CATATAN SINGKAT PERKEMBANGAN TEOLOGI KEKRISTENAN SEPANJANG KONSILI-KONSILI EKUMENIS

Posted by mochihotoru | Posted in , , | Posted on 12:33:00 PM

0

ZAMAN KUNA

* Konsili Nicea 325 (Gereja Semesta): menetapkan dogma bahwa Bapa (Allah) dan Anak (Yesus) adalah satu substansi (Binitarian), menolak ajaran Arianisme, menyusun Syahadat Nicea, meresmikan pengudusan hari Minggu (Sabat Baru) sebagai pengganti hari Sabtu (Sabat Lama), meresmikan penggunaan lambang salib sebagai simbol Kekristenan, meresmikan tanggal 25 Desember sebagai nativitas (hari kelahiran) Yesus Kristus, menetapkan tanggal Paskah untuk melawan Quartodesiman (pengikut tradisi Paskah hari ke-14 bulan Nisan). [Konsili ini merupakan konsili pertama dan terakhir yang dihadiri Gereja Unitarian dan non-Trinitarian seperti Arian.]

Konsili Antiokia 341 (Gereja Unitarian): meluncurkan empat syahadat baru yg menghapus setiap penyebutan Bapa dan Anak sebagai satu substansi. [Konsili ini juga banyak diikuti Gereja yang sebelumnya terpaksa menyetujui hasil Konsili Nicea.]

Konsili Saragossa 380 (Gereja Semesta): mengutuk Priscillian dan pandangan modalisme Sabellian.

* Konsili Konstantinopel 381 (Gereja Semesta): menyimpulkan secara resmi bahwa Roh Kudus memiliki subtansi ilahiah yang sama dengan Bapa dan Anak (Trinitas), menghentikan pandangan Arianisme secara formal, menolak Macedonian, merevisi dan menetapkan Syahadat Nicea (Syahadat Nicea-Konstantinopel) ke dalam bentuk seperti sekarang (tanpa klausa filioque yang ditambahkan Gereja Katolik Roma kemudian hari).

Konsili Hippo 393 (Gereja Semesta): menetapkan pemakaian Kanon Aleksandria (46 kitab PL dan 27 kitab PB).

Konsili Kartago 397-418 (Gereja Semesta): mengukuhkan pemakaian ke-73 kitab Kanon Aleksandria, yang ditetapkan sebelumnya, mewajibkan kaum klerus yang telah menikah untuk tidak melakukan hubungan seksual dengan istri-istri mereka, mengutuk ajaran Pelagianisme, mengakhiri skisma Donatis.

Konsili Toledo 400 (Gereja Semesta): mengutuk ajaran Pricillian yang berkembang di tengah masyarakat.

* Konsili Efesus 431 (Gereja Semesta): menolak Nestorian, memecat dan mengutuk Nestorius, mengeluarkan dogma Theotokos (Maria sebagai Bunda Allah), memberi hukuman pada Pelagius. [Konsili ini dan semua konsili berikutnya tidak diakui oleh Gereja Asiria.]

* Konsili Kalsedon 451 (Gereja Semesta): menetapkan Yesus sebagai Allah sekaligus manusia, mengutuk Nestorius, bergabungnya Uskup Konstantinopel dan Uskup Yerusalem, menolak doktrin Eutikus menentang Monofisitisme, menetapkan Syahadat Kalsedon. [Konsili ini dan semua konsili berikutnya tidak diakui oleh Persekutuan Ortodoks Oriental.]

Konsili Toledo II 527 (Gereja Semesta): membahas perkembangan Arianisme.

* Konsili Konstantinopel II 553 (Gereja Semesta): meneguhkan doktrin-doktrin yang ditetapkan sebelumnya, menolak ajaran Origen, memutuskan memusnahkan seluruh hasil tulisan Arianisme, Nestorian, dan Monofisit serta tulisan dari Theodoret, Theodor, uskup Mopsuestia, dan Ibas.

Konsili Braga 563 (Gereja Semesta): mengutuk ajaran Priscillian untuk terakhir kali, mengakhiri semua pengaruh Pricillian.

Konsili Toledo III 589 (Gereja Semesta): mengumumkan bahwa Reccared telah mengajak suku Goth dan Suevi untuk menganut ajaran Trinitas, mengutuk umat yang kembali ke Arian setelah menerima sakramen Penguatan, mengeliarkan 23 kutukan terhadap Arius dan ajarannya. [Dalam konsili ini, Gereja Barat untuk pertama kalinya menyisipkan klausa filioque (“...dan dari Anak”) ke dalam Syahadat Nicea tanpa persetujuan seluruh Gereja.]

* Konsili Konstantinopel III 681 (Gereja Semesta): menetapkan ajaran bahwa Yesus memiliki kehendak Ilahi sekaligus manusiawi, mengutuk monotelitisme, mengutuk Sergius, Pirrhus, Paulus, dan Makarius.

Konsili Quinisextus/ Konsili Trullo 692 (Gereja Semesta): menetapkan prinsip-prinsip disiplin para pejabat gerejawi, mengangkat sejumlah kanon lokal ke dalam status ekumenis. [Konsili ini tidak diakui oleh Gereja Katolik.]

Konsili Konstantinopel 754 (Gereja Semesta): pemulihan penggunaan dan penghormatan terhadap ikon-ikon (patung, gambar).

* Konsili Nicea II 787 (Gereja Semesta): pemulihan penghormatan terhadap ikon-ikon atau patung-patung, mengakhiri ikonoklasme (penentangan penggunaan patung atau berhala dalam peribadatan). [Konsili ini ditolak banyak denominasi Gereja Protestan yang lebih memilih Konsili Konstantinopel 754.]

* Konsili Konstantinopel IV 869-870 (Gereja Katolik Roma): menggulingkan Patriarkh Photios, uskup Konstantinopel, di bawah kekuasaan Paus Adrian II dan Kaisar Basil, karena dianggap terjadi sejumlah penyimpangan saat pengangkatannya. [Penyingkiran ini tak diterima oleh Gereja Ortodoks Timur, namun akhirnya dia diangkat kembali dan berdamai dengan paus (uskup Roma).]

* Konsili Konstantinopel IV 880 (Gereja Ortodoks Timur): memulihkan Patriarkh Photius ke Tahta Suci di Konstantinopel, mengutuk pengubahan Syahadat Nicea dan Syahadat Konstantinopel yang sudah ditetapkan pada tahun 381.


ABAD PERTENGAHAN

Konsili Sutri 1046 (Gereja Katolik Roma): memecahkan pertikaian tentang kepausan.

Konsili Clermont 1095 (Gereja Katolik Roma): mengeluarkan konsep sacrum bellum (Perang Suci), memulai secara resmi Perang Salib I.

Konsili Lateran 1123 (Gereja Katolik Roma): membahas persoalan hak-hak Gereja Katolik dan hak-hak Kaisar Romawi Suci (Jerman) sehubungan dengan pengangkatan uskup, membersihkan Tanah Suci dari orang-orang yang dianggap kafir.

Konsili Lateran II 1139 (Gereja Katolik Roma): menyatakan bahwa pernikahan para rohaniawan tidak sah, mengatur model pakaian para rohaniawan, menetapkan aturan ekskomunikasi bagi setiap jemaat yang menyerang para rohaniawan, menolak Arnold dari Brescia.

Konsili Lateran III 1179 (Gereja Katolik Roma): menetapkan aturan bahwa yang berhak memilik paus hanya para kardinal, melarang praktik simoni (praktik jual-beli jabatan religius), mengutuk Albigenses dan Waldenses, melarang pengangkatan uskup yang belum berusia 30 tahun.

Konsili Lateran IV 1215 (Gereja Katolik Roma): menetapkan ajaran mengenai transubstansi, menetapkan aturan bahwa umat Yahudi dan Muslim harus memakai pakaian khusus untuk membedakan dengan umat Katolik, menolak ajaran Abbot Joachim, mengeluarkan 70 dekrit reformatori penting.

Konsili Lyons I 1245 (Gereja Katolik Roma): mengesahkan topi merah untuk para kardinal, menetapkan pajak untuk Tanah Suci, mengasingkan Kaisar Frederick II, memutuskan untuk menyerang terhadap orang Sarasen dan Mongol di bawah komando Santo Louis.

Konsili Lyons II 1274 (Gereja Katolik Roma): melakukan pendekatan dengan Gereja Timur, khususnya Gereja Yunani, agar bersatu dengan Katolik Roma, menyetujui Ordo Fransiskan dan Dominikan, menetapkan prosedur konklaf (pemilihan paus), menambah kata filioque pada simbol Konstantinopel, menetapkan kembali dukungan penuh dan mengobarkan Perang Salib.

Konsili Wina 1311-1312 (Gereja Katolik Roma): membubarkan Ksatria Templar atau Ordo Bait Allah, Franticelli, Beghards, dan Beguines, menyusun proyek Perang Salib terbaru, melakukan pembaruan pastoral, memutuskan untuk mengajarkan bahasa Oriental di setiap perguruan tinggi.

Konsili Konstantinopel V 1341-1351 (Gereja Ortodoks Timur): mengutuk Gregorius Palamas dan ajaran hesykatik, mengutuk filsuf Barlaam dari Kalabria.


KONSILARISME

Konsili Pisa 1409 (Gereja Katolik Roma): membatalkan skisma kepausan [disebut juga Skisma Besar atau Skisma Besar Kedua] yang telah menciptakan Kepausan Avignon, memilih salah satu dari tiga paus yang berkuasa.

Konsili Konstans 1414-1418 (Gereja Katolik Roma): memecahkan pertikaian antara tiga paus yang berkuasa, mencabut sisa-sisa terakhir dari Kepausan Avignon (Prancis), menetapkan kekuasaan Martin V sebagai paus yang sah dan menggulingkan kekuasaan Wyclif dan Hus.

Konsili Siena 1423-1424 (Gereja Katolik Roma): menetapkan ajaran konsiliarisme, menekankan kepemimpinan para uskup. [Konsili ini belakangan dicabut oleh Gereja Katolik sendiri karena dianggap sesat.]

Konsili Basel-Ferrara-Florensia 1431-1445 (Gereja Katolik Roma): mengajak Gereja Ortodoks Timur untuk melakukan rekonsiliasi, mencapai kesatuan dengan beberapa Gereja Timur tanpa mengganggu hak kepausan, membahas pasifikasi agama di Bohemia.

Konsili Lateran V 1512-1517 (Gereja Katolik Roma): mengusahakan pembaruan Gereja Katolik, merencanakan Perang Salib baru dengan Turki [meski gagal], membahas kehebohan di Jerman yang dilakukan oleh Martin Luther.


ZAMAN MODERN

Konsili Trento 1545-1563 (Gereja Katolik Roma): menghentikan semua praktik poligami di kalangan rohaniawan Gereja, mempertegas doktrin Katolik (penyelamatan jiwa, sakramen suci, kanon Alkitab), memaksakan penyeragaman Ritus Roma (Misa Trente), menanggapi tantangan Calvinisme dan Lutheranisme, menetapkan kembali kanon dengan jelas.

Konsili Vatikan I 1870 (Gereja Katolik Roma): meresmikan doktrin infabilitas kepausan (doktrin paus-tak-mungkin-salah), membahas kanon penting yang berhubungan dengan iman dan konstitusi Gereja. [Doktrin hasil konsili ini ditolak oleh Gereja Katolik Lama.]

Konsili Vatikan II 1962-1965 (Gereja Katolik Roma): memperbarui liturgi Roma, mengeluarkan dekrit-dekrit pastoral tentang hakikat Gereja dan hubungannya dengan dunia modern, menetapkan ajaran tentang komuni, memajukan ekumenis menuju kesatuan dengan gereja-gereja lain, memutuskan untuk mencabut keputusan ekskomunikasi antara Gereja Barat dan Gereja Timur yang terjadi tahun 1054 (Skisma Besar).


*) Konsili-konsili Ekumenis Gereja Semesta yang paling besar dan diakui di Gereja Barat (Katolik Roma) maupun Timur (Ortodoks Timur).


(Ensiklopedia Britannica, Ensiklopedia Katolik, Wikipedia, Sejarah Kekristenan, The Abrahamic Faiths, Wikipedia)

MITOS: AISYAH MENIKAH SAAT BERUSIA SEMBILAN TAHUN

Posted by mochihotoru | Posted in , , | Posted on 7:20:00 PM

0

Isu yang saat ini kembali menjadi kontroversi adalah tentang usia Aisyah Shiddiqah anak Abu Bakar saat menikah dengan Nabi Muhammad. Hal ini disebabkan adanya pemberitaan tentang pernikahan Syekh Puji, kyai sekaligus pengusaha di Semarang, menikah dengan seorang Lutfiana Ulva, gadis berusia 12 tahun beberapa waktu lalu. Kyaki setengah baya ini bahkan bermaksud menambah “koleksi”-nya itu dengan mencari anak perempuan berusia sembilan tahun untuk dinikahi. Dia berdalih bahwa apa yang dilakukannya ini memunyai dasar agama yang kuat dan tidak semena-mena. Dia membekali dirinya dengan beberapa hadis yang dianggapnya sahih.

Kebanyakan orang, baik muslim maupun nonmuslim, memercayai bahwa ibu orang-orang percaya ini menikah dengan nabi besar Islam tersebut yang berusia 52 tahun pada usia sembilan tahun setelah sebelumnya bertunangan saat dia berusia tujuh tahun. Kontan saja, beredarnya hadis-hadis ini, ditambah dengan fakta bahwa Muhammad berpoligami, menjadi alat penyerang yang kuat bagi kalangan orientalis dan anti-Islam untuk menyerang ajaran Islam. Mereka menyebut Muhammad sebagai seorang pedofil dan mengumbar nafsu. Ironisnya, isu ini banyak dijadikan tema ceramah, bahkan oleh sebagian kyai sendiri, di tempat-tempat peribadatan agar orang Islam menelan bulat-bulat informasi yang selama berabad-abad tak pernah bisa dibuktikan secara pasti. Hal ini diperparah umat muslim awam sendiri yang enggan mempelajari dengan benar isu ini. Akibatnya, pertentangan antaragama semakin memanas dan tuduhan bahwa Islam adalah agama yang tak menghomati kaum hawa pun semakin santer.

Banyak umat muslim yang membenarkan kisah ini berkilah bahwa pernikahan seorang baya dengan anak kecil merupakan sesuatu yang wajar di dalam masyarakat Arab di sekitar abad VII di Jazirah Arab. Jika tidak, tentu orang-orang akan merasa keberatan dengan pernikahan mereka. Penjelasan seperti ini memang sangat menipu dan akan diterima orang-orang Islam yang tak mengenal sejarah sebagai pembelaan iman atau apologetika—tak peduli jika yang imannya tersebut mungkin salah.

Namun bagaimanapun, Muhammad adalah sosok teladan bagi umat muslim yang dijadikan panutan bagi umatnya. Rasanya mustahil jika dia memberikan contoh yang tidak baik bagi umat-umat setelahnya.

PELANGGARAN HAK ASASI
Dalam sejarah bangsa-bangsa beradab, pernikahan anak kecil merupakan sesuatu yang tabu dan tidak mungkin dilakukan. Kebanyakan orang Islam, termasuk orang yang percaya akan hadis tersebut, jika ditanya apakah bersedia untuk menunangkan anak perempuannya berusia tujuh tahun, yang masih polos dan senang bermain, dengan pemuda berusia 20 tahun sekalipun, apalagi dengan lelaki berusia 53 tahun, mereka pasti akan berkeberatan. Mereka mungkin akan memandang rendah lelaki seperti itu.

Dalam buku karangan John Esposito berjudul Women in Muslim Family Law tahun 1982 tercatat, Mesir melarang semua institusinya untuk mengeluarkan surat nikah bagi bagi calon suami berusia di bawah 18 tahun dan calon istri di bawah 16 tahun sejak tahun 1923. Pada tahun 1931, sidang dalam organisasi-organisasi hukum dan syariat menetapkan untuk tidak merespons pernikahan pasangan dengan usia di atas. Jelas ini membuktikan bahwa walaupun masyarakat muslim yang berada di Mesir yang mayoritas muslim pun pernikahan di bawah usia sebagai sesuatu yang tak bisa diterima.

Pernikahan seperti ini hukumnya makruh (tidak berdosa jika dikerjakan namun berpahala jika tidak dikerjakan), bahkan haram, dalam hukum Islam karena pasti pernikahan seperti ini akan mendatangkan banyak keburukan dan bahaya terselubung bagi pelakunya di masa mendatang serta memberikan dampak negatif bagi lingkungan masyarakatnya. Terlebih dalam ajaran Islam berlaku hukum “kesepakatan atau persetujuan dalam hal-hal yang mengandung kekejian adalah haram”.

Jika pernikahan seperti yang diceritakan dalam dongeng itu dilakukan, keburukan seperti: terancamnya hak anak, terampasnya hak kaum perempuan, kekerasan, perdagangan anak, kejahatan pedofilia, dan penyimpangan doktrin agama tidak lagi bisa dielakkan. Dari segi kesehatan seksual, si perempuan tentu akan terancam kanker di daerah kelamin karena dia melakukan yang belum seharusnya sebelum cukup umur di mana sel-sel kelaminnya masih dalam tahap perkembangan.

Dengan begitu rasanya sulit dibayangkan masyarakat Mekkah yang baik akan begitu mudahnya membiarkan pernikahan di bawah umur seperti itu. Apalagi saat itu Mekah banyak dikunjungi orang-orang asing untuk berniaga dan banyak di antara mereka mengenal sosok Muhammad sebagai pedagang yang baik dan jujur. Terlebih sejak Muhammad menyebarkan berita gembira tentang Islam, semakin banyak orang di luar Mekkah yang mengenal dirinya, termasuk mereka yang beragama Samawi lain seperti Yahudi, Kristen, Hanif, dan Shabiin. Tapi tak pernah ada catatan mengenai pernikahan usia dini Aisyah dengan seorang kakek bernama Muhammad yang sudah pasti menghebohkan jika seandainya terjadi.

HADIS YANG LEMAH
Hadis yang dipakai oleh kebanyakan orang dalam memberikan gambaran tentang usia Aisyah saat itu adalah hadis yang diriwayatkan oleh Hisyam bin Urwah. Dalam hadis itu disebutkan bahwa Muhammad menikahi Aisyah yang baru berusia sembilan tahun. Riwayat ini, dalam kajian ilmu hadis, ternyata sangat kontradiktif dengan hadis-hadis lain sehingga sangat diragukan kebenarannya.

Imam Malik bin Anas misalnya, rekan sejawat Hisyam di Madinah ini secara tegas menolak hadis-hadis yang diriwayatkan Hisyam bin Urwah mengingat usianya yang sudah sangat renta dan diragukan daya ingatnya saat meriwatkan hadis-hadis tersebut. Selain itu, hadis-hadis ini adalah sumber hadis satu-satunya yang meriwayatkan pernikahan “menghebohkan” ini dan pertama kali didengar dari orang-orang Irak.

Hisyam ini sebelumnya pernah tinggal di Madinah sampai usia 71 tahun. Ketika dia pindah ke Irak, daya ingatnya sudah menurun tajam. Saat di Madinah, dia hanya menceritakan apa yang dia dengar dari ayahnya, Urwah, namun saat pindah ke Irak, dia mulai menceritakan apa yang dia dengar dari orang lain dengan mengaku mendengar dari ayahnya. Bukan hanya karena ingatannya yang mulai menurun, kisah hidupnya yang menyedihkan di Irak, termasuk ketika dia berutang sebesar 100.000 dirham untuk melangsungkan pernikahan anaknya dan Khalifah Mansyur dari kekhalifahan Abassiyah hanya mau membantunya membayar 10.000 dirham saja, membuat ingatannya semakin buruk di tengah tekanan hidup yang semakin besar.

Angka “sembilan tahun” sangat menghantui pikirannya sampai-sampai dia sendiri mengaku bahwa dia menikah dengan istrinya ketika istrinya berusia sembilan tahun. Padahal Al Zahabi telah memberi keterangan bahwa, “Fatimah binti al Munzir berusia sebelas tahun lebih tua dari suaminya, Hisyam. Seandainya Fatimah datang ke rumah Hisyam untuk tinggal bersamanya ketika berusia sembilan tahun, dia perlu menunggu dua tahun sebelum ibunda Hisyam melahirkannya dan sebelum kelahirannya, Hisyam tidak memperbolehkan orang lain melihat isterinya. Kami belum pernah menyaksikan hal yang seajaib ini.” Selanjutnya Al Zahabi menerangkan bahwa Fatimah menikah dengan Hisyam ketika dia berusia sekitar 28-29 tahun. Dengan kata lain, Hisyam telah menggugurkan angka ‘2’ dari angka ’29’. Bagaimanapun, Yakub bin Syaibah dalam buku Tehzubu el Tehzib mencatat: “Hisyam sangat bisa dipercaya, riwayatnya dapat diterima, kecuali apa-apa yang dia riwayatkan setelah pindah ke Irak.”

Malik bin Anas dengan jelas menolak riwayat Hisyam yang dicatat oleh orang-orang Irak. Yakub bin Syaibah pun mengatakan, “Saya pernah diberi tahu bahwa Malik menolak riwayat Hisyam yang dicatat dari orang-orang Irak.”

Tak jauh dari itu, dalam buku tua lain yang berisi riwayat para penulis hadis, Muzan al Aitidal, tercatat: “Ketika masa tua, ingatan Hisyam mengalami kemunduran yang mencolok.”

MUHAMMAD MEMINANG AISYAH
Menurut tulisan Tabari—sesuai dengan yang dikatakan Hisyam bin Urwah bin Hunbal bin Sad, Aisyah bertunangan pada usia tujuh tahun dan mulai berumah tangga pada usia sembiln tahun. Namun tulisan tersebut kontradiktif dengan tulisannya sendiri pada bagian lain yang mengatakan, “Semua anak Abu Bakar (yang berjumlah empat orang) dilahirkan pada masa Jahiliyah dari dua istrinya.”

Jika memang Aisyah bertunangan pada tahun 620 M (saat berusia 7 tahun) dan berumah tangga pada tahun 623 M atau 624 M (saat umut 9 tahun), ini mengindikasikan bahwa Aisyah dilahirkan pada tahun 613 M, yaitu tiga tahun setelah periode Jahiliyah (Masa Kegelapan Pemikiran) dinyatakan berakhir oleh sejarah pada tahun 610 M.

Di lain pihak, Tabari juga menyatakan dengan pasti bahwa Aisyah dilahirkan pada periode Jahiliyah (sebelum 610 M). Jika memang Aisyah dilahirkan pada masa Jahiliyah, seharusnya Aisyah telah berusia lebih dari 14 tahun ketika menikah dengan Muhammad.

Secara singkat, dapat disusun kronologi seperti ini:
610 M: periode Jahiliyah (pra-Islam), sebelum turun wahyu pertama;
610 M: turun wahyu pertama, Abu Bakar menyatakan keislamannya;
613 M: Muhammad mulai mengajar di tengah masyarakat;
615 M: bermigrasi ke Abyssinia;
616 M: Umar bin al Khattab menyatakan keislamannya;
620 M: dikatakan Muhammad bertunangan dengan Aisyah;
622 M: bermigrasi ke Yasrib yang kemudian dinamai Madinah;
623/624 M: dikatakan Muhammad berumah tangga dengan Aisyah.

USIA FATIMAH
Dalam Al-Isabah fi Tamizi Al-Sahabah, Ibnu Hajar menulis, “Fatima dilahirkan ketika Kaabah dibangun kembali, ketika Muhammad berusia 35 tahun … Usia Fatimah 5 tahun lebih tua daripada Aisyah.”

Seperti yang diketahui, Fatimah Al Zahra, putri bungsu Muhammad, dilahirkan saat Kaabah dibangun kembali akibat banjir bandang yang melanda kota Mekkah, yaitu sekitar tahun 600 M. Jika pernyataan Ibnu Hajar di atas merupakan fakta, itu berarti Aisyah memang dilahirkan ketika Muhammad berusia 40 tahun. Dengan kata lain, jika Aisyah dinikahi Muhammad yang berusia 52 tahun, maka usia Aisyah ketika menikah telah lebih dari 12 tahun.

USIA AISYAH DIHITUNG DARI USIA ASMA
Abdul Rahman bin Abi Zanaad menulis bahwa “Asma lebih tua 10 tahun dibanding Aisyah” dalam Siyar Aalaama al-Nubalaa. Sementara Ibnu Kasir berkata dalam Al-Bidayah wa al-Nihayah bahwa Asma lebih tua 10 tahun dari adiknya, Aisyah.

Lebih jauh lagi Ibnu Kasir berkata, “Asma melihat pembunuhan anaknya pada tahun 73 H, dan lima hari kemudian Asma pun meninggal. Menurut riwayat lainya, dia meninggal 10 atau 20 hari kemudian, atau beberapa hari lebih dari 20 hari, atau 100 hari kemudian. Riwayat yang paling kuat adalah 100 hari kemudian. Pada waktu Asma meninggal, dia telah berusia 100 tahun.” Dalam Tehzubu el Tehzib Ibnu Hajar al Askalani pun menulis, “Asma hidup sampai 100 tahun dan meninggal pada 73 atau 74 H.”

Menurut sebagian ahli sejarah, Asma, saudara tertua Aisyah, berselisih usia 10 tahun dengan adiknya itu. Jika Asma meninggal pada usia 100 pada tahun 73 H (695 M), maka Asma seharusnya berusia 27 atau 28 tahun ketika migrasi (622 M). Kemudian, jika Asma berusia 28 atau 29 tahun pada saat Aisyah mulai berumah tangga, usia Aisyah seharusnya telah menginjak usia 18 atau 19 tahun.

Dengan demikian, ini sesuai dengan keterangan yang ditulis oleh Hajar, Ibnu Kasir, dan Abdul Rahman bin Abi Zannaad kemudian, bahwa usia Aisyah ketika dia berumah tangga dengan Sang Rasul Allah adalah 19 atau 20 tahun.

AISYAH USAMAH BIN ZAID DIKATAKAN SEBAYA
Aisyah menceritakan bahwa Usamah jatuh dan luka di mukanya. “Sang Nabi berkata kepadaku, ‘Bersihkan kotoran itu dari Usamah.’ Aku terasa jijik saat melihat Usamah yang mulai menyeka darahnya untuk membersihkan mukanya.”

Ibnu Majah mengulang cerita Aisyah, “Ingus keluar dari hidung Usamah. Muhammad menyuruhku bangkit dan membersihkan hidung Usamah. Aku pun merasa jijik, lalu Sang Nabi sendiri yang bangkit dan membersihkan hidungnya itu.”

Baihaqi pun ikut mengulang cerita ini, “Aisyah berkata, ‘Muhammad meminta aku bangun dan membasuh muka Usamah. Aku berkata bahwa aku tak tahu cara membersihkan muka anak-anak karena aku sendiri tak punya anak. Aku memintanya untuk memegang Usamah dan basuh mukanya. Muhammad pun memegang Usamah dan membasuh mukanya.’ Lalu Rasul Allah berkata, ‘Dia [Usamah] telah memudahkan kita karena dia bukan seorang anak perempuan. Jika dia seorang anak perempuan, aku akan memberinya perhiasan-perhiasan dan aku akan berbelanja banyak untuknya.’”

Perkataan Aisyah tentang ‘aku sendiri tak punya anak’ perlu digarisbawahi karena kata-kata seperti ini tidak mungkin keluar dari mulut seorang perempuan yang belum dewasa. Perkataan ini hanya bisa didengar dari seorang wanita yang usianya sesuai untuk mendapat anak. Selain itu, hadis sahih di atas jelas menunjukkan bahwa usia Usamah jauh lebih muda dari Aisyah. Jika Aisyah merupakan teman sebaya atau lebih muda dari Usamah, Muhammad tidak mungkin akan menyuruh Aisyah untuk membersihkan darah dan hidungnya (Usamah).

Sebagian ulama mengatakan, dari apa yang diceritakan Hisyam, Aisyah berusia 18 tahun saat meninggalnya Muhammad tahun 632 M. Dengan demikian, kita perlu mengetahui berapa usia Usamah saat Muhammad meninggal dunia. Imam Zahabi dalam Siyar Aalam al Nubala mengatakan bahwa, sama seperti Aisyah, Usamah pun berusia 18 tahun saat itu.

Berbeda dengan Zahabi, Waliuddin al Khatib dalam Mishkat menulis, “Saat Muhammad meninggal, Usamah berusia 20 tahun.” Menurut para ulama hadis dan para ahli sejarah, sebelum meninggal Muhammad telah menyusun satu pasukan untuk menyerang pasukan Roma dan menaklukkan Suriah untuk menebus kekalahan dalam Perang Muutah tahun 629 M. Usamah merupakan panglima pasukan ini dan sahabat yang besar seperti Umar telah diperintahkan untuk berperang di bawah arahannya. Saat Muhammad meninggal, Usamah, menurut perhitungan Waliuddin al Khatib telah berusia 20 tahun sedangkan menurut perhitungan Hafiz bin Kathir, berusia 19 tahun. Ini berdasarkan kabar terpercaya bahwa Usamah dilahirkan pada tahun ketiga masa kependetaan Muhammad, yaitu sekitar tahun 612 M.

PERANG BADAR DAN PERANG UHUD
Dalam Hadis Muslim terdapat keterangan mengenai partisipasi Aisyah dalam Pertempuran Badar tahun 624 M. Mengenai peristiwa penting dalam perjalanan selama perang, Aisyah mengatakan, “ketika kami mencapai Shajarah.” Dari pernyataan tersebut nampak jelas bahwa Aisyah merupakan anggota perjalanan menuju kota Badar. Selain itu, terdapat pula hadis yang meriwayatkan partisipasinya dalam Perang Uhud tahun 625. Dalam Kitab al Jihad wa al Siyar tertulis, Anas mencatat bahwa pada hari Uhud, Orang-orang tidak dapat berdiri dekat Rasul Allah. [Pada hari itu,] saya melihat Aisyah dan Ummi Sulaim dari jauh, Mereka menyingsingkan sedikit pakaiannya [untuk mencegah halangan gerak dalam perjalanan tersebut].”

Dalam Kitab al Maghazi, Bukhari menulis: “Ibnu Umar menyatakan bahwa Rasul Allah tidak mengizinkan dirinya berpastisipasi dalam Uhud. Pada ketika itu, Ibnu Umar masih berusia 14 tahun. Namun saat Perang Khandak, ketika berusia 15 tahun, Sang Nabi pun mengizinkan Ibnu Umar ikut dalam perang.”

Berdasarkan hadis di atas, saat jelas peraturan yang ditetapkan Muhammad saat itu mengenai keikutsertaan perang, bahwa remaja berusia di bawah 15 tahun dilarang untuk ikut dalam sebuah peperangan. Sedangkan dalam hadis sebelumnya nampak sekali bahwa Aisyah diperbolehkan ikut dalam perang Badar dan Uhud. Ini jelas mengindikasikan bahwa usia Aisyah saat pernikahannya, sekitar setahun sebelum perang Badar, tidak berusia sekitar sembilan tahun, namun minimal berusia 15 tahun. Di samping itu, para wanita yang ikut menemani para pria dalam sebuah peperangan masa lalu seharusnya berfungsi untuk membantu dan memberikan dukungan, bukan untuk menambah beban bagi mereka.

SURAT AL QAMAR (BULAN)
Menurut beberapa riwayat, Aisyah dilahirkan tahun kedelapan sebelum Hijriah. Namun menurut sumber lain yang kuat dalam Hadis Bukhari, Aisyah tercatat mengatakan, “Aku ini masih seorang gadis kecil (jariyah)” ketika Bulan 54:46 diturunkan.

“Sebenarnya hari kiamat itulah hari yang dijanjikan kepada mereka dan kiamat itu lebih dahsyat dan lebih pahit.” (Bulan 54:46)

Menurut sejarah yang tercatat, ayat dari surat ke-54 dari Alquran tersebut diturunkan sekitar tahun 8 Sebelum Hijriah memperlihatkan bahwa surat tersebut diturunkan pada tahun 614 M. Jika Aisyah mulai berumah tangga dengan Muhammad, sang Nabi yang telah datang, pada usia sembilan tahun pada 623 M atau 624 M, maka Aisyah masih bayi yang baru lahir (sibyah) pada saat surat ini diturunkan. Menurut riwayat di atas, secara faktual nampak bahwa Aisyah sudah menjadi gadis muda, bukan bayi yang belum bisa berbicara, ketika Firman Tuhan tersebut turun. Dari Lane’s Arabic English Lexicon didapatkan keterangan bahwa jariyah berarti gadis muda yang masih senang bermain. Jadi, Aisyah telah menjadi jariyah bukanlah sibyah, telah berusia sekitar 6-13 tahun saat diturunkannya surat Bulan. Demikian sudah pasti dia telah berusia 14-21 tahun ketika dinikahi Muhammad.

BIKR ATAU THAYYIB
Menurut penjelasan Ahmad bin Hanbal, setelah meninggalnya Khadijah, istri pertama Muhammad, Khaulah pernah mendatangi Muhammad dan menasihatinya untuk menikah lagi, Sang Nabi bertanya tentang pilihan yang dimaksud oleh Khaulah. Khaulah berkata, “Anda dapat menikahi seorang gadis (bikr) atau seorang wanita yang pernah menikah (thayyib).” Ketika Muhammad bertanya kembali mengenai identitas gadis (bikr) tersebut, Khaulah menyebutkan nama Aisyah anak Abu Bakar.

Bagi yang mengerti bahasa Arab, pasti akan segera melihat bahwa kata bikr dalam budaya Arab tidak akan digunakan untuk menyebut gadis belia yang berusia sembilan tahun. Kosakata yang tepat untuk gadis belia yang masih suka bermain-main, seperti yang dinyatakan di atas, adalah jariyah. Di sisi lain, bikr digunakan untuk menyebut wanita yang belum menikah serta belum punya pengalaman dalam perkawinan (pengalaman seksual), seperti istilah yang kita pahami dalam bahasa Inggris, virgin. Oleh karena itu, nampak jelas bahwa gadis belia berusia sembilan tahun bukanlah “wanita” (bikr).

MENCARI PETUNJUK DARI TEKS ALQURAN
Para periwayat hadis masa lalu telah “berhasil” menciptakan kebingungan dalam pikiran umat muslim zaman sekarang. Sebagian periwayat pada periode klasik Islam membukukan hadis-hadis yang beredar di zamannya tanpa terlebih dulu menyaring kebenaran di dalamnya. Tak terkecuali riwayat mengenai usia Aisyah dan pernikahannya. Karena itu, sebagai manusia berakal budi, kita wajib menyaring informasi untuk mendapat kebenaran yang tersembunyi di tengah kedustaan dan kesalahan manusia—walaupun dikatakan diinspirasikan dari Allah. Bagi umat Islam, hal itu bisa dilakukan dengan berbekal Kebenaran yang dianggap bersumber dari Allah secara langsung, yaitu Alquran.

Dalam Alquran tidak ada ayat yang secara eksplisit mengizinkan pernikahan gadis belia seperti yang konon Aisyah lakukan. Namun terdapat sebuah ayat, yang bagaimanapun, menuntun seorang muslim dalam mendidik dan memperlakukan seorang anak yatim. Ayat tersebut juga valid untuk diaplikasikan kepada anak kita sendiri. Ayat tersebut mengatakan:

“Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akal budlnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik. Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk menikah. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya.” (Perempuan 4:5-6a)

Mengenai seorang anak yang ditinggal orang tuanya, seorang muslim diperintahkan untuk memberi mereka makan, pakaian, dan hak pendidikan serta menguji secara objektif kedewasaan intelektual dan rasa tanggung jawab mereka hingga yakin bahwa mereka sudah sampai pada usia menikah. Pengujian tersebut juga dianjurkan sebelum memercayakan masalah keuangan kepada mereka.

Sesuai ayat yang sangat jelas di atas, rasanya mustahil jika Abu Bakar yang terkenal sangat bijaksana bersedia begitu saja menunangkan anaknya yang masih sangat jauh untuk bisa dipercayai dengan Muhammad yang telah berusia 53 tahun. Jangankan Abu Bakar, seorang muslim yang bertanggung jawab manapun tentu tak akan melakukan pengalihan keuangan kepada seorang gadis belia yang berusia tujuh tahun. Gadis tersebut sama sekali tidak memenuhi syarat secara intelektual maaupun fisis untuk menikah. Ahmad bin Hambal, dalam Musnad Ahmad bin Hambal, menyatakan Aisyah yang berusia sembilan tahun sangat suka bermain dengan bonekanya. Seandainya Abu Bakar memang menyerahkan anaknya itu kepada Muhammad, rasanya mustahil jika Muhammad yang membawa hukum Islam yang tertulis dalam kitab melakukan kekejian dengan melanggarnya sendiri.

Dalam Misykat al Masabiah, terdapat aturan bahwa seorang wanita harus ditanyai dan diminta persetujuan agar pernikahan yang dilakukannya menjadi sah. Dalam perkataan Hukum Islam, persetujuan yang dapat dipercaya dari seorang wanita merupakan syarat dasar bagi keabsahan sebuah pernikahan. Dengan mengembangkan logika dari sini, tentu kita dapat melihat bahwa persetujuan yang diberikan oleh gadis yang belum dewasa, tidak dapat dijadikan validitas sebuah pernikahan.

KESIMPULAN
Tradisi Arab tidak mengizinkan pernikahan seorang anak perempuan atau anak laki-laki yang belum menginjak usia dewasa. Demikian juga, tidak pernah ada pernikahan Muhammad dengan Aisyah yang berusia sembilan tahun, terutama setelah masyarakat Arab menerima Hukum Islam. Masyarakat Arab tidak pernah berkeberatan dengan pernikahan seperti ini karena memang pernikahan menghebohkan seperti ini memang tak pernah terjadi sebagaimana isi beberapa riwayat. Kemudian seandainya itu memang terjadi, musuh-musuh Muhammad pada saat itu yang selalu mencari kesalahan dan kesaksian palsu terhadapnya pasti akan menggunakan lebih dulu kabar ini sebagai alat penghancur paling ampuh untuk merusak citra Muhammad.

Jelas nyata, dongeng pernikahan Aisyah pada usia sembilan tahun oleh Hisyam bin Urwah tidak bisa dianggap sebagai sebuah kebenaran. Hal tersebut sangat kontradiktif dengan riwayat-riwayat lain. Lebih jauh, tidak ada alasan yang nyata untuk menerima riwayat Hisyam bin Urwah sebagai kebenaran ketika para pakar lain, termasuk Malik bin Anas, melihat riwayat Hisyam bin Urwah selama di Irak adalah tidak dapat dipercaya. Dengan pola yang sama seperti dia melupakan usia istrinya Fatimah anak al Munzir ketika menikah dengan dirinya, kemungkinan dia mendengar Aisyah menikah dalam usia 19 tahun namun ingatannya menggugurkan angka ‘1’ dari angka ‘19’.

Pernyataan lain dari Tabari, Bukhari, dan Muslim menunjukkan mereka berkontradiksi satu sama lain mengenai usia menikah bagi Aisyah. Lebih jauh, beberapa pakar periwayat mengalami kontradiksi internal dengan riwayat-riwayatnya sendiri. Jadi, riwayat usia Aisyah sembilan tahun ketika menikah adalah tidak dapat dipercaya karena adanya kontradiksi yang nyata pada catatan klasik dari pakar sejarah Islam. Kabar Aisyah yang dikatakan sebaya dengan Usamah pun tak dapat dipercaya. Karena fakta yang didapat tentang tahun kelahiran Fatimah, Asma, dan Usamah serta arahan kepada Aisyah untuk membersihkan darah dan hidung Usamah, dengan penghitungan Hijriah, menunjukkan bahwa Aisyah kemungkinan besar sudah memasuki umur 18 tahun ketika bermigrasi ke Madinah.

Oleh karena itu, tidak ada alasan mutlak untuk menerima dan memercayai usia Aisyah sembilan tahun ketika menikah sebagai sebuah kebenaran disebabkan cukup banyak latar belakang untuk menolak riwayat tersebut dan lebih layak disebut sebagai mitos semata. Lebih jauh, Alquran dengan tegas menolak pernikahan perempuan atau lelaki yang belum dewasa.

Setelah kontroversi mengenai usia Aisyah ini terbuka kebenarannya, tanpa asumsi maupun filsafat, mungkin masih ada yang mendebat mengenai jauhnya usia Muhammad yang berusia 53 tahun dan Aisyah yang berusia 19 tahun. Sebenarnya ini bukanlah hal yang aneh jika kita mengenal struktur budaya Timur Tengah, termasuk Israel. Bahkan, bukan hanya di Timur Tengah, bagi masyarakat Indonesia atau masyarakat Barat saat inipun perbedaan usia yang jauh seperti itu bukanlah menjadi suatu masalah selama keduanya benar-benar saling mengasihi untuk menyenangkan hati Allah. Apalagi jika kita mau menerima kenyataan bahwa Muhammad, Sang Nabi yang menjadi teladan, tidak mungkin menikahi Aisyah karena mengikuti nafsu seksual belaka.

Bagi umat kristiani yang mengerti sejarah ajarannya sendiri, hal itu bukanlah hal yang aneh jika mengingat perbedaan usia Yusuf dan Maria saat bertunangan pun lebih jauh dari itu. Sumber Katolik menyebutkan, setahun setelah kematian istri pertamanya, Yusuf yang saat itu berusia 90 tahun pergi ke Yerusalem untuk mengikuti sebuah sayembara dengan menggunakan panah metal yang panjang untuk mendapat hak mengurus (menikahi) Maria yang masih berusia sekitar 12-14 tahun yang diadakan di seantero Yudea.

Referensi:
iiie.net (buku The Ancient Myth Exposed)
en.wikipedia.org
menjawab-misionaris.blogspot.com/2008/03/menjawab-umur-aisyah-saat-menikah.html
newadvent.org/cathen/08504a.htm

BENARKAH MUHAMMAD ITU SEORANG YANG UMMI?

Posted by mochihotoru | Posted in , , | Posted on 6:47:00 PM

0

Ada tiga kemungkinan yang popular tentang pengertian “ummi”: pertama, orang yang terpelajar, kedua, orang yang lahir di tanah Mekkah dan bangkit sebagai utusan (bi'tsah) dari Mekkah, dan ketiga, orang yang bangkit dari tengah-tengah umat dan masyarakat yang buta huruf. Pengertian yang paling akrab adalah kemungkinan yang pertama, karena lebih sesuai dengan penggunaan kalimat ini. Sebagaimana yang telah disebutkan, boleh jadi yang dimaksud adalah ketiga kemungkinan tersebut.


Realita bahwa Muhammad tidak pernah pergi ke suatu tempat belajar-mengajar dan tidak pernah menulis, telah diterima oleh para sejarawan. Alquran juga dengan tegas menyebutkan kondisinya sebelum bi’tsah.


“Dan kamu tidak pernah membaca sebelumnya satu kitab pun dan kamu tidak pernah menulis satu kitab dengan tangan kananmu. Sekiranya kamu pernah membaca dan menulis, benar-benar ragulah orang yang mengingkarimu.” (Laba-laba 29: 48)


Pada dasarnya, di lingkungan Hejaz, orang-orang yang pandai sangat sedikit sehingga mereka dengan mudah dikenal. Termasuk di Mekkah, ibu kota Hejaz, jumlah orang-orang yang mampu membaca dan menulis tidak lebih dari 17 orang dan hanya seorang wanita yang pandai membaca dan menulis.[1]


Tentu saja di lingkungan seperti ini, sekiranya Muhammad belajar membaca dan menulis pada seorang guru, dia akan terkenal saat itu. Seandainya umat Islam tidak menerima kenabiannya, bagaimana mungkin dia dalam kitabnya itu menjelaskan keummian dirinya dengan tegas (ketika ditunjukkan kepadanya Kitab yang termaterai)? Lalu, apakah masyarakat tidak akan memprotes kepadanya seraya barkata, “Kamu kan pernah belajar”? Hal ini merupakan indikasi yang jelas akan keummiannya.


Bagaimanapun, adanya sifat ummi ini pada diri Muhammad yang disebut sebagai nabi terakhir oleh umat Islam merupakan penegas kenabiannya, sehingga seluruh kemungkinan selain hubungan dengan Tuhan dan dunia metafisik dalam ranah penyebaran berita sukacitanya dapat ternafikan.


Kedua hal ini merupakan pembahasan sebelum masa kenabian. Demikian juga, setelah periode bi’tsah atau masa kependetaannya, tidak ada catatan sejarah bahwa dia pernah mendapatkan pelajaran membaca dan menulis dari seseorang. Dengan demikian, keummian berlangsung hingga akhir hayatnya.


Akan tetapi, kesalahan besar yang harus dihindari di sini adalah, bahwa tidak terpelajar bukan berarti tidak cerdas. Orang yang menafsirkan bahwa ummi sebagai tidak cerdas, ia telah beranggapan bahwa kedua-duanya tidak berbeda.


Melalui pengajaran Ilahi, tidak satu pun kendala yang menghadang Muhammad untuk mampu membaca dan menulis, tanpa harus mendapatkannya dari orang lain, lantaran tak diragukan lagi bahwa kemampuan ini merupakan kesempurnaan insani dan penyempurna kenabian.


Argumentasinya adalah sebagaimana yang dikutip dalam riwayat dari para imam Ahli Bait, “Muhammad dapat membaca dan atau memiliki kemampuan untuk membaca, juga kemampuan untuk menulis.”[2] Namun, Muhammad tidak menggunakannya lantaran tidak ingin menyisakan secuil pun keraguan orang atas penyebaran berita sukacitanya.


Adapun klaim sebagian orang bahwa kemampuan membaca dan menulis tidaklah termasuk kesempurnaan seseorang, melainkan kedua hal ini merupakan kunci untuk mencapai kesempurnaan ilmu, bukan ilmu sejati dan kesempurnaan hakiki, pada hakikatnya jawaban atasnya tersisip di dalam klaim itu sendiri, karena mengetahui sesuatu merupakan salah satu perantara mencapai kesempurnaan.


Atau klaim sebagian orang bahwa ayat, “Membacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, membersihkan mereka dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan hikmat....” (Hari Jumat 62: 2) dan ayat-ayat lain dengan redaksi yang sama merupakan dalil bahwa Muhammad membacakan Alquran kepada masyarakat melalui tulisan. Klaim ini merupakan kesalahan besar. Karena, kosakata tilaawah (membacakan) dalam bahasa Arab dapat diartikan dengan membaca melalui tulisan dan membaca (memperdengarkan) melalui hafalan. Mereka yang membaca Alquran, syair-syair, atau doa-doa melalui hafalan, dapat dikatakan bahwa mereka sedang melakukan tilaawah (tilawat). Penggunaan semacam ini umum sekali.[3]


Referensi:

[1] Futûh al-Buldân, Buladzuri, cet. Mesir, hal. 459.

[2] Tafsir al-Burhân, jilid 4, hal. 332, dalam penafsiran ayat pertama surat al-Jumu'ah.

[3] Tafsir Nemûneh, jilid 6, hal. 400.