Memasuki Bulan Ramadan yang penuh berkat, umat Islam di seluruh dunia menyibukkan diri dengan melakukan ibadat untuk menunjang keberhasilan puasanya. Banyak pula di antara mereka yang rajin menggali ilmu Keislaman untuk menambah keimanan dengan rajin membaca buku Islam maupun mendengar khotbah-khotbah di masjid dan dalam pertemuan silaturahmi. Masjid pun setiap malam selalu dipenuhi oleh orang-orang yang mendengar khotbah dan mengikuti salat tarawih—walau biasanya masjid selalu bertambah sepi menjelang akhir Ramadan. Untuk itu, para pencari kebenaran dan para imam harus senantiasa menyiapkan diri mereka dengan ilmu yang sebanyak- banyaknya.
Selain itu, umat Islam juga harus berhati-hati dengan hadis-hadis yang kian menyebar di kalangan umat selama Bulan Ramadhan. Banyak di antara hadis tersebut merupakan hadis yang tidak dapat dipertanggungjawabkan. Bagaimanapun, setiap kehidupan orang Islam yang taat akan selalu terpengaruh oleh setiap hadis yang diyakininya.
Untuk mengetahui hadis palsu seputar bulan Ramadhan, aku telah merangkum 18 hadis maudhu (palsu) atau matruk (semi-palsu) agar dapat diketahui kepalsuannya, sehingga tidak disebut-sebut lagi dalam khotbah-khotbah Ramadhan dan tidak lagi membodohi orang yang awam.
Hal itu mengingat hadis Sang Nabi Islam, Muhammad: “Siapa yang meriwayatkan hadis dariku sedangkan dia tahu bahwa hadis itu dusta, maka dia termasuk salah satu dari para pendusta” (HR Ibnu Majah). Dalam Sahih Bukhari juga disebutkan bahwa Muhammad bersabda: “Orang yang sengaja mendustakan aku, siap-siaplah ia untuk masuk neraka.”
HADIS 1: Awal Kasih, Pertengahan Ampunan, Akhir Pembebasan Api
يا أيها الناس قد أظلكم شهر عظيم ، شهر فيه ليلة خير من ألف شهر ، جعل الله صيامه فريضة ، و قيام ليله تطوعا ، و من تقرب فيه بخصلة من الخير كان كمن أدى فريضة فيما سواه ، و من أدى فريضة كان كمن أدى سبعين فريضة فيما سواه ، و هو شهر الصبر و الصبر ثوابه الجنة ، و شهر المواساة ، و شهر يزاد فيه رزق المؤمن ، و من فطر فيه صائما كان مغفرة لذنوبه ، و عتق رقبته من النار ، و كان له مثل أجره من غير أن ينتقص من أجره شيء قالوا : يا رسول الله ليس كلنا يجد ما يفطر الصائم ، قال : يعطي الله هذا الثواب من فطر صائما على مذقة لبن ، أو تمرة ، أو شربة من ماء ، و من أشبع صائما سقاه الله من الحوض شربة لايظمأ حتى يدخل الجنة ، و هو شهر أوله رحمة و وسطه مغفرة و آخره عتق من النار ،
“Wahai manusia, bulan yang agung telah mendatangi kalian. Di dalamnya terdapat satu malam yang lebih baik dari 1.000 bulan. Allah menjadikan puasa pada siang harinya sebagai sebuah kewajiban, dan menghidupkan malamnya sebagai ibadat sunnah. Barangsiapa pada bulan itu mendekatkan diri kepada Allah dengan satu kebaikan, ia seolah-olah mengerjakan satu ibadat wajib pada bulan yang lain. Barangsiapa mengerjakan satu perbuatan wajib, ia seolah-olah mengerjakan 70 kebaikan di bulan yang lain. Ramadan adalah bulan kesabaran, sedangkan kesabaran itu balasannya adalah surga. Ia juga bulan tolong-menolong. Di dalamnya rezki seorang yang percaya ditambah. Barangsiapa pada bulan Ramadan memberikan hidangan berbuka kepada seorang yang berpuasa, dosa-dosanya akan diampuni, diselamatkan dari api neraka dan memperoleh pahala seperti orang yang berpuasa itu, tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa tadi sedikitpun.” Kemudian para sahabat berkata, “Wahai Rasul Allah, tidak semua dari kita memiliki makanan untuk diberikan kepada orang yang berpuasa.” Rasul Allah berkata, “Allah memberikan pahala tersebut kepada orang yang memberikan hidangan berbuka berupa sebutir kurma, atau satu teguk air atau sedikit susu. Ramadan adalah bulan yang permulaannya kasih, pertengahannya ampunan dan akhirnya pembebasan dari api neraka.”
Hadis ini diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah (1887), oleh Al Mahamili dalam Amaliyyah (293), Ibnu Adi dalam Al Kamil Fid Dhu’afa (6/512), Al Mundziri dalam Targhib Wat Tarhib (2/115). Hadis ini dinyatakan lemah oleh para pakar hadis seperti Al-Mundziri dalam At-Targhib Wa at-Tarhib (2/115), juga dinyatakan lemah oleh Syaikh Ali Hasan Al-Halabi di Sifatu Shaumin Nabiy (110), bahkan dikatakan oleh Abu Hatim Ar-Razi dalam Al-‘Ilal (2/50) juga Al-Albani dalam Silsilah Adh-Dhaifah (871) bahwa hadis ini mungkar.
Selain itu, adapun hadis yang berbunyi: “Wahai manusia sungguh telah datang pada kalian bulan yang agung, bulan yang di dalamnya ada malam yang lebih baik daripada seribu bulan. Allah menjadikan puasanya sebagai kewajiban, dan salat malamnya sebagai sunat. Barangsiapa mendekatkan diri di dalamnya dengan suatu perkara kebaikan maka dia seperti orang yang menunaikan suatu kewajiban pada bulan lainnya. Dialah bulan yang awalnya itu kasih, pertengahannya itu ampunan, dan akhirnya itu bebas dari neraka.”
Hadis ini selengkapnya seperti yang popular di masyarakat adalah: “Permulaan bulan Ramadan adalah kasih, pertengahannya adalah ampunan dan terakhirnya adalah pembebasan dari api neraka” (Lihat, Kitab adh-Dhu’afa, oleh al-Uqailiy, 2/162; Al-Kamil Fi Dhuafa ar-Rijal, oleh Ibnu Adi, 1/165; Ilal al-Hadits, oleh Ibnu Abi Hatim, 1/246; Silsilah al-Ahadits adh-Dha’ifah wa al-Maudhu’ah, oleh al-Albani, 2/262; 4/70)
Hadis tersebut diriwayatkan al-Uqaili, Ibnu Adi, al-Khatib al-Baghdadi, al-Dailami, dan Ibnu Asakir. Menurut Syeikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, hadis ini nilainya munkar (sangat lemah dan tidak bisa dijadikan bukti), yaitu hadis yang di dalam sanadnya terdapat rawi yang parah kekuatan hafalannya, pelupa, atau sering melakukan keburukan.
Sumber kelemahan hadis ini adalah adanya dua orang rawi dalam sanadnya, masing-masing bernama Sallam bin Sawwar dan Maslamah bin al- Shalt. Menurut kritikus hadis Ibnu Adi (w. 365 H), Sallam bin Sawwar (Sallam bin Sulaiman bin Sawwar) adalah seorang pemalsu hadis.
Sedangkan hadis Maslamah bin al-Shalt adalah matruk (semi-palsu). Secara etimologis matruk berarti ditinggalkan. Sedangkan menurut disiplin ilmu hadis, matruk adalah perawi yang sehari-harinya pendusta dan ketika meriwayatkan hadis ia dituduh dusta. Hadis yang perawinya seperti itu disebut hadis matruk. Hadis matruk adalah ‘adik’ hadis palsu, karena kedua-duanya lahir dari perawi yang pendusta.
Hadis ini juga diriwayatkan Imam Ibnu Khuzaimah dengan redaksi yang sangat panjang. Di dalam sanadnya terdapat perawi yang bernama Ali bin Zaid bin Ju’dan. Menurut tokoh kritikus hadis Imam Yahya bin Main, Judan tidak dapat dijadikan bukti. Menurut Imam Abu Zuraah, Ju’dan tidak kuat hadisnya. Dan begitu pula menurut imam-imam yang lain.
Dalam kaidah ilmu kritik perawi hadis (Ilmu al-Jarh wa al-Ta’dil), perawi yang mendapatkan penilaian seperti yang di atas tadi, apabila ia meriwayatkan hadis, maka hadisnya tidak dapat dijadikan dalil dalam agama.
Yang benar adalah bahwa di seluruh waktu di bulan Ramadan terdapat kasih (rahmat), seluruhnya terdapat ampunan (magfirah), dan seluruhnya terdapat kesempatan bagi seorang yang beriman untuk terbebas dari api neraka, tidak hanya sepertiganya. Salah satu dalil yang menunjukkan hal ini adalah:
من صام رمضان إيمانا واحتسابا ، غفر له ما تقدم من ذنبه
“Orang yang berpuasa Ramadan karena iman dan mengharap pahala, akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR Bukhari no.38, Muslim, no.760)
Dalam hadis ini, disebutkan bahwa ampunan Allah tidak dibatasi hanya pada pertengahan Ramadan saja. Allah tidak akan plin-plan. Jika Allah menetapkan itu wajib, pasti menjadi kewajiban. Kalau sunah (jika dilakukan mendapat pahala, namun tidak pun tak akan mendapat hukuman), pasti sunah. Di samping itu, Allah sendirilah yang melarang kita membeda-bedakan waktu.
Adapun mengenai apa yang diyakini oleh sebagian orang, bahwa setiap pekerjaan sunah di bulan Ramadan diberi balasan sebagaimana pekerjaan wajib, dan pekerjaan wajib diganjar dengan 70 kali lipat pahala ibadat wajib di luar bulan Ramadan, keyakinan ini tidaklah benar berdasarkan hadis yang lemah ini. Walaupun keyakinan ini tidak benar, sesungguhnya Allah Yang Mahatinggi melipatgandakan pahala pekerjaan baik berlipat ganda banyaknya, terutama ibadat puasa di bulan Ramadan.
HADIS 2: Tidurnya orang berpuasa ibadat
نَوْمُ الصَّائِمِ عِبَادَةٌ ، وَصُمْتُهُ تَسْبِيْحٌ ، وَدُعَاؤُهُ مُسْتَجَابٌ ، وَعَمَلُهُ مُضَاعَفٌ
“Tidurnya orang yang berpuasa adalah ibadat, diamnya adalah tasbih, do’anya dikabulkan, dan amalannya pun akan dilipatgandakan pahalanya.”
Hadis ini diriwayatkan oleh Al Baihaqi di Syu’abul Iman (3/1437). Hadis ini lemah, sebagaimana dikatakan Al Hafidz Al Iraqi dalam Takhrijul Ihya (1/310). Al Albani juga mennyatakan hadis ini lemah dalam Silsilah Adh Dha’ifah (4696).
Terdapat juga riwayat yang lain:
الصائم في عبادة و إن كان راقدا على فراشه
“Orang yang berpuasa itu senantiasa dalam ibadat meskipun sedang tidur di atas ranjangnya.”
Hadis ini diriwayatkan oleh Tammam (18/172). Hadis ini juga lemah, sebagaimana dikatakan oleh Al Albani di Silsilah Adh Dhaifah (653).
Adapun hadis yang berbunyi: “Tidurnya orang yang berpuasa itu ibadat, diamnya adalah tasbih, pekerjaannya dilipatgandakan (pahalanya), doanya dikabulkan, dan dosanya diampuni.”
Hadis ini diriwayatkan Imam al-Baihaqi dari Abdullah bin Aufa al- Aslami. Di dalam sanadnya terdapat perawi-perawi yang lemah. Dan yang paling parah kelemahannya adalah perawi yang bernama Sulaiman bin Umar al-Nakhai yang menurut al-Hafizh al-Iraqi dia adalah seorang pendusta. Karenanya, hadis tersebut nilainya palsu atau sekurang-kurangnya semi-palsu.
Hadis-hadis ini sangat berpengaruh bagi perilaku orang-orang berpuasa, terutama orang awam yang kurang berilmu, sehingga mereka pada siang hari menjadi malas beraktivitas dan memilih untuk tidur karena menganggap tidurnya suatu ibadat.
Yang benar, tidur adalah perkara yang mubah (diperbolehkan) dan bukan ritual ibadat. Maka, sebagaimana perkara mubah yang lain, tidur dapat dianggap sebuah ibadat jika diniatkan sebagai sarana penunjang ibadat. Misalnya, seseorang tidur karena khawatir tergoda untuk berbuka sebelum waktunya, atau tidur untuk mengistirahatkan tubuh setelah letih agar kuat dalam beribadat ketika bangun.
Sebaliknya, tidak setiap tidur orang berpuasa itu bernilai ibadat. Sebagai contoh, tidur karena malas atau bosan melakukan sesuatu yang bukan ibadat, tidur karena kekenyangan setelah sahur. Keduanya, tentu tidak bernilai ibadat, bahkan bisa dinilai sebagai tidur yang tercela. Maka, hendaknya seseorang menjadikan bulan Ramadan sebagai kesempatan baik untuk memperbanyak pekerjaan kebaikan dan penuh kasih, bukan untuk bermalas-malasan.
HADIS 3: Doa Berbuka Puasa
كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا أفطر قال : اللهم لك صمت وعلى رزقك أفطرت فتقبل مني إنك أنت السميع العليم
“Biasanya Rasul Allah, salawat serta salam semoga dilimpahkan kepadanya, ketika berbuka membaca doa: Allahumma laka shumtu wa ‘alaa rizqika afthartu fataqabbal minni, innaka antas samii’ul ‘aliim.”
Hadis ini diriwayatkan oleh Abu Daud dalam Sunan-nya (2358), Adz Dzahabi dalam Al Muhadzab (4/1616), Ibnu Katsir dalam Irsyadul Faqih (289/1), Ibnul Mulaqqin dalam Badrul Munir (5/710)
Ibnu Hajar Al-Asqalani berkata di Al-Futuhat Ar-Rabbaniyyah (4/341): “Hadis ini gharib, dan sanadnya lemah sekali”. Hadis ini juga dinyatakan lemah oleh Asy-Syaukani dalam Nailul Authar (4/301), juga oleh Al-Albani di Lemah Al-Jami’ (4350). Doa dengan lafaz yang semisal, semua berkisar antara hadis lemah dan munkar.
Sedangkan doa berbuka puasa yang tersebar di masyarakat dengan lafaz:
اللهم لك صمت و بك امنت و على رزقك افطرت برحمتك يا ارحم الراحمين
(Allahumma laka sumtu wabika amantu wa'alaa rizkika afthortu bi rahmatika yaa arhamar rahimin)
“Ya Allah, untuk-Mu aku berpuasa, kepada-Mu aku percaya, atas rezeki-Mu aku berbuka, aku memohon Kasih-Mu, wahai Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang.”
Hadis ini tidak terdapat di kitab hadis sahih manapun, atau dengan kata lain, ini adalah hadis palsu. Sebagaimana dikatakan oleh Al Mulla Ali Al Qaari dalam kitab Mirqatul Mafatih Syarh Misykatul Mashabih: “Adapun doa yang tersebar di masyarakat dengan tambahan ‘wabika aamantu’ sama sekali tidak ada kejelasan tentang asal-muasalnya, walau secara makna memang benar.”
Sedangkan, doa berbuka puasa yang dicontohkan sebagai teladan oleh Rasul Allah terdapat dalam hadis:
كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا أفطر قال ذهب الظمأ وابتلت العروق وثبت الأجر إن شاء الله
“Biasanya Rasul Allah Shallallahu’alaihi Wasallam ketika berbuka puasa membaca doa: “Dzahabaz zhamaa-u wabtalatil ‘uruqu wa tsabatal ajru insyaa Allah (Rasa haus telah hilang, kerongkongan telah basah, semoga pahala didapatkan. Insya Allah).”
Hadis ini diriwayatkan oleh Abu Daud (2357), Ad Daruquthni (2/401), dan dinyatakan hasan (sahih) oleh Ibnu Hajar Al Asqalani di Hidayatur Ruwah, 2/232 juga oleh Al Albani di Sahih Sunan Abi Daud.
HADIS 4: Puasa itu Menyehatkan
صوموا تصحوا
“Berpuasalah, kalian akan sehat.”
Hadis ini diriwayatkan oleh Abu Nu’aim di Ath Thibbun Nabawi sebagaimana dikatakan oleh Al Hafidz Al Iraqi di Takhrijul Ihya (3/108), oleh Ath Thabrani di Al Ausath (2/225), oleh Ibnu Adi dalam Al Kamil Fid Dhu’afa (3/227).
Hadis ini lemah, sebagaimana dikatakan oleh Al Hafidz Al Iraqi di Takhrijul Ihya (3/108), juga Al Albani di Silsilah Adh Dha’ifah (253). Bahkan Ash Shaghani agak berlebihan mengatakan hadis ini palsu dalam Maudhu’at Ash Shaghani (51).
Adapun hadis yang berbunyi: “Berpuasalah kalian maka kalian semua akan sehat.”
Ucapan ini terdapat pada kitab al-Rahmah fi al-Tibb wa al-Hikmah, karya Imam al-Suyuti. Ternyata hadis palsu di atas bukanlah kata-kata Muhammad melainkan perkataan seorang dokter dari Sudan.
Memang terdapat penelitian ilmiah dari para ahli medis bahwa puasa itu dapat menyehatkan tubuh. Namun, meskipun makna dari hadis lemah ini benar dan dapat dipertanggungjawabkan, namun tetap tidak boleh dianggap sebagai firman Sang Nabi.
HADIS 5: Ramadan setahun penuh
“Sekiranya semua pelayan mengetahui apa yang terkandung dalam Ramadan itu, sungguh umatku akan berharap Ramadan menjadi setahun penuh.” (Lihat, al-Maudhuat, oleh Ibnu alJauziy, 2/188; Tanjiih asy-Syari’ah, oleh al-Kanaaniy, 2/153; al-Fawaaid al-Majmu’ah, oleh asy-Syaukaniy, 1/254)
Ada pula yang berbunyi: “Seandainya umatku mengetahui pahala ibadat pada bulan Ramadan, niscaya mereka menginginkan agar setahun penuh menjadi Ramadan semua.”
Hadis tersebut merupakan penggalan dari hadis yang sangat panjang yang diriwayatkan Imam Ibnu Khuzaimah, Imam Abu Yaala, Imam al-Baihaqi, dan Imam al-Najjar, kemudian dinukil oleh Imam al-Mundziri dalam kitabnya al-Targhib wa al-Tarhib.
Hadis itu di dalam sanadnya terdapat perawi bernama Jarir bin Ayyub al-Bajali. Para ulama kritikus hadis menilai al-Bajali sebagai pemalsu hadis. Maka dengan demikian, hadis ini masuk dalam kategori hadis palsu atau minimal semi-palsu.
HADIS 6: Orang yang Sengaja Tak Berpuasa
من أفطر يوما من رمضان من غير رخصة لم يقضه وإن صام الدهر كله
“Orang yang sengaja tidak berpuasa pada suatu hari di bulan Ramadan, padahal ia bukan orang yang diberi keringanan, ia tidak akan dapat mengganti puasanya meski berpuasa terus menerus.”
Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Al Bukhari di Al’Ilal Al Kabir (116), oleh Abu Daud di Sunannya (2396), oleh Tirmidzi di Sunan-nya (723), Imam Ahmad di Al Mughni (4/367), Ad Daruquthni di Sunan-nya (2/441, 2/413), dan Al Baihaqi di Sunan-nya (4/228).
Adapun yang berbunyi: “Barangsiapa berbuka satu hari pada (puasa) Ramadan tanpa ada sebab dan bukan karena sakit, maka dia tidak dapat menggantinya meskipun puasa satu tahun (puasa Dahr)” (Lihat, Fath al-Bariy, oleh al-Hafidz Ibnu Hajar, 4/161; Misykaah al-Mashabih, tahqiq al-Albaniy, 1/626; Dha’if Sunan ath-Thirmidzi, oleh al-Albaniy, hadis no. 115; al-Ilal al-Waridah Fi al-Ahadits, oleh ad-Daruquthni, 8/270)
Hadis ini dinyatakan lemah oleh Al Bukhari, Imam Ahmad, Ibnu Hazm di Al Muhalla (6/183), Al Baihaqi, Ibnu Abdil Barr dalam At Tamhid (7/173), juga oleh Al Albani di Dhaif At Tirmidzi (723), Dhaif Abi Daud (2396), Dhaif Al Jami’ (5462) dan Silsilah Adh Dha’ifah (4557). Namun, memang sebagian ulama ada yang menyatakan hadis ini sahih seperti Abu Hatim Ar Razi di Al Ilal (2/17), juga ada yang menghasankan seperti Ibnu Hajar Al Asqalani di Hidayatur Ruwah (2/329) dan Al Haitsami di Majma’ Az Zawaid (3/171). Oleh karena itu, ulama berbeda pendapat mengenai ada-tidaknya pembayaran utang puasa bagi orang yang sengaja tidak berpuasa.
Adapun penjelasan yang menengahi hal tersebut dari Komisi Fatwa Saudi Arabia, yang menyatakan bahwa “Seseorang yang sengaja tidak berpuasa tanpa sakit, ia harus bertobat kepada Allah dan mengganti puasa (sebanyak hari) yang telah ditinggalkannya.” (Periksa: Fatawa Lajnah Daimah no. 16480, 9/191)
HADIS 7: Ramadan Tergantung Zakat Fitrah
أن شهر رمضان متعلق بين السماء والأرض لا يرفع إلا بزكاة الفطر
“Bulan Ramadan bergantung di antara langit dan bumi. Tidak ada yang dapat mengangkatnya kecuali zakat fitri.”
Hadis ini disebutkan oleh Al-Mundziri. Hadis ini juga diriwayatkan oleh Ibnu Asakir dan ditulis pula oleh Imam Ibnu al-Jauzi dalam kitabnya al-Wahiyat. Menurut Syeikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, dalam Dhaif At-Targhib (664), dan Silsilah Ahadis Dhaifah (43), di dalam sanad hadis ini terdapat perawi yang tidak dikenal identitasnya dan redaksinya juga bermasalah. Sebab seandainya hadis ini sahih, maka itu berarti ibadat seseorang pada bulan Ramadan tidak akan diterima oleh Allah sebelum yang bersangkutan mengeluarkan zakat fitrah.
Padahal tidak ada satu pun ulama dengan didukung dalil dari Kitab Suci dan hadis lain yang mengatakan tentang hal itu. Karena zakat fitrah dan ibadat bulan Ramadan, masing-masing berdiri sendiri tidak seperti berwudu dan salat yang merupakan keterkaitan antara syarat satu dengan syarat lain.
Lagi pula zakat fitrah itu bila dibanding dengan ibadat bulan Ramadan, seperti: puasa, tarawih, iktikaf (berdiam diri di masjid sambil beribadat), membaca Alquran, sedekah, memberi makanan untuk berbuka puasa, dan lain-lain, maka zakat fitrah terlalu kecil. Tampaknya tidak logis jika pekerjaan peribadatan yang sekian besarnya tergantung pada ibadat yang sangat kecil walau memang hal itu memang diwajibkan.
HADIS 8: Rajab, Syaban, dan Ramadan
رجب شهر الله ، وشعبان شهري ، ورمضان شهر أمتي
“Rajab adalah bulan Allah, Syaban adalah bulanku, dan Ramadan adalah bulan umatku.”
Hadis ini diriwayatkan oleh Adz Dzahabi di Tartibul Maudhu’at (162, 183), Ibnu Asakir di Mu’jam Asy Syuyukh (1/186).
Hadis ini dinyatakan lemah oleh di Asy Syaukani di Nailul Authar (4/334), dan Al Albani di Silsilah Adh Dhaifah (4400). Bahkan hadis ini dinyatakan sebagai hadis palsu oleh banyak ulama seperti Adz-Dzahabi di Tartibul Maudhu’at (162, 183), Ash-Shaghani dalam Al-Maudhu’at (72), Ibnul Qayyim dalam Al-Manaarul Munif (76), Ibnu Hajar Al Asqalani dalam Tabyinul Ujab (20).
Hadis senada: “Keutamaan bulan Rajab atas bulan-bulan lainnya seperti keutamaan Alquran atas semua perkataan, keutamaan bulan Syaban seperti keutamaanku atas para Nabi, dan keutamaan bulan Ramadan seperti keutamaan Allah atas semua pelayan-Nya.”
Selain itu ada pula yang berbunyi: “Ya Allah, anugerahkan kepada kami berkat di bulan Rajab dan Syaban serta pertemukanlah kami dengan Ramadan.” (Lihat, al-Adzkaar, oleh an-Nawawiy; Mizaan al-I’tidal, oleh adz-Dzahabi; Majma’u az-Zawaaid, oleh al-Haitsami, 2/165 dan Dha’if al-Jami, oleh al-Albaniy, hadis no. 4395)
Perlu diketahui bahwa seluruh waktu adalah milik Allah yang diperuntukan untuk hambanya agar senantiasa beribadat pada Tuhan. Sehingga pembagian seperti hadis di atas adalah sesuatu yang menyempitkan manusia dan Allah tak mungkin menyempitkan manusia.
HADIS 9: Lima Hal yang Membatalkan Puasa
خمس تفطر الصائم ، وتنقض الوضوء : الكذب ، والغيبة ، والنميمة ، والنظر بالشهوة ، واليمين الفاجرة
“Lima hal yang membatalkan puasa dan membatalkan wudu: berbohong, bergunjing, mengadu domba, melihat lawan jenis dengan keinginan (syahwat), dan bersumpah palsu.”
Hadis ini diriwayatkan oleh Al Jauraqani di Al Abathil (1/351), oleh Ibnul Jauzi di Al Maudhu’at (1131). Hadis ini adalah hadis palsu, sebagaimana dijelaskan Ibnul Jauzi di Al Maudhu’at (1131), Al Albani dalam Silsilah Adh Dhaifah (1708).
Lima hal yang dikatakan dalam hadis palsu tersebut tersebut bukanlah pembatal puasa, namun pembatal pahala puasa. Namun memang hal tersebut dilarang keras dalam ajaran Islam. Sebagaimana hadis:
من لم يدع قول الزور والعمل به والجهل ، فليس لله حاجة أن يدع طعامه وشرابه
“Orang yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan mengamalkannya, serta mengganggu orang lain, maka Allah tidak butuh terhadap puasanya.” (HR Bukhari, no. 6057)
HADIS 10: Memberi Hidangan Berbuka
من فطر صائما على طعام وشراب من حلال صلت عليه الملائكة في ساعات شهر رمضان وصلى عليه جبرائيل ليلة القدر
“Barangsiapa memberi hidangan berbuka puasa dengan makanan dan minuman yang halal, para malaikat bersalawat kepadanya selama bulan Ramadan dan Jibril bersalawat kepadanya di malam lailatul qadar.”
Hadis ini diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dalam Al-Majruhin (1/300), Al-Baihaqi di Syu’abul Iman (3/1441), Ibnu Adi dalam Al-Kamil Adh-Dhuafa (3/318), Al-Mundziri dalam At-Targhib Wa at-Tarhib (1/152)
Hadis ini dinyatakan lemah oleh Ibnul Jauzi di Al-Maudhuat (2/555), As-Sakhawi dalam Maqasidul Hasanah (495), Al Albani dalam Lemah At Targhib (654)
Yang benar adalah bahwa orang yang memberikan hidangan berbuka puasa akan mendapatkan pahala puasa orang yang diberi hidangan tadi, berdasarkan hadis:
من فطر صائما كان له مثل أجره ، غير أنه لا ينقص من أجر الصائم شيئا
“Siapa saja yang memberikan hidangan berbuka puasa kepada orang lain yang berpuasa, ia akan mendapatkan pahala orang tersebut tanpa sedikitpun mengurangi pahalanya.” (HR At Tirmidzi no 807, ia berkata: “Hasan sahih”)
HADIS 11: Tidak makan kecuali lapar
“Kami adalah orang-orang yang tidak makan sehingga lapar, dan apabila kami makan kami tidak sampai kenyang.”
Hadis yang sangat popular dalam khotbah-khotbah Ramadan ini ternyata bukan hadis (sahih). Dalam kitab al-Rahmah fi al-Thibb wa al-Hikmah karya Imam al-Suyuthi disebutkan, ungkapan tersebut adalah perkataan seorang dokter dari Sudan.
Kisahnya begini: terdapat empat orang dokter ahli berkumpul di istana Kisra, Persia. Kisra adalah sebutan untuk raja-raja imperium Persia. Empat dokter ini masing-masing berasal dari Irak, Romawi, India, dan Sudan. Di antara keempat dokter ini yang paling cerdas adalah dokter dari Sudan. Kepada keempat dokter ini, Kisra minta resep atau obat- obatan yang paling manjur dan tidak membawa efek sampingan.
Dokter dari Irak mengatakan, obat yang tidak membawa efek sampingan adalah minum air hangat tiga teguk setiap pagi ketika bangun tidur. Dokter dari Romawi mengatakan, obat yang tidak membawa akibat sampingan adalah menelan biji rasyad (sejenis sayuran) setiap hari. Sedangkan dokter yang dari India mengatakan, obat yang tidak membawa akibat sampingan adalah memakan tiga biji ihlilaj yang hitam tiap hari. Ihlilaj adalah sejenis gandum yang tumbuh di India, Afghanistan, dan Cina.
Ketika tiba giliran dokter dari Sudan berbicara, dia diam saja. Kisra bertanya, ”Mengapa kamu diam saja?” Ia menjawab, ”Wahai Tuanku, air hangat itu dapat menghilangkan lemak ginjal dan menurunkan lambung. Biji rasyad dapat membikin kering jaringan tubuh. Sekarang ihlilaj juga dapat membikin kering jaringan tubuh yang lain.”
”Kalau begitu menurut kamu, obat apa yang tidak mengandung akibat sampingan?” tanya Kisra kepadanya. Dokter dari Sudan itu menjawab, ”Wahai Tuanku, obat yang tidak mengandung akibat sampingan adalah Anda tidak makan kecuali sesudah lapar. Dan apabila Anda makan, angkatlah tangan Anda sebelum Anda merasa kenyang. Apabila hal itu Anda lakukan, maka Anda tidak akan terkena penyakit kecuali penyakit mati.”
Mendengar jawaban itu, dokter-dokter lain membenarkannya. Demikian penuturan Imam al-Suyuthi. Oleh karena itu, apabila ungkapan tersebut diklaim berasal dari Muhammad, maka ia menjadi hadis palsu.
HADIS 12: Puasa adalah Separuh Kesabaran
“Puasa adalah separuh dari kesabaran” (HR Abu Nuaim di dalam al-Hilyah, 5/34; dan al-Khathib di dalam Tarikh-nya, 13/226; dan Ibnu al-Jauziy di dalam al-Ilal, 1/815 dari hadis Abdullah bin Masud secara bersambung)
Hadis ini tersebut juga diriwayatkan oleh at-Tirmidzi di dalam as-Sunan, no. 3519; dan ad-Daarimiy, no. 659; Imam Ahmad, di dalam Musnad, 4/260; dan alMarwaziy di dalam Ta’zhimi Qadri ashShalah, no. 432 dari hadis seorang laki-laki dari Bani Sulaim.
Hadis ini sangat lemah. Tidak bisa dijadikan dalil agama sama sekali. Makna hadis tersebut memang baik, namun bukanlah sabda Nabi Muhammad.
HADIS 13: Perjuangan Hawa Nafsu
رجعنا من الجهاد الأصغر إلى الجهاد الأكبر . قالوا : وما الجهاد الأكبر ؟ قال : جهاد القلب
“‘Kita telah kembali dari perjuangan yang kecil menuju perjuangan yang besar.’ Para sahabat bertanya: ‘Apakah perjuangan yang besar itu?’ Beliau bersabda: ‘Perjuangannya hati melawan hawa nafsu.’”
Menurut Al-Hafidz Al-Iraqi dalam Takhrijul Ihya (2/6) hadis ini diriwayatkan oleh Al Baihaqi dalam Az Zuhd. Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Takhrijul Kasyaf (4/114) juga mengatakan hadis ini diriwayatkan oleh An Nasa’i dalam Al Kuna.
Hadis ini adalah hadis palsu. Sebagaimana dikatakan oleh Syaikhul Islam di Majmu Fatawa (11/197), juga oleh Al-Mulla Ali Al-Qari dalam Al-Asrar Al-Marfu’ah (211). Al Albani dalam Silsilah Adh Dhaifah (2460) mengatakan hadis ini munkar.
Hadis ini sering dibawakan para pengkhotbah dan dikaitkan dengan Ramadan, yaitu untuk mengatakan bahwa berjuang (jihad) melawan hawa nafsu (kedagingan) di bulan Ramadan lebih utama dari berperang melawan kekafiran di jalan Allah. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, “Hadis ini tidak ada kejelasan mengenai asal-muasalnya. Tidak ada seorang pun ulama hadis yang berangapan seperti ini, baik dari perkataan maupun perbuatan Nabi. Selain itu berjuang melawan orang kafir, jika mereka lebih dulu memerangi kita secara terbuka (seperti di Palestina, ed), adalah amal yang paling mulia. Bahkan berjuang yang tidak wajib pun merupakan amalan sunnah yang paling dianjurkan.” (Majmu’ Fatawa, 11/197). Artinya, makna dari hadis palsu ini pun tidak benar karena berperang di jalan Allah adalah amalan yang paling mulia. Selain itu, orang yang terjun berperang di jalan Allah tentunya telah berhasil mengalahkan ketakutan dan hawa nafsunya untuk meninggalkan dunia dan orang-orang yang ia sayangi.
HADIS 14: Ramadan adalah Nama Allah
لا تقولوا رمضان فإن رمضان اسم من أسماء الله تعالى ولكن قولوا شهر رمضان
“Jangan menyebut dengan ‘Ramadan’ karena ia adalah salah satu nama Allah, namun sebutlah dengan ‘Bulan Ramadan.’”
Hadis ini diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dalam Sunan (4/201), Adz-Dzaahabi dalam Mizan al-I’tidal (4/247), Ibnu Adi dalam Al-Kamil Fi adh-Dhu’afa (8/313), Ibnu Katsir di Tafsir-nya (1/310).
Ibnul Jauzi dalam Al-Maudhuat (2/545) mengatakan hadis ini palsu. Namun, yang benar adalah sebagaimana yang dikatakan oleh As-Suyuthi dalam An Nukat ‘alal Maudhuat (41) bahwa “Hadis ini lemah, bukan palsu”. Hadis ini juga dinyatakan lemah oleh Ibnu Adi dalam Al-Kamil Fiadh-Dhu’afa (8/313), An-Nawawi dalam Al-Adzkar (475), oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Fathul Baari (4/135) dan Al-Albani dalam Silsilah Adh-Dhaifah (6768).
Yang benar adalah bahwa kita boleh mengatakan ‘Ramadan’ saja seperti saat kita mengatakan ‘bulan Februari’ dengan ‘Februari’ saja. Hal ini berdasarkan pendapat jumhur ulama karena banyak hadis yang menyebutkan ‘Ramadan’ tanpa ‘Syahru (bulan)’.
HADIS 15: Pembebasan Api Neraka ketika Berpuka Puasa
“Sesungguhnya bagi Allah Yang Maha Tinggi memberikan pembebasan dari api neraka pada setiap kali berbuka.” (Lihat, Tanjiih asy-Syari’ah, oleh al-Kananiy, 2/155; al-Fawaid al-Majmu’ah Fi al-Ahaadits al-Maudhu’ah, oleh asy-Syaukaniy, 1/257; al-Kasyf al-Ilaahi ‘An Syadiid adh-Dha’if wa al-Maudhu wa al-Wahiy, oleh al-Thuraabilisiy, 12/230; Dzakhirah al-Huffaazh, oleh al-Qaisiraniy, 2/956; Syu’abul Iman, oleh al-Baihaqi, 3/304; dan al-Kaamil Fi Dhu’afaa ar-Rizal, oleh Ibnu Adi, 2/455)
Yang benar, sesuai Maryam 19:60 adalah bahwa orang-orang yang mau bertobat, beriman, dan melakukan pekerjaan salehlah yang akan dibebaskan dari api.
HADIS 16: Pintu Ibadat adalah Puasa
“Setiap sesuatu memiliki pintu, dan pintu ibadat adalah puasa.”
Hadist ini dinukil oleh Abi Syuja’ di dalam al-Firdaus, no. 4992 dari hadis Abu Dardaa dan menurut Syaikh al-Albaniy hadis ini lemah di dalam kitabnya adh-Dha’if, no. 4720. Hadis tersebut dinyatakan lemah.
HADIS 17: Salat Tarawih Delapan Rakaat dan 20 Rakaat
“Rasul Allah SAW melakukan salat pada bulan Ramadan sebanyak delapan rakaat dan witir.”
Hadis ini diriwayatkan Jafar bin Humaid sebagaimana dikutip kembali lengkap dengan sanadnya oleh al-Dzahabi dalam kitabnya Mizan al-I’tidal dan Imam bin Hibban dalam kitabnya Sahih Ibnu Hibban dari Jabir bin Abdullah. Dalam sanadnya terdapat perawi yang bernama Isa bin Jariyah yang menurut Imam Ibnu Ma’in, hadis-hadisnya munkar. Sedangkan menurut Imam al-Nasai, Isa bin Jariyah adalah pendusta. Karenanya, hadis salat tarawih delapan rakaat adalah hadis semi-palsu lantaran perawinya pendusta.
Selain itu terdapat juga hadis yang berbunyi: “Ibnu Abbas berkata: Muhammad melakukan salat pada bulan Ramadan 20 rakaat dan witir.” (Hadis ini diriwayatkan Imam al-Thabrani dalam kitabnya Al-Mu’jam al-Kabir.)
Dalam sanadnya terdapat perawi yang bernama Abu Syaibah Ibrahim bin Utsman yang menurut Imam al-Tirmidzi, hadis-hadisnya adalah munkar. Imam al-Nasai mengatakan hadis-hadis Abu Syaibah adalah semi-palsu. Imam Syubah mengatakan Ibrahim bin Utsman adalah pendusta. Oleh karenanya hadis salat tarawih dua puluh rakaat ini nilainya palsu atau minimal semi-palsu.
Namun, perlu diketahui, hal itu bukan berarti salat delapan rakaat atau 20 rakaat itu tidak boleh. Sebab yang dibahas di sini adalah bahwa hadis salat tarawih delapan rakaat dan hadis tarawih dua puluh rakaat itu kedua-duanya palsu atau minimal semi-palsu. Jadi salat tarawih dengan delapan rakaat atau dua puluh rakaat, kedua-duanya boleh dilakukan karena tidak ada keterangan yang konkret tentang jumlah rakaat salat tarawih Nabi.
Menurut keterangan yang sahih, Muhammad tidak membatasi jumlah rakaat salat tarawih (Qiyam al-Lail). Misalnya hadis riwayat Imam al-Bukhari dari Abu Hurairah di mana Nabi mengatakan: ”Siapa yang salat pada bulan Ramadan karena iman dan mengharapkan pahala Allah, maka Allah akan mengampuni dosanya yang kecil.”
Khusus bagi yang menjalankan salat tarawih dua puluh rakaat, terdapat dalil tambahan, yaitu ijma (konsensus) para sahabat Muhammad, di mana pada masa Khalifah Umar bin al-Khattab, Ubay bin Ka’ab menjadi imam salat tarawih dua puluh rakaat, dan tidak ada satu pun dari sahabat Nabi yang memprotes hal itu.
HADIS 18: Taqabbalallahu Minna wa Minka
قال وائلة : لقيت رسول الله صلى الله عليه وسلم يوم عيد فقلت : تقبل الله منا ومنك ، قال : نعم تقبل الله منا ومنك
“Wailah berkata: ‘Aku bertemu dengan Rasul Allah, salawat dan salam semoga dilimpahkan kepadanya, pada hari Id, lalu aku berkata: Taqabbalallahu minna wa minka.’ Beliau bersabda: ‘Ya. Taqabbalallahu minna wa minka.’”
Hadis ini diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dalam Al Majruhin (2/319), Al-Baihaqi dalam Sunan-nya (3/319), Adz Dzahabi dalam Al Muhadzab (3/1246). Hadis ini dinyatakan lemah oleh Ibnu Adi dalam Al Kamil Fid Dhuafa (7/524), oleh Ibnu Qaisirani dalam Dzakiratul Huffadz (4/1950), oleh Al-Albani dalam Silsilah Adh-Dhaifah (5666).
Yang benar, ucapan ‘Taqabbalallahu Minna Wa Minka’ diucapkan sebagian sahabat berdasarkan sebuah riwayat:
كان أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا التقوا يوم العيد يقول بعضهم لبعض : تقبل الله منا ومنك
“Para sahabat Rasul Allah biasanya ketika saling berjumpa di hari Id mereka mengucapkan: Taqabbalallahu Minna Wa Minka (Semoga Allah menerima amal ibadatku dan amal ibadatmu).”
Riwayat ini berasal dari Imam Ahmad dalam Al-Mughni (3/294), dinyatakan sahih oleh Al-Albani dalam Tamamul Minnah (354). Oleh karena itu, boleh mengamalkan ucapan ini, asalkan tidak diyakini sebagai hadis Nabi Muhammad.