ACEH ISLAMI?

Posted by mochihotoru | Posted in , , | Posted on 4:22:00 PM

Oleh: Roni Muchtar

Selamat Datang di Nanggroe Aceh Darussalam, provinsi berlandaskan Syariat Islam. Begitu bilboard terpasang di kawasan Aceh Tamiang-perbatasan Aceh dengan Sumatera Utara. Secara tak terduga nuansa islami akan dengan apalagi berbagai kaligrafi Arab menghiasi sepanjang jalur menuju provinsi Aceh. Namun kesan islami itu menguap begitu cepat, ketika pandangan kita toleh lebih dalam ke relung Aceh? Ketika hiruk pikuk dan prilaku masyarakat Aceh diamati keseharian. Mulai cara berpakaian hingga cara bergaul, kesan Aceh yang bernuansa islami itu nyaris tak terlihat. Mungkin hanya di sekolah-sekolah saja yang terlihat saat siswa-siswa di Aceh berbusana muslimah, tapi jangan tanya pergaulan mereka. Pasti Anda membayangkan tidak berada di Aceh.

Islam dan Aceh memang tak bisa dipisahkan. Ketika bicara Aceh pastilah berkait Islam, karena hampir tak ada penduduk (asli) yang bukan muslim. Mungkin itu salah satu latar Aceh digelar serambi Mekkah. Gelar itu jauh sebelum Aceh dinobatkan sebagai daerah modal, sebelum syariat Islam (hukum Islam) diterapkan sejak 1 Muharram 1422 Hijriah dan ditetap dalam qanun-qanun (kanon-kanon; peraturan-peraturan), sebelum dibentuknya dinas khusus yang menangani syariat Islam atau difungsikannnya Pengadilan Agama menjadi Mahkamah Syar´iyah. Nilai-nilai islami sudah dianut masyarakat Aceh sebelum munculnya nomenklatur tulisan Arab Melayu di sejumlah papan nama dinas dan pertokoan di Aceh.

Apa yang kita saksikan kemudian, euforia syariat Islam nyaris mengalahkan isu keamanan ketika keadaan Aceh masih konfllik. Ironinya, mengatasnamakan syariat islam dengan pemahaman yang seumur jagung, seakan menjadi pembenaran untuk tindakan yang sesungguhnya tidak sesuai syariat itu sendiri. Eforia itu sempat memudar ketika Darurat Militer diterapkan di Aceh. Lalu kembali bergema saat pascakesepakatan damai antara pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka. Malahan, DPRA menyusun qanun tentang hukum Islam dengan draf hudud (potong tangan) bagi pelaku pencurian dengan nilai maksimal 94 gram emas.

Draf hudud membuat reaksi berbagai pihak. Yang keberatan beralasan, bahwa sasaran syariat Islam [yang diterapkan] selama ini belum memberi rasa keadilan. Tiga qanun yang mengatur pelanggaran hukum hanya mengena orang-orang kecil. Misal, penjudi kelas teri yang kebetulan tertangkap. Kasus judi atau maisir inilah yang pertama kali diterapkan hukum cambuk sebagai perwujudan pemberlakukan syariat Islam. Kasus ini menjadi kasus dunia saat ini, karena baru pertama kalinya provinsi di Indonesia menerapkan syariat Islam.

Pascamomentum ini, pemerintah provinsi Aceh berusaha meyakinkan masyarakat dan dunia bahwa mereka serius menjalankan syariat Islam. Maka, polisi syariah atau yang lebih populer dengan Wilayatul Hisbah (WH) lahir. Tugasnya, mengawasi pelaksanaan syariat Islam dan dibenarkan melakukan tindakan awal terhadap para pelanggar syariat.

Dalam sekejap, WH hadir bagai malaikat pencabut nyawa. Pelaku mesum dan judi ditangkap di mana-mana. Kebebasan bertugas seakan menjadi hak istimewa mereka. Padahal, tidak seluruh area dibenarkan masuk sebelum ada izin dari pemiliknya. Pro-kontra mengenai WH pun terjadi. Apalagi, setelah beberapa pejabat yang tertangkap WH dibebaskan dengan berabagai alasan. Demikian pula ada oknum WH yang tertangkap mesum, tapi tidak diproses. Dikabarkan melarikan diri ke luar Aceh. Sejak itu aura syariat pun meredup.

Beberapa bulan terakhir ini, fenomena eforia syariat Islam kembali lagi, disusul tertangkapnya sejumlah pelaku mesum. Yang masih hot yaitu adanya aksi ratusan santri dayah di Aceh yang menyatakan tekat menjalankan syariat Islam sebagai hukum wajib di Aceh.

Islamkan Aceh?

Pertanyaan itu muncul seiring masih gandrungnya kita mempermainkan nilai Islam demi sebuah gengsi. Fakta kita hanya bangga dengan bungkus tapi di dalamnya borok. Peci dan jilbab hanya simbol yang memuat kita masygul (susah hati), karena sangat kontras dengan prilaku keseharian mulai rakyat awam sampai yang suka berkhotbah mengenai syariat Islam itu sendiri. [Jika melihat sejarah, perilaku yang lebih mementingkan penampakan luar daripada isi ini sama dengan perilaku kaum Yahudi Farisi dan Saduki yang sering diperingatkan oleh banyak nabi di masa lalu. Mereka mencanangkan itu hanya untuk sebuah prestise belaka.]

Tak jauh ambil contoh, lihat saja kelakuan orang Aceh berkendaraan. Coba bandingkan mana yang lebih banyak yang duduk di kafe dengan di meunasah [ semacam lembaga pendidikan yang multifungsi]. Lihat pula pergaulan muda-mudi sekarang di Aceh! Islamikah Aceh? Tentu belum dalam soal kebersihan. Padahal ajaran Islam mengatakan, menjaga kebersihan sebagai bagian dari iman. Tapi toliet di masjid dan tempat ibadah begitu jorok. Lingkungan berselemak sampah. Maka ada adagium di Aceh: tong sampah seluas jalan. Tentu saya tak berani mengatakan, kalau orang yang mengaku sangat bersyariat, tapi mereka munafik.

Ada kesan kegamangan dan menggelikan dalam menerapkan syariat Islam. Sebut saja, kebijakan Dinas Pendidikan Banda Aceh yang menerapkan pemisahan lokal antara siswi dengan siswa. Bukankah itu menggelikan? Justru cara ini sering menimbulkan suasana tidak sehat. Sebab perilaku siswa justru lebih agresif dan cenderung kurang sopan, karena tak ada lagi sosok yang membuat mereka malu. Sehingga, siswi menjadi kelaki-lakian karena bergaul sesama siswi. Demikian juga dengan motivasi belajar, akan menurun akibat tidak terstimulan dengan kehadiran siswa di kelas mereka. Minat belajar pun menurun, karena tidak motivasi sebagai kodrat manusia secara positif.

Mungkin niat para pengelola pendidikan benar, mengantisipasi kemungkinan cinta terlarang antarsiswa [yang bisa mengundang perzinahan]. Tetapi justru ini masalah baru karena mengebiri kemerdekaan siswa yang seharusnya mereka harus kreatif dan dinamis. Kita pastikan, sesuatu yang dipendam ketika ada peluang akan cenderung pada yang buruk. Justru pemisahan kelas (laki-perempuan) akan membuka ruang melahirkan cinta terlarang yang lebih dahsyat.

Demikian pula kebijakan meliburkan siswa pada bulan Ramadhan, karena tidak tepat ketika tekat pemerintahan Aceh mendongkrak kualitas pendidikan. Adalah suatu ironi ketika siswa di daerah lain yang sudah berprestasi terus belajar [bahkan ketika berpuasa], kita justru beristirahat dengan dalih berpuasa. Apakah, orang Islam di daerah lain tak berpuasa hanya karena belajar? Dan berapa pula persentase siswa yang berpuasa karena tidak sekolah di Aceh?

Inilah Aceh, yang hanya tampil dengan simbol-simbol, tapi muatannya nol. Sekarang di DPRA juga sedang gabuk bikin inisiatif Qanun Pers dan Penyiaran Islami. Draft qanun PPI yang dijadikan satu dari 23 qanun prioriotas DPRA tahun 2008 patut dipertanyakan. Kita tak tahu, mungkin karena anggota DPRA yang meusilak karena aibnya dibeberkan pers, sehingga mereka tidak nyaman dengan pemberitaan atas kelakuan mereka selama ini. Dan untuk meredam pers, dibuatkan aturan. [Permainan politik ini sangat mirip dengan yang terjadi di negara-negara komunis.] Padahal masih banyak qanun lain yang seharusnya dikejar pada program legislatif Aceh tahun ini. Sebut saja, ketersedian energi sebagai entry point bagi dunia investasi di Aceh.

Apakah benar, sudah sangat mendesak PPI di Aceh. Apakah, ada investor gila yang akan masuk ke Aceh bila ketersedian energi masih bergantung dengan daerah lain. Apakah Sumut tidak keberatan menyuplai energi ke Aceh untuk keuntungan investasi, bila kebutuhan sendiri tidak cukup? Dan qanun PPI sesungguhnya, ingin menunjukkan kesan kala Aceh ini jago islami, sehingga semuanya harus bernama islami. Aduh, inilah orang Aceh yang latah. Terus saja terjebak simbolisme belaka. Maka orang luar pun makin terbahak tawanya. Orang Aceh kaya ide, tapi miskin dalam implementasinya. Hebat!

*) Tulisan ini disunting dan ditambahi oleh Mochihoru

sumber: www.hinamagazine.com

Comments (0)

Post a Comment