SEJARAH ALKITAB

Posted by mochihotoru | Posted in | Posted on 12:56:00 PM

ASAL MULA ALKITAB KRISTEN

Untuk berbicara tentang salinan-salinan Perjanjian Baru yang kita miliki, kita harus memulainya dengan mem­bahas salah satu corak unik agama Kristen pada masa kebudayaan Yunani-Romawi dahulu: sifat kebukuannya. Malah, untuk me­mahami sifat itu, kita harus mundur lagi ke masa sebelum agama Kristen didirikan dan membahas agama yang melahirkan agama Kristen, yakni Yudaisme. Alasannya, sifat kebukuan agama Kristen itu, dalam pengertian tertentu, sudah terlebih dahulu disiapkan dan diramalkan oleh Yudaisme, "agama buku" pertama dalam peradaban Barat.

YUDAISME SEBAGAI AGAMA BUKU

Yudaisme, yang melahirkan agama Kristen, adalah sebuah agama di zaman Romawi yang bisa dibilang unik, tetapi juga bisa dibilang tidak. Sebagaimana para penganut (ratusan) agama lain di kawasan Laut Tengah, orang-orang Yahudi mengakui keberadaan suatu alam roh yang dihuni oleh makhluk-makhluk adimanusiawi (malaikat, kepala malaikat, pemerintah, penguasa); mereka melakukan ibadat kepada suatu dewa melalui pengorbanan binatang dan banan makanan lain; mereka percaya bah­wa ada suatu tempat kudus istimewa tempat dewa itu tinggal di sini di bumi (Bait Allah di Yerusalem), dan di sanalah pengorbanan itu dilakukan. Mereka berdoa kepada Allah itu untuk memohonkan kebutuhan bersama dan pribadi. Mereka memiliki kisah-kisah tentang bagaimana Allah itu berinteraksi dengan manusia pada masa lalu, dan mereka mengharapkan bantuan-Nya bagi umat manusia pada masa sekarang. Dalam semua hal tersebut, Yudaisme terdengar "akrab" di telinga para penyembah allah-allah lain di wilayah Kekaisaran Romawi.

Namun, ada hal-hal yang membuat Yudaisme lain daripada yang lain. Semua agama lain di wilayah Kekaisaran Romawi bersifat politeistik—mengakui dan menyembah banyak allah dari segala macam dan fungsi: allah-allah agung negara, allah-allah lebih rendah yang berasal dari lokasi-lokasi tertentu, allah-allah yang mengawasi berbagai aspek kelahiran, kehidupan, dan ke­matian manusia. Sementara itu, Yudaisme bersifat monoteistik; orang Yahudi menyembah hanya satu Allah sembahan nenek moyang mereka, Allah yang, menurut pendapat mereka, telah menciptakan dunia ini, mengendalikan dunia ini, dan menye­diakan kebutuhan umat-Nya. Menurut tradisi Yahudi, Allah yang mahakuasa ini telah memilih bangsa Israel sebagai umat-Nya yang istimewa dan telah berjanji untuk melindungi dan membela mereka asalkan mereka menjalankan pengabdian yang mutlak kepada-Nya dan hanya kepada-Nya. Konon, orang Yahudi mengadakan suatu "perjanjian" dengan Allah, bahwa mereka akan menjadi satu-satunya kepunyaan Dia sebagaimana Dia satu-satunya kepunyaan mereka. Hanya satu Allah ini yang harus disembah dan ditaati; dan karena itu pula, hanya ada satu Bait Allah, tidak seperti agama-agama politeistik kala itu yang, misalnya, memiliki sejumlah kuil bagi suatu allah seperti Zeus. Jelasnya, orang Yahudi bisa menyembah Allah di mana pun mereka tinggal, tetapi mereka hanya bisa melakukan kewajiban agama mereka, yaitu persembahan korban, di Bait Allah di Yerusalem. Namun, di tempat-tempat lain ada juga "sinagoga­-sinagoga" tempat mereka berkumpul, berdoa, dan membahas tradisi-tradisi nenek moyang yang mendasari agama mereka.

Tradisi-tradisi itu menuturkan kisah-kisah tentang interaksi Allah dengan nenek moyang bangsa Israel — para patriark dan matriark agama tersebut: Abraham, Sara, Ishak, Rakhel, Yakub, Ribka, Yusuf, Daud, dan seterusnya — dan berbagai petunjuk terperinci tentang cara umat ini harus beribadat dan menjalani kehidupan. Salah satu hal yang membuat Yudaisme berbeda dengan agama-agama lain di Kekaisaran Romawi adalah bahwa petunjuk-petunjuk tersebut, begitu pula tradisi-tradisi nenek moyang lainnya, tertulis dalam buku-buku suci.

Mungkin orang-orang di zaman modern ini, yang sudah akrab dengan agama-agama Barat kontemporer (Yudaisme, Kristen, Islam), sulit membayangkan bahwa buku nyaris tidak memiliki peran dalam agama-agama politeistik dari dunia Barat zaman dahulu. Agama-agama ini nyaris hanya berpikir tentang meng­hormati allah-allah melalui tindakan-tindakan ritual berupa persembahan korban. Tidak ada doktrin untuk dipelajari melalui buku, dan hampir tidak ada prinsip etika untuk diikuti melalui buku. Hal itu tidak berarti bahwa para penganut agama-agama politeistik tidak memiliki kepercayaan tentang allah-allah me­reka atau bahwa mereka tidak punya etika, tetapi kepercayaan dan etika—meski kedengarannya aneh bagi telinga orang zaman sekarang—nyaris tidak memiliki peranan dalam agama. Se­baliknya, dua hal itu termasuk dalam filsafat pribadi, dan filsafat, tentu saja, bisa bersifat kebukuan. Karena agama-agama zaman dahulu itu sendiri tidak membutuhkan serangkaian "doktrin yang benar" atau, umumnya, "kode etik" tertentu, buku hampir tidak memiliki peranan di dalamnya.

Yudaisme unik dalam arti bahwa agama itu menandaskan tradisi nenek moyang, adat istiadat, dan hukum, serta menyatakan bahwa hal-hal itu telah dicatat dalam buku-buku suci, yang, dengan demikian, memiliki status sebagai "tulisan kudus" bagi orang Yahudi. Selama periode yang ingin kita bahas—abad pertama masehi, ketika buku-buku Perjanjian Baru sedang ditulis—orang Yahudi yang tersebar di seluruh Kekaisaran Romawi khususnya memahami bahwa Allah telah memberi­kan petunjuk bagi umat-Nya dalam bentuk tulisan-tulisan Musa, yang secara kolektif disebut sebagai Taurat, yang secara harfiah kurang lebih berarti "hukum" atau "bimbingan". Taurat berisi lima buku, yang kadang-kadang disebut Pentateukh (lima gulungan), yang merupakan awal dari Alkitab Yahudi (Perjanjian Lama Kristen): Kejadian, Keluaran, Imamat, Bilangan, dan Ulangan. Di situlah kita bisa membaca kisah-kisah penciptaan dunia, dipilihnya bangsa Israel sebagai umat Allah, cerita-cerita tentang para patriark dan matriark Israel dan hubungan Allah dengan mereka, serta yang terpenting (dan terluas), hukum-­hukum yang diberikan oleh Allah kepada Musa yang mempertunjukkan cara menyembah Dia dan cara bertingkah laku terhadap satu sama lain dalam masyarakat. Hukum-hukum itu suci, untuk dipelajari, dibahas, dan diikuti—dan semuanya tertulis dalam satu set buku.

Orang-orang Yahudi memiliki buku-buku lain yang juga penting bagi kehidupan religius mereka, misalnya, buku-buku para nabi (seperti Yesaya, Yeremia, dan Amos), dan puisi (Mazmur), dan sejarah (seperti Yosua dan Samuel). Akhirnya, beberapa lama setelah agama Kristen didirikan, sekelompok buku berbahasa Ibrani itu—semuanya dua puluh dua—mulai dianggap sebagai suatu kanon suci yang berisi tulisan-tulisan kudus, yang sekarang disebut Alkitab Yahudi, diterima oleh orang Kristen sebagai bagian pertama clan kanon Kristen, yang disebut "Perjanjian Lama".

Fakta singkat tentang orang Yahudi serta naskah-naskah tertulis mereka penting karena hal-hal itulah yang melatar belakangi berdirinya agama Kristen, yang juga, dari sejak awal, merupakan agama yang bersifat "kebukuan". Tentu saja, agama Kristen didirikan oleh Yesus, yang adalah seorang rabi (guru) Yahudi yang menerima wewenang Taurat, dan mungkin buku­buku suci Yahudi lainnya, dan mengajarkan pemahamannya terhadap buku-buku itu kepada murid-muridnya. Sebagaimana rabi-rabi lain pada zamannya, Yesus mengatakan bahwa kehendak Allah bisa ditemukan di dalam naskah-naskah suci, terutama Hukum Musa. Ia membaca tulisan-tulisan kudus itu, mempelajari tulisan-tulisan kudus itu, menafsirkan tulisan-tulisan kudus itu, berpaut pada tulisan-tulisan kudus itu, dan mengajarkan tulisan-tulisan kudus itu. Para pengikutnya sejak awal adalah orang-orang Yahudi yang sangat menjunjung tinggi buku-­buku tradisi mereka. Dan dengan demikian, sejak awal berdirinya agama Kristen, para penganut agama baru itu, para pengikut Yesus, sudah terlihat lain daripada yang lain di Kekaisaran Romawi: seperti orang-orang Yahudi sebelum mereka, tetapi tidak seperti semua orang lain, mereka menemukan wewenang suci dalam buku-buku suci. Sejak awal berdirinya, Kristen adalah agama buku.

KRISTEN SEBAGAI AGAMA BUKU

Sebagaimana akan kita lihat sebentar lagi, fakta bahwa buku sangat penting bagi orang-orang Kristen masa awal tidak berarti bahwa semua orang Kristen bisa membaca buku; malah, sebagian besar orang Kristen masa awal, sebagaimana sebagian besar orang lain di seluruh Kekaisaran Romawi (termasuk orang Yahudi!), huta huruf. Tctapi hal itu tidak berarti bahwa buku memainkan peran yang tidak begitu penting dalam agama tersebut. Sesungguhnya, buku adalah sesuatu yang paling penting dan paling utama dalam kehidupan orang Kristen dalam jemaat­-jemaat mereka.

Surat-surat Kristen Masa Awal

Hal pertama yang bisa kita lihat adalah bahwa jemaat-jemaat Kristen abad pertama yang bertumbuh pesat setelah Yesus wafat mengganggap penting berbagai macam tulisan. Bukti terawal yang kita miliki tentang adanya jemaat-jemaat Kristen berasal dari surat-surat yang ditulis oleh para pemimpin Kristen. Rasul Paulus adalah contoh terawal dan terbaik kita. Paulus mendirikan jemaat-jemaat di seantero daerah Laut Tengah bagian timur, terutama di kota-kota, tampaknya dengan cara meyakinkan orang-orang kafir (para penganut agama politeistik di daerah Kekaisaran Romawi) bahwa Allah orang Yahudi adalah satu­satunya Allah yang harus disembah, dan bahwa Yesus adalah Putra-Nya, yang telah mati demi dosa dunia dan akan kembali tidak lama lagi untuk menghakimi dunia ini (lihat 1 Tes. 1:9-10). Tidak jelas seberapa banyak Paulus menggunakan tulisan-­tulisan kudus (tulisan-tulisan Alkitab Yahudi) dalam upayanya untuk meyakinkan orang-orang bahwa berita yang ia sampaikan adalah benar; tetapi dalam salah satu ringkasan kunci penga­jarannya, ia menunjukkan bahwa berita dia adalah "Kristus mati, sesuai dengan kitab suci . . . dan bahwa Ia telah dibangkitkan, sesuai dengan kitab suci" (1 Kor. 15:3-4). Tampaknya, Paulus menghubungkan peristiwa kematian dan kebangkitan Kristus dengan penafsirannya atas bagian-bagian kunci Alkitab Yahudi, yang ia, sebagai seorang Yahudi berpendidikan tinggi, tentunya bisa baca sendiri, dan yang ia tafsirkan bagi para pendengarnya dalam upayanya yang sering kali sukses untuk menobatkan mereka.

Setelah Paulus menobatkan sejumlah orang di suatu lokasi, ia akan pindah ke lokasi lain dan berupaya, biasanya dengan keberhasilan hingga taraf tertentu, menobatkan orang-orang di sana juga. Tetapi ia kadang-kadang (sering?) mendengar kabar dari salah satu jemaat Kristen yang telah ia dirikan, dan kadang-kadang (sering?) kabar itu tidak bagus anggota jemaat mulai melakukan tindakan yang buruk, masalah perbuatan amoral telah muncul, "guru-guru palsu" telah muncul dan mengajarkan kepercayaan yang berbeda dengan kepercayaan Paulus, beberapa anggota jemaat mulai menganut doktrin-doktrin palsu, dan seterusnya. Setelah mendengar kabar-kabar itu, Paulus biasanya menulis sepucuk surat untuk sidang itu, berisi cara mengatasi masalah-masalah tersebut. Surat-surat itu sangat penting bagi kehidupan para anggota sidang, dan beberapa dari surat-surat itu akhirnya dianggap sebagai tulisan-tulisan kudus. Sebanyak tiga belas surat yang ditulis Paulus digabungkan ke dalam Perjanjian Baru.

Kita dapat memahami betapa pentingnya surat-surat itu pada tahap-tahap awal gerakan Kristen apabila kita melihat tulisan Kristen paling awal yang kita miliki, surat Paulus kepada jemaat Tesalonika, umumnya dikatakan berasal dari sekitar tahun 49 M, sekitar dua puluh tahun setelah Yesus wafat dan sekitar dua puluh tahun sebelum adanya Injil yang mengisahkan dirinya. Paulus mengakhiri surat itu dengan mengatakan, "Sampaikan salam kami kepada semua saudara dengan ciuman kudus. Demi nama Tuhan aku minta dengan sangat kepadamu supaya surat ini dibacakan kepada semua saudara" (1 Tes. 5:26-27). Surat ini bukanlah surat biasa untuk dibaca sekadar oleh siapa saja yang agak berminat; sang rasul mendesak agar surat itu dibacakan, dan agar surat itu diterima sebagai pernyataan sahih darinya, sang pendiri jemaat Tesalonika.

Dengan demikian, surat-surat sudah beredar di seluruh jemaat Kristen sejak masa yang paling awal. Surat-surat itu menyatukan semua jemaat Kristen yang tinggal di lokasi-lokasi yang berlainan; surat-surat itu menyatukan iman dan praktik-praktik umat Kristen; surat-surat itu menunjukkan apa yang umat Kristen harus percayai dan cara mereka harus bertingkah laku. Surat­-surat itu harus dibacakan dengan suara keras di depan jemaat dalam acara pertemuan mereka—karena, sebagaimana telah saya sebutkan, orang-orang Kristen, sebagaimana kebanyakan orang lainnya, tidak bisa membaca sendiri surat-surat itu.

Beberapa dari surat-surat itu akhirnya digabungkan ke dalam Perjanjian Baru. Bahkan, sebagian besar isi Perjanjian Baru adalah surat-surat yang ditulis oleh Paulus dan para pemimpin Kristen lain untuk jemaat-jemaat Kristen (misalnya Jemaat Korintus, Jemaat Galatia) dan orang-perorangan (misalnya Filemon). Selain itu, surat-surat yang masih ada hingga se­karang—ada dua puluh satu dalam Perjanjian Baru—hanyalah segelintir dari semua surat yang ditulis. Kalau kita bicara soal Paulus saja, kita bisa menyimpulkan bahwa surat yang ia tulis bukan hanya yang terdapat di dalam Perjanjian Baru, melain­kan jauh lebih banyak lagi. Ia pernah menyebut tentang surat­surat lain yang sekarang sudah tidak ada lagi; misalnya, dalam 1 Kor. 5:9, ia menyebut tentang sepucuk surat yang sebelumnya pernah ia tulis kepada Jemaat Korintus (beberapa waktu sebelum adanya surat Korintus yang Pertama). Dan ia menyebutkan surat lain lagi yang telah dikirimkan beberapa anggota jemaat Korintus kepadanya (1 Kor. 7:1). Pada kesempatan lain, ia menyebut tentang surat-surat yang dimiliki musuh-musuhnya (2 Kor. 3:1). Tidak satu pun dari surat-surat itu yang masih ada.

Yang ingin saya katakan adalah bahwa surat-surat sangat penting bagi kehidupan para anggota jemaat Kristen masa awal. Surat-surat itu adalah dokumen-dokumen tertulis untuk menuntun mereka dalam iman dan praktik. Surat-surat itu menyatukan jemaat-jemaat tersebut. Surat-surat itu turut membedakan agama Kristen dengan agama-agama lain yang ber­tebaran di seantero daerah Kekaisaran Romawi, dalam arti bahwa beragam jemaat Kristen, yang disatukan oleh tulisan-tulisan un­tuk bersama yang dikirim-tukarkan itu (bandingkan Kol. 4:16), berpaut pada petunjuk yang terdapat dalam dokumen-dokumen tertulis atau "buku".

Dan bukan cuma surat yang menjadi bagian penting dari jemaat-jemaat itu. Sesungguhnya, ada banyak sekali jenis tulisan yang dibuat, disebarkan, dibaca, dan diikuti oleh orang-orang Kristen masa awal, suatu hal yang sama sekali berbeda dengan agama lainnya dalam dunia kafir Romawi. Saya tidak akan men­jabarkan semua tulisan itu secara panjang lebar, tetapi saya bisa menyebutkan beberapa contoh jenis buku yang ditulis dan di­sebarkan.

Injil Masa Awal

Orang Kristen pasti ingin tahu lebih banyak tentang kehidupan, ajaran, kematian, dan kebangkitan Tuhan mereka; maka banyak Injil pun ditulis, yang berisi tradisi-tradisi yang dikaitkan dengan kehidupan Yesus. Ada empat Injil yang paling sering digunakan—Injil Matius, Markus, Lukas, dan Yohanes dalam Perjanjian Baru—selain itu masih ada banyak lagi. Injil-Injil yang lain tersebut masih ada hingga sekarang: misalnya Injil-Injil yang diduga ditulis oleh Filipus murid Yesus, saudaranya Yudas, Tomas, dan rekan wanitanya Maria Magdalena. Injil-­injil lain, termasuk beberapa Injil yang paling awal, sudah hilang. Kita bisa mengetahui hal itu, misalnya, dari Injil Lukas, yang penulisnya menunjukkan bahwa dalam menulis kisahnya, ia mengacu kepada "banyak" karya pendahulu (Lukas 1:1), yang tampaknya sudah tidak ada lagi. Salah satu dari catatan-catatan yang lebih awal itu mungkin adalah dokumen yang oleh para cendekiawan disebut Q, yang kemungkinan besar adalah suatu catatan tertulis, yang isinya terutama tentang kata-kata Yesus, yang digunakan oleh Lukas maupun Matius untuk banyak ajaran Yesus yang khas (misalnya Doa Bapa Kami dan Sabda Berkat).

Sebagaimana telah kita bahas, kehidupan Yesus ditafsirkan oleh Paulus dan orang-orang lainnya dari sudut pandang tulisan­tulisan kudus Yahudi. Buku-buku itu juga—Pentateukh maupun tulisan-tulisan Yahudi lainnya, seperti Para Nabi dan Mazmur sering digunakan orang Kristen, yang menjelajahinya guna mengetahui apa kehendak Allah, terutama karena hal itu telah tergenap dalam diri Kristus. Salinan-salinan Alkitab Yahudi, biasanya dalam terjemahan Bahasa Yunani (disebut Septuaginta), banyak tersedia, pada saat itu, di jemaat-jemaat Kristen sebagai bahan pelajaran dan perenungan.

Kisah Para Rasul Masa Awal

Selain kehidupan Yesus, kehidupan para pengikutnya yang paling awal juga diminati oleh jemaat-jemaat Kristen yang bertumbuh pesat pada abad pertama dan kedua. Maka, tidaklah mengejutkan bahwa kisah para rasul—perjalanan mereka dan pekerjaan utusan injil mereka, terutama setelah kematian dan kebangkitan Yesus Kristus—merupakan hal yang penting bagi orang Kristen yang ingin mengetahui lebih banyak tentang agama mereka. Salah satu kisah itu, Kisah Para Rasul, akhirnya digabungkan ke dalam Perjanjian Baru. Tetapi ada banyak kisah lain yang ditulis, biasanya mengenai para rasul secara perseorangan, seperti yang terdapat dalam Kisah Paulus, Kisah Petrus, dan Kisah Thomas. Kisah-kisah lainnya sudah hilang, atau, kalaupun masih ada, hanya tersisa dalam bentuk fragmen.

Wahyu Kristen

Sebagaimana telah saya tunjukkan, Paulus (juga para rasul lain­nya) mengajarkan bahwa Yesus akan datang kembali sebentar lagi dari surga untuk mengadakan penghakiman di bumi. Akhir dari segalanya yang akan segera datang merupakan pokok yang terus diminati oleh orang Kristen, yang pada umumnya percaya bahwa Allah akan segera campur tangan dalam urusan dunia guna menghancurkan kekuatan jahat dan mendirikan kerajaan-Nya yang baik, dengan Yesus sebagai rajanya, di sini di bumi. Beberapa penulis Kristen membuat catatan-catatan nubuat tentang apa yang akan terjadi pada akhir dunia yang datang tiba-tiba. Sebelumnya, sudah ada tulisan-tulisan apokaliptik versi Yahudi, misalnya buku Daniel dalam Alkitab Yahudi, atau buku 1 Henokh dalam Apokrifa Yahudi. Dari antara tulisan-tulisan apokaliptik Kristen, ada satu yang akhirnya digabungkan ke dalam Perjanjian Baru: Wahyu kepada Yohanes. Yang lain­lainnya, termasuk Wahyu kepada Petrus dan Sang Gembala karya Hermas, juga populer di sejumlah jemaat Kristen di abad-abad pertama.

Peraturan Gereja

Jemaat Kristen masa awal berlipat ganda dan berkembang, sejak zaman Paulus sampai generasi-generasi berikutnya. Pada awalnya, jemaat-jemaat Kristen, setidaknya yang didirikan oleh Paulus sendiri, adalah apa yang disebut sebagai jemaat karismatik. Mereka percaya bahwa setiap anggota jemaat telah diberi suatu "karunia" (bahasa Yunani: charisma) Roh guna membantu jemaat menjalani kehidupan: misalnya, ada karunia untuk mengajar, mengatur, berderma, menyembuhkan, dan bernubuat. Namun, pada akhirnya, ketika penantian akan akhir dunia yang dekat mulai meredup, semakin jelas bahwa suatu struktur jemaat yang lebih kaku perlu dibuat, terutama jika jemaat-jemaat itu ingin bertahan lama (bandingkan 1 Korintus 11; Matius 16, 18). Jemaat-jemaat di sekitar laut tengah, termasuk yang didirikan oleh Paulus, mulai mengangkat para pemimpin yang akan memegang tanggung jawab dan membuat keputusan (alih-alih menganggap setiap anggota "sama-sama" dianugerahi Roh); aturan-aturan mulai dirancang, tentang bagaimana jemaat harus hidup rukun, menjalankan ritus-ritus suci (misalnya pembaptisan dan ekaristi), melatih anggota baru, dan sebagainya. Tak lama kemudian, dibuatlah berbagai dokumen yang mengatur cara memerintah dan mengorganisasi jemaat. Dokumen-dokumen yang disebut sebagai peraturan gereja itu menjadi semakin penting bagi umat Kristen di abad kedua dan ketiga. Pada tahun 100M, dokumen seperti itu untuk pertama kalinya (sepanjang pengetahuan kita) ditulis dan disebarluaskan, dalam bentuk se­buah buku berjudul Didache (Ajaran) Dua Belas Rasul. Kemudian, bermunculan karya-karya penerusnya.

Apologi Kristen

Seiring dengan semakin mantapnya keberadaan jemaat-jemaat Kristen, kadang-kadang ada tentangan dari orang Yahudi dan orang kafir yang menganggap agama baru itu suatu ancaman dan yang menuduh para pengikutnya melakukan praktik-praktik tidak bermoral dan merusak masyarakat (seperti halnya gerakan-gerakan agama baru dewasa ini sering kali dituduh). Tentangan itu kadang-kadang mengakibatkan penganiayaan orang Kristen di berbagai tempat; akhirnya penganiayaan itu menjadi "resmi", karena pemerintah Romawi campur tangan untuk menangkapi orang Kristen dan berupaya memaksa mereka untuk kembali ke kekafiran. Seiring dengan bertumbuhnya agama Kristen, banyak orang terpelajar masuk ke agama itu. Mereka sanggup mendiskusikan dan mengalahkan tuduhan-tuduhan yang biasanya dilontarkan terhadap orang Kristen. Tulisan-tulisan kaum terpelajar itu kadang-kadang disebut apologi, yang berasal dari kata bahasa Yunani yang berarti "pembelaan" (apologia). Para pembela itu menulis berbagai pembelaan intelektual untuk agama baru itu, berupaya memperlihatkan bahwa alih-alih mengancam struk­tur sosial daerah Kekaisaran Romawi, agama baru itu justru mengajarkan perilaku yang bermoral; dan alih-alih merupakan suatu takhayul yang membahayakan, agama itu menggambarkan kebenaran mendasar dalam ibadatnya kepada satu-satunya Al­lah yang benar. Apologi-apologi itu sangat penting bagi para pembaca Kristen masa awal, karena tulisan-tulisan itu berisi argumen-argumen yang dibutuhkan mereka untuk menghadapi penganiayaan. Pembelaan seperti itu sudah dilakukan pada masa Perjanjian Baru, misalnya, di dalam buku 1 Petrus (3:15, "siap sedialah selalu untuk membuat pembelaan di hadapan setiap orang yang menuntut darimu alasan untuk pengharapan yang ada padamu") dan di buku Kisah, Paulus dan rasul-rasul lain membela diri atas tuduhan-tuduhan yang dilontarkan kepada mereka. Pada paruh kedua abad kedua, berbagai apologi telah menjadi bentuk populer tulisan Kristen.

Martirologi Kristen

Sekitar saat yang sama dengan mulai ditulisnya apologi-apologi, umat Kristen mulai membuat catatan-catatan tentang penganiayaan yang mereka alami dan kematian sebagai martir yang diakibatkannya. Kedua hal itu digambarkan di Perjanjian Baru dalam buku Kisah, yang berisi narasi mengenai tentangan ter­hadap gerakan Kristen, penangkapan para pemimpin Kristen, dan pengeksekusian setidaknya salah satu dari mereka (Stefanus) (lihat Kisah 7). Belakangan, pada abad kedua, martirologi (kisah mengenai para martir) mulai muncul. Yang pertama adalah Matinya Polikarpus sang Martir. Polikarpus adalah seorang pemimpin Kristen penting yang melayani sebagai uskup di gereja Smirna, di Asia Kecil, selama hampir keseluruhan paruh pertama abad kedua. Kisah tentang kematian Polikarpus terdapat dalam sebuah surat yang ditulis oleh para anggota jemaatnya, untuk dikirimkan ke jemaat lain. Tak lama kemudian, kisah tentang para martir lainnya mulai bermunculan. Kisah-kisah itu pun populer di kalangan orang Kristen, karena hal itu menguatkan orang-orang yang juga dianiaya karena iman, dan menyediakan bimbingan tentang cara menghadapi ancaman penangkapan, penyiksaan, dan kematian.

Traktat Antibidah

Masalah-masalah yang dihadapi umat Kristen bukan hanya ancaman penindasan yang datang dari luar. Sejak awal, orang­orang Kristen sudah tahu bahwa di antara mereka sendiri terdapat perbedaan penafsiran terhadap "kebenaran" agama mereka. Paulus sendiri sudah mengecam "guru-guru palsu"—misalnya dalam suratnya kepada orang Kristen di Galatia. Dengan membaca catatan-catatan yang masih ada, kita bisa melihat dengan jelas bahwa musuh-musuh itu bukanlah berasal dari luar. Mereka adalah orang-orang Kristen yang memiliki pemahaman yang sangat berbeda terhadap agama itu. Guna mengatasi masalah itu, para pemimpin Kristen mulai menulis traktat-traktat yang menentang "para bidah" (orang-orang yang memilih jalan salah dalam memahami iman); beberapa surat Paulus bisa dikatakan sebagai gambaran paling awal dari traktat demikian. Namun, pada akhirnya, orang-orang Kristen dari semua kelompok pendapat ikut serta dalam menetapkan "ajaran yang benar" (makna harfiah dari kata "ortodoks") dan dalam menentang orang-orang yang menganjurkan ajaran palsu. Traktat-traktat antibidah itu menjadi corak yang penting dalam bidang karya tulis Kristen masa awal. Yang menarik, kelompok-kelompok "guru-guru palsu" juga membuat traktat-traktat yang menentang "guru-guru palsu", sehingga kelompok yang menetapkan, sekali untuk selamanya, apa yang harus dipercayai orang Kristen (orang­-orang yang bertanggungjawab atas, misalnya, kredo-kredo yang diwariskan kepada kita dewasa ini) kadang-kadang dibantah oleh orang-orang Kristen yang membela ajaran yang dinyatakan palsu. Hal itu bisa kita ketahui baru-baru ini dari penemuan tulisan-­tulisan "bidah", yang di dalamnya orang-orang yang disebut bidah berpendapat bahwa pandangan mereka benar sedangkan pandangan para pemimpin gereja "ortodoks resmi" adalah salah.

Komentar Kristen Masa Awal

Banyak dari perdebatan untuk mengetahui kepercayaan siapa yang benar dan yang salah berkaitan dengan penafsiran naskah­naskah Kristen, termasuk "Perjanjian Lama", yang menurut orang Kristen adalah bagian dari Alkitab mereka. Hal ini sekali lagi menunjukkan betapa pentingnya naskah bagi kehidupan jemaat Kristen masa awal. Kemudian, para penulis Kristen mulai meng­garap penafsiran-penafsiran atas naskah-naskah itu, tidak selalu dengan tujuan membantah penafsiran yang salah (meski biasanya demikian), tetapi kadang-kadang hanya untuk memahami makna naskah-naskah itu dan memperlihatkan kaitannya dengan kehidupan dan praktik Kristen. Menarik, komentar Kristen pertama terhadap naskah tulisan kudus justru dibuat oleh orang yang disebut bidah, seorang Gnostik pada abad kedua bernama Herakleon, yang menulis sebuah komentar tentang Injil Yohanes. Akhirnya, komentar, catatan pinggir, eksposisi praktis, dan homili tentang berbagai naskah menjadi hal yang umum di kalangan jemaat Kristen pada abad ketiga dan keempat.

Saya telah membuat ringkasan tentang berbagai jenis tulisan yang penting bagi kehidupan jemaat-jemaat Kristen masa awal. Dari situ kita bisa melihat bahwa fenomena tulisan merupakan kepentingan yang paling utama bagi jemaat-jemaat itu dan orang-orang Kristen di dalamnya. Sejak awal, buku sudah menjadi bagian inti agama Kristen—tidak seperti agama lainnya di wilayah kekaisaran Romawi. Buku menuturkan kembali cerita-­cerita tentang Yesus dan Para rasulnya yang diceritakan kembali berulang-ulang oleh umat Kristen; buku menyediakan petunjuk bagi umat Kristen tentang apa yang harus dipercayai dan bagaimana caranya menjalani kehidupan; buku menyatukan jemaat-jemaat yang terpisah secara geografis menjadi satu jemaat universal; buku menopang orang-orang Kristen pada masa penganiayaan dan memberi mereka model kesetiaan untuk diikuti sewaktu menghadapi penyiksaan atau kematian; buku tidak hanya menyediakan nasihat yang bagus tetapi juga doktrin yang benar, peringatan terhadap ajaran palsu, dan mendorong diterimanya kepercayaan ortodoks; buku memungkinkan orang Kristen mengetahui makna sebenarnya dari tulisan-tulisan lain, memberi bimbingan dalam berpikir, beribadat, bertingkah laku. Buku sepenuhnya penting bagi kehidupan umat Kristen masa awal.

PENYUSUNAN KANON KRISTEN

Akhirnya, beberapa dari buku Kristen itu dianggap sebagai sesuatu yang bukan hanya layak Baca melainkan juga sebagai sesuatu yang sahih bagi kepercayaan dan praktik orang Kristen. Buku-buku itu menjadi Tulisan-Tulisan Kudus/Kitab Suci.

Asal Mula Kanon Kristen

Penyusunan kanon Kristen yang berisi tulisan kudus merupakan suatu proses yang panjang dan rumit, dan saya tidak mau membahasnya secara terperinci di sini. Sebagaimana telah saya tunjukkan sebelumnya, bisa dikatakan bahwa agama Kristen dimulai dengan kanon, dalam arti bahwa pendirinya sendiri adalah seorang guru Yahudi yang menerima Taurat sebagai kitab suci yang sahih dari Allah, dan yang mengajarkan kepada para pengikutnya penafsiran terhadap tulisan itu. Orang-orang Kristen masa awal adalah para pengikut Yesus yang menerima buku­-buku Alkitab Yahudi (belum ditetapkan sebagai "kanon", sekali dan untuk selamanya) sebagai kitab suci. Bagi para penulis Perjanjian Baru, termasuk penulis kita yang paling awal, Paulus, "tulisan kudus" mengacu pada Alkitab Yahudi, suatu koleksi buku-buku yang telah diberikan Allah kepada umat-Nya dan yang menubuatkan kedatangan sang Mesias, Yesus.

Namun, tidak lama kemudian, umat Kristen mulai menerima tulisan-tulisan lain sebagai sesuatu yang setingkat dengan tulisan-­tulisan kudus Yahudi. Penerimaan itu mungkin bermula dari ajaran Yesus sendiri yang sahih, karena para pengikutnya menganggap penafsiran dia (Yesus) atas tulisan-tulisan kudus sama sahihnya dengan kata-kata dalam tulisan kudus itu sendiri. Yesus mungkin menanamkan pemahaman ini melalui cara ia mengekspresikan beberapa ajarannya. Misalnya, dalam Khotbah di Bukit, Yesus menyebutkan hukum-hukum yang diberikan Allah kepada Musa, dan memberikan penerapan sendiri yang jauh lebih radikal atas hukum-hukum itu, menunjukkan bahwa penafsirannya memiliki wewenang. Hal itu terdapat di dalam Antitesis yang dicatat di Matius pasal 5. Yesus mengatakan, "Kamu telah mendengar bahwa telah dikatakan, 'Jangan membunuh' [salah satu perintah dari Sepuluh Perintah Allah], namun demikian aku mengatakan kepadamu, 'setiap orang yang terus murka kepada saudaranya harus memberikan pertanggung­jawaban kepada pengadilan.'" Apa yang Yesus katakan, sebagai penafsirannya atas Hukum Musa, tampaknya sama sahihnya dengan Hukum Musa sendiri. Atau Yesus mengatakan, "Kamu mendengar bahwa telah dikatakan, 'Jangan berzina.' [salah satu perintah dari Sepuluh Perintah]. Tetapi aku mengatakan kepadamu, 'setiap orang yang terus memandang seorang wanita sehingga mempunyai nafsu terhadap dia sudah berbuat zina dengan dia dalam hatinya.'"

Pada beberapa kesempatan, penafsiran-penafsiran yang sahih atas tulisan-tulisan kudus itu, seolah-olah, menyatakan bahwa hukum-hukum yang termuat dalam tulisan-tulisan kudus itu sendiri tidak berlaku lagi. Misalnya, Yesus mengatakan, "Kamu telah mendengar dikatakan, 'Siapa pun yang menceraikan istrinya hams memberi dia surat cerai' [suatu perintah yang terdapat di Ul. 24:1], tetapi aku mengatakan kepada kamu bahwa siapa pun yang menceraikan istrinya atas alasan selain daripada perbuatan seks yang amoral, menjadikan sasaran perzinaan, dan siapa pun yang menikahi wanita yang diceraikan melakukan perzinaan." Sulit untuk membayangkan bagaimana orang bisa mengikuti perintah Musa untuk memberikan surat cerai, jika perceraian tidak diperbolehkan.

Bagaimanapun ceritanya, tak lama kemudian ajaran Yesus dianggap sama sahihnya dengan pernyataan Musa—yakni pernyataan Taurat itu sendiri. Hal itu menjadi lebih jelas lagi pada masa Perjanjian Baru, di buku 1 Timotius, yang diduga ditulis oleh Paulus tetapi yang menurut para cendekiawan ditulis belakangan oleh seorang pengikut dengan menggunakan namanya. Di 1 Tim. 5:18, sang penulis mengimbau para pembacanya untuk membayar orang-orang yang menjadi pelayan di antara mereka, dan mendukung nasihatnya dengan mengutip "ayat". Yang menarik adalah bahwa ia kemudian mengutip dua ayat, satu dari Taurat ("Jangan memberangus mulut lembu yang sedang mengirik," Ul. 25:4) dan satu lagi dari kata-kata Yesus ("Seorang pekerja layak mendapatkan upahnya"; lihat Lukas 10:7). Tam­paknya, bagi sang penulis, kata-kata Yesus sudah sama sahihnya dengan tulisan kudus.

Tidak cuma ajaran Yesus yang dianggap setara dengan tulisan kudus oleh orang-orang Kristen abad kedua dan ketiga. Tulisan para rasulnya juga dianggap demikian. Buktinya terdapat di buku Perjanjian Baru yang ditulis terakhir, 2 Petrus, sebuah buku yang, menurut para cendekiawan yang kritiknya paling sengit, ditulis secara pseudonim. Di 2 Petrus 3, sang penulis menyebutkan guru-guru palsu yang memutarbalikkan makna surat-surat Paulus agar sesuai dengan keinginan mereka, "sama seperti yang mereka lakukan dengan bagian-bagian lain dari tulisan kudus" (2 Ptr. 3:16). Tampaknya, surat-surat Paulus di sini dianggap sebagai tulisan kudus.

Tak lama setelah masa Perjanjian Baru, tulisan-tulisan Kristen tertentu dikutip sebagai ayat-ayat yang sahih untuk kehidupan dan kepercayaan jemaat. Suatu contoh luar biasa adalah surat yang ditulis oleh Polikarpus, uskup Smirna yang telah saya sebutkan tadi, pada awal abad kedua. Polikarpus diminta oleh jemaat Filipi untuk menasihati mereka, khususnya mengenai sebuah kasus yang berkaitan dengan salah seorang pemimpin yang tampaknya telah melakukan kesalahan dalam mengurus keuangan jemaat (mungkin menggelapkan dana jemaat). Surat Polikarpus kepada jemaat Filipi, yang masih ada hingga sekarang, sangat menarik karena beberapa alasan, yang salah satu di antaranya adalah kecenderungan tulisan itu dalam mengutip tulisan-tulisan Kristen yang lebih awal. Hanya dalam empat belas pasal singkat, Polikarpus mengutip lebih dari seratus ayat yang berasal dari tulisan-tulisan yang lebih awal, sehingga menegaskan kesahihan tulisan-tulisan itu untuk situasi yang sedang dihadapi oleh orang-orang Filipi (kontras dengan tulisan kudus Yahudi yang hanya dikutip dua belas kali); di satu bagian ia menyebut surat Paulus kepada orang Filipi sebagai tulisan kudus. Lebih sering lagi, ia sekadar mengutip atau menyirat tulisan­-tulisan yang lebih awal, karena menganggap bahwa tulisan-­tulisan itu sahih bagi jemaat tersebut."

Peran Liturgi Kristen dalam Penyusunan Kanon

Beberapa waktu sebelum adanya surat Polikarpus, kita tahu bahwa orang-orang Kristen mendengarkan kitab suci Yahudi dibacakan selama acara ibadat mereka. Penulis 1 Timotius, misalnya, mendesak agar para penerima surat itu "mengerahkan diri dalam hal membaca di depan umum, dalam menasihati, dan dalam pengajaran" (4:13). Sebagaimana kita lihat dalam kasus surat kepada jemaat Kolose, tampaknya surat-surat yang ditulis oleh orang-orang Kristen dibacakan kepada jemaat yang berkumpul juga. Dan kita tahu bahwa pada pertengahan abad kedua, banyak pertemuan ibadat Kristen melibatkan pembacaan tulisan kudus di muka umum. Dalam sebuah bagian naskah yang banyak dibahas orang, yang berasal dari tulisan-tulisan Justin Martyr, seorang Kristen yang terpelajar dan juga penulis apologi, misalnya, kita memperoleh gambaran tentang apa yang dilakukan dalam sebuah acara ibadat jemaat di kota asalnya, Roma:

Pada hari yang disebut Minggu, semua yang tinggal di kota­-kota atau di desa berkumpul di satu tempat, dan kisah para rasul atau tulisan para nabi dibacakan, sepanjang waktu mengizinkan; kemudian, ketika sang pembaca selesai, ketua secara lisan memberi petunjuk-petunjuk, dan memberi nasihat untuk meniru hal-hal baik itu ... (1 Apol. 67)

Kemungkinan besar, penggunaan beberapa naskah Kristen dalam liturgi—misalnya, penggunaan naskah "kisah para rasul", yang biasanya dipahami sebagai Injil—meninggikan statusnya di mata sebagian besar orang Kristen sehingga naskah-naskah itu, seperti halnya kitab suci Yahudi ("tulisan para nabi"), dianggap memiliki wewenang.

Peran Marcion dalam Penyusunan Kanon

Kita bisa mempelajari pembentukan kanon tulisan kudus/kitab suci Kristen dengan sedikit lebih terperinci lagi, dari bukti yang masih tersedia. Pada saat yang sama dengan Justin, pada pertengahan abad kedua, seorang Kristen terkemuka lain juga aktif di Roma, sang filsuf-guru Marcion, yang belakangan dinyatakan sebagai bidah. Ada banyak hal yang menjadikan Marcion sebagai tokoh yang menarik disimak. Ia datang ke Roma dari Asia Kecil, setelah menghasilkan banyak uang dari apa yang tampaknya adalah bisnis pembuatan kapal. Setibanya di Roma, ia memberikan sumbangan yang sangat besar kepada jemaat di Roma, kemungkinan besar, salah satunya, agar bisa diterima oleh jemaat. Ia tinggal selama lima tahun di Roma. Sebagian besar waktunya di sana digunakan untuk mengajarkan pemahamannya akan iman Kristen dan untuk menjabarkan perinciannya dalam beberapa karya tulis. Mungkin, karya sastranya yang paling berpengaruh bukanlah apa yang ia tulis, melainkan apa yang ia edit. Marcion adalah orang Kristen pertama yang kita tahu membuat "kanon" kitab suci—yakni sekumpulan buku yang, menurutnya, berisi naskah-naskah suci iman Kristen.

Guna memahami mengapa Marcion melakukan upaya awal menetapkan kanon itu, kita harus mengetahui sedikit tentang ajaran Marcion yang berbeda. Marcion sangat meminati kehidupan dan ajaran rasul Paulus, yang ia anggap sebagai rasul yang "benar" yang berasal dari masa awal berdirinya jemaat Kristen. Dalam beberapa dari suratnya, seperti Roma dan Galatia, Paulus mengajarkan bahwa kedudukan yang benar di hadapan Allah yang bisa diperoleh melalui iman kepada Kristus, bukan dengan melakukan perbuatan yang ditetapkan hukum Yahudi. Dari pembedaan antara hukum orang Yahudi dan iman kepada Kristus tersebut, Marcion menarik kesimpulan yang menurutnya logis, yakni ada perbedaan yang mutlak antara hukum di satu pihak dan injil di pihak lain. Karena hukum dan injil sangat berbeda, tidaklah mungkin keduanya berasal dari Allah yang sama. Marcion menyimpulkan bahwa Allah Yesus (dan Paulus) bukanlah Allah Perjanjian Lama. Sesungguhnya, ada dua Allah yang berbeda: Allah orang Yahudi, yang menciptakan dunia ini, menyatakan Israel sebagai umatnya, dan memberi mereka hukum yang keras; dan Allah Yesus, yang mengirim Kristus ke dunia untuk menyelamatkan orang-orang dari kemurkaan Al­lah orang Yahudi, Sang Pencipta.

Marcion yakin bahwa pemahaman tentang Yesus ini diajarkan oleh Paulus sendiri, dan dengan demikian, tentu saja, kanonnya berisi sepuluh surat Paulus yang ia miliki (semua yang ada di Perjanjian Baru kecuali Epistel pastoral 1 dan 2 Timotius dan Titus); dan karena Paulus kadang-kadang mengutip "Injil", Marcion memasukkan sebuah Injil dalam kanonnya, suatu bentuk tulisan yang sekarang menjadi Injil Lukas. Itu saja. Kanon Marcion berisi sebelas buku: tidak ada Perjanjian Lama, hanya satu Injil, dan delapan Epistel. Tetapi tidak hanya itu: Marcion menjadi percaya bahwa para penganut palsu, yang tidak mem­percayai pemahaman dia akan iman, telah menyebarkan kese­belas buku itu dengan cara menyalinnya, dan dengan menambahkan sedikit bagian di sana sini guna mengakomodasi keper­cayaan mereka sendiri, termasuk anggapan yang "salah" bahwa Allah dalam Perjanjian Lama sama dengan Allah Yesus. Maka Marcion "mengoreksi" kesebelas buku dalam kanonnya dengan mengedit acuan-acuan kepada Allah Perjanjian Lama, atau kepada penciptaan sebagai pekerjaan Allah yang benar, atau kepada Hukum sebagai sesuatu yang harus diikuti.

Sebagaimana akan kita lihat, upaya Marcion untuk menyesuaikan naskah-naskah suci dengan ajarannya melalui pengu­bahan bukanlah suatu hal yang Baru pertama kali dilakukan. Sebelum maupun sesudah dia, para penyalin sastra Kristen awal kadang-kadang mengubah naskah mereka untuk menyatakan apa yang mereka pikirkan sebagai yang bermakna.

Kanon "Ortodoks" setelah Marcion

Banyak cendekiawan mengatakan bahwa, bertentangan dengan Marcion, orang-orang Kristen lain menjadi lebih berminat untuk menetapkan kriteria apa yang seharusnya menjadi bagian dari kanon Perjanjian Baru. Menarik, pada zaman Marcion sendiri, Justin bisa berbicara agak samar tentang "kisah para rasul" tanpa menyebutkan yang mana dari buku-buku itu (mungkin Injil) yang diterima di jemaat-jemaat atau apa alasannya, sedangkan sekitar tiga puluh tahun kemudian, seorang penulis Kristen, yang juga menentang Marcion, mengambil pendirian yang jauh lebih sahih lagi. Ia adalah uskup Lyons di Gaul (sekarang Prancis), Irenaeus, yang menulis suatu karya yang terdiri atas lima seri yang menentang para bidah seperti Marcion dan penganut Gnostik, dan yang memiliki gagasan yang sangat jelas tentang buku mana yang harus dianggap sebagai bagian Injil kanonik.

Dalam suatu bagian yang sering dikutip dari karyanya Melawan Kaum Bidah, Irenaeus mengatakan bahwa Marcion dan para "bidah" lain telah salah mengira bahwa hanya satu Injil yang bisa diterima sebagai tulisan kudus: orang Kristen Yahudi yang tetap menjunjung keabsahan Hukum Musa hanya menggunakan Matius; kelompok-kelompok lain yang berpendapat bahwa Yesus bukanlah Kristus hanya menerima Injil Markus; Marcion dan para pengikutnya hanya menerima (suatu bentuk dari) Lukas; dan sebuah kelompok Gnostik bemama Kaum Valentinian hanya menerima Yohanes. Tetapi, semua kelompok itu salah karena

tidak mungkin Injil bisa berjumlah lebih banyak atau lebih se­dikit daripada yang ada. Karena, mengingat ada empat zona dunia tempat kita tinggal, empat angin utama, sementara Jemaat bertebaran di seluruh dunia, dan pilar serta dasar Jemaat adalah Injil . . . maka cocok bahwa Jemaat harus memiliki empat pilar . . (Melawan Kaum Bidah 3.11.7)

Dengan kata lain, empat ujung bumi, empat angin, empat pilar—dan tentu saja, empat Injil.

Maka, menjelang akhir abad kedua, ada orang-orang Kristen yang berpendapat bahwa Matius, Markus, Lukas, dan Yohanes adalah Injil; tidak lebih dan tidak kurang.

Debat tentang kriteria kanon terus berlanjut selama beberapa abad. Tampaknya, orang-orang Kristen pada umumnya ingin tahu buku apa saja yang harus dianggap sahih sehingga mereka bisa (1) mengetahui buku mana saja yang harus dibaca dalam acara ibadat dan, dengan demikian, (2) mengetahui buku mana saja yang bisa dipercaya sebagai pembimbing yang dapat diandalkan mengenai apa yang harus dipercayai dan bagaimana harus bertingkah laku. Keputusan tentang buku mana yang pada akhir­nya harus dianggap kanonik tidak dibuat secara otomatis atau bebas masalah; debat-debatnya berkepanjangan, dan kadang­-kadang kasar. Banyak orang Kristen dewasa ini mungkin berpikir bahwa kanon Perjanjian Baru sekadar muncul pada suatu hari, tidak lama setelah kematian Yesus, tetapi sesungguhnya tidak demikian. Sebenarnya, kita telah berhasil menentukan kapan untuk pertama kalinya ada orang Kristen yang menyatakan kedua puluh tujuh buku Perjanjian Baru sebagai buku Perjanjian Baru ­tidak lebih dan tidak kurang. Yang mengejutkan, orang Kristen ini menulis pada paruh kedua abad keempat, hampir tiga ratus tahun setelah buku-buku Perjanjian Baru sendiri ditulis. Sang penulis adalah Atanasius, seorang uskup yang sangat berpengaruh dari Aleksandria. Pada tahun 367 M, Atanasius menyusun surat pastoral tahunannya untuk jemaat-jemaat di Mesir yang berada di bawah yurisdiksinya, yang salah satu isinya adalah nasihat tentang buku mana saja yang harus dibaca sebagai kitab suci di jemaat. Ia membuat daftar berisi kedua puluh tujuh buku Perjanjian Baru, tidak lebih. Dari catatan-catatan yang masih ada, hal itu adalah peristiwa pertama seseorang meneguhkan buku-buku kita sebagai Perjanjian Baru. Bahkan, peneguhan itu pun tidak membuat masalahnya selesai. Debat terus berlang­sung selama puluhan, bahkan ratusan tahun. Buku-buku yang kita sebut Perjanjian Baru baru terkumpul menjadi satu kanon dan dianggap sebagai kitab suci, yang berkekuatan tetap, ra­tusan tahun setelah buku-buku itu sendiri pertama kali dibuat.

PEMBACA TULISAN KRISTEN

Di bagian awal tadi, pembahasan kita berfokus pada penyusunan kanon kitab suci. Namun, sebagaimana telah kita lihat, ada banyak jenis buku yang ditulis dan dibaca oleh orang Kristen abad pertama, tidak hanya buku-buku yang menjadi Perjanjian Baru. Ada injil-injil, kisah-kisah, surat-surat, dan wahyu-wahyu lainnya; ada catatan-catatan penganiayaan, kisah-kisah kematian sebagai martir, apologi-apologi iman, perintah-perintah gereja, serangan-serangan terhadap bidah, surat-surat nasihat dan petunjuk, eksposisi-eksposisi tulisan kudus—seluruh rangkaian karya sastra yang turut mendefinisikan Kekristenan dan menjadikannya sebagai agama. Akan sangat membantu jika pada tahap pembahasan ini kita mengajukan suatu pertanyaan dasar tentang semua karya sastra itu. Siapakah sebenarnya yang membacanya?

Di zaman sekarang ini, pertanyaan demikian bisa jadi terdengar agak aneh. Jika para penulis membuat buku untuk orang Kristen, pastilah orang-orang yang membacanya adalah orang Kristen. Tetapi, kalau konteksnya adalah zaman dahulu, per­tanyaan cukup mengena, karena, pada zaman dahulu, sebagian besar orang tidak bisa membaca.

Melek huruf sudah menjadi bagian dari kehidupan kita di zaman sekarang. Kita selalu membaca, setiap hari. Kita membaca surat kabar dan majalah dan segala macam buku—biografi, novel, buku keterampilan, buku pengembangan pribadi, buku diet, buku agama, buku filsafat, sejarah, memoar, dan sebagainya. Tetapi, kecakapan kita dalam hal bahasa tertulis dewasa ini tidak ada kaitannya dengan praktik dan realitas membaca pada zaman dahulu.

Penelitian-penelitian tentang melek huruf telah memper­lihatkan bahwa apa yang mungkin kita pikir sebagai melek huruf massal sebetulnya adalah sebuah fenomena zaman sekarang, yang baru muncul pada saat terjadinya Revolusi Industri. Setelah negara-negara melihat adanya manfaat ekonomi apabila semua orang bisa membaca, barulah mereka mulai bersedia membaktikan sejumlah besar sumber daya—terutama waktu, uang, dan sumber daya manusia—yang dibutuhkan guna memastikan bahwa semua orang mendapatkan pendidikan dasar melek huruf. Dalam masyarakat-masyarakat nonindustri, sumber-sumber daya demikian sangatlah dibutuhkan untuk keperluan-keperluan lain, dan melek huruf tidak akan memperbaiki perekonomian maupun kesejahteraan masyarakat secara umum. Akibatnya, sebelum za­man modem tiba, dalam hampir semua masyarakat, jumlah orang yang bisa membaca dan menulis bisa dihitung dengan jari.

Hal itu terjadi pada masyarakat-masyarakat zaman dahulu yang sering kita kaitkan dengan soal membaca dan menulis —misalnya, masyarakat Romawi pada abad-abad awal agama Kristen, atau bahkan masyarakat Yunani selama periode sastra klasik. Penelitian terbaik dan paling berpengaruh tentang tingkat melek huruf zaman dahulu, yang dilaksanakan oleh Profesor William Harris dari Columbia University, menunjukkan bahwa pada waktu dan tempat yang terbaik—misalnya, Atena pada masa kejayaan kebudayaan Yunani-Romawi abad kelima SM—tingkat melek hurufnya jarang lebih tinggi daripada 10-15 persen populasi. Dengan kata lain, hal itu berarti bahwa di bawah kondisi terbaik pun, 85-90 persen populasi tidak bisa membaca dan menulis. Pada abad pertama Masehi, di seluruh Kekaisaran Romawi, tingkat melek hurufnya bisa jadi lebih rendah lagi.

Bahkan, mendefinisikan apa arti membaca dan menulis saja sudah merupakan urusan yang sangat pelik. Banyak orang bisa membaca tetapi tidak bisa menyusun sebuah kalimat, misalnya. Dan apa artinya membaca? Apakah orang dapat dikatakan melek huruf jika ia bisa memahami komik tetapi tidak bisa memahami artikel tajuk rencana? Dapatkah orang dikatakan bisa menulis jika ia bisa membuat tanda tangan tetapi tidak sanggup menyalin sehalaman naskah?

Masalah definisi menjadi lebih rumit lagi ketika kita melongok ke zaman dahulu, di mana orang-orangnya sendiri menga­lami kesulitan dalam mendefinisikan apa arti melek huruf. Salah satu contoh yang paling terkenal berasal dari Mesir abad ke dua Masehi. Pada zaman dahulu, karena kebanyakan orang tidak bisa menulis, tersedia para "pembaca" dan "penulis" setempat yang menjajakan jasa mereka kepada orang-orang yang perlu mengadakan bisnis yang mengharuskan adanya naskah tertulis: tanda terima pajak, kontrak hukum, izin, surat pribadi, dan se­bagainya. Di Mesir, terdapat para pejabat setempat yang ditugasi untuk mengawasi tugas-tugas kepemerintahan tertentu yang mengharuskan adanya penulisan. Tugas sebagai juru tulis setem­pat (atau desa) ini biasanya bukanlah profesi yang dikejar orang: sebagaimana dengan banyak jabatan administratif "resmi" lain, orang-orang yang ditugaskan untuk menjalankannya bertanggung jawab untuk menalangi biaya pekerjaan tersebut. Dengan kata lain, pekerjaan ini hanya bisa dilakukan oleh anggota masyarakat yang kaya sehingga memberikan semacam status bergengsi ke­pada si pemegang jabatan, tetapi menuntut adanya pengeluaran dana pribadi.

Contoh mengenai sulitnya mendefinisikan melek huruf itu mengisahkan tentang seorang juru tulis Mesir bernama Petaus, dari desa Karanis di Mesir bagian utara. Sebagaimana biasanya, Petaus ditugasi untuk menjalankan pekerjaannya di desa lain, Ptolemais Hormou, di mana ia harus mengawasi urusan keuangan dan pertanian. Pada tahun 184 M, Petaus harus menanggapi beberapa keluhan tentang seorang juru tulis desa lain dari Ptolemais Hormou, seorang pria bernama Ischyrion, yang telah ditugaskan ke tempat lain untuk menjalankan tanggung ja­wabnya sebagai juru tulis. Penduduk desa di bawah wilayah tugas Ischyrion jengkel karena Ischyrion tidak bisa menjalankan kewajibannya, karena, kata mereka, ia "buta huruf'. Dalam upaya untuk menyelesaikan perselisihan itu, Petaus mengatakan bahwa Ischyrion sama sekali tidak buta huruf, karena ia telah menandatangani serangkaian dokumen resmi. Dengan kata lain, bagi Petaus, "melek huruf' artinya bisa membuat tanda tangan.

Petaus sendiri mengalami kesulitan dalam mengerjakan hal lain. Dewasa ini, kita memiliki peninggalan papirus yang digunakan Petaus untuk menulis, di mana ia menulis dua belas kali lebih kata-kata (dalam Bahasa Yunani) yang harus ia isikan ke dalam dokumen-dokumen resmi: "Saya Petaus, juru tulis desa, telah mengajukan hal ini." Yang aneh adalah bahwa ia menyalin kata-kata itu dengan benar selama empat kali pertama, tetapi pada kali kelima, huruf pertama dari kata terakhir ketinggalan, dan selama tujuh kali berikutnya, huruf itu terus ketinggalan, yang menunjukkan bahwa ia tidak menuliskan kata-kata yang ia tahu cara menulisnya tetapi sekadar menyalin kalimat sebelumnya. Tampaknya, ia bahkan tidak bisa membaca kata-kata sederhana yang ia tulis sendiri. Dan dia bekerja sebagai juru tulis resmi!

Jika kita menghitung Petaus sebagai salah seorang yang “melek huruf” pada zaman dahulu, berapa banyak orang yang sesungguhnya bisa membaca naskah dan memahami apa yang ditulis di situ? Mustahil untuk menyebutkan sebuah angka, tetapi, tampaknya, persentasenya tidak terlalu tinggi. Ada berbagai alasan untuk bernalar bahwa di dalam jemaat-jemaat Kristen, jumlahnya lebih sedikit lagi daripada populasi secara keseluruhan. Pasalnya, sebagian besar orang Kristen, terutama yang bergabung dengan gerakan itu pada masa awalnya, kelihatannya berasal dari golongan rendah dan tidak terpelajar. Memang, ada penge­cualian, misalnya Rasul Paulus dan para penulis lain yang hasil karyanya digabungkan ke dalam Perjanjian Baru dan yang tam­paknya adalah para penulis yang cakap; tetapi pada umumnya, orang Kristen berasal dari golongan buta huruf.

Hal itu terutama berlaku bagi orang-orang Kristen pada masa paling awal, yaitu rasul-rasul Yesus. Dalam kisah Injil, kita menemukan bahwa sebagian besar murid Yesus hanyalah rakyat jelata dari Galilea—para nelayan tak terpelajar, misalnya. Dua dari mereka, Petrus dan Yohanes, dengan jelas dikatakan "buta huruf' di buku Kisah (4:13). Rasul Paulus menunjukkan kepada jemaat Korintus bahwa "tidak banyak dari kamu yang berhikmat menurut standar manusia" (1 Kor. 1:27, dalam beberapa terjemahan ayat 26)—yang bisa berarti bahwa hanya segelintir yang terpelajar, tetapi tidak sebagian besar. Sewaktu kita beralih ke abad kedua Masehi, keadaan itu tidak banyak berubah. Sebagaimana telah saya tunjukkan, beberapa orang terpelajar bergabung dengan agama Kristen, tetapi sebagian besar orang Kristen berasal dari gologan yang lebih rendah dan tidak terpelajar.

Bukti untuk pandangan ini berasal dari beberapa sumber. Salah satu yang paling menarik adalah seorang kafir yang menentang agama Kristen bernama Celsus yang hidup di pengujung abad kedua. Celsus menulis sebuah buku berjudul Firman yang Sebenarnya, yang di dalamnya ia menyerang agama Kristen ber­dasarkan sejumlah asalan, dengan mengatakan bahwa agama tersebut bodoh, berbahaya, dan harus dihapuskan dari muka bumi. Sayang sekali, kita tidak memiliki buku itu; yang kita miliki hanyalah kutipan-kutipan darinya yang dimuat dalam tulisan-tulisan bapa gereja Kristen yang terkenal, Origen, yang hidup sekitar tujuh puluh tahun setelah Celsus dan diminta untuk menulis sanggahan terhadap tuduhan-tuduhan Celsus. Buku Origen, Melawan Celsus, masih ada hingga sekarang dan menjadi sumber informasi utama kita tentang apa yang dikatakan oleh Celsus sang kritikus dalam bukunya yang dirancang untuk menyerang orang Kristen. Salah satu corak yang sangat bagus dari buku Origen adalah bahwa ia mengutip karya Celsus yang sebelumnya secara panjang lebar, kalimat demi kalimat, sebelum mengajukan penolakannya terhadap pendapat Celsus. Hal itu memungkinkan kita memunculkan kembali secara cukup akurat tuduhan-tuduhan Celsus. Salah satu tuduhan itu mengatakan bahwa orang Kristen adalah orang-orang bodoh dari kelas bawah. Perhatikan tuduhan-tuduhan Celsus berikut ini.

Nasihat [orang Kristen] adalah seperti ini. "Jangan biarkan orang terpelajar, orang berhikmat, orang yang masuk akal datang mendekat. Karena kesanggupan-kesanggupan demikian kita pandang sebagai kejahatan. Tetapi bagi siapa pun yang bodoh, yang bebal, yang tidak terpelajar, yang masih anak­-anak, biarlah mereka datang dengan gagah." (Melawan Celsus 3.44)

Selain itu, kami melihat bahwa orang-orang yang membagikan pengetahuan rahasia mereka di pasar-pasar dan yang berkeliaran mengemis-ngemis tidak pernah memasuki perkumpulan orang terpelajar, mereka juga tidak berani menyingkapkan ke­percayaan agung mereka di depan orang terpelajar; tetapi setiap kali mereka melihat anak-anak remaja dan segerombolan budak dan sekelompok orang bodoh, mereka membujuknya dan me­mamerkan diri di hadapan mereka. (Melawan Celsus 3.50)

Di rumah-rumah pribadi kami juga melihat tukang wol, tukang sepatu, tukang penatu, dan orang udik yang paling buta huruf dan paling kampungan, yang tidak berani mengucapkan apa pun di depan penatua mereka dan tuan mereka yang lebih pandai. Tetapi setiap kali mereka memegang anak-anak sendirian dan beberapa wanita bodoh ada bersama mereka, mereka mengeluarkan beberapa pernyataan yang mencengangkan, seperti, misalnya, bahwa anak-anak itu tidak boleh menaati ayah dan guru mereka . . . ; mereka mengatakan bahwa ayah dan guru hanya bicara omong kosong dan tidak berpemahaman. .. Tetapi, jika anak-anak itu mau, mereka harus meninggalkan ayah dan guru mereka, dan pergi bersama para wanita dan anak-anak kecil yang adalah teman main mereka ke toko tukang pakaian wol, atau ke toko tukang sepatu atau ke toko wanita penatu, sehingga mereka bisa belajar tentang penyempurnaan. Dan dengan mengatakan hal itu, mereka membujuk anak-­anak tersebut. (Melawan Celsus 3.56)

Origen membalas bahwa para penganut agama Kristen yang sejati sesungguhnya berhikmat (dan beberapa, sebenarnya, berpendidikan tinggi), tetapi mereka berhikmat dari sudut pandang Allah, bukan dari sudut pandang perkara duniawi. Dengan kata lain, ia tidak menyangkal bahwa jemaat Kristen sebagian besar terdiri atas golongan bawah yang tidak terpelajar.

PEMBACAAN DI HADAPAN UMUM PADA MASA AWAL KRISTEN

Dengan demikian, kita melihat adanya suatu situasi yang paradoksal pada masa awal Kekristenan. Agama ini bersifat kebukuan, dengan beragam tulisan yang terbukti sebagai hal terpenting bagi hampir semua aspek iman. Tetapi, sebagian besar orang tidak bisa membaca tulisan-tulisan itu. Bagaimana kita bisa men­jelaskan paradoks ini?

Sebenarnya, persoalannya tidaklah terlalu aneh jika kita mengingat apa yang ditunjukkan sebelumnya, bahwa berbagai komunitas zaman dahulu biasanya menggunakan jasa orang yang melek huruf untuk orang yang buta huruf. Karena, pada zaman dahulu, "membaca" sebuah buku tidak selalu berarti membacanya sendiri, tetapi bisa juga berarti membacakannya dengan suara keras, kepada orang-orang lain. Seseorang bisa dikatakan telah membaca sebuah buku meskipun sebenarnya is cuma mendengarkan buku itu dibacakan oleh orang lain. Tampaknya, kita bisa menyimpulkan secara pasti bahwa buku-buku—yang sangat pen­ting bagi gerakan Kristen masa awal—hampir selalu dibacakan dengan suara keras dalam acara-acara sosial, misalnya dalam acara-acara ibadat.

Ingatlah bahwa Paulus memerintahkan para pendengarnya di Tesalonika agar "suratnya dibacakan kepada semua saudara dan saudari" (1 Tes. 5:27). Pembacaan itu dilakukan dengan suara keras, dalam jemaat. Dan sang penulis Kolose mengatakan, "Dan setelah kamu selesai membaca surat ini, bacakanlah surat ini kepada jemaat Laodikia, dan bahwa kamu juga membaca surat untuk jemaat Laodikia" (Kol.4:16). Ingatlah juga laporan Justin Martyr yang mengatakan bahwa "pada hari yang disebut Minggu, semua yang tinggal di kota-kota atau di desa berkumpul di satu tempat, dan kisah para rasul atau tulisan para nabi diba­cakan, sepanjang waktu mengizinkan". (I Apol. 67) Hal yang sama terdapat dalam tulisan-tulisan Kristen masa awal lainnya. Misalnya, dalam kitab Wahyu kita diberi tahu, "Diberkatilah orang yang membacakan kata-kata nubuat ini dan diberkatilah orang yang mendengarkannya (1:3)—jelas memaksudkan adanya pembacaan kitab Wahyu di hadapan umum. Dalam sebuah buku yang tidak begitu terkenal, berjudul 2 Klemen, yang berasal dari pertengahan abad kedua, penulisnya mengatakan, sehubungan dengan kata-kata nasihatnya, "Saya membacakan kepadamu permintaan untuk memperhatikan apa yang telah ditulis, sehingga kamu bisa menyelamatkan dirimu sendiri dan orang yang menjadi pembacamu" (2 Klem. 19.1).

Singkatnya, sebagian besar buku yang sangat penting pada masa awal Kekristenan dibacakan dengan suara keras oleh orang yang bisa membaca, sehingga orang yang buta huruf bisa mendengar, memahami, dan bahkan mempelajarinya. Meskipun sebagian besar penganut Kekristenan masa awal buta huruf, agama tersebut memiliki tingkat kesusastraan yang tinggi.

Comments (1)

Komentar Anda, ”Sesungguhnya, buku adalah sesuatu yang paling penting dan paling utama dalam kehidupan orang Kristen dalam jemaat­-jemaat mereka.” Sangat menarik dan saya amini.

Post a Comment