BENARKAH MUHAMMAD ITU SEORANG YANG UMMI?
Posted by mochihotoru | Posted in Analysis, Islam, Religions | Posted on 6:47:00 PM
Ada tiga kemungkinan yang popular tentang pengertian “ummi”: pertama, orang yang terpelajar, kedua, orang yang lahir di tanah Mekkah dan bangkit sebagai utusan (bi'tsah) dari Mekkah, dan ketiga, orang yang bangkit dari tengah-tengah umat dan masyarakat yang buta huruf. Pengertian yang paling akrab adalah kemungkinan yang pertama, karena lebih sesuai dengan penggunaan kalimat ini. Sebagaimana yang telah disebutkan, boleh jadi yang dimaksud adalah ketiga kemungkinan tersebut.
Realita bahwa Muhammad tidak pernah pergi ke suatu tempat belajar-mengajar dan tidak pernah menulis, telah diterima oleh para sejarawan. Alquran juga dengan tegas menyebutkan kondisinya sebelum bi’tsah.
“Dan kamu tidak pernah membaca sebelumnya satu kitab pun dan kamu tidak pernah menulis satu kitab dengan tangan kananmu. Sekiranya kamu pernah membaca dan menulis, benar-benar ragulah orang yang mengingkarimu.” (Laba-laba 29: 48)
Pada dasarnya, di lingkungan Hejaz, orang-orang yang pandai sangat sedikit sehingga mereka dengan mudah dikenal. Termasuk di Mekkah, ibu kota Hejaz, jumlah orang-orang yang mampu membaca dan menulis tidak lebih dari 17 orang dan hanya seorang wanita yang pandai membaca dan menulis.[1]
Tentu saja di lingkungan seperti ini, sekiranya Muhammad belajar membaca dan menulis pada seorang guru, dia akan terkenal saat itu. Seandainya umat Islam tidak menerima kenabiannya, bagaimana mungkin dia dalam kitabnya itu menjelaskan keummian dirinya dengan tegas (ketika ditunjukkan kepadanya Kitab yang termaterai)? Lalu, apakah masyarakat tidak akan memprotes kepadanya seraya barkata, “Kamu kan pernah belajar”? Hal ini merupakan indikasi yang jelas akan keummiannya.
Bagaimanapun, adanya sifat ummi ini pada diri Muhammad yang disebut sebagai nabi terakhir oleh umat Islam merupakan penegas kenabiannya, sehingga seluruh kemungkinan selain hubungan dengan Tuhan dan dunia metafisik dalam ranah penyebaran berita sukacitanya dapat ternafikan.
Kedua hal ini merupakan pembahasan sebelum masa kenabian. Demikian juga, setelah periode bi’tsah atau masa kependetaannya, tidak ada catatan sejarah bahwa dia pernah mendapatkan pelajaran membaca dan menulis dari seseorang. Dengan demikian, keummian berlangsung hingga akhir hayatnya.
Akan tetapi, kesalahan besar yang harus dihindari di sini adalah, bahwa tidak terpelajar bukan berarti tidak cerdas. Orang yang menafsirkan bahwa ummi sebagai tidak cerdas, ia telah beranggapan bahwa kedua-duanya tidak berbeda.
Melalui pengajaran Ilahi, tidak satu pun kendala yang menghadang Muhammad untuk mampu membaca dan menulis, tanpa harus mendapatkannya dari orang lain, lantaran tak diragukan lagi bahwa kemampuan ini merupakan kesempurnaan insani dan penyempurna kenabian.
Argumentasinya adalah sebagaimana yang dikutip dalam riwayat dari para imam Ahli Bait, “Muhammad dapat membaca dan atau memiliki kemampuan untuk membaca, juga kemampuan untuk menulis.”[2] Namun, Muhammad tidak menggunakannya lantaran tidak ingin menyisakan secuil pun keraguan orang atas penyebaran berita sukacitanya.
Adapun klaim sebagian orang bahwa kemampuan membaca dan menulis tidaklah termasuk kesempurnaan seseorang, melainkan kedua hal ini merupakan kunci untuk mencapai kesempurnaan ilmu, bukan ilmu sejati dan kesempurnaan hakiki, pada hakikatnya jawaban atasnya tersisip di dalam klaim itu sendiri, karena mengetahui sesuatu merupakan salah satu perantara mencapai kesempurnaan.
Atau klaim sebagian orang bahwa ayat, “Membacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, membersihkan mereka dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan hikmat....” (Hari Jumat 62: 2) dan ayat-ayat lain dengan redaksi yang sama merupakan dalil bahwa Muhammad membacakan Alquran kepada masyarakat melalui tulisan. Klaim ini merupakan kesalahan besar. Karena, kosakata tilaawah (membacakan) dalam bahasa Arab dapat diartikan dengan membaca melalui tulisan dan membaca (memperdengarkan) melalui hafalan. Mereka yang membaca Alquran, syair-syair, atau doa-doa melalui hafalan, dapat dikatakan bahwa mereka sedang melakukan tilaawah (tilawat). Penggunaan semacam ini umum sekali.[3]
[1] Futûh al-Buldân, Buladzuri, cet. Mesir, hal. 459.
[2] Tafsir al-Burhân, jilid 4, hal. 332, dalam penafsiran ayat pertama surat al-Jumu'ah.
[3] Tafsir Nemûneh, jilid 6, hal. 400.
Comments (0)
Post a Comment