Konsistensi dan Efektivitas Fatwa NU
Posted by mochihotoru | Posted in Islam, News, Religions | Posted on 9:40:00 PM
Imam Abu Ishaq al-Syatibi dalam karyanya, Al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah, menyatakan bahwa ulama pemberi fatwa (mufti) selalu berdiri di tengah kompleksnya problematika masyarakat muslim, sebagaimana posisi Nabi Muhammad. Sebab, ulama adalah pewaris misi Sang Nabi. Sejak 1926, Nahdlatul Ulama (NU), sebagai organisasi kaum ulama, telah menjalankan posisinya berdiri di tengah masyarakat untuk membimbing umat menyelesaikan problem ritual dan sosialnya.
Pada penghujung 1997, ulama-ulama NU mengeluarkan fatwa mendukung demonstrasi mahasiswa yang marak di berbagai
Pada Juli 2002 ini, setahun setelah turunnya Presiden Abdurrahman Wahid, NU kembali mengeluarkan fatwa, dan "keras".
Namun, bukankah negara kita juga banyak utang? Jangan-jangan, kita semua akan wafat dalam keadaan menanggung utang negara dan karenanya tidak wajib disalati? NU berkelit dengan menganggap utang negara bukanlah utang yang harus ditanggung tiap-tiap individu rakyat.
Masalah lain muncul ketika koruptor mengembalikan harta yang "dipinjamnya", apakah hukumannya menjadi gugur? NU menjawab "tidak!". Pengembalian uang hasil korupsi tidak menggugurkan hukuman. Boleh jadi, NU merespons perkembangan kasus Buloggate II, di mana terdakwa telah mengembalikan dana Rp 40 milyar. Pendapat NU ini terhitung sebuah terobosan karena Imam Syafi'i, yang mazhabnya dianut secara luas oleh kalangan NU, dalam kitab Al-Umm berpendapat bahwa tobatnya pencuri dapat menggugurkan hukuman potong tangan selama kasusnya belum sampai ke meja hakim.
Selain itu, menurut Imam Abu Hanifah, hukuman atas tindak pidana pencurian itu bersifat pilihan: potong tangan atau mengembalikan (mengganti) barang yang dicuri kepada pemiliknya (Tafsir Fakhr al-Razi, Juz XI, halaman 228), atau menurut ulama lain, menafkahkannya di jalan Allah (Tafsir Ruh al-Ma’ani, Juz VI, halaman 135).
Pertanyaan yang muncul kemudian: hukuman apa yang layak bagi para koruptor? NU dengan "keras" menyarankan dikenakannya hukuman potong tangan, dan bahkan hukuman mati. Hukum kita tentu saja belum mengatur pidana potong tangan tersebut, dan pada saat yang sama NU menyarankan agar Pasal 29 UUD 1945 tidak diubah. Konsistensi dan efektivitas fatwa NU ini layak dipertanyakan. NU merujuk pada ketentuan hukum Islam soal pidana pencurian, namun menolak pemberlakuan Piagam Jakarta.
Bagaimana ini bisa terjadi? Saya menduga kuat, pembahasan soal Pasal 29 UUD 1945 dilakukan dalam Bahtsul Masail kategori maudhu'iyyah (tematik), sedangkan masalah korupsi dibahas dalam Bahtsul Masail kategori waqi'iyah siyasiyyah (politik aktual). Biasanya, kedua pembahasan ini dilakukan pada saat yang bersamaan dalam ruangan yang berbeda, dan diikuti peserta yang juga berbeda (berdasarkan pengalaman memantau Muktamar Lirboyo 1999). Itulah sebabnya, fatwa yang satu dengan fatwa yang lain terkesan tidak nyambung.
NU juga mengharamkan hibah yang diterima pejabat. Diduga kuat, fatwa ini merespons kecenderungan para pejabat "mengakali" pengisian daftar kekayaan. Boleh jadi, fatwa ini merujuk pada satu peristiwa ketika Nabi memarahi sahabat yang menjadi utusannya dalam memungut zakat di suatu
Sayangnya, fatwa soal haramnya hibah ini tidak dikeluarkan NU ketika Presiden Wahid digoyang kasus sumbangan Sultan
Terlepas dari kritik atas konsistensi dan efektivitas fatwa NU itu, suara ulama yang memahami kejengkelan rakyat terhadap akutnya praktek korupsi di semua level pemerintahan ini harus disambut gembira. '
[Nadirsyah Hosen, Alumnus Fakultas Hukum Northern Territory University dan Islamic Studies Program pada University of New England, Australia]
[Kolom, GATRA, Nomor 38. Beredar Senin, 5 Agustus 2002]
Comments (0)
Post a Comment