DUNIA BARU
Posted by mochihotoru | Posted in Analysis | Posted on 3:05:00 PM
Meningkatkan diri adalah berubah; agar menjadi sempurna harus sering mengadakan perubahan. –Winston Churchill
Setiap hari, selalu saja ada hal-hal baru yang kita temui. Mulai dari yang menyenangkan sampai yang bisa membuat menangis. Dalam dua bulan terakhir saja, banyak perayaan-perayaan besar yang menjadi sebuah fenomena di negeri ini. Perayaan Kemerdekaan RI ke-63, penerimaan mahasiswa baru Perguruan Tinggi, bulan Ramadan, dan Idul Fitri 1929 H. Semua sangat berpotensi membawa aspek perubahan di dalam pikiran setiap orang yang memaknai benar perayaan-perayaan itu. Baik perayaan-perayaan besar tadi maupun apa yang kita temui sehari-hari sejatinya harus membuat kita semakin berpikir apa yang baik untuk kita sendiri dan orang lain di sekeliling kita.
Sama halnya ketika seseorang melepaskan pakaian seragam mereka kemudian melepaskan status mereka sebagai “siswa” dan menjadi “mahasiswa”. Banyak sekali hal yang harus dipersiapkan dan para mahasiswa baru pun akan banyak menemui perubahan yang cukup signifikan. Banyak sekali yang diliputi ketakutan saat akan memasuki lingkungan baru. Ketakutan untuk memulai, ketakutan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan, ketakutan tidak dapat mengikuti pelajaran, ketakutan dibayangi masa lalu, dan sebagainya, kerap membayangi mereka yang akan memasuki lingkungan pendidikan yang baru. Akhirnya, berbagai ketakutan itu justru menghambat proses adaptasi dengan lingkungannya yang baru. Kemampuan adaptasi yang baik, memang sangat dibutuhkan dalam memasuki lingkungan yang baru.
Bagi lulusan sekolah lanjutan atas, kampus adalah lingkungan baru yang asing—ibarat rusa masuk kampung. Bukan hanya karena banyak istilah yang terdengar gres dan mesti diingat. Suasana lama yang sudah dinikmati selama 12 tahun, sejak taman kanak-kanak hingga sekolah lanjutan atas, pun terjungkir balik—tak sekedar sebutan yang berubah dari guru menjadi dosen, atau pakaian seragam yang berganti pakaian bebas.
Ada yang lebih mendasar. Kegiatan belajar-mengajar yang dulu satu arah, monolog, dari guru ke murid berubah menjadi diskusi serta belajar mandiri. Keaktifan mahasiswa di kelas turut menentukan nilai yang bakal diperoleh tiap semester. Akan banyak tugas yang mesti diselesaikan setiap pekan: praktikum, membuat laporan, menulis makalah, membaca buku, mengikuti ujian—dan ini berlaku bagi sekian mata kuliah yang diambil dalam satu semester.
Dalam dunia perkuliahan, kita sebagai mahasiswa diharapkan untuk aktif di dalam maupun luar kelas, dan tidak hanya mengandalkan materi pelajaran yang diberikan oleh dosen, tetapi juga aktif mencari materi yang berhubungan dengan mata kuliah kita dari berbagai buku referensi lainnya. Tanggung jawab besar ada di pundak mahasiswa. Bila ada materi yang tidak kita mengerti, langsung bertanya pada dosen atau pada teman yang lebih mengerti. Jangan sampai ditumpuk. Hal ini bisa berbahaya bila sudah waktunya menjelang ujian, namun kita masih belum mengerti materi sulit tersebut. Bisa-bisa nilai ujian kita malah hancur lebur.
SEBUAH MASALAH
Kenyataan menunjukkan bahwa mahasiswa adalah bagian dari mereka yang juga menjadi masalah dari bangsa ini. Ketidakmampuan perguruan tinggi membangun kapasitas keilmuan yang secara kritis mampu memberikan banyak perspektif epistemis, juga berpengaruh pada kualitas mahasiswa yang dihasilkannya. Perguruan tinggi hanya sekedar menjadi mesin/pabrik yang melahirkan produk massal yang bernama sarjana, yang bahan mentahnya adalah mahasiswa. Perguruan tinggi juga hanya menjadi konsumen yang mengikuti selera pasar dalam melahirkan produk-produknya. Dalam konteks lain, perguruan tinggi kemudian menjadi kelompok oportunis yang dibungkus oleh legitimasi ilmiah yang demikian canggih.
Keadaan ini membawa konsekuensi pada tidak adanya hubungan yang baik antara gerakan pemikiran kritis di satu sisi, dengan kecenderungan perkembangan perguruan tinggi yang mengarah pada pemikiran dominan (neoliberalisme) di sisi lain. Pada titik inilah sebenarnya terjadi benturan yang sangat berat di internal sebuah perguruan tinggi, yang secara langsung mempengaruhi cara berpikir mahasiswanya. Akibatnya, mayoritas mahasiswa adalah mereka yang tidak kreatif, tidak inovatif, tidak kritis, serta tidak mempunyai visi perubahan secara esoterik dalam memandang masa depan masyarakatnya. Dampak negatif dari globalisasi yang merasuki segala bidang kehidupan masyarakat.
Kondisi ini secara langsung maupun tidak langsung berakibat pada dinamika gerakan mahasiswa yang terbangun dari dalam kampus. Terkadang kita hanya bisa mengurut dada tatkala melihat mayoritas mahasiswa yang apatis, hedonis, dan tidak peduli dengan lingkungannya. Sementara di pihak lain kita juga bisa menemukan sedikit mahasiswa yang kritis, yang dengan kembang kempis mencoba melakukan sesuatu untuk perubahan masyarakatnya. Ironis! Padahal harusnya pada zaman sekarang ini yang mengusung tema globalisasi di mana-mana, mahasiswa harusnya menjadi subjek penilai terhadap keberjalanan proses ini, bukannya turut menjadi objek. Jelas ini menimbulkan masalah.
Bayangkan, setiap semester mahasiswa menerima subsidi pendidikan dari Negara (dalam bentuk fasilitas, gaji dosen, beasiswa, dll.) tak kurang dari 20 juta rupiah, selama hampir lima tahun. Tapi apa yang didapat Negara dari subsidi itu, kecuali beban pengangguran yang semakin bertambah?
Mereka yang terjerumus dalam seks bebas tidak kalah mengerikan. Lebih dari 500 video porno sudah dibuat dan diedarkan di Indonesia. Kebanyakan video amatir hasil rekaman kamera ponsel. Demikian hasil penelitian praktisi pertelevisian Sony Set. Parahnya, sebanyak 90 % pembuat video porno itu berasal dari kalangan anak muda, dari SMP sampai mahasiswa. Sisanya dari kalangan dewasa. Hasil temuan FKM UNAIR menyebutkan bahwa pengidap AIDS sebagian besar kalangan remaja. Dari 100 responden remaja yang diteliti, FKM menyimpulkan bahwa 22,9 persen remaja usia 15-19 tahun telah terkena virus HIV/AIDS, sedangkan remaja usia 20-24 tahun yang terjangkit mencapai 77,1 persen.
Tawuran remaja yang tadinya hanya merupakan tren remaja-remaja SMU, kini sudah diikuti oleh mahasiswa di perguruan tinggi. Bahkan yang sangat menggelikan sekaligus memprihatinkan, sekitar dua bulan yang lalu, mahasiswa Universitas Hasanuddin, Makassar, dari Fakultas Geologi dan Fakultas Teknik itu ikut-ikutan tawuran.
Kejadian-kejadian di atas hanya sekedar contoh kasus betapa kelompok mahasiswa yang demikian ini kondisinya sudah sangat memprihatinkan. Kasus aborsi, skandal dan jaringan seks bebas, perampokan, pembobolan bank, penodongan, dan tindak kriminal lainnya tidak jarang dilakukan oleh mahasiswa.
Sistem kapitalis yang menyetir pola kehidupan sekarang melahirkan degradasi nilai-nilai kemanusiaan. Sistem ini memang berhasil memberikan nilai materi yang cukup berlimpah. Namun, ternyata keberhasilan itu hanya diraup oleh segelinitr orang yang “kuat”, sementara mayoritas rakyat hidup dalam kesengsaraan. Kondisi seperti ini hanya akan melahirkan sistem individualis yang semakin tajam. Setiap manusia––termasuk mahasiswa––lalu berpikir pintas untuk menyelamatkan diri, dan akhirnya tidak peduli dengan keadaan lingkungan. Standar perbuatan mereka adalah manfaat. Bagi mereka, yang penting bermanfaat dirinya dan tidak merugikan orang lain. Kelompok ini memang benar-benar ingin “menikmati” dan hidup tenteram dalam kondisi sekarang. Mereka tidak peduli kenikmatan hidupnya itu diraih di atas penderitaan orang lain.
Bagi kelompok mahasiswa seperti ini “keberhasilan studi” merupakan cita-cita yang paling dijunjung tinggi dan senantiasa jadi haluan perjuangannya. Bagi mereka, standar keberhasilan itu adalah meraih nilai studi yang setinggi-tingginya. Sains memang cukup mereka “kuasai”, namun keilmuannya itu tidak berpengaruh terhadap perilaku mereka dalam kehidupan masyarakat. Dalam studinya, kelompok ini memang relatif banyak berhasil; namun mereka belum mampu memenuhi dambaan dan harapan masyarakat.
Banyak yang berteriak atau mengusung anti kecurangan tetapi mereka sendiri masih menyontek saat ujian. Bagaimana mau melakukan apabila dirinya sendiri tidak mau untuk mengubah kebiasaan-kebiasaan buruknya. Mungkin hilangnya “Roh Perubahan” inilah yang menyebabkan perubahan yang selama diperjuangkan oleh mahasiswa belum menampakkan hasilnya secara signifikan.
PERAN MAHASISWA
Mahasiswa merupakan tonggak dan potensi besar suatu kehidupan Dengan segala potensi yang dimilikinya, mahasiswa merupakan kekuatan yang sangat besar yang dapat melakukan suatu perubahan. Selain diharapkan oleh kelompok masyarakat sebagai pioner perubahan ke arah yang lebih baik. Posisi mereka sebagai mahasiswa memang menjadi peluang bagi mereka untuk mengembangkan potensi sebesar-besarnya. Tidak heran jika perubahan sosial politik di berbagai belahan dunia dipelopori oleh gerakan mahasiswa.
Mahasiswa mempunyai tanggung jawab yang besar untuk bangsa ini. Mereka adalah bagian dari rakyat Indonesia yang turut merasakan penderitaan yang dialami oleh rakyat. Meskipun tidak dapat dinafikkan sebagian dari gerakan mahasiswa yang mempunyai target-target lain yang ingin dicapai selain dari memperjuangkan rakyat. Kita juga tidak dapat mengelak bahwa ada sebagian dari mahasiswa yang aktif dalam pergerakan mahasiswa mempunyai tujuan pragmatis yaitu menjadi penerus-penerus pendahulunya yang duduk di pemerintahan atau juga di lembaga legislatif.
Secara psikologis, masa muda merupakan jenjang kehidupan manusia yang paling optimal. Dengan kematangan jasmani, perasaan dan akalnya, sangat wajar jika mahasiswa memiliki potensi yang besar dibandingkan dengan kelompok masyarakat lainya. Kepekaan yang tinggi terhadap lingkungan banyak dimiliki pemuda mahasiswa. Pemikiran kritis mereka sangat didambakan. Di mata masyarakat, mereka adalah agen perubahan (agent of change) jika masyarakat terkungkung oleh tirani kezaliman dan kebodohan. Mereka juga motor penggerak kemajuan ketika masyarakat melakukan proses pembangunan. Tongkat estafet peralihan suatu peradaban terletak di pundak mereka. Baik buruknya nasib umat kelak, bergantung pada kondisi mahasiswa dewasa ini.
Fungsi mahasiswa itu ada 3, yaitu :
1. Guardian of Value, yaitu sebagai penjaga nilai-nilai yang sudah ada terlebih dahulu
2. Agent of Change, yaitu sebagai agen pengubah apabila yang ada itu tidak lagi sesuai sebagaimana mestinya
3. Iron Stock, yaitu sebagai generasi penerus bangsa.
Perubahan sosial merupakan akumulasi dari perubahan individu-individu. Sehingga perubahan sosial tidak akan tercapai selama belum adanya perubahan-perubahan dalam diri individu. Memang ada kalanya perubahan dapat dicapai hanya dengan beberapa individu yang berubah saja, namun perubahan tersebut tidak akan bertahan lama karena nantinya individu-individu yang belum berubah akan mengakumulasikan kekuatan untuk menentang perubahan tersebut. Perubahan juga tidak akan berlangsung dengan baik apabila digerakkan oleh orang-orang yang dirinya sendiri pun belum berubah. Perbaikan yang ingin dicapai tidak berhasil dengan baik apabila yang ingin melakukan perbaikan tersebut tidak memperbaiki dirinya terlebih dahulu, ibarat menyuruh seseorang tetapi dia sendiri tidak melakukannya.
SELAMAT DATANG DI DUNIA BARU
Perasaan bingung, gelisah, dan ketakutan akan dunia perkuliahan itu sebaiknya tidak dibiarkan berlarut-larut karena dunia kampus tidak semengerikan itu. Satu hal yang pasti: dalam dunia kuliah, kita sebagai mahasiswa dituntut untuk lebih mandiri dalam segala hal, baik dalam belajar dan pengembangan diri. Apalagi, buat anak-anak yang berasal dari luar daerah lain dan tinggal sebagai anak kos. Sudah pasti, itu semua butuh proses adaptasi, kemandirian, dan time management yang baik.
Memang tidak mudah untuk menjalani proses adaptasi. Maka dari itu, sebelumnya kita harus belajar dan mengerti bagaimana cara bersikap dan bersosialisasi dengan orang-orang yang baru dikenal dan berusaha untuk menjadi orang yang menyenangkan! Bagaimana caranya? Simple! Just be yourself! Tidak ada persiapan yang berarti, hanya saja tinggal menjadi diri sendiri dan percaya diri. Seperti kata pepatah, kita dapat dinilai hanya jika kita membuat diri kita bernilai.
Kisah petualangan selaku mahasiswa baru di perguruan tinggi diawali saat masa orientasi (ospek) yang tak terlupakan. Sejak saat itu pelan-pelan tapi pasti, tanpa disadari kita mengumpulkan bekal buat menjalani hari-hari berikutnya. Daftar perbekalan yang kita kumpulkan untuk menghadapi situasi kondisi di lingkungan sekolah baru selalu punya dua kecenderungan. Baik dan buruk. Itu sebabnya, kita harus selektif agar tidak sampai menjerumuskan kita.
Pertama, teman. Keberadaan seorang teman sudah menjadi kebutuhan primer dalam bergaul. Apalagi saat memasuki dunia baru ini. Teman yang baik akan memberikan pengaruh yang baik untuk kita. Dalam belajar, bergaul, atau menghadapi masalah.
Kedua, tempat tinggal. Untuk mahasiswa yang datang dari luar kota, mencari tempat tinggal sementara buat kos tidak bisa disepelekan. Selain untuk menghemat ongkos, jadi anak kos punya keuntungan bisa belajar bersama dan lebih bersosialisasi dengan teman sebaya atau masyarakat luas. Carilah tempat kos yang nyaman untuk belajar; kondusif dalam membentuk kebiasaan baik (good habit) kita sehari-hari; mengajarkan kita untuk mandiri dan disiplin, dan mendorong diri kita untuk lebih dekat dengan Tuhan.
Ketiga, kakak kelas. Menjaga hubungan baik dengan kakak kelas bukan semata-mata jadi “kambing congek” yang melulu mendengarkan pengalamannya, ingin jadi ahli waris buku pelajarannya, atau malah mencari pelindung. Walaupun ada oknum kakak kelas yang jutek, sok kuasa, atau gila hormat, kita harus tetap menghormatinya sebagai senior yang sudah lebih dulu menghuni kampus. Jadi hubungan baik dengan mereka lantaran kita satu keluarga besar dalam sekolah yang sama. Pengalaman suka-duka mereka bisa bantu kita lebih siap menyesuaikan diri dengan lingkungan baru. Tinggal pandai-pandai kitanya saja menempatkan diri di hadapan senior. Secara pribadi mereka bisa kita jadikan panutan. Untuk urusan ini, baiknya kita dekat dengan senior yang punya track record bagus. Baik dari sisi prestasi akademis maupun perilaku.
Keempat, kegiatan. Setiap sekolah pasti punya unit kegiatan mahasiswa (UKM) sebagai media penyaluran bakat seni, olahraga, intelektual, atau agama bagi para siswanya. Nggak ada salahnya jika kita mengambil salah satunya. Selain bisa mengenal teman yang berbeda kelas, angkatan, bahkan jurusan, kita pun termotivasi untuk melatih diri agar menjadi orang yang bermanfaat untuk keluarga, lingkungan, dan masyarakat. Mahasiswa tinggal memilih unit yang disukai dan pintar-pintarlah membagi waktu agar kuliah tidak kedodoran.
Selain beradaptasi dengan lingkungan, kita pun harus beradaptasi dengan cara belajar yang baru. Belajar di perguruan tinggi, jauh berbeda dengan belajar di sekolah lanjutan. Selain ketekunan, kerajinan dan keseriusan, juga kerja keras. Sifat pantang menyerah harus menjadi sifat hakiki kehidupan yang sehari-hari dijalani. Di Amerika Serikat, Kanada, Eropa, termasuk Jepang, seorang mahasiswa S-1 harus menyediakan waktu untuk belajar 12-15 jam dalam sehari. Jika waktu belajar di sekolah (ruang kelas dan laboratorium) 8 jam per hari, maka sisanya sekitar 5 jam harus disediakan untuk belajar mandiri di perpustakaan atau di rumah.
Untuk mahasiswa S-2, waktu yang harus disiapkan sedikitnya 18-20 jam, dan untuk mahasiswa S-3 akan lebih dari 20 jam. Jangan dilupakan kalau mahasiswa-mahasiswa di negara-negara tersebut, waktu tidur sangat dibatasi (umumnya kalau ada kesempatan dalam antar waktu dimanfaatkan untuk tidur beberapa menit, walaupun hanya di bawah pohon atau di bangku panjang di taman).
Jangan heran kalau kesibukan demi kesibukan yang harus dijalani mahasiswa pada hari-hari kerja, dan baru akan mendapatkan waktu luang pada hari-hari libur Sabtu dan Minggu atau hari libur lainnya. Namun, waktu senggang pun dimanfaatkan untuk belajar bersama atau belajar mandiri di perpustakaan.
Meskipun kita dituntut untuk menjadi lebih rajin dalam belajar, bukan berarti itu membiarkan kita untuk menjadi apatis. Sebagai seorang mahasiswa, kita tetap harus mengasah kepekaan kita terhadap lingkungan kita. Jangan sampai kita sampai tidak tahu, misalnya, ada pejabat kampus yang melakukan korupsi di jurusan atau melihat dengan acuh kemiskinan di sekitar kampus. Sebagai seorang mahasiswa, kita diwajibkan menanamkan pikiran bahwa sesuatu yang salah tetap harus kita benarkan.
Bagaimanapun juga, perubahan-perubahan tadi adalah sebuah jalan untuk kita dalam mencapai kesuksesan. Dalam jalan hidup kita, kita mungkin tergoda untuk mencoba mempertahankan sesuatu yang ada, padahal sesungguhnya apa yang ada hanyalah suatu fase sementara yang segera berkembang menjadi apa yang tadinya ada.
Status quo mungkin kondisi yang menyenangkan, namun karena harus terjadi perkembangan, maka harus ada perubahan. Karena kita mencari perkembangan, maka kita harus mencari perubahan. Jangan kita lihat lingkungan kita sebagaimana adanya, namun bagaimana seharusnya dan seyogyanya. Kita mencari perubahan karena kita perlu mencari jati diri yang lebih baik sehingga kita dapat memainkan peran kita dalam menciptakan dunia yang lebih baik.
Sangatlah penting bahwa kita belajar menekuk dan melentur pada setiap keadaan baru karena sikap kaku merampas kesempatan untuk melihat kebebasan dari kemungkinan-kemungkinan baru. Kita perlu mengembangkan kemampuan untuk bergerak dengan mulus dan lancar dari “tidak tahu” menjadi “tahu”, yang pada gilirannya memindah-mindahkan peran dari guru menjadi siswa berulang-ulang.
Sadarlah bahwa banyak orang yang tidak membuat perencanaan karena mereka tidak ingin mengambil risiko dari perubahan. Tidak melakukan banyak hal dalam hidup kita adalah hal yang lebih mudah dan aman daripada mengambil risiko, tapi kita akan menjadi orang yang kerdil. Maka dari itu carilah perubahan yang bisa membuat kita menjadi semua yang kita inginkan.
Setiap hari, selalu saja ada hal-hal baru yang kita temui. Mulai dari yang menyenangkan sampai yang bisa membuat menangis. Dalam dua bulan terakhir saja, banyak perayaan-perayaan besar yang menjadi sebuah fenomena di negeri ini. Perayaan Kemerdekaan RI ke-63, penerimaan mahasiswa baru Perguruan Tinggi, bulan Ramadan, dan Idul Fitri 1929 H. Semua sangat berpotensi membawa aspek perubahan di dalam pikiran setiap orang yang memaknai benar perayaan-perayaan itu. Baik perayaan-perayaan besar tadi maupun apa yang kita temui sehari-hari sejatinya harus membuat kita semakin berpikir apa yang baik untuk kita sendiri dan orang lain di sekeliling kita.
Sama halnya ketika seseorang melepaskan pakaian seragam mereka kemudian melepaskan status mereka sebagai “siswa” dan menjadi “mahasiswa”. Banyak sekali hal yang harus dipersiapkan dan para mahasiswa baru pun akan banyak menemui perubahan yang cukup signifikan. Banyak sekali yang diliputi ketakutan saat akan memasuki lingkungan baru. Ketakutan untuk memulai, ketakutan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan, ketakutan tidak dapat mengikuti pelajaran, ketakutan dibayangi masa lalu, dan sebagainya, kerap membayangi mereka yang akan memasuki lingkungan pendidikan yang baru. Akhirnya, berbagai ketakutan itu justru menghambat proses adaptasi dengan lingkungannya yang baru. Kemampuan adaptasi yang baik, memang sangat dibutuhkan dalam memasuki lingkungan yang baru.
Bagi lulusan sekolah lanjutan atas, kampus adalah lingkungan baru yang asing—ibarat rusa masuk kampung. Bukan hanya karena banyak istilah yang terdengar gres dan mesti diingat. Suasana lama yang sudah dinikmati selama 12 tahun, sejak taman kanak-kanak hingga sekolah lanjutan atas, pun terjungkir balik—tak sekedar sebutan yang berubah dari guru menjadi dosen, atau pakaian seragam yang berganti pakaian bebas.
Ada yang lebih mendasar. Kegiatan belajar-mengajar yang dulu satu arah, monolog, dari guru ke murid berubah menjadi diskusi serta belajar mandiri. Keaktifan mahasiswa di kelas turut menentukan nilai yang bakal diperoleh tiap semester. Akan banyak tugas yang mesti diselesaikan setiap pekan: praktikum, membuat laporan, menulis makalah, membaca buku, mengikuti ujian—dan ini berlaku bagi sekian mata kuliah yang diambil dalam satu semester.
Dalam dunia perkuliahan, kita sebagai mahasiswa diharapkan untuk aktif di dalam maupun luar kelas, dan tidak hanya mengandalkan materi pelajaran yang diberikan oleh dosen, tetapi juga aktif mencari materi yang berhubungan dengan mata kuliah kita dari berbagai buku referensi lainnya. Tanggung jawab besar ada di pundak mahasiswa. Bila ada materi yang tidak kita mengerti, langsung bertanya pada dosen atau pada teman yang lebih mengerti. Jangan sampai ditumpuk. Hal ini bisa berbahaya bila sudah waktunya menjelang ujian, namun kita masih belum mengerti materi sulit tersebut. Bisa-bisa nilai ujian kita malah hancur lebur.
SEBUAH MASALAH
Kenyataan menunjukkan bahwa mahasiswa adalah bagian dari mereka yang juga menjadi masalah dari bangsa ini. Ketidakmampuan perguruan tinggi membangun kapasitas keilmuan yang secara kritis mampu memberikan banyak perspektif epistemis, juga berpengaruh pada kualitas mahasiswa yang dihasilkannya. Perguruan tinggi hanya sekedar menjadi mesin/pabrik yang melahirkan produk massal yang bernama sarjana, yang bahan mentahnya adalah mahasiswa. Perguruan tinggi juga hanya menjadi konsumen yang mengikuti selera pasar dalam melahirkan produk-produknya. Dalam konteks lain, perguruan tinggi kemudian menjadi kelompok oportunis yang dibungkus oleh legitimasi ilmiah yang demikian canggih.
Keadaan ini membawa konsekuensi pada tidak adanya hubungan yang baik antara gerakan pemikiran kritis di satu sisi, dengan kecenderungan perkembangan perguruan tinggi yang mengarah pada pemikiran dominan (neoliberalisme) di sisi lain. Pada titik inilah sebenarnya terjadi benturan yang sangat berat di internal sebuah perguruan tinggi, yang secara langsung mempengaruhi cara berpikir mahasiswanya. Akibatnya, mayoritas mahasiswa adalah mereka yang tidak kreatif, tidak inovatif, tidak kritis, serta tidak mempunyai visi perubahan secara esoterik dalam memandang masa depan masyarakatnya. Dampak negatif dari globalisasi yang merasuki segala bidang kehidupan masyarakat.
Kondisi ini secara langsung maupun tidak langsung berakibat pada dinamika gerakan mahasiswa yang terbangun dari dalam kampus. Terkadang kita hanya bisa mengurut dada tatkala melihat mayoritas mahasiswa yang apatis, hedonis, dan tidak peduli dengan lingkungannya. Sementara di pihak lain kita juga bisa menemukan sedikit mahasiswa yang kritis, yang dengan kembang kempis mencoba melakukan sesuatu untuk perubahan masyarakatnya. Ironis! Padahal harusnya pada zaman sekarang ini yang mengusung tema globalisasi di mana-mana, mahasiswa harusnya menjadi subjek penilai terhadap keberjalanan proses ini, bukannya turut menjadi objek. Jelas ini menimbulkan masalah.
Bayangkan, setiap semester mahasiswa menerima subsidi pendidikan dari Negara (dalam bentuk fasilitas, gaji dosen, beasiswa, dll.) tak kurang dari 20 juta rupiah, selama hampir lima tahun. Tapi apa yang didapat Negara dari subsidi itu, kecuali beban pengangguran yang semakin bertambah?
Mereka yang terjerumus dalam seks bebas tidak kalah mengerikan. Lebih dari 500 video porno sudah dibuat dan diedarkan di Indonesia. Kebanyakan video amatir hasil rekaman kamera ponsel. Demikian hasil penelitian praktisi pertelevisian Sony Set. Parahnya, sebanyak 90 % pembuat video porno itu berasal dari kalangan anak muda, dari SMP sampai mahasiswa. Sisanya dari kalangan dewasa. Hasil temuan FKM UNAIR menyebutkan bahwa pengidap AIDS sebagian besar kalangan remaja. Dari 100 responden remaja yang diteliti, FKM menyimpulkan bahwa 22,9 persen remaja usia 15-19 tahun telah terkena virus HIV/AIDS, sedangkan remaja usia 20-24 tahun yang terjangkit mencapai 77,1 persen.
Tawuran remaja yang tadinya hanya merupakan tren remaja-remaja SMU, kini sudah diikuti oleh mahasiswa di perguruan tinggi. Bahkan yang sangat menggelikan sekaligus memprihatinkan, sekitar dua bulan yang lalu, mahasiswa Universitas Hasanuddin, Makassar, dari Fakultas Geologi dan Fakultas Teknik itu ikut-ikutan tawuran.
Kejadian-kejadian di atas hanya sekedar contoh kasus betapa kelompok mahasiswa yang demikian ini kondisinya sudah sangat memprihatinkan. Kasus aborsi, skandal dan jaringan seks bebas, perampokan, pembobolan bank, penodongan, dan tindak kriminal lainnya tidak jarang dilakukan oleh mahasiswa.
Sistem kapitalis yang menyetir pola kehidupan sekarang melahirkan degradasi nilai-nilai kemanusiaan. Sistem ini memang berhasil memberikan nilai materi yang cukup berlimpah. Namun, ternyata keberhasilan itu hanya diraup oleh segelinitr orang yang “kuat”, sementara mayoritas rakyat hidup dalam kesengsaraan. Kondisi seperti ini hanya akan melahirkan sistem individualis yang semakin tajam. Setiap manusia––termasuk mahasiswa––lalu berpikir pintas untuk menyelamatkan diri, dan akhirnya tidak peduli dengan keadaan lingkungan. Standar perbuatan mereka adalah manfaat. Bagi mereka, yang penting bermanfaat dirinya dan tidak merugikan orang lain. Kelompok ini memang benar-benar ingin “menikmati” dan hidup tenteram dalam kondisi sekarang. Mereka tidak peduli kenikmatan hidupnya itu diraih di atas penderitaan orang lain.
Bagi kelompok mahasiswa seperti ini “keberhasilan studi” merupakan cita-cita yang paling dijunjung tinggi dan senantiasa jadi haluan perjuangannya. Bagi mereka, standar keberhasilan itu adalah meraih nilai studi yang setinggi-tingginya. Sains memang cukup mereka “kuasai”, namun keilmuannya itu tidak berpengaruh terhadap perilaku mereka dalam kehidupan masyarakat. Dalam studinya, kelompok ini memang relatif banyak berhasil; namun mereka belum mampu memenuhi dambaan dan harapan masyarakat.
Banyak yang berteriak atau mengusung anti kecurangan tetapi mereka sendiri masih menyontek saat ujian. Bagaimana mau melakukan apabila dirinya sendiri tidak mau untuk mengubah kebiasaan-kebiasaan buruknya. Mungkin hilangnya “Roh Perubahan” inilah yang menyebabkan perubahan yang selama diperjuangkan oleh mahasiswa belum menampakkan hasilnya secara signifikan.
PERAN MAHASISWA
Mahasiswa merupakan tonggak dan potensi besar suatu kehidupan Dengan segala potensi yang dimilikinya, mahasiswa merupakan kekuatan yang sangat besar yang dapat melakukan suatu perubahan. Selain diharapkan oleh kelompok masyarakat sebagai pioner perubahan ke arah yang lebih baik. Posisi mereka sebagai mahasiswa memang menjadi peluang bagi mereka untuk mengembangkan potensi sebesar-besarnya. Tidak heran jika perubahan sosial politik di berbagai belahan dunia dipelopori oleh gerakan mahasiswa.
Mahasiswa mempunyai tanggung jawab yang besar untuk bangsa ini. Mereka adalah bagian dari rakyat Indonesia yang turut merasakan penderitaan yang dialami oleh rakyat. Meskipun tidak dapat dinafikkan sebagian dari gerakan mahasiswa yang mempunyai target-target lain yang ingin dicapai selain dari memperjuangkan rakyat. Kita juga tidak dapat mengelak bahwa ada sebagian dari mahasiswa yang aktif dalam pergerakan mahasiswa mempunyai tujuan pragmatis yaitu menjadi penerus-penerus pendahulunya yang duduk di pemerintahan atau juga di lembaga legislatif.
Secara psikologis, masa muda merupakan jenjang kehidupan manusia yang paling optimal. Dengan kematangan jasmani, perasaan dan akalnya, sangat wajar jika mahasiswa memiliki potensi yang besar dibandingkan dengan kelompok masyarakat lainya. Kepekaan yang tinggi terhadap lingkungan banyak dimiliki pemuda mahasiswa. Pemikiran kritis mereka sangat didambakan. Di mata masyarakat, mereka adalah agen perubahan (agent of change) jika masyarakat terkungkung oleh tirani kezaliman dan kebodohan. Mereka juga motor penggerak kemajuan ketika masyarakat melakukan proses pembangunan. Tongkat estafet peralihan suatu peradaban terletak di pundak mereka. Baik buruknya nasib umat kelak, bergantung pada kondisi mahasiswa dewasa ini.
Fungsi mahasiswa itu ada 3, yaitu :
1. Guardian of Value, yaitu sebagai penjaga nilai-nilai yang sudah ada terlebih dahulu
2. Agent of Change, yaitu sebagai agen pengubah apabila yang ada itu tidak lagi sesuai sebagaimana mestinya
3. Iron Stock, yaitu sebagai generasi penerus bangsa.
Perubahan sosial merupakan akumulasi dari perubahan individu-individu. Sehingga perubahan sosial tidak akan tercapai selama belum adanya perubahan-perubahan dalam diri individu. Memang ada kalanya perubahan dapat dicapai hanya dengan beberapa individu yang berubah saja, namun perubahan tersebut tidak akan bertahan lama karena nantinya individu-individu yang belum berubah akan mengakumulasikan kekuatan untuk menentang perubahan tersebut. Perubahan juga tidak akan berlangsung dengan baik apabila digerakkan oleh orang-orang yang dirinya sendiri pun belum berubah. Perbaikan yang ingin dicapai tidak berhasil dengan baik apabila yang ingin melakukan perbaikan tersebut tidak memperbaiki dirinya terlebih dahulu, ibarat menyuruh seseorang tetapi dia sendiri tidak melakukannya.
SELAMAT DATANG DI DUNIA BARU
Perasaan bingung, gelisah, dan ketakutan akan dunia perkuliahan itu sebaiknya tidak dibiarkan berlarut-larut karena dunia kampus tidak semengerikan itu. Satu hal yang pasti: dalam dunia kuliah, kita sebagai mahasiswa dituntut untuk lebih mandiri dalam segala hal, baik dalam belajar dan pengembangan diri. Apalagi, buat anak-anak yang berasal dari luar daerah lain dan tinggal sebagai anak kos. Sudah pasti, itu semua butuh proses adaptasi, kemandirian, dan time management yang baik.
Memang tidak mudah untuk menjalani proses adaptasi. Maka dari itu, sebelumnya kita harus belajar dan mengerti bagaimana cara bersikap dan bersosialisasi dengan orang-orang yang baru dikenal dan berusaha untuk menjadi orang yang menyenangkan! Bagaimana caranya? Simple! Just be yourself! Tidak ada persiapan yang berarti, hanya saja tinggal menjadi diri sendiri dan percaya diri. Seperti kata pepatah, kita dapat dinilai hanya jika kita membuat diri kita bernilai.
Kisah petualangan selaku mahasiswa baru di perguruan tinggi diawali saat masa orientasi (ospek) yang tak terlupakan. Sejak saat itu pelan-pelan tapi pasti, tanpa disadari kita mengumpulkan bekal buat menjalani hari-hari berikutnya. Daftar perbekalan yang kita kumpulkan untuk menghadapi situasi kondisi di lingkungan sekolah baru selalu punya dua kecenderungan. Baik dan buruk. Itu sebabnya, kita harus selektif agar tidak sampai menjerumuskan kita.
Pertama, teman. Keberadaan seorang teman sudah menjadi kebutuhan primer dalam bergaul. Apalagi saat memasuki dunia baru ini. Teman yang baik akan memberikan pengaruh yang baik untuk kita. Dalam belajar, bergaul, atau menghadapi masalah.
Kedua, tempat tinggal. Untuk mahasiswa yang datang dari luar kota, mencari tempat tinggal sementara buat kos tidak bisa disepelekan. Selain untuk menghemat ongkos, jadi anak kos punya keuntungan bisa belajar bersama dan lebih bersosialisasi dengan teman sebaya atau masyarakat luas. Carilah tempat kos yang nyaman untuk belajar; kondusif dalam membentuk kebiasaan baik (good habit) kita sehari-hari; mengajarkan kita untuk mandiri dan disiplin, dan mendorong diri kita untuk lebih dekat dengan Tuhan.
Ketiga, kakak kelas. Menjaga hubungan baik dengan kakak kelas bukan semata-mata jadi “kambing congek” yang melulu mendengarkan pengalamannya, ingin jadi ahli waris buku pelajarannya, atau malah mencari pelindung. Walaupun ada oknum kakak kelas yang jutek, sok kuasa, atau gila hormat, kita harus tetap menghormatinya sebagai senior yang sudah lebih dulu menghuni kampus. Jadi hubungan baik dengan mereka lantaran kita satu keluarga besar dalam sekolah yang sama. Pengalaman suka-duka mereka bisa bantu kita lebih siap menyesuaikan diri dengan lingkungan baru. Tinggal pandai-pandai kitanya saja menempatkan diri di hadapan senior. Secara pribadi mereka bisa kita jadikan panutan. Untuk urusan ini, baiknya kita dekat dengan senior yang punya track record bagus. Baik dari sisi prestasi akademis maupun perilaku.
Keempat, kegiatan. Setiap sekolah pasti punya unit kegiatan mahasiswa (UKM) sebagai media penyaluran bakat seni, olahraga, intelektual, atau agama bagi para siswanya. Nggak ada salahnya jika kita mengambil salah satunya. Selain bisa mengenal teman yang berbeda kelas, angkatan, bahkan jurusan, kita pun termotivasi untuk melatih diri agar menjadi orang yang bermanfaat untuk keluarga, lingkungan, dan masyarakat. Mahasiswa tinggal memilih unit yang disukai dan pintar-pintarlah membagi waktu agar kuliah tidak kedodoran.
Selain beradaptasi dengan lingkungan, kita pun harus beradaptasi dengan cara belajar yang baru. Belajar di perguruan tinggi, jauh berbeda dengan belajar di sekolah lanjutan. Selain ketekunan, kerajinan dan keseriusan, juga kerja keras. Sifat pantang menyerah harus menjadi sifat hakiki kehidupan yang sehari-hari dijalani. Di Amerika Serikat, Kanada, Eropa, termasuk Jepang, seorang mahasiswa S-1 harus menyediakan waktu untuk belajar 12-15 jam dalam sehari. Jika waktu belajar di sekolah (ruang kelas dan laboratorium) 8 jam per hari, maka sisanya sekitar 5 jam harus disediakan untuk belajar mandiri di perpustakaan atau di rumah.
Untuk mahasiswa S-2, waktu yang harus disiapkan sedikitnya 18-20 jam, dan untuk mahasiswa S-3 akan lebih dari 20 jam. Jangan dilupakan kalau mahasiswa-mahasiswa di negara-negara tersebut, waktu tidur sangat dibatasi (umumnya kalau ada kesempatan dalam antar waktu dimanfaatkan untuk tidur beberapa menit, walaupun hanya di bawah pohon atau di bangku panjang di taman).
Jangan heran kalau kesibukan demi kesibukan yang harus dijalani mahasiswa pada hari-hari kerja, dan baru akan mendapatkan waktu luang pada hari-hari libur Sabtu dan Minggu atau hari libur lainnya. Namun, waktu senggang pun dimanfaatkan untuk belajar bersama atau belajar mandiri di perpustakaan.
Meskipun kita dituntut untuk menjadi lebih rajin dalam belajar, bukan berarti itu membiarkan kita untuk menjadi apatis. Sebagai seorang mahasiswa, kita tetap harus mengasah kepekaan kita terhadap lingkungan kita. Jangan sampai kita sampai tidak tahu, misalnya, ada pejabat kampus yang melakukan korupsi di jurusan atau melihat dengan acuh kemiskinan di sekitar kampus. Sebagai seorang mahasiswa, kita diwajibkan menanamkan pikiran bahwa sesuatu yang salah tetap harus kita benarkan.
Bagaimanapun juga, perubahan-perubahan tadi adalah sebuah jalan untuk kita dalam mencapai kesuksesan. Dalam jalan hidup kita, kita mungkin tergoda untuk mencoba mempertahankan sesuatu yang ada, padahal sesungguhnya apa yang ada hanyalah suatu fase sementara yang segera berkembang menjadi apa yang tadinya ada.
Status quo mungkin kondisi yang menyenangkan, namun karena harus terjadi perkembangan, maka harus ada perubahan. Karena kita mencari perkembangan, maka kita harus mencari perubahan. Jangan kita lihat lingkungan kita sebagaimana adanya, namun bagaimana seharusnya dan seyogyanya. Kita mencari perubahan karena kita perlu mencari jati diri yang lebih baik sehingga kita dapat memainkan peran kita dalam menciptakan dunia yang lebih baik.
Sangatlah penting bahwa kita belajar menekuk dan melentur pada setiap keadaan baru karena sikap kaku merampas kesempatan untuk melihat kebebasan dari kemungkinan-kemungkinan baru. Kita perlu mengembangkan kemampuan untuk bergerak dengan mulus dan lancar dari “tidak tahu” menjadi “tahu”, yang pada gilirannya memindah-mindahkan peran dari guru menjadi siswa berulang-ulang.
Sadarlah bahwa banyak orang yang tidak membuat perencanaan karena mereka tidak ingin mengambil risiko dari perubahan. Tidak melakukan banyak hal dalam hidup kita adalah hal yang lebih mudah dan aman daripada mengambil risiko, tapi kita akan menjadi orang yang kerdil. Maka dari itu carilah perubahan yang bisa membuat kita menjadi semua yang kita inginkan.
Comments (0)
Post a Comment