Konsistensi dan Efektivitas Fatwa NU

Posted by mochihotoru | Posted in , , | Posted on 9:40:00 PM

0

Imam Abu Ishaq al-Syatibi dalam karyanya, Al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah, menyatakan bahwa ulama pemberi fatwa (mufti) selalu berdiri di tengah kompleksnya problematika masyarakat muslim, sebagaimana posisi Nabi Muhammad. Sebab, ulama adalah pewaris misi Sang Nabi. Sejak 1926, Nahdlatul Ulama (NU), sebagai organisasi kaum ulama, telah menjalankan posisinya berdiri di tengah masyarakat untuk membimbing umat menyelesaikan problem ritual dan sosialnya.

Pada penghujung 1997, ulama-ulama NU mengeluarkan fatwa mendukung demonstrasi mahasiswa yang marak di berbagai kota. NU menganggap demonstrasi adalah bagian pelaksanaan amar makruf nahi mungkar. Enam bulan kemudian, Presiden Soeharto mengundurkan diri, antara lain, akibat demonstrasi mahasiswa. Akan tetapi, ketika Presiden Abdurrahman Wahid diganggu berbagai demonstrasi, sejumlah ulama NU menggulirkan wacana bughat (makar). Meskipun akhirnya ulama NU tidak jadi mengeluarkan fatwa tentang kriteria bughat, wacana itu telanjur bergulir dan menuai kecaman di mana-mana. Wacana bughat ini dianggap tidak konsisten dengan dukungan NU terhadap demonstrasi mahasiswa tahun 1997.

Pada Juli 2002 ini, setahun setelah turunnya Presiden Abdurrahman Wahid, NU kembali mengeluarkan fatwa, dan "keras". Para ulama NU menyatakan bahwa jenazah koruptor yang belum mengembalikan uang hasil korupsinya tidak wajib disalati. Forum Bahtsul Masail NU mengacu pada hadis riwayat Imam Bukhari bahwa Nabi Muhammad tidak berkenan menyalati jenazah yang masih punya utang. Kelihatannya, NU menganggap koruptor sebenarnya telah "berutang" kepada rakyat karena uang yang diambilnya adalah uang milik rakyat, sehingga perilaku Nabi itu juga dapat diberlakukan di sini.

Namun, bukankah negara kita juga banyak utang? Jangan-jangan, kita semua akan wafat dalam keadaan menanggung utang negara dan karenanya tidak wajib disalati? NU berkelit dengan menganggap utang negara bukanlah utang yang harus ditanggung tiap-tiap individu rakyat.

Masalah lain muncul ketika koruptor mengembalikan harta yang "dipinjamnya", apakah hukumannya menjadi gugur? NU menjawab "tidak!". Pengembalian uang hasil korupsi tidak menggugurkan hukuman. Boleh jadi, NU merespons perkembangan kasus Buloggate II, di mana terdakwa telah mengembalikan dana Rp 40 milyar. Pendapat NU ini terhitung sebuah terobosan karena Imam Syafi'i, yang mazhabnya dianut secara luas oleh kalangan NU, dalam kitab Al-Umm berpendapat bahwa tobatnya pencuri dapat menggugurkan hukuman potong tangan selama kasusnya belum sampai ke meja hakim.

Selain itu, menurut Imam Abu Hanifah, hukuman atas tindak pidana pencurian itu bersifat pilihan: potong tangan atau mengembalikan (mengganti) barang yang dicuri kepada pemiliknya (Tafsir Fakhr al-Razi, Juz XI, halaman 228), atau menurut ulama lain, menafkahkannya di jalan Allah (Tafsir Ruh al-Ma’ani, Juz VI, halaman 135).

Pertanyaan yang muncul kemudian: hukuman apa yang layak bagi para koruptor? NU dengan "keras" menyarankan dikenakannya hukuman potong tangan, dan bahkan hukuman mati. Hukum kita tentu saja belum mengatur pidana potong tangan tersebut, dan pada saat yang sama NU menyarankan agar Pasal 29 UUD 1945 tidak diubah. Konsistensi dan efektivitas fatwa NU ini layak dipertanyakan. NU merujuk pada ketentuan hukum Islam soal pidana pencurian, namun menolak pemberlakuan Piagam Jakarta.

Bagaimana ini bisa terjadi? Saya menduga kuat, pembahasan soal Pasal 29 UUD 1945 dilakukan dalam Bahtsul Masail kategori maudhu'iyyah (tematik), sedangkan masalah korupsi dibahas dalam Bahtsul Masail kategori waqi'iyah siyasiyyah (politik aktual). Biasanya, kedua pembahasan ini dilakukan pada saat yang bersamaan dalam ruangan yang berbeda, dan diikuti peserta yang juga berbeda (berdasarkan pengalaman memantau Muktamar Lirboyo 1999). Itulah sebabnya, fatwa yang satu dengan fatwa yang lain terkesan tidak nyambung.

NU juga mengharamkan hibah yang diterima pejabat. Diduga kuat, fatwa ini merespons kecenderungan para pejabat "mengakali" pengisian daftar kekayaan. Boleh jadi, fatwa ini merujuk pada satu peristiwa ketika Nabi memarahi sahabat yang menjadi utusannya dalam memungut zakat di suatu kota. Utusan tersebut, selain berhasil mengumpulkan zakat, rupanya juga menerima berbagai pemberian. Ketika mendapat laporan soal ini, Nabi murka dan meminta harta pemberian itu dimasukkan ke kas negara. Nabi bersabda, "Kalau engkau bukan pejabat yang aku kirim, apakah mereka akan memberimu berbagai hadiah?" Nabi "mencium" adanya kepentingan tertentu di balik pemberian tersebut.

Sayangnya, fatwa soal haramnya hibah ini tidak dikeluarkan NU ketika Presiden Wahid digoyang kasus sumbangan Sultan Brunei. Tentu akan menarik kalau para ulama saat itu bertanya pada presiden, "Andai kata engkau bukan presiden, apakah Sultan Brunei akan memberi sumbangan tersebut?"

Terlepas dari kritik atas konsistensi dan efektivitas fatwa NU itu, suara ulama yang memahami kejengkelan rakyat terhadap akutnya praktek korupsi di semua level pemerintahan ini harus disambut gembira. 'Ala kulli hal, fatwa ini merupakan suara moral yang tersisa, nada keadilan yang tertinggal dan gema harapan di tengah bayang-bayang kehancuran bangsa akibat korupsi yang merajalela.

[Nadirsyah Hosen, Alumnus Fakultas Hukum Northern Territory University dan Islamic Studies Program pada University of New England, Australia]

[Kolom, GATRA, Nomor 38. Beredar Senin, 5 Agustus 2002]


KRONOLOGI KELAHIRAN YESUS KRISTUS MENURUT SAINS

Posted by mochihotoru | Posted in , , , | Posted on 8:34:00 PM

0

DISCLAIMER: Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk merusak (atau menghina) kepercayaan dan tradisi mayoritas umat kristiani yang telah dipegang paling tidak sejak sekitar tahun 350 M saat Uskup Roma Yulius I (Paus Yulius I) dari Gereja Barat secara resmi menjadikan Natal, yang diadopsi dari Pesta Kelahiran Dewa Matahari, sebagai hari raya yang harus diperingati setiap tahunnya. Tulisan ini merupakan rekonstruksi ulang kejadian-kejadian seputar kelahiran Yesus Kristus yang disusun secara netral dan sola scriptura menurut hasil temuan para pakar Alkitab, ahli astronomi, maupun ahli sejarah dari kalangan kekristenan sendiri dengan mengambil potongan-potongan ayat Injil sinoptik, apokrifa, dan bukti ilmiah secara lengkap.


Pada zaman Herodes Agung (74 SM – 4 atau 1 SM), raja Yudea, hiduplah seorang imam yang bernama Zakharia, seorang Farisi dari rombongan Abia. Isterinya juga berasal dari keturunan Harun dan anggota suku Lewi, namanya Elisabet. Keduanya adalah benar di hadapan Allah dan hidup menurut segala perintah dan ketetapan TUHAN dengan tidak bercacat. Tetapi mereka tidak mempunyai anak, sebab Elisabet mandul dan keduanya telah lanjut umurnya.

Pada suatu kali, tiba giliran rombongannya, Zakharia melakukan tugas keimaman di hadapan TUHAN. Rombongan kedelapan ini memulai pelayanan sekitar akhir bulan Mei tahun itu. Sebab ketika diundi, sebagaimana lazimnya, untuk menentukan imam yang bertugas, dialah yang ditunjuk untuk masuk ke dalam Bait Suci dan membakar ukupan (dupa) di situ. Sementara itu seluruh umat berkumpul di luar dan sembahyang. Waktu itu adalah waktu pembakaran ukupan. Maka tampaklah kepada Zakharia seorang malaikat TUHAN berdiri di sebelah kanan mezbah pembakaran ukupan.

Melihat hal itu ia terkejut dan menjadi takut. Tetapi malaikat itu berkata kepadanya: “Jangan takut, hai Zakharia, sebab doamu telah dikabulkan dan Elisabet, isterimu, akan melahirkan seorang anak laki-laki bagimu dan haruslah engkau menamai dia Yohanes. Engkau akan bersukacita dan bergembira, bahkan banyak orang akan bersukacita atas kelahirannya itu. Sebab ia akan besar di hadapan TUHAN dan ia tidak akan minum anggur atau minuman keras dan ia akan penuh dengan Roh Kudus mulai dari rahim ibunya; ia akan membuat banyak orang Israel berbalik kepada TUHAN, Allah mereka, dan ia akan berjalan mendahului TUHAN dalam roh dan kuasa Elia untuk membuat hati bapa-bapa berbalik kepada anak-anaknya dan hati orang-orang durhaka kepada pikiran orang-orang benar dan dengan demikian menyiapkan bagi TUHAN suatu umat yang layak bagi-Nya.”

Lalu kata Zakharia kepada malaikat itu: “Bagaimanakah aku tahu, bahwa hal ini akan terjadi? Sebab aku sudah tua dan isteriku sudah lanjut umurnya.”

Jawab malaikat itu kepadanya: “Akulah Jibril yang melayani Allah dan aku telah diutus untuk berbicara dengan engkau dan untuk menyampaikan kabar baik ini kepadamu. Sesungguhnya engkau akan menjadi bisu dan tidak dapat berkata-kata sampai kepada hari, di mana semuanya ini terjadi, karena engkau tidak percaya akan perkataanku yang akan nyata kebenarannya pada waktunya.”

Sementara itu orang banyak menanti-nantikan Zakharia. Mereka menjadi heran, bahwa ia begitu lama berada dalam Bait Suci. Ketika ia keluar, ia tidak dapat berkata-kata kepada mereka dan mengertilah mereka, bahwa ia telah melihat suatu penglihatan di dalam Bait Suci. Lalu ia memberi isyarat kepada mereka, sebab ia tetap bisu. Lalu ketika selesai jangka waktu tugas jabatannya, ia pulang ke rumah pada awal bulan Juni.

Beberapa lama kemudian Elisabet, isterinya, mengandung dan selama lima bulan ia tidak menampakkan diri, katanya: “Inilah suatu perbuatan TUHAN bagiku, dan sekarang Ia berkenan menghapuskan aibku di depan orang.”

[Sementara itu, hiduplah seorang anak perawan yang mulia dan terberkati yang dilahirkan di kota Nazaret dan mendapat pendidikan di Bait Suci di Yerusalem; nama perawan itu Maria. Nama bapanya adalah Yoakhim, nama ibunya adalah Anna. Keluarga bapanya berasal dari Galilea dan kota Nazaret. Keluarga ibunya berasal dari Betlehem. Orang tuanya mengadakan sumpah bahwa jika Allah memberikan keturunan bagi mereka, mereka akan mempersembahkan anaknya untuk melayani TUHAN; begitulah mereka berdoa pada setiap Hari Raya di dalam Bait Suci.

Sang Perawan TUHAN, saat dia semakin tumbuh besar dari tahun ke tahun, semakin meningkat pula dalam kesempurnaan, dan menurut perkataan Pemazmur, bapa dan ibunya telah meninggalkan dirinya, tetapi TUHAN senantiasa menjaganya. Karena dia selalu bercakap-cakap dengan para malaikat, dan setiap hari menerima tamu dari Allah, yang menjaganya dari segala jenis kejahatan dan membuat dia berlimpahan dengan segala hal yang baik. Dan ketika dia tiba di umurnya yang keempat belas, di mana si jahat tidak lagi bisa mencobainya, orang-orang baik yang dia kenal mengagumi perilaku dan tutur katanya. Saat itu Imam Besar membuat ketetapan agar semua gadis yang tinggal di Bait Suci dan sampai pada umur itu haruslah pulang ke rumahnya masing-masing, dan karena mereka telah mencapai kedewasaan yang layak, mereka harus menikah sesuai dengan adat istiadat mereka. Meskipun gadis-gadis lain siap menjalankan ketetapan ini, Maria sang Perawan TUHAN menjadi satu-satunya yang menjawab bahwa ia tidak bisa memenuhinya. Alasannya adalah, bahwa dia dan orang tuanya telah menyerahkan dirinya untuk melayani TUHAN; dan bahwa dia telah bersumpah untuk menyerahkan keperawanannya kepada TUHAN, di mana dia tak akan pernah melanggarnya dengan bersetubuh dengan laki-laki.]

Dalam bulan yang keenam kandungan Elisabet, yaitu bulan Desember, Allah menyuruh malaikat Jibril pergi ke sebuah kota di Galilea bernama Nazaret, kepada seorang perawan yang saat itu telah bertunangan dengan seorang duda beranak enam [juga bapa dari Yakobus yang Adil] bernama Yusuf dari keluarga Daud itu. Ketika malaikat itu masuk ke rumah Maria, ia berkata: “Salam, hai engkau yang dikaruniai, TUHAN menyertai engkau.”

Maria terkejut mendengar perkataan itu, lalu bertanya di dalam hatinya, apakah arti salam itu. Kata malaikat itu kepadanya: “Jangan takut, hai Maria, sebab engkau beroleh kasih karunia di hadapan Allah. Sesungguhnya engkau akan mengandung dan akan melahirkan seorang anak laki-laki dan hendaklah engkau menamai Dia Yesus. Ia akan menjadi besar dan akan disebut Anak Allah Yang Mahatinggi. Dan TUHAN Allah akan mengaruniakan kepada-Nya tahta Daud, bapa leluhur-Nya, dan Ia akan menjadi raja atas kaum keturunan Yakub sampai selama-lamanya dan Kerajaan-Nya tidak akan berkesudahan.”

Kata Maria kepada malaikat itu: “Bagaimana hal itu mungkin terjadi, karena aku belum bersuami?”

Jawab malaikat itu kepadanya: “Roh Kudus akan turun atasmu dan kuasa Allah Yang Mahatinggi akan menaungi engkau; sebab itu anak yang akan kaulahirkan itu akan disebut kudus, Anak Allah. Dan sesungguhnya, Elisabet, sanakmu itu, iapun sedang mengandung seorang anak laki-laki pada hari tuanya dan inilah bulan yang keenam bagi dia, yang disebut mandul itu. Sebab bagi Allah tidak ada yang mustahil.” Kata Maria: “Sesungguhnya aku ini adalah hamba TUHAN; jadilah padaku menurut perkataanmu itu.” Lalu malaikat itu meninggalkan dia.

Beberapa waktu kemudian berangkatlah Maria dan langsung berjalan ke pegunungan menuju sebuah kota di Yehuda. Di situ ia masuk ke rumah Zakharia dan memberi salam kepada Elisabet. Dan ketika Elisabet mendengar salam Maria, melonjaklah anak yang di dalam rahimnya dan Elisabet pun penuh dengan Roh Kudus, lalu berseru dengan suara nyaring: “Diberkatilah engkau di antara semua perempuan dan diberkatilah buah rahimmu. Siapakah aku ini sampai ibu Tuhanku datang mengunjungi aku? Sebab sesungguhnya, ketika salammu sampai kepada telingaku, anak yang di dalam rahimku melonjak kegirangan. Dan berbahagialah ia, yang telah percaya, sebab apa yang dikatakan kepadanya dari TUHAN, akan terlaksana.”

Lalu kata Maria: “Jiwaku memuliakan TUHAN, dan hatiku bergembira karena Allah, Juru Selamatku, sebab Ia telah memperhatikan kerendahan hamba-Nya. Sesungguhnya, mulai dari sekarang segala keturunan akan menyebut aku berbahagia, karena Yang Mahakuasa telah melakukan perbuatan-perbuatan besar kepadaku dan nama-Nya adalah kudus. Dan kasih-Nya turun-temurun atas orang yang takut akan Dia. Ia memperlihatkan kuasa-Nya dengan perbuatan tangan-Nya dan mencerai-beraikan orang-orang yang congkak hatinya; Ia menurunkan orang-orang yang berkuasa dari tahtanya dan meninggikan orang-orang yang rendah; Ia melimpahkan segala yang baik kepada orang yang lapar, dan menyuruh orang yang kaya pergi dengan tangan hampa; Ia menolong Israel, hamba-Nya, karena Ia mengingat kasih-Nya, seperti yang dijanjikan-Nya kepada nenek moyang kita, kepada Abraham dan keturunannya untuk selama-lamanya.”

Kemudian genaplah bulannya bagi Elisabet, yaitu pada bulan Maret, untuk bersalin dan iapun melahirkan seorang anak laki-laki. Ketika tetangga-tetangganya serta sanak saudaranya mendengar, bahwa TUHAN telah menunjukkan kasih-Nya yang begitu besar kepadanya, bersukacitalah mereka bersama-sama dengan dia. Maka datanglah mereka pada hari yang kedelapan untuk menyunatkan anak itu dan mereka hendak menamai dia Zakharia menurut nama bapanya, tetapi ibunya berkata: “Jangan, ia harus dinamai Yohanes.”

Kata mereka kepadanya: “Tidak ada di antara sanak saudaramu yang bernama demikian.” Lalu mereka memberi isyarat kepada bapanya untuk bertanya nama apa yang hendak diberikannya kepada anaknya itu. Ia meminta batu tulis, lalu menuliskan kata-kata ini: “Namanya adalah Yohanes.” Dan merekapun heran semuanya. Seketika itu juga terbukalah mulutnya dan terlepaslah lidahnya, lalu ia berkata-kata dan memuji Allah.

Maka ketakutanlah semua orang yang tinggal di sekitarnya, dan segala peristiwa itu menjadi buah tutur di seluruh pegunungan Yudea. Kemudian semua orang, yang mendengarnya, merenungkannya dan berkata: “Menjadi apakah anak ini nanti?” Sebab tangan TUHAN menyertai dia.

Zakharia, bapanya, lalu penuh dengan Roh Kudus, lalu bernubuat, katanya: “Terpujilah TUHAN, Allah Israel, sebab Ia melawat umat-Nya dan membawa kelepasan baginya, Ia menumbuhkan sebuah tanduk keselamatan bagi kita di dalam keturunan Daud, hamba-Nya itu—seperti yang telah difirmankan-Nya sejak purbakala oleh mulut nabi-nabi-Nya yang kudus—untuk melepaskan kita dari musuh-musuh kita dan dari tangan semua orang yang membenci kita, untuk menunjukkan kasih-Nya kepada nenek moyang kita dan mengingat akan perjanjian-Nya yang kudus, yaitu sumpah yang diucapkan-Nya kepada Abraham, bapa leluhur kita, bahwa Ia mengaruniai kita, supaya kita, terlepas dari tangan musuh, dapat beribadah kepada-Nya tanpa takut, dalam kekudusan dan kebenaran di hadapan-Nya seumur hidup kita. Dan engkau, hai anakku, akan disebut sebagai nabi Allah Yang Mahatinggi; karena engkau akan berjalan mendahului TUHAN untuk mempersiapkan jalan bagi-Nya, untuk memberikan kepada umat-Nya pengertian akan keselamatan yang berdasarkan pengampunan dosa-dosa mereka, oleh kasih dan belas kasihan dari Allah kita, dengan mana Ia akan melawat kita, Surya pagi dari tempat yang tinggi, untuk menyinari mereka yang diam dalam kegelapan dan dalam naungan maut untuk mengarahkan kaki kita kepada jalan damai sejahtera.”

Setelah Maria tinggal kira-kira tiga bulan lamanya bersama dengan Elisabet, dia pun pulang kembali ke rumahnya di Yerusalem. Sementara Yohanes bertambah besar dan makin kuat rohnya. Ia tinggal di padang gurun sampai kepada hari ia harus menampakkan diri kepada Israel.

Pada waktu Maria bertunangan dengan Yusuf, ternyata ia mengandung dari Roh Kudus, sebelum mereka hidup sebagai suami isteri. Akhirnya hal ini diketahui pula oleh Yusuf suaminya. Karena Yusuf, seorang yang tulus hati dan tidak mau mencemarkan nama isterinya di muka umum, ia bermaksud menceraikannya dengan diam-diam. Tetapi ketika ia mempertimbangkan maksud itu, malaikat TUHAN nampak kepadanya dalam mimpi dan berkata: “Yusuf, anak Daud, janganlah engkau takut mengambil Maria sebagai isterimu, sebab anak yang di dalam kandungannya adalah dari Roh Kudus. Ia akan melahirkan anak laki-laki dan engkau akan menamakan Dia Yesus, karena Dialah yang akan menyelamatkan umat-Nya dari dosa mereka.” Hal itu terjadi supaya genaplah yang difirmankan TUHAN oleh nabi: ‘Sesungguhnya, perempuan muda itu akan mengandung dan melahirkan seorang anak laki-laki, dan mereka akan memanggil-Nya Allah bersama kita’. Sesudah bangun dari tidurnya, Yusuf berbuat seperti yang diperintahkan malaikat TUHAN itu kepadanya. Ia mengambil Maria sebagai isterinya, tetapi tidak bersetubuh dengan dia bahkan setelah ia melahirkan anaknya laki-laki

Pada waktu itu Kaisar Agustus (63 SM – 14 M) mengeluarkan suatu perintah, menyuruh mendaftarkan semua orang di seluruh dunia. Inilah sensus yang pertama kali diadakan sewaktu Kirenius menjadi wali negeri di Suriah. Maka pada awal musim gugur itu, pergilah semua orang mendaftarkan diri, masing-masing di kotanya sendiri. Demikian juga Yusuf pergi dari kota Nazaret di Galilea ke Yudea, ke kota Daud yang bernama Betlehem Efrata—karena ia berasal dari keluarga dan keturunan Daud—supaya didaftarkan bersama-sama dengan Maria, tunangannya, yang sedang mengandung. Saat itu semua orang menantikan perayaan Sukkot; yang disebut pula Hari Raya Tabernakel.

Ketika mereka telah berada di kota itu, tibalah waktunya bagi Maria untuk bersalin; [dan dia tidak dapat melanjutkan perjalanan ke kota, lalu berkata: Mari kita masuk ke gua ini.” Ketika itu matahari hampir terbenam. Tapi Yusuf bergegas pergi, agar dapat menjemput bidan; dan ketika dia bertemu dengan seorang wanita Ibrani tua yang baru datang dari Yerusalem, dia berkata kepadanya: “Mohon kemari sejenak, hai Wanita tua, dan masuklah ke dalam gua itu, dan engkau akan melihat seorang perempuan yang siap melahirkan.”]

Sementara itu dengan bantuan malaikat TUHAN, Maria pun melahirkan seorang anak laki-laki, anaknya yang sulung; [saat itu tanggal 1 Tisri atau 11 September di mana aktivitas benda angkasa seperti Yupiter, Mars, Merkurius, Regulus, dan Venus serta gabungan konjungsinya yang bermacam-macam di Rasi Bintang Leo nampak oleh mata. Matahari saat itu nampak di Rasi Bintang Virgo. Maka genaplah isi kitab Wahyu yang berbunyi: Seorang perempuan berselubungkan matahari, dengan bulan di bawah kakinya dan sebuah mahkota dari dua belas bintang di atas kepalanya.] Lalu dibungkusnya Anak itu dengan lampin dan dibaringkan-Nya di dalam palungan, karena tidak ada tempat bagi mereka di penginapan.

[Matahari telah terbenam, ketika seorang wanita tua dan Yusuf sampai ke gua, dan mereka memasuki gua tersebut. Dan lihatlah, tempat itu diisi oleh cahaya, lebih terang dari cahaya lentera atau lilin, bahkan lebih terang dari cahaya matahari. Bayi itu yang dibungkus dengan lampin itu lalu menyusu kepada Maria ibunya. Ketika mereka berdua melihat cahaya ini, alangkah terkejutnya mereka; wanita tua bertanya kepada Maria: “Apakah engkau ibu dari Anak ini?” Maria menjawab, betul. Lalu wanita itu berkata: “Engkau sungguh sangat berbeda dengan perempuan lain.” Maria menjawab: “Karena tak ada seorang anak pun yang sama seperti Anakku, begitu pula tak ada perempuan yang sama seperti ibu-Nya.” Wanita itu menjawab dan berkata: “Oh Nyonya, aku datang kemari supaya aku beroleh upah yang kekal.” Kemudian Bunda kita Maria berkata kepadanya: “Letakkan tanganmu di atas Bayi ini;” dan ketika selesai melakukannya, dia menjadi sehat. Dan ketika dia akan keluar, katanya: “Mulai dari sekarang, seluruh hari-hari dalam hidupku, aku akan hadir kepada dan menjadi pelayan-Nya.”]

Di daerah itu ada gembala-gembala yang tinggal di padang menjaga kawanan ternak mereka pada waktu malam pada awal musim gugur, setelah panen akhir-musim-panas. Tiba-tiba berdirilah seorang malaikat TUHAN di dekat mereka dan kemuliaan TUHAN bersinar meliputi mereka dan mereka sangat ketakutan. Lalu kata malaikat itu kepada mereka: “Jangan takut, sebab sesungguhnya aku memberitakan kepadamu kesukaan besar untuk seluruh bangsa: Hari ini telah lahir bagimu Juruselamat, yaitu Kristus, Tuhan, di kota Daud. Dan inilah tandanya bagimu: Kamu akan menjumpai seorang bayi dibungkus dengan lampin dan terbaring di dalam palungan.”

Tiba-tiba tampaklah bersama-sama dengan malaikat itu sejumlah besar bala tentara surga yang memuji Allah, katanya: “Kemuliaan bagi Allah di tempat yang mahatinggi dan damai sejahtera di bumi di antara manusia yang berkenan kepada-Nya.” Setelah malaikat-malaikat itu meninggalkan mereka dan kembali ke surga, gembala-gembala itu berkata seorang kepada yang lain: “Marilah kita pergi ke Betlehem untuk melihat apa yang terjadi di sana, seperti yang diberitahukan TUHAN kepada kita.” Lalu mereka cepat-cepat berangkat dan menjumpai Maria dan Yusuf dan bayi itu, yang sedang berbaring di dalam palungan. Dan ketika mereka melihat-Nya, mereka memberitahukan apa yang telah dikatakan kepada mereka tentang Anak itu. Semua orang yang mendengarnya heran tentang apa yang dikatakan gembala-gembala itu kepada mereka. Tetapi Maria menyimpan segala perkara itu di dalam hatinya dan merenungkannya.

Maka kembalilah gembala-gembala itu sambil memuji dan memuliakan Allah karena segala sesuatu yang mereka dengar dan mereka lihat, semuanya sesuai dengan apa yang telah dikatakan kepada mereka.

Ketika genap delapan hari dan Yesus harus disunatkan, Ia oleh Yusuf diberi nama Yesus, yaitu nama yang disebut oleh malaikat sebelum Ia dikandung ibu-Nya. Ketika genap waktu penyucian, menurut hukum Taurat Musa, mereka membawa Dia ke Yerusalem untuk menyerahkan-Nya kepada TUHAN, seperti ada tertulis dalam hukum TUHAN: “Semua anak laki-laki sulung harus dikuduskan bagi Allah”, dan untuk mempersembahkan korban menurut apa yang difirmankan dalam hukum TUHAN, yaitu sepasang burung tekukur atau dua ekor anak burung merpati.

Hiduplah di Yerusalem seorang bernama Simeon. Ia seorang yang benar dan saleh yang menantikan penghibur bagi Israel. Roh Kudus ada di atasnya, dan kepadanya telah dinyatakan oleh Roh Kudus, bahwa ia tidak akan mati sebelum ia melihat Mesias, yaitu Dia yang diurapi TUHAN. Ia datang ke Bait Allah oleh Roh Kudus. Ketika Yesus, Anak itu, dibawa masuk oleh orang tua-Nya untuk melakukan kepada-Nya apa yang ditentukan hukum Taurat, ia menyambut Anak itu dan menatang-Nya sambil memuji Allah, katanya: “Sekarang, TUHAN, biarkanlah hamba-Mu ini pergi dalam damai sejahtera, sesuai dengan firman-Mu, sebab mataku telah melihat keselamatan yang dari pada-Mu, yang telah Engkau sediakan di hadapan segala bangsa, yaitu terang yang menjadi penyataan bagi bangsa-bangsa lain dan menjadi kemuliaan bagi umat-Mu, Israel.”

Dan bapa serta ibu-Nya amat heran akan segala apa yang dikatakan tentang Dia. Lalu Simeon memberkati mereka dan berkata kepada Maria, ibu Anak itu: “Sesungguhnya Anak ini ditentukan untuk menjatuhkan atau membangkitkan banyak orang di Israel dan untuk menjadi suatu tanda yang menimbulkan perbantahan—dan suatu pedang akan menembus jiwamu sendiri, supaya menjadi nyata pikiran hati banyak orang.”

Lagipula di situ ada Hana, seorang nabi perempuan, anak Fanuel dari suku Asyer. Ia sudah sangat lanjut umurnya. Sesudah kawin ia hidup tujuh tahun lamanya bersama suaminya, dan sekarang ia janda dan berumur delapan puluh empat tahun. Ia tidak pernah meninggalkan Bait Allah dan siang malam beribadah dengan berpuasa dan berdoa. Ketika itu juga datanglah ia ke situ dan mengucap syukur kepada Allah dan berbicara tentang Anak itu kepada semua orang yang menantikan kelepasan untuk Yerusalem.

Sesudah Yesus dilahirkan di Betlehem di tanah Yudea, datanglah orang-orang majus, dalam bahasa Persia: magi, yang menguasai astronomi, sejarah, dan agama dari Timur (Persia) ke Yerusalem dan bertanya-tanya: “Di manakah Dia, raja orang Yahudi yang baru dilahirkan itu? Kami telah melihat bintang-Nya di Timur dan kami datang untuk menyembah Dia.” Ketika Raja Herodes mendengar hal itu terkejutlah ia beserta seluruh Yerusalem. Maka dikumpulkannya semua imam kepala dan ahli Taurat bangsa Yahudi, lalu dimintanya keterangan dari mereka, di mana Mesias akan dilahirkan.

Mereka berkata kepada Raja: “Di Betlehem di tanah Yudea, karena demikianlah ada tertulis dalam kitab nabi: Dan engkau Betlehem, tanah Yehuda, engkau sekali-kali bukanlah yang terkecil di antara mereka yang memerintah Yehuda, karena dari padamulah akan bangkit seorang pemimpin, yang akan menggembalakan umat-Ku Israel.”

Lalu dengan diam-diam Herodes memanggil orang-orang majus itu dan dengan teliti bertanya kepada mereka, bilamana bintang itu nampak. Kemudian ia menyuruh mereka ke Betlehem, katanya: “Pergi dan selidikilah dengan seksama hal-hal mengenai Anak itu dan segera sesudah kamu menemukan Dia, kabarkanlah kepadaku supaya aku pun datang menyembah Dia.”

Setelah mendengar kata-kata raja itu, berangkatlah mereka. Dan lihatlah, bintang yang mereka lihat di Timur itu mendahului mereka hingga tiba dan berhenti di atas tempat Anak itu berada. Ketika mereka melihat bintang itu, sangat bersukacitalah mereka. Maka masuklah mereka ke dalam rumah itu dan melihat Anak Kecil (bahasa Yunani: paidion), yang telah berumur sekitar 18 bulan, itu bersama Maria, ibu-Nya, lalu sujud menyembah Dia. Mereka pun membuka tempat harta bendanya dan mempersembahkan persembahan kepada-Nya, yaitu emas, kemenyan, dan mur. Setelah itu, karena diperingatkan dalam mimpi supaya jangan kembali kepada Herodes, maka pulanglah mereka ke negerinya melalui jalan lain.

Setelah orang-orang majus, yaitu para magi, itu berangkat, nampaklah malaikat TUHAN kepada Yusuf dalam mimpi dan berkata: “Bangunlah, ambillah Anak itu serta ibu-Nya, larilah ke Mesir dan tinggallah di sana sampai Aku berfirman kepadamu, karena Herodes akan mencari Anak itu untuk membunuh Dia.” Maka Yusuf pun bangunlah, diambilnya Anak itu serta ibu-Nya malam itu juga, lalu menyingkir ke Mesir, dan tinggal di sana hingga Herodes mati. Hal itu terjadi supaya genaplah yang difirmankan TUHAN oleh nabi: “Dari Mesir Kupanggil Anak-Ku.”

Ketika Herodes tahu, bahwa ia telah diperdayakan oleh orang-orang majus itu, ia sangat marah. Lalu ia menyuruh membunuh semua anak di Betlehem dan sekitarnya, yaitu anak-anak yang berumur dua tahun ke bawah, sesuai dengan waktu yang dapat diketahuinya dari orang-orang majus itu. Dengan demikian genaplah firman yang disampaikan oleh Nabi Yeremia: “Terdengarlah suara di Rama, tangis dan ratap yang amat sedih; Rahel menangisi anak-anaknya dan ia tidak mau dihibur, sebab mereka tidak ada lagi.”

Setelah Herodes Agung mati, nampaklah malaikat TUHAN kepada Yusuf dalam mimpi di Mesir, katanya: “Bangunlah, ambillah Anak itu serta ibu-Nya dan berangkatlah ke tanah Israel, karena mereka yang hendak membunuh Anak itu, sudah mati.” Lalu Yusuf pun bangunlah, diambilnya Anak itu serta ibu-Nya dan pergi ke tanah Israel. Tetapi setelah didengarnya, bahwa Arkhelaus (23 SM – sekitar 18 M) menjadi raja di Yudea menggantikan Herodes, bapanya, ia takut ke sana. Karena dinasihati dalam mimpi, pergilah Yusuf ke daerah Galilea. Setibanya di sana ia pun tinggal di sebuah kota yang bernama Nazaret. Hal itu terjadi supaya genaplah firman yang disampaikan oleh nabi-nabi, bahwa Ia akan disebut: Orang Nazaret.

Setelah selesai semua yang harus dilakukan menurut hukum TUHAN, kembalilah mereka ke kota kediamannya, yaitu kota Nazaret di Galilea. Anak itu bertambah besar dan menjadi kuat, penuh hikmat, dan kasih karunia Allah ada pada-Nya.

Tiap-tiap tahun orang tua Yesus pergi ke Yerusalem pada hari raya Paskah. Ketika Yesus telah berumur dua belas tahun pergilah mereka ke Yerusalem seperti yang lazim pada hari raya itu. Sehabis hari-hari perayaan itu, ketika mereka berjalan pulang, tinggallah Yesus di Yerusalem tanpa diketahui orang tua-Nya. Karena mereka menyangka bahwa Ia ada di antara orang-orang seperjalanan mereka, berjalanlah mereka sehari perjalanan jauhnya, lalu mencari Dia di antara kaum keluarga dan kenalan mereka. Karena mereka tidak menemukan Dia, kembalilah mereka ke Yerusalem sambil terus mencari Dia. Sesudah tiga hari mereka menemukan Dia dalam Bait Allah; Ia sedang duduk di tengah-tengah alim ulama, sambil mendengarkan mereka dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada mereka. Dan semua orang yang mendengar Dia sangat heran akan kecerdasan-Nya dan segala jawab yang diberikan-Nya. Dan ketika orang tua-Nya melihat Dia, tercenganglah mereka, lalu kata ibu-Nya kepada-Nya: “Nak, mengapakah Engkau berbuat demikian terhadap kami? Bapa-Mu dan aku dengan cemas mencari Engkau.” Jawab-Nya kepada mereka: “Mengapa kamu mencari Aku? Tidakkah kamu tahu, bahwa Aku harus berada di dalam rumah Bapa-Ku?” Tetapi mereka tidak mengerti apa yang dikatakan-Nya kepada mereka. Lalu Ia pulang bersama-sama mereka ke Nazaret; dan Ia tetap hidup dalam asuhan mereka. Dan ibu-Nya menyimpan semua perkara itu di dalam hatinya. Yesus pun makin bertambah besar dan bertambah hikmat-Nya dan besar-Nya, dan makin dikasihi oleh Allah dan manusia.


Keterangan: Kalimat dalam akolade atau tanda kurung besar sepenuhnya adalah dalil para ahli (mengenai tanggal 11 September, susunan konjugasi bintang, serta Yakobus saudara Tuhan) dan ayat-ayat dalam Injil apokrifa yang dipakai di kalangan Gereja Timur dan Gereja perdana namun tak dikenal di kalangan Gereja Barat.

Sumber: Injil Lukas, Injil Matius, Injil Kelahiran Maria, Injil Pertama Masa Kecil Yesus Kristus, Truth or Tradition, Catholic Encyclopedia, Wikipedia


CATATAN SINGKAT PERKEMBANGAN TEOLOGI KEKRISTENAN SEPANJANG KONSILI-KONSILI EKUMENIS

Posted by mochihotoru | Posted in , , | Posted on 12:33:00 PM

0

ZAMAN KUNA

* Konsili Nicea 325 (Gereja Semesta): menetapkan dogma bahwa Bapa (Allah) dan Anak (Yesus) adalah satu substansi (Binitarian), menolak ajaran Arianisme, menyusun Syahadat Nicea, meresmikan pengudusan hari Minggu (Sabat Baru) sebagai pengganti hari Sabtu (Sabat Lama), meresmikan penggunaan lambang salib sebagai simbol Kekristenan, meresmikan tanggal 25 Desember sebagai nativitas (hari kelahiran) Yesus Kristus, menetapkan tanggal Paskah untuk melawan Quartodesiman (pengikut tradisi Paskah hari ke-14 bulan Nisan). [Konsili ini merupakan konsili pertama dan terakhir yang dihadiri Gereja Unitarian dan non-Trinitarian seperti Arian.]

Konsili Antiokia 341 (Gereja Unitarian): meluncurkan empat syahadat baru yg menghapus setiap penyebutan Bapa dan Anak sebagai satu substansi. [Konsili ini juga banyak diikuti Gereja yang sebelumnya terpaksa menyetujui hasil Konsili Nicea.]

Konsili Saragossa 380 (Gereja Semesta): mengutuk Priscillian dan pandangan modalisme Sabellian.

* Konsili Konstantinopel 381 (Gereja Semesta): menyimpulkan secara resmi bahwa Roh Kudus memiliki subtansi ilahiah yang sama dengan Bapa dan Anak (Trinitas), menghentikan pandangan Arianisme secara formal, menolak Macedonian, merevisi dan menetapkan Syahadat Nicea (Syahadat Nicea-Konstantinopel) ke dalam bentuk seperti sekarang (tanpa klausa filioque yang ditambahkan Gereja Katolik Roma kemudian hari).

Konsili Hippo 393 (Gereja Semesta): menetapkan pemakaian Kanon Aleksandria (46 kitab PL dan 27 kitab PB).

Konsili Kartago 397-418 (Gereja Semesta): mengukuhkan pemakaian ke-73 kitab Kanon Aleksandria, yang ditetapkan sebelumnya, mewajibkan kaum klerus yang telah menikah untuk tidak melakukan hubungan seksual dengan istri-istri mereka, mengutuk ajaran Pelagianisme, mengakhiri skisma Donatis.

Konsili Toledo 400 (Gereja Semesta): mengutuk ajaran Pricillian yang berkembang di tengah masyarakat.

* Konsili Efesus 431 (Gereja Semesta): menolak Nestorian, memecat dan mengutuk Nestorius, mengeluarkan dogma Theotokos (Maria sebagai Bunda Allah), memberi hukuman pada Pelagius. [Konsili ini dan semua konsili berikutnya tidak diakui oleh Gereja Asiria.]

* Konsili Kalsedon 451 (Gereja Semesta): menetapkan Yesus sebagai Allah sekaligus manusia, mengutuk Nestorius, bergabungnya Uskup Konstantinopel dan Uskup Yerusalem, menolak doktrin Eutikus menentang Monofisitisme, menetapkan Syahadat Kalsedon. [Konsili ini dan semua konsili berikutnya tidak diakui oleh Persekutuan Ortodoks Oriental.]

Konsili Toledo II 527 (Gereja Semesta): membahas perkembangan Arianisme.

* Konsili Konstantinopel II 553 (Gereja Semesta): meneguhkan doktrin-doktrin yang ditetapkan sebelumnya, menolak ajaran Origen, memutuskan memusnahkan seluruh hasil tulisan Arianisme, Nestorian, dan Monofisit serta tulisan dari Theodoret, Theodor, uskup Mopsuestia, dan Ibas.

Konsili Braga 563 (Gereja Semesta): mengutuk ajaran Priscillian untuk terakhir kali, mengakhiri semua pengaruh Pricillian.

Konsili Toledo III 589 (Gereja Semesta): mengumumkan bahwa Reccared telah mengajak suku Goth dan Suevi untuk menganut ajaran Trinitas, mengutuk umat yang kembali ke Arian setelah menerima sakramen Penguatan, mengeliarkan 23 kutukan terhadap Arius dan ajarannya. [Dalam konsili ini, Gereja Barat untuk pertama kalinya menyisipkan klausa filioque (“...dan dari Anak”) ke dalam Syahadat Nicea tanpa persetujuan seluruh Gereja.]

* Konsili Konstantinopel III 681 (Gereja Semesta): menetapkan ajaran bahwa Yesus memiliki kehendak Ilahi sekaligus manusiawi, mengutuk monotelitisme, mengutuk Sergius, Pirrhus, Paulus, dan Makarius.

Konsili Quinisextus/ Konsili Trullo 692 (Gereja Semesta): menetapkan prinsip-prinsip disiplin para pejabat gerejawi, mengangkat sejumlah kanon lokal ke dalam status ekumenis. [Konsili ini tidak diakui oleh Gereja Katolik.]

Konsili Konstantinopel 754 (Gereja Semesta): pemulihan penggunaan dan penghormatan terhadap ikon-ikon (patung, gambar).

* Konsili Nicea II 787 (Gereja Semesta): pemulihan penghormatan terhadap ikon-ikon atau patung-patung, mengakhiri ikonoklasme (penentangan penggunaan patung atau berhala dalam peribadatan). [Konsili ini ditolak banyak denominasi Gereja Protestan yang lebih memilih Konsili Konstantinopel 754.]

* Konsili Konstantinopel IV 869-870 (Gereja Katolik Roma): menggulingkan Patriarkh Photios, uskup Konstantinopel, di bawah kekuasaan Paus Adrian II dan Kaisar Basil, karena dianggap terjadi sejumlah penyimpangan saat pengangkatannya. [Penyingkiran ini tak diterima oleh Gereja Ortodoks Timur, namun akhirnya dia diangkat kembali dan berdamai dengan paus (uskup Roma).]

* Konsili Konstantinopel IV 880 (Gereja Ortodoks Timur): memulihkan Patriarkh Photius ke Tahta Suci di Konstantinopel, mengutuk pengubahan Syahadat Nicea dan Syahadat Konstantinopel yang sudah ditetapkan pada tahun 381.


ABAD PERTENGAHAN

Konsili Sutri 1046 (Gereja Katolik Roma): memecahkan pertikaian tentang kepausan.

Konsili Clermont 1095 (Gereja Katolik Roma): mengeluarkan konsep sacrum bellum (Perang Suci), memulai secara resmi Perang Salib I.

Konsili Lateran 1123 (Gereja Katolik Roma): membahas persoalan hak-hak Gereja Katolik dan hak-hak Kaisar Romawi Suci (Jerman) sehubungan dengan pengangkatan uskup, membersihkan Tanah Suci dari orang-orang yang dianggap kafir.

Konsili Lateran II 1139 (Gereja Katolik Roma): menyatakan bahwa pernikahan para rohaniawan tidak sah, mengatur model pakaian para rohaniawan, menetapkan aturan ekskomunikasi bagi setiap jemaat yang menyerang para rohaniawan, menolak Arnold dari Brescia.

Konsili Lateran III 1179 (Gereja Katolik Roma): menetapkan aturan bahwa yang berhak memilik paus hanya para kardinal, melarang praktik simoni (praktik jual-beli jabatan religius), mengutuk Albigenses dan Waldenses, melarang pengangkatan uskup yang belum berusia 30 tahun.

Konsili Lateran IV 1215 (Gereja Katolik Roma): menetapkan ajaran mengenai transubstansi, menetapkan aturan bahwa umat Yahudi dan Muslim harus memakai pakaian khusus untuk membedakan dengan umat Katolik, menolak ajaran Abbot Joachim, mengeluarkan 70 dekrit reformatori penting.

Konsili Lyons I 1245 (Gereja Katolik Roma): mengesahkan topi merah untuk para kardinal, menetapkan pajak untuk Tanah Suci, mengasingkan Kaisar Frederick II, memutuskan untuk menyerang terhadap orang Sarasen dan Mongol di bawah komando Santo Louis.

Konsili Lyons II 1274 (Gereja Katolik Roma): melakukan pendekatan dengan Gereja Timur, khususnya Gereja Yunani, agar bersatu dengan Katolik Roma, menyetujui Ordo Fransiskan dan Dominikan, menetapkan prosedur konklaf (pemilihan paus), menambah kata filioque pada simbol Konstantinopel, menetapkan kembali dukungan penuh dan mengobarkan Perang Salib.

Konsili Wina 1311-1312 (Gereja Katolik Roma): membubarkan Ksatria Templar atau Ordo Bait Allah, Franticelli, Beghards, dan Beguines, menyusun proyek Perang Salib terbaru, melakukan pembaruan pastoral, memutuskan untuk mengajarkan bahasa Oriental di setiap perguruan tinggi.

Konsili Konstantinopel V 1341-1351 (Gereja Ortodoks Timur): mengutuk Gregorius Palamas dan ajaran hesykatik, mengutuk filsuf Barlaam dari Kalabria.


KONSILARISME

Konsili Pisa 1409 (Gereja Katolik Roma): membatalkan skisma kepausan [disebut juga Skisma Besar atau Skisma Besar Kedua] yang telah menciptakan Kepausan Avignon, memilih salah satu dari tiga paus yang berkuasa.

Konsili Konstans 1414-1418 (Gereja Katolik Roma): memecahkan pertikaian antara tiga paus yang berkuasa, mencabut sisa-sisa terakhir dari Kepausan Avignon (Prancis), menetapkan kekuasaan Martin V sebagai paus yang sah dan menggulingkan kekuasaan Wyclif dan Hus.

Konsili Siena 1423-1424 (Gereja Katolik Roma): menetapkan ajaran konsiliarisme, menekankan kepemimpinan para uskup. [Konsili ini belakangan dicabut oleh Gereja Katolik sendiri karena dianggap sesat.]

Konsili Basel-Ferrara-Florensia 1431-1445 (Gereja Katolik Roma): mengajak Gereja Ortodoks Timur untuk melakukan rekonsiliasi, mencapai kesatuan dengan beberapa Gereja Timur tanpa mengganggu hak kepausan, membahas pasifikasi agama di Bohemia.

Konsili Lateran V 1512-1517 (Gereja Katolik Roma): mengusahakan pembaruan Gereja Katolik, merencanakan Perang Salib baru dengan Turki [meski gagal], membahas kehebohan di Jerman yang dilakukan oleh Martin Luther.


ZAMAN MODERN

Konsili Trento 1545-1563 (Gereja Katolik Roma): menghentikan semua praktik poligami di kalangan rohaniawan Gereja, mempertegas doktrin Katolik (penyelamatan jiwa, sakramen suci, kanon Alkitab), memaksakan penyeragaman Ritus Roma (Misa Trente), menanggapi tantangan Calvinisme dan Lutheranisme, menetapkan kembali kanon dengan jelas.

Konsili Vatikan I 1870 (Gereja Katolik Roma): meresmikan doktrin infabilitas kepausan (doktrin paus-tak-mungkin-salah), membahas kanon penting yang berhubungan dengan iman dan konstitusi Gereja. [Doktrin hasil konsili ini ditolak oleh Gereja Katolik Lama.]

Konsili Vatikan II 1962-1965 (Gereja Katolik Roma): memperbarui liturgi Roma, mengeluarkan dekrit-dekrit pastoral tentang hakikat Gereja dan hubungannya dengan dunia modern, menetapkan ajaran tentang komuni, memajukan ekumenis menuju kesatuan dengan gereja-gereja lain, memutuskan untuk mencabut keputusan ekskomunikasi antara Gereja Barat dan Gereja Timur yang terjadi tahun 1054 (Skisma Besar).


*) Konsili-konsili Ekumenis Gereja Semesta yang paling besar dan diakui di Gereja Barat (Katolik Roma) maupun Timur (Ortodoks Timur).


(Ensiklopedia Britannica, Ensiklopedia Katolik, Wikipedia, Sejarah Kekristenan, The Abrahamic Faiths, Wikipedia)

MITOS: AISYAH MENIKAH SAAT BERUSIA SEMBILAN TAHUN

Posted by mochihotoru | Posted in , , | Posted on 7:20:00 PM

0

Isu yang saat ini kembali menjadi kontroversi adalah tentang usia Aisyah Shiddiqah anak Abu Bakar saat menikah dengan Nabi Muhammad. Hal ini disebabkan adanya pemberitaan tentang pernikahan Syekh Puji, kyai sekaligus pengusaha di Semarang, menikah dengan seorang Lutfiana Ulva, gadis berusia 12 tahun beberapa waktu lalu. Kyaki setengah baya ini bahkan bermaksud menambah “koleksi”-nya itu dengan mencari anak perempuan berusia sembilan tahun untuk dinikahi. Dia berdalih bahwa apa yang dilakukannya ini memunyai dasar agama yang kuat dan tidak semena-mena. Dia membekali dirinya dengan beberapa hadis yang dianggapnya sahih.

Kebanyakan orang, baik muslim maupun nonmuslim, memercayai bahwa ibu orang-orang percaya ini menikah dengan nabi besar Islam tersebut yang berusia 52 tahun pada usia sembilan tahun setelah sebelumnya bertunangan saat dia berusia tujuh tahun. Kontan saja, beredarnya hadis-hadis ini, ditambah dengan fakta bahwa Muhammad berpoligami, menjadi alat penyerang yang kuat bagi kalangan orientalis dan anti-Islam untuk menyerang ajaran Islam. Mereka menyebut Muhammad sebagai seorang pedofil dan mengumbar nafsu. Ironisnya, isu ini banyak dijadikan tema ceramah, bahkan oleh sebagian kyai sendiri, di tempat-tempat peribadatan agar orang Islam menelan bulat-bulat informasi yang selama berabad-abad tak pernah bisa dibuktikan secara pasti. Hal ini diperparah umat muslim awam sendiri yang enggan mempelajari dengan benar isu ini. Akibatnya, pertentangan antaragama semakin memanas dan tuduhan bahwa Islam adalah agama yang tak menghomati kaum hawa pun semakin santer.

Banyak umat muslim yang membenarkan kisah ini berkilah bahwa pernikahan seorang baya dengan anak kecil merupakan sesuatu yang wajar di dalam masyarakat Arab di sekitar abad VII di Jazirah Arab. Jika tidak, tentu orang-orang akan merasa keberatan dengan pernikahan mereka. Penjelasan seperti ini memang sangat menipu dan akan diterima orang-orang Islam yang tak mengenal sejarah sebagai pembelaan iman atau apologetika—tak peduli jika yang imannya tersebut mungkin salah.

Namun bagaimanapun, Muhammad adalah sosok teladan bagi umat muslim yang dijadikan panutan bagi umatnya. Rasanya mustahil jika dia memberikan contoh yang tidak baik bagi umat-umat setelahnya.

PELANGGARAN HAK ASASI
Dalam sejarah bangsa-bangsa beradab, pernikahan anak kecil merupakan sesuatu yang tabu dan tidak mungkin dilakukan. Kebanyakan orang Islam, termasuk orang yang percaya akan hadis tersebut, jika ditanya apakah bersedia untuk menunangkan anak perempuannya berusia tujuh tahun, yang masih polos dan senang bermain, dengan pemuda berusia 20 tahun sekalipun, apalagi dengan lelaki berusia 53 tahun, mereka pasti akan berkeberatan. Mereka mungkin akan memandang rendah lelaki seperti itu.

Dalam buku karangan John Esposito berjudul Women in Muslim Family Law tahun 1982 tercatat, Mesir melarang semua institusinya untuk mengeluarkan surat nikah bagi bagi calon suami berusia di bawah 18 tahun dan calon istri di bawah 16 tahun sejak tahun 1923. Pada tahun 1931, sidang dalam organisasi-organisasi hukum dan syariat menetapkan untuk tidak merespons pernikahan pasangan dengan usia di atas. Jelas ini membuktikan bahwa walaupun masyarakat muslim yang berada di Mesir yang mayoritas muslim pun pernikahan di bawah usia sebagai sesuatu yang tak bisa diterima.

Pernikahan seperti ini hukumnya makruh (tidak berdosa jika dikerjakan namun berpahala jika tidak dikerjakan), bahkan haram, dalam hukum Islam karena pasti pernikahan seperti ini akan mendatangkan banyak keburukan dan bahaya terselubung bagi pelakunya di masa mendatang serta memberikan dampak negatif bagi lingkungan masyarakatnya. Terlebih dalam ajaran Islam berlaku hukum “kesepakatan atau persetujuan dalam hal-hal yang mengandung kekejian adalah haram”.

Jika pernikahan seperti yang diceritakan dalam dongeng itu dilakukan, keburukan seperti: terancamnya hak anak, terampasnya hak kaum perempuan, kekerasan, perdagangan anak, kejahatan pedofilia, dan penyimpangan doktrin agama tidak lagi bisa dielakkan. Dari segi kesehatan seksual, si perempuan tentu akan terancam kanker di daerah kelamin karena dia melakukan yang belum seharusnya sebelum cukup umur di mana sel-sel kelaminnya masih dalam tahap perkembangan.

Dengan begitu rasanya sulit dibayangkan masyarakat Mekkah yang baik akan begitu mudahnya membiarkan pernikahan di bawah umur seperti itu. Apalagi saat itu Mekah banyak dikunjungi orang-orang asing untuk berniaga dan banyak di antara mereka mengenal sosok Muhammad sebagai pedagang yang baik dan jujur. Terlebih sejak Muhammad menyebarkan berita gembira tentang Islam, semakin banyak orang di luar Mekkah yang mengenal dirinya, termasuk mereka yang beragama Samawi lain seperti Yahudi, Kristen, Hanif, dan Shabiin. Tapi tak pernah ada catatan mengenai pernikahan usia dini Aisyah dengan seorang kakek bernama Muhammad yang sudah pasti menghebohkan jika seandainya terjadi.

HADIS YANG LEMAH
Hadis yang dipakai oleh kebanyakan orang dalam memberikan gambaran tentang usia Aisyah saat itu adalah hadis yang diriwayatkan oleh Hisyam bin Urwah. Dalam hadis itu disebutkan bahwa Muhammad menikahi Aisyah yang baru berusia sembilan tahun. Riwayat ini, dalam kajian ilmu hadis, ternyata sangat kontradiktif dengan hadis-hadis lain sehingga sangat diragukan kebenarannya.

Imam Malik bin Anas misalnya, rekan sejawat Hisyam di Madinah ini secara tegas menolak hadis-hadis yang diriwayatkan Hisyam bin Urwah mengingat usianya yang sudah sangat renta dan diragukan daya ingatnya saat meriwatkan hadis-hadis tersebut. Selain itu, hadis-hadis ini adalah sumber hadis satu-satunya yang meriwayatkan pernikahan “menghebohkan” ini dan pertama kali didengar dari orang-orang Irak.

Hisyam ini sebelumnya pernah tinggal di Madinah sampai usia 71 tahun. Ketika dia pindah ke Irak, daya ingatnya sudah menurun tajam. Saat di Madinah, dia hanya menceritakan apa yang dia dengar dari ayahnya, Urwah, namun saat pindah ke Irak, dia mulai menceritakan apa yang dia dengar dari orang lain dengan mengaku mendengar dari ayahnya. Bukan hanya karena ingatannya yang mulai menurun, kisah hidupnya yang menyedihkan di Irak, termasuk ketika dia berutang sebesar 100.000 dirham untuk melangsungkan pernikahan anaknya dan Khalifah Mansyur dari kekhalifahan Abassiyah hanya mau membantunya membayar 10.000 dirham saja, membuat ingatannya semakin buruk di tengah tekanan hidup yang semakin besar.

Angka “sembilan tahun” sangat menghantui pikirannya sampai-sampai dia sendiri mengaku bahwa dia menikah dengan istrinya ketika istrinya berusia sembilan tahun. Padahal Al Zahabi telah memberi keterangan bahwa, “Fatimah binti al Munzir berusia sebelas tahun lebih tua dari suaminya, Hisyam. Seandainya Fatimah datang ke rumah Hisyam untuk tinggal bersamanya ketika berusia sembilan tahun, dia perlu menunggu dua tahun sebelum ibunda Hisyam melahirkannya dan sebelum kelahirannya, Hisyam tidak memperbolehkan orang lain melihat isterinya. Kami belum pernah menyaksikan hal yang seajaib ini.” Selanjutnya Al Zahabi menerangkan bahwa Fatimah menikah dengan Hisyam ketika dia berusia sekitar 28-29 tahun. Dengan kata lain, Hisyam telah menggugurkan angka ‘2’ dari angka ’29’. Bagaimanapun, Yakub bin Syaibah dalam buku Tehzubu el Tehzib mencatat: “Hisyam sangat bisa dipercaya, riwayatnya dapat diterima, kecuali apa-apa yang dia riwayatkan setelah pindah ke Irak.”

Malik bin Anas dengan jelas menolak riwayat Hisyam yang dicatat oleh orang-orang Irak. Yakub bin Syaibah pun mengatakan, “Saya pernah diberi tahu bahwa Malik menolak riwayat Hisyam yang dicatat dari orang-orang Irak.”

Tak jauh dari itu, dalam buku tua lain yang berisi riwayat para penulis hadis, Muzan al Aitidal, tercatat: “Ketika masa tua, ingatan Hisyam mengalami kemunduran yang mencolok.”

MUHAMMAD MEMINANG AISYAH
Menurut tulisan Tabari—sesuai dengan yang dikatakan Hisyam bin Urwah bin Hunbal bin Sad, Aisyah bertunangan pada usia tujuh tahun dan mulai berumah tangga pada usia sembiln tahun. Namun tulisan tersebut kontradiktif dengan tulisannya sendiri pada bagian lain yang mengatakan, “Semua anak Abu Bakar (yang berjumlah empat orang) dilahirkan pada masa Jahiliyah dari dua istrinya.”

Jika memang Aisyah bertunangan pada tahun 620 M (saat berusia 7 tahun) dan berumah tangga pada tahun 623 M atau 624 M (saat umut 9 tahun), ini mengindikasikan bahwa Aisyah dilahirkan pada tahun 613 M, yaitu tiga tahun setelah periode Jahiliyah (Masa Kegelapan Pemikiran) dinyatakan berakhir oleh sejarah pada tahun 610 M.

Di lain pihak, Tabari juga menyatakan dengan pasti bahwa Aisyah dilahirkan pada periode Jahiliyah (sebelum 610 M). Jika memang Aisyah dilahirkan pada masa Jahiliyah, seharusnya Aisyah telah berusia lebih dari 14 tahun ketika menikah dengan Muhammad.

Secara singkat, dapat disusun kronologi seperti ini:
610 M: periode Jahiliyah (pra-Islam), sebelum turun wahyu pertama;
610 M: turun wahyu pertama, Abu Bakar menyatakan keislamannya;
613 M: Muhammad mulai mengajar di tengah masyarakat;
615 M: bermigrasi ke Abyssinia;
616 M: Umar bin al Khattab menyatakan keislamannya;
620 M: dikatakan Muhammad bertunangan dengan Aisyah;
622 M: bermigrasi ke Yasrib yang kemudian dinamai Madinah;
623/624 M: dikatakan Muhammad berumah tangga dengan Aisyah.

USIA FATIMAH
Dalam Al-Isabah fi Tamizi Al-Sahabah, Ibnu Hajar menulis, “Fatima dilahirkan ketika Kaabah dibangun kembali, ketika Muhammad berusia 35 tahun … Usia Fatimah 5 tahun lebih tua daripada Aisyah.”

Seperti yang diketahui, Fatimah Al Zahra, putri bungsu Muhammad, dilahirkan saat Kaabah dibangun kembali akibat banjir bandang yang melanda kota Mekkah, yaitu sekitar tahun 600 M. Jika pernyataan Ibnu Hajar di atas merupakan fakta, itu berarti Aisyah memang dilahirkan ketika Muhammad berusia 40 tahun. Dengan kata lain, jika Aisyah dinikahi Muhammad yang berusia 52 tahun, maka usia Aisyah ketika menikah telah lebih dari 12 tahun.

USIA AISYAH DIHITUNG DARI USIA ASMA
Abdul Rahman bin Abi Zanaad menulis bahwa “Asma lebih tua 10 tahun dibanding Aisyah” dalam Siyar Aalaama al-Nubalaa. Sementara Ibnu Kasir berkata dalam Al-Bidayah wa al-Nihayah bahwa Asma lebih tua 10 tahun dari adiknya, Aisyah.

Lebih jauh lagi Ibnu Kasir berkata, “Asma melihat pembunuhan anaknya pada tahun 73 H, dan lima hari kemudian Asma pun meninggal. Menurut riwayat lainya, dia meninggal 10 atau 20 hari kemudian, atau beberapa hari lebih dari 20 hari, atau 100 hari kemudian. Riwayat yang paling kuat adalah 100 hari kemudian. Pada waktu Asma meninggal, dia telah berusia 100 tahun.” Dalam Tehzubu el Tehzib Ibnu Hajar al Askalani pun menulis, “Asma hidup sampai 100 tahun dan meninggal pada 73 atau 74 H.”

Menurut sebagian ahli sejarah, Asma, saudara tertua Aisyah, berselisih usia 10 tahun dengan adiknya itu. Jika Asma meninggal pada usia 100 pada tahun 73 H (695 M), maka Asma seharusnya berusia 27 atau 28 tahun ketika migrasi (622 M). Kemudian, jika Asma berusia 28 atau 29 tahun pada saat Aisyah mulai berumah tangga, usia Aisyah seharusnya telah menginjak usia 18 atau 19 tahun.

Dengan demikian, ini sesuai dengan keterangan yang ditulis oleh Hajar, Ibnu Kasir, dan Abdul Rahman bin Abi Zannaad kemudian, bahwa usia Aisyah ketika dia berumah tangga dengan Sang Rasul Allah adalah 19 atau 20 tahun.

AISYAH USAMAH BIN ZAID DIKATAKAN SEBAYA
Aisyah menceritakan bahwa Usamah jatuh dan luka di mukanya. “Sang Nabi berkata kepadaku, ‘Bersihkan kotoran itu dari Usamah.’ Aku terasa jijik saat melihat Usamah yang mulai menyeka darahnya untuk membersihkan mukanya.”

Ibnu Majah mengulang cerita Aisyah, “Ingus keluar dari hidung Usamah. Muhammad menyuruhku bangkit dan membersihkan hidung Usamah. Aku pun merasa jijik, lalu Sang Nabi sendiri yang bangkit dan membersihkan hidungnya itu.”

Baihaqi pun ikut mengulang cerita ini, “Aisyah berkata, ‘Muhammad meminta aku bangun dan membasuh muka Usamah. Aku berkata bahwa aku tak tahu cara membersihkan muka anak-anak karena aku sendiri tak punya anak. Aku memintanya untuk memegang Usamah dan basuh mukanya. Muhammad pun memegang Usamah dan membasuh mukanya.’ Lalu Rasul Allah berkata, ‘Dia [Usamah] telah memudahkan kita karena dia bukan seorang anak perempuan. Jika dia seorang anak perempuan, aku akan memberinya perhiasan-perhiasan dan aku akan berbelanja banyak untuknya.’”

Perkataan Aisyah tentang ‘aku sendiri tak punya anak’ perlu digarisbawahi karena kata-kata seperti ini tidak mungkin keluar dari mulut seorang perempuan yang belum dewasa. Perkataan ini hanya bisa didengar dari seorang wanita yang usianya sesuai untuk mendapat anak. Selain itu, hadis sahih di atas jelas menunjukkan bahwa usia Usamah jauh lebih muda dari Aisyah. Jika Aisyah merupakan teman sebaya atau lebih muda dari Usamah, Muhammad tidak mungkin akan menyuruh Aisyah untuk membersihkan darah dan hidungnya (Usamah).

Sebagian ulama mengatakan, dari apa yang diceritakan Hisyam, Aisyah berusia 18 tahun saat meninggalnya Muhammad tahun 632 M. Dengan demikian, kita perlu mengetahui berapa usia Usamah saat Muhammad meninggal dunia. Imam Zahabi dalam Siyar Aalam al Nubala mengatakan bahwa, sama seperti Aisyah, Usamah pun berusia 18 tahun saat itu.

Berbeda dengan Zahabi, Waliuddin al Khatib dalam Mishkat menulis, “Saat Muhammad meninggal, Usamah berusia 20 tahun.” Menurut para ulama hadis dan para ahli sejarah, sebelum meninggal Muhammad telah menyusun satu pasukan untuk menyerang pasukan Roma dan menaklukkan Suriah untuk menebus kekalahan dalam Perang Muutah tahun 629 M. Usamah merupakan panglima pasukan ini dan sahabat yang besar seperti Umar telah diperintahkan untuk berperang di bawah arahannya. Saat Muhammad meninggal, Usamah, menurut perhitungan Waliuddin al Khatib telah berusia 20 tahun sedangkan menurut perhitungan Hafiz bin Kathir, berusia 19 tahun. Ini berdasarkan kabar terpercaya bahwa Usamah dilahirkan pada tahun ketiga masa kependetaan Muhammad, yaitu sekitar tahun 612 M.

PERANG BADAR DAN PERANG UHUD
Dalam Hadis Muslim terdapat keterangan mengenai partisipasi Aisyah dalam Pertempuran Badar tahun 624 M. Mengenai peristiwa penting dalam perjalanan selama perang, Aisyah mengatakan, “ketika kami mencapai Shajarah.” Dari pernyataan tersebut nampak jelas bahwa Aisyah merupakan anggota perjalanan menuju kota Badar. Selain itu, terdapat pula hadis yang meriwayatkan partisipasinya dalam Perang Uhud tahun 625. Dalam Kitab al Jihad wa al Siyar tertulis, Anas mencatat bahwa pada hari Uhud, Orang-orang tidak dapat berdiri dekat Rasul Allah. [Pada hari itu,] saya melihat Aisyah dan Ummi Sulaim dari jauh, Mereka menyingsingkan sedikit pakaiannya [untuk mencegah halangan gerak dalam perjalanan tersebut].”

Dalam Kitab al Maghazi, Bukhari menulis: “Ibnu Umar menyatakan bahwa Rasul Allah tidak mengizinkan dirinya berpastisipasi dalam Uhud. Pada ketika itu, Ibnu Umar masih berusia 14 tahun. Namun saat Perang Khandak, ketika berusia 15 tahun, Sang Nabi pun mengizinkan Ibnu Umar ikut dalam perang.”

Berdasarkan hadis di atas, saat jelas peraturan yang ditetapkan Muhammad saat itu mengenai keikutsertaan perang, bahwa remaja berusia di bawah 15 tahun dilarang untuk ikut dalam sebuah peperangan. Sedangkan dalam hadis sebelumnya nampak sekali bahwa Aisyah diperbolehkan ikut dalam perang Badar dan Uhud. Ini jelas mengindikasikan bahwa usia Aisyah saat pernikahannya, sekitar setahun sebelum perang Badar, tidak berusia sekitar sembilan tahun, namun minimal berusia 15 tahun. Di samping itu, para wanita yang ikut menemani para pria dalam sebuah peperangan masa lalu seharusnya berfungsi untuk membantu dan memberikan dukungan, bukan untuk menambah beban bagi mereka.

SURAT AL QAMAR (BULAN)
Menurut beberapa riwayat, Aisyah dilahirkan tahun kedelapan sebelum Hijriah. Namun menurut sumber lain yang kuat dalam Hadis Bukhari, Aisyah tercatat mengatakan, “Aku ini masih seorang gadis kecil (jariyah)” ketika Bulan 54:46 diturunkan.

“Sebenarnya hari kiamat itulah hari yang dijanjikan kepada mereka dan kiamat itu lebih dahsyat dan lebih pahit.” (Bulan 54:46)

Menurut sejarah yang tercatat, ayat dari surat ke-54 dari Alquran tersebut diturunkan sekitar tahun 8 Sebelum Hijriah memperlihatkan bahwa surat tersebut diturunkan pada tahun 614 M. Jika Aisyah mulai berumah tangga dengan Muhammad, sang Nabi yang telah datang, pada usia sembilan tahun pada 623 M atau 624 M, maka Aisyah masih bayi yang baru lahir (sibyah) pada saat surat ini diturunkan. Menurut riwayat di atas, secara faktual nampak bahwa Aisyah sudah menjadi gadis muda, bukan bayi yang belum bisa berbicara, ketika Firman Tuhan tersebut turun. Dari Lane’s Arabic English Lexicon didapatkan keterangan bahwa jariyah berarti gadis muda yang masih senang bermain. Jadi, Aisyah telah menjadi jariyah bukanlah sibyah, telah berusia sekitar 6-13 tahun saat diturunkannya surat Bulan. Demikian sudah pasti dia telah berusia 14-21 tahun ketika dinikahi Muhammad.

BIKR ATAU THAYYIB
Menurut penjelasan Ahmad bin Hanbal, setelah meninggalnya Khadijah, istri pertama Muhammad, Khaulah pernah mendatangi Muhammad dan menasihatinya untuk menikah lagi, Sang Nabi bertanya tentang pilihan yang dimaksud oleh Khaulah. Khaulah berkata, “Anda dapat menikahi seorang gadis (bikr) atau seorang wanita yang pernah menikah (thayyib).” Ketika Muhammad bertanya kembali mengenai identitas gadis (bikr) tersebut, Khaulah menyebutkan nama Aisyah anak Abu Bakar.

Bagi yang mengerti bahasa Arab, pasti akan segera melihat bahwa kata bikr dalam budaya Arab tidak akan digunakan untuk menyebut gadis belia yang berusia sembilan tahun. Kosakata yang tepat untuk gadis belia yang masih suka bermain-main, seperti yang dinyatakan di atas, adalah jariyah. Di sisi lain, bikr digunakan untuk menyebut wanita yang belum menikah serta belum punya pengalaman dalam perkawinan (pengalaman seksual), seperti istilah yang kita pahami dalam bahasa Inggris, virgin. Oleh karena itu, nampak jelas bahwa gadis belia berusia sembilan tahun bukanlah “wanita” (bikr).

MENCARI PETUNJUK DARI TEKS ALQURAN
Para periwayat hadis masa lalu telah “berhasil” menciptakan kebingungan dalam pikiran umat muslim zaman sekarang. Sebagian periwayat pada periode klasik Islam membukukan hadis-hadis yang beredar di zamannya tanpa terlebih dulu menyaring kebenaran di dalamnya. Tak terkecuali riwayat mengenai usia Aisyah dan pernikahannya. Karena itu, sebagai manusia berakal budi, kita wajib menyaring informasi untuk mendapat kebenaran yang tersembunyi di tengah kedustaan dan kesalahan manusia—walaupun dikatakan diinspirasikan dari Allah. Bagi umat Islam, hal itu bisa dilakukan dengan berbekal Kebenaran yang dianggap bersumber dari Allah secara langsung, yaitu Alquran.

Dalam Alquran tidak ada ayat yang secara eksplisit mengizinkan pernikahan gadis belia seperti yang konon Aisyah lakukan. Namun terdapat sebuah ayat, yang bagaimanapun, menuntun seorang muslim dalam mendidik dan memperlakukan seorang anak yatim. Ayat tersebut juga valid untuk diaplikasikan kepada anak kita sendiri. Ayat tersebut mengatakan:

“Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akal budlnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik. Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk menikah. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya.” (Perempuan 4:5-6a)

Mengenai seorang anak yang ditinggal orang tuanya, seorang muslim diperintahkan untuk memberi mereka makan, pakaian, dan hak pendidikan serta menguji secara objektif kedewasaan intelektual dan rasa tanggung jawab mereka hingga yakin bahwa mereka sudah sampai pada usia menikah. Pengujian tersebut juga dianjurkan sebelum memercayakan masalah keuangan kepada mereka.

Sesuai ayat yang sangat jelas di atas, rasanya mustahil jika Abu Bakar yang terkenal sangat bijaksana bersedia begitu saja menunangkan anaknya yang masih sangat jauh untuk bisa dipercayai dengan Muhammad yang telah berusia 53 tahun. Jangankan Abu Bakar, seorang muslim yang bertanggung jawab manapun tentu tak akan melakukan pengalihan keuangan kepada seorang gadis belia yang berusia tujuh tahun. Gadis tersebut sama sekali tidak memenuhi syarat secara intelektual maaupun fisis untuk menikah. Ahmad bin Hambal, dalam Musnad Ahmad bin Hambal, menyatakan Aisyah yang berusia sembilan tahun sangat suka bermain dengan bonekanya. Seandainya Abu Bakar memang menyerahkan anaknya itu kepada Muhammad, rasanya mustahil jika Muhammad yang membawa hukum Islam yang tertulis dalam kitab melakukan kekejian dengan melanggarnya sendiri.

Dalam Misykat al Masabiah, terdapat aturan bahwa seorang wanita harus ditanyai dan diminta persetujuan agar pernikahan yang dilakukannya menjadi sah. Dalam perkataan Hukum Islam, persetujuan yang dapat dipercaya dari seorang wanita merupakan syarat dasar bagi keabsahan sebuah pernikahan. Dengan mengembangkan logika dari sini, tentu kita dapat melihat bahwa persetujuan yang diberikan oleh gadis yang belum dewasa, tidak dapat dijadikan validitas sebuah pernikahan.

KESIMPULAN
Tradisi Arab tidak mengizinkan pernikahan seorang anak perempuan atau anak laki-laki yang belum menginjak usia dewasa. Demikian juga, tidak pernah ada pernikahan Muhammad dengan Aisyah yang berusia sembilan tahun, terutama setelah masyarakat Arab menerima Hukum Islam. Masyarakat Arab tidak pernah berkeberatan dengan pernikahan seperti ini karena memang pernikahan menghebohkan seperti ini memang tak pernah terjadi sebagaimana isi beberapa riwayat. Kemudian seandainya itu memang terjadi, musuh-musuh Muhammad pada saat itu yang selalu mencari kesalahan dan kesaksian palsu terhadapnya pasti akan menggunakan lebih dulu kabar ini sebagai alat penghancur paling ampuh untuk merusak citra Muhammad.

Jelas nyata, dongeng pernikahan Aisyah pada usia sembilan tahun oleh Hisyam bin Urwah tidak bisa dianggap sebagai sebuah kebenaran. Hal tersebut sangat kontradiktif dengan riwayat-riwayat lain. Lebih jauh, tidak ada alasan yang nyata untuk menerima riwayat Hisyam bin Urwah sebagai kebenaran ketika para pakar lain, termasuk Malik bin Anas, melihat riwayat Hisyam bin Urwah selama di Irak adalah tidak dapat dipercaya. Dengan pola yang sama seperti dia melupakan usia istrinya Fatimah anak al Munzir ketika menikah dengan dirinya, kemungkinan dia mendengar Aisyah menikah dalam usia 19 tahun namun ingatannya menggugurkan angka ‘1’ dari angka ‘19’.

Pernyataan lain dari Tabari, Bukhari, dan Muslim menunjukkan mereka berkontradiksi satu sama lain mengenai usia menikah bagi Aisyah. Lebih jauh, beberapa pakar periwayat mengalami kontradiksi internal dengan riwayat-riwayatnya sendiri. Jadi, riwayat usia Aisyah sembilan tahun ketika menikah adalah tidak dapat dipercaya karena adanya kontradiksi yang nyata pada catatan klasik dari pakar sejarah Islam. Kabar Aisyah yang dikatakan sebaya dengan Usamah pun tak dapat dipercaya. Karena fakta yang didapat tentang tahun kelahiran Fatimah, Asma, dan Usamah serta arahan kepada Aisyah untuk membersihkan darah dan hidung Usamah, dengan penghitungan Hijriah, menunjukkan bahwa Aisyah kemungkinan besar sudah memasuki umur 18 tahun ketika bermigrasi ke Madinah.

Oleh karena itu, tidak ada alasan mutlak untuk menerima dan memercayai usia Aisyah sembilan tahun ketika menikah sebagai sebuah kebenaran disebabkan cukup banyak latar belakang untuk menolak riwayat tersebut dan lebih layak disebut sebagai mitos semata. Lebih jauh, Alquran dengan tegas menolak pernikahan perempuan atau lelaki yang belum dewasa.

Setelah kontroversi mengenai usia Aisyah ini terbuka kebenarannya, tanpa asumsi maupun filsafat, mungkin masih ada yang mendebat mengenai jauhnya usia Muhammad yang berusia 53 tahun dan Aisyah yang berusia 19 tahun. Sebenarnya ini bukanlah hal yang aneh jika kita mengenal struktur budaya Timur Tengah, termasuk Israel. Bahkan, bukan hanya di Timur Tengah, bagi masyarakat Indonesia atau masyarakat Barat saat inipun perbedaan usia yang jauh seperti itu bukanlah menjadi suatu masalah selama keduanya benar-benar saling mengasihi untuk menyenangkan hati Allah. Apalagi jika kita mau menerima kenyataan bahwa Muhammad, Sang Nabi yang menjadi teladan, tidak mungkin menikahi Aisyah karena mengikuti nafsu seksual belaka.

Bagi umat kristiani yang mengerti sejarah ajarannya sendiri, hal itu bukanlah hal yang aneh jika mengingat perbedaan usia Yusuf dan Maria saat bertunangan pun lebih jauh dari itu. Sumber Katolik menyebutkan, setahun setelah kematian istri pertamanya, Yusuf yang saat itu berusia 90 tahun pergi ke Yerusalem untuk mengikuti sebuah sayembara dengan menggunakan panah metal yang panjang untuk mendapat hak mengurus (menikahi) Maria yang masih berusia sekitar 12-14 tahun yang diadakan di seantero Yudea.

Referensi:
iiie.net (buku The Ancient Myth Exposed)
en.wikipedia.org
menjawab-misionaris.blogspot.com/2008/03/menjawab-umur-aisyah-saat-menikah.html
newadvent.org/cathen/08504a.htm