THE FUTURE OF SMANSTARKID
Posted by mochihotoru | Posted in Daily Activities | Posted on 10:59:00 PM
Hari ini aku bersama teman lamaku Riki Rahmat, si Panda Afrika yang kuliah di Akuntansi Pendidikan, UPI, pergi mengunjungi sekolah lamaku tercinta, SMAN 1 TAROGONG KIDUL (STARKID), Garut. Ini adalah kali kedua aku ke sana sejak liburan lalu. Terakhir kali [sebelum yang pertama tadi] yang aku ingat adalah saat mencari info tentang kelulusanku masuk UNPAD--kurang lebih setahun lalu. Namun, dalam dua kesempatan tersebut, aku tidak bertemu dengan banyak guru-guru yang pernah mengajar di kelas. Waktunya selalu saja tidak tepat.
Sabtu ini merupakan hari bagi siswa-siswi untuk menggunakan hak pilih mereka untuk memilih secara demokratis ketua Osis mereka yang baru. Dimulai setelah jam istirahat pukul 11. Terdapat tiga pasangan calon. Sayang, aku tidak terlalu tertarik untuk mencari banyak informasi tentang mereka. Yang pasti, semoga saja Kaos (ketua OSIS) yang baru dapat membawa siswa Starkid ke arah yang lebih baik dan bisa memperbaiki hubungan OSIS dengan unit kegiatan siswa lain--yang katanya menajam akhir-akhir ini.
Tujuan utamaku datang ke tempat ini sebenarnya untuk mengadakan silaturahmi sambil mengantar Riki melakukan observasi mengenai kurikulum di sekolah daerah ini. Kebetulan, aku pun sedang mempelajari sistem pendidikan di Indonesia. Sayang, ternyata kawanku yang berperawakan besar itu tidak membawa perelengkapan observasi. Akhirnya, kita hanya berjalan-jalan di sana.
Karena ruang tamu, yang biasanya penuh itu, kosong, kami pun pergi ke kantin. Sepanjang jalan setapak, terlihat begitu banyak perubahan fisik terjadi di sekolah yang dikepalai Bpk Achdiyat itu. Masjid yang saat tahun terakhir kami di sana hanya onggokan beton tak terselesaikan, sekarang menjadi masjid dua lantai yang rapi. Toilet dengan pintu rusak dan air kotor pun terlihat bak toilet yang ada di pusat-pusat perbelanjaan. Begitu pun kantin, yang dulu hanya beberapa warung dengan papan kotor, sekarang memakai sistem seperti Pujasega [ups!]. Selain itu sistem pengabsenan sudah terkomputerisasi; siswa diberikan ID Card yang harus dipindai oleh sebuah mesin setiap datang dan pulang dari sekolah. Dan kelas akselerasi pun sudah efektif berjalan.
Namun, banyak perubahan lain yang tak kalah mengejutkan dengan itu. Menurut bu Riko, guru Fisika di sana, kepala sekolah yang sangat berdedikasi itu bermaksud menyeragamkan jurusan. Maksudnya, di sekolah berstandar internasional ini nantinya hanya akan ada satu jurusan saja: Ilmu Alam. Saat ini saja, dari sembilan kelas, hanya ada satu kelas jurusan Ilmu Sosial dan sembilan Ilmu Alam.
Pertanyaannya adalah: bagaimana nasib para guru Ilmu Sosial? Bagaimana nasib pak bu Rika, wali kelasku di XII IS 3, misalnya? Kabarnya saat ini beliau saja hanya mengajar kurang dari 10 jam seminggu. Walaupun gaji guru saat ini sudah dinaikkan pemerintah, namun tetap saja dihitung per jam pelajaran. Aku jadi teringat kisah pak Gatot, guru Sosiologi, yang harus bontang-banting mencari pekerjaan sampingan lain sebagai pengawas ujian, pengajar pelajaran tambahan, dan guru tetap di sekolah lain. Konon, jika dia hanya mengandalkan gaji tetap yang jauh dari angka lima ratus ribu per bulan, dia tidak akan mungkin membiayai sekolah anaknya--sebuah ironi kehidupan yang menjadi pelajaran berharga.
Selain nasib-nasib para guru tadi, adapun kognitif siswa yang perlu diperhatikan. Menurutku, saat ini saja sistem di Indonesia telah memaksa siswa untuk memakai otak kiri (baca: logika) saja dalam penyelesaian masalah. Jika penerapan sistem jurusan-IA-saja ini ditetapkan, siswa tidak memunyai pilihan untuk mengembangkan bakat dan kemampuannya, yang mungkin ada di Ilmu Sosial--karena dia lebih senang membaca ketimbang menghitung. Siswa yang terpaksa "salah masuk" itu akan terseret-seret di sana dan nilainya pun akan hancur. Kehancuran nilai mereka inilah yang menjadi masalah karena akan merusak reputasi sekolah yang selalu menjadi sekolah menengah favorit di wilayah Garut.
Masalah kesiswaan pun tak luput menjadi perhatianku. Dewasa ini, banyak sekali geng-geng yang saling bermusuhan di sana. Geng-geng ini sangat terbuka sekali menunjukkan eksistensi mereka. Dulu, geng-geng itu masih dapat dihitung dengan jari dan tak semuncul sekarang. Hal itu karena di zamanku, bpk Asep Rustiawan, wakasek saat itu, memegang peranan penting dalam kedisiplinan. Menurutku dia orang paling tegas di sekolah. Namun saat ini, konon, dia telah "turun tahta" dan entah mengapa, dia tidak berkutik lagi.
Geng-geng semakin liar [walau tak sampai seliar geng Nero], banyak seragam siswa yang dikeluarkan dari celana, sepatu berwarna-warni selain hari Sabtu, siswa merokok di kelas ketika takda guru, razia bulanan yang tak efektif, teguran guru terhadap siswa yang melanggar aturan semakin lemah, dan sebagainya. Hal-hal tersebut membuatku sangat cemas terhadap nama baik sekolah yang dahulu bernama SMA Merdeka ini. Untungnya, sampai saat ini, prestasi sekolah sama sekali tidak turun. Piala dan medali dari berbagai kejuaraan masih terus bertambah.
Sabtu ini merupakan hari bagi siswa-siswi untuk menggunakan hak pilih mereka untuk memilih secara demokratis ketua Osis mereka yang baru. Dimulai setelah jam istirahat pukul 11. Terdapat tiga pasangan calon. Sayang, aku tidak terlalu tertarik untuk mencari banyak informasi tentang mereka. Yang pasti, semoga saja Kaos (ketua OSIS) yang baru dapat membawa siswa Starkid ke arah yang lebih baik dan bisa memperbaiki hubungan OSIS dengan unit kegiatan siswa lain--yang katanya menajam akhir-akhir ini.
Tujuan utamaku datang ke tempat ini sebenarnya untuk mengadakan silaturahmi sambil mengantar Riki melakukan observasi mengenai kurikulum di sekolah daerah ini. Kebetulan, aku pun sedang mempelajari sistem pendidikan di Indonesia. Sayang, ternyata kawanku yang berperawakan besar itu tidak membawa perelengkapan observasi. Akhirnya, kita hanya berjalan-jalan di sana.
Karena ruang tamu, yang biasanya penuh itu, kosong, kami pun pergi ke kantin. Sepanjang jalan setapak, terlihat begitu banyak perubahan fisik terjadi di sekolah yang dikepalai Bpk Achdiyat itu. Masjid yang saat tahun terakhir kami di sana hanya onggokan beton tak terselesaikan, sekarang menjadi masjid dua lantai yang rapi. Toilet dengan pintu rusak dan air kotor pun terlihat bak toilet yang ada di pusat-pusat perbelanjaan. Begitu pun kantin, yang dulu hanya beberapa warung dengan papan kotor, sekarang memakai sistem seperti Pujasega [ups!]. Selain itu sistem pengabsenan sudah terkomputerisasi; siswa diberikan ID Card yang harus dipindai oleh sebuah mesin setiap datang dan pulang dari sekolah. Dan kelas akselerasi pun sudah efektif berjalan.
Namun, banyak perubahan lain yang tak kalah mengejutkan dengan itu. Menurut bu Riko, guru Fisika di sana, kepala sekolah yang sangat berdedikasi itu bermaksud menyeragamkan jurusan. Maksudnya, di sekolah berstandar internasional ini nantinya hanya akan ada satu jurusan saja: Ilmu Alam. Saat ini saja, dari sembilan kelas, hanya ada satu kelas jurusan Ilmu Sosial dan sembilan Ilmu Alam.
Pertanyaannya adalah: bagaimana nasib para guru Ilmu Sosial? Bagaimana nasib pak bu Rika, wali kelasku di XII IS 3, misalnya? Kabarnya saat ini beliau saja hanya mengajar kurang dari 10 jam seminggu. Walaupun gaji guru saat ini sudah dinaikkan pemerintah, namun tetap saja dihitung per jam pelajaran. Aku jadi teringat kisah pak Gatot, guru Sosiologi, yang harus bontang-banting mencari pekerjaan sampingan lain sebagai pengawas ujian, pengajar pelajaran tambahan, dan guru tetap di sekolah lain. Konon, jika dia hanya mengandalkan gaji tetap yang jauh dari angka lima ratus ribu per bulan, dia tidak akan mungkin membiayai sekolah anaknya--sebuah ironi kehidupan yang menjadi pelajaran berharga.
Selain nasib-nasib para guru tadi, adapun kognitif siswa yang perlu diperhatikan. Menurutku, saat ini saja sistem di Indonesia telah memaksa siswa untuk memakai otak kiri (baca: logika) saja dalam penyelesaian masalah. Jika penerapan sistem jurusan-IA-saja ini ditetapkan, siswa tidak memunyai pilihan untuk mengembangkan bakat dan kemampuannya, yang mungkin ada di Ilmu Sosial--karena dia lebih senang membaca ketimbang menghitung. Siswa yang terpaksa "salah masuk" itu akan terseret-seret di sana dan nilainya pun akan hancur. Kehancuran nilai mereka inilah yang menjadi masalah karena akan merusak reputasi sekolah yang selalu menjadi sekolah menengah favorit di wilayah Garut.
Masalah kesiswaan pun tak luput menjadi perhatianku. Dewasa ini, banyak sekali geng-geng yang saling bermusuhan di sana. Geng-geng ini sangat terbuka sekali menunjukkan eksistensi mereka. Dulu, geng-geng itu masih dapat dihitung dengan jari dan tak semuncul sekarang. Hal itu karena di zamanku, bpk Asep Rustiawan, wakasek saat itu, memegang peranan penting dalam kedisiplinan. Menurutku dia orang paling tegas di sekolah. Namun saat ini, konon, dia telah "turun tahta" dan entah mengapa, dia tidak berkutik lagi.
Geng-geng semakin liar [walau tak sampai seliar geng Nero], banyak seragam siswa yang dikeluarkan dari celana, sepatu berwarna-warni selain hari Sabtu, siswa merokok di kelas ketika takda guru, razia bulanan yang tak efektif, teguran guru terhadap siswa yang melanggar aturan semakin lemah, dan sebagainya. Hal-hal tersebut membuatku sangat cemas terhadap nama baik sekolah yang dahulu bernama SMA Merdeka ini. Untungnya, sampai saat ini, prestasi sekolah sama sekali tidak turun. Piala dan medali dari berbagai kejuaraan masih terus bertambah.
Comments (0)
Post a Comment