BERPIKIR SEJENAK TENTANG KEBENARAN

Posted by mochihotoru | Posted in , | Posted on 8:20:00 PM

Terkadang aku heran, mengapa orang-orang begitu berat hati untuk menerima kebenaran. Setidaknya mencari kebenaran pun mereka tidak ada niat sama sekali. Kebenaran yang kumaksud di sini adalah kebenaran tentang Tuhan, Allah, Yahweh, Khrisna, atau apapun sebutannya itu. Kebenaran tentang Sesembahan manusia. Padahal itu merupakan hal paling krusial dalam kehidupan, karena berkaitan kehidupan yang akan datang.

Banyak orang tak mau melakukan ini dengan alasan belum siap, masih muda, bukan ahlinya, bukan bidangnya, bukan urusannya, hidup itu untuk bersenang-senang, atau masih ada kerjaan lain yang katanya lebih penting. Ada pula yang berkata bahwa dia sudah tak perlu lagi mencari kebenaran karena sudah memiliki ‘kebenaran’. Mereka yang tak mau berpikir, skeptis, dan fanatis dengan pongahnya berkata: Untuk apa meragukan sesuatu (ajaran dan Kitab Suci) yang––pembimbingku pun bilang bahwa itu––memang ‘kebenaran’, jadi aku tak peduli walau orang menceritakan keganjilan dalam ajaranku. Asal percaya itu tidaklah cukup jika mengingat konsekuensi [baca: Sorga dan Neraka] yang akan diterima kita nanti. Jika dia keburu meninggal dan ‘kebenaran’ yang dia pegang ternyata salah, tak ada lagi yang bisa dia lakukan selain menyesal bersama siksaan yang amat pedih baginya!

Memang tak ada kebenaran mutlak di dunia ini. Kebenaran sendiri berasal dari ‘benar’ yang merupakan kata sifat. Sedangkan semua kata sifat itu sendiri bersifat relatif. Misalnya ketika A mengatakan si C pintar, si B belum tentu berkata sama. Inilah yang kusebut sebagai ‘relativitas adjektiva’. Kebenaran sendiri dibedakan dari tiga sudut pandang: kebenaran ilmiah, kebenaran non-ilmiah, dan kebenaran filsafat. Dan kebenaran sesungguhnya pastilah didukung oleh ketiga kebenaran tersebut di balik kata-kata dan pandangan lahiriah yang sering kali menipu; membuat salah tafsir yang akhirnya dibuatlah ajaran yang salah.

Karena skeptis, orang-orang kebanyakan berpikir bahwa hanya ‘kebenaran’ yang dia miliki sekaranglah kebenaran yang sejati tanpa pengetahuan yang menyeluruh mengenai kebenaran tersebut. Padahal dia hanya memiliki sedikit tentang apa yang dia sebut sebagai ‘kebenaran’. Pengetahuan yang hanya kulit luar, lahir, dan sifat kedagingannya saja. Dia sama sekali tak tahu dalamnya ‘kebenaran’ itu. Sejarah dan fakta-faktanya pun dia tak tahu sama. Dia hanya melakukan ritual, rela membelanya mati-matian, dan tanpa pengetahuan yang cukup mencemooh ‘kebenaran’ lain. Oleh para psikolog, inilah yang disebut fanatisme kosong.

Kebanyakan orang sudah dijejali dogma-dogma, ajaran-ajaran, bahkan mitos-mitos yang penuh kepalsuan namun bisa secara efektif menjaga kepercayaan mereka akan ‘kebenaran’ yang dipegangnya. Indoktrinasi memang menjadi alat ampuh agar manusia mengurangi rasa ingin tahunya terhadap kebenaran serta menyebabkan kelumpuhan mental manusia. Penjejalan dogma-dogma dan banyaknya berita-berita orang yang berpindah ke kepercayaannya membuat orang semakin malas mencari kebenaran. Ditambah kebiasaan manusia yang cenderung menerima apa saja yang diajarkan oleh orang-orang di sekitar, tanpa mau mencari sendiri kebenaran dari apa yang diajarkan itu. Sehingga pengetahuan yang ada hanyalah pengetahuan sempit tentang kepercayaannya yang dikhotbahkan di tempat-tempat ibadat, sekolah, atau penuturan lisan orang dekat yang satu kepercayaan.

Terdapat pula stigma bahwa sesuatu yang benar adalah sesuatu yang diikuti oleh komunitas terbanyak dan tertua. Benarkah? Jika memang demikian, ketika diajukan pertanyaan ‘satu tambah satu’ dan dijawab ‘tujuh’ oleh mayoritas kelas yang belum pernah belajar matematika adalah sesuatu yang benar? Lalu mengapa ada kisah tentang terbongkarnya kesalahan Aristoteles dalam menghitung jumlah kaki laba-laba setelah berabad-abad lamanya dipercaya banyak orang?

Membuka Kitab Suci dianggap sesuatu yang berat dan susah dimengerti (juga menakutkan bagi sebagian orang). Apalagi ditulis dalam bahasa yang bukan bahasa ibunya––padahal sudah ada terjemahan dan tafsirannya. Adapula yang berkata bahwa mereka takut salah menafsirkan jika membaca sendiri tanpa ditemani pembimbing. Padahal justru dengan demikian dia bisa mendapatkan banyak pertanyaan yang nantinya bisa dia tanyakan kepada si pembimbing tersebut agar mendapat ‘petunjuk kebenaran’––bukan kebenaran. Tidak heran banyak Kitab-Kitab Suci yang hanya tergeletak di sudut kamar tanpa pernah dibuka sedikit pun.

Pengetahuan mereka diperparah oleh sulitnya memperoleh akses tentang ilmu dari ahlinya sendiri, yaitu petinggi agama seperti ustadz, pastur, pendeta, dan lainnya. Alasan para ‘ahli kebenaran’ ini sering kali karena pamali atau berdosa terlalu banyak bertanya/ berpikir mengenai hal yang hanya dikiranya akan menghasilkan kemurtadan. Sungguh sebuah omong-kosong tingkat tinggi. Bukankah hal itu berarti melarang orang mendapat apa yang disebut Sorga yang menjadi cita-cita semua orang dan mengekang rasa keingintahuan sebagai sifat dasar manusia juga kasih karunia Tuhan? Bukankah justru dengan semakin banyak bertanya/ berpikir itu akan menghasilkan kepercayaan yang jauh lebih kuat seandainya ajarannya itu memang sebuah kebenaran? Karena hal itu, manusia pun terbiasa dengan ritual-ritual saja yang kadang mereka sendiri tidak tahu apa maknanya. Tidak aneh sekarang semakin kuatnya stigma dalam masyarakat yang menyebutkan: “Jangan terlalu banyak berpikir, nanti akan kehilangan akal”.

Niat mencari kebenaran pun terkadang bisa terhalangi oleh keluarga sendiri, terutama orang tua. Banyak kisah mengenai kecewa dan sakit hatinya orang tua karena anaknya meninggalkan ‘kebenaran’ yang mereka pegang. Padahal sebelumnya mereka selalu bangga dan bergembira ketika ada orang di luar komunitas mereka yang mencari kebenaran dan nampak akan atau sudah menganut ‘kebenaran’ yang mereka pegang. Namun mereka tak pernah sudi jika anaknya mencari ‘kebenaran’ lain yang mungkin saja kebenaran anak merekalah yang sejati. Tapi, di akhirat nanti tak ada yang bisa menolong selain Tuhan dan kebenaran yang kita pegang.

Banyak kisah tentang penentangan orang tua terhadap niat pencarian kebenaran anaknya. Dalam kitab-kitab suci agama Samawi banyak sekali cerita nabi-nabi yang demikian. Contohnya adalah Abraham (atau Abram atau Ibrahim) yang ayahnya seorang penyembah berhala. Abraham, setelah berfilsafat dan akhirnya dituntun malaikat menuju kebenaran, mengajak ayahnya menyembah satu Tuhan yang Agung. Tentu ayahnya menolak dengan keras karena sudah menganggap bahwa patung-patung yang disembah moyangnyalah yang pantas disembah. Bahkan Bapa Monoteisme ini sampai dibakar hidup-hidup oleh masyarakatnya sendiri walau akhirnya dia diselamatkan dari kobaran api.

Dalam suatu komunitas kepercayaan saat ini, terdapat istilah ekskomunikasi––sebuah ancaman yang sederhana namun menakutkan banyak orang. Ekskomunikasi adalah hukuman bagi seseorang dengan cara dikeluarkan dari komunitas kepercayaan. Bahkan yang lebih parah, di beberapa negara Timur Tengah terdapat ancaman hukuman mati bagi orang-orang semacam ini.

Tidak ada cara lain untuk mencari kebenaran selain dengan cara berpikir. Dan ini merupakan suatu kebutuhan dan keharusan bagi kita, sebagai manusia, karena hidup kita di dunia ini hanya sebentar. Tidak usah terlena dengan kehidupan dunia yang gemerlapan. Tujuan kita adalah Sorga atau Nirwana atau apapun namanya. Bagi orang-orang yang sudah terpaut nihilisme mungkin tak memerlukan lagi pencarian kebenaran karena berpikir bahwa setelah kehidupan di dunia mereka akan lenyap selamanya. Apakah anggapan mereka benar? Jawabannya pun tak bisa diperoleh selain dengan cara berpikir dan mencari sendiri bukti yang valid––bukan hanya hasil pencarian orang lain.



Manusia memang memiliki kebebasan untuk memilih. Mau mencari kebenaran (baca: Sorga yang sesungguhnya) atau mau mencari kenikmatan dunia, itu hak semua umat manusia. Namun perlu diingat bahwa hidup di dunia ini hanya sementara dan kita menghadapi masa depan yang penuh misteri. Kita tidak tahu apa yang akan terjadi kepada kita. Kita tidak tahu kapan kita mati. Bagaimana jika kita mati besok sedangkan ‘kebenaran’ yang kita pegang adalah ‘kebenaran’ yang salah yang akhirnya membawa kita jauh dari Sorga yang diharapkan sejak pertama kali kita diceritakan oleh ayah dan ibu kita. Jadi kita membutuhkan rasio di sini.

Mencari kebenaran berbeda dengan mencari pembenaran. Seseorang yang mencari kebenaran akan melihat ajarannya yang dia terima dari banyak sudut pandang––pendukung, penentang, dan netral, tanpa langsung memercayainya tapi mencari bukti penguat ketiga sudut pandang ini. Sedangkan seseorang yang mencari pembenaran akan selalu melihat ajarannya dari satu sudut pandang saja––sudut pendukung ajarannya sendiri––dan menampikan sudut pandang lain. Seseorang harus memandang sesuatu secara objektif. Hal ini baru bisa dilakukan jika dia telah bebas dari ajaran atau dogma tertentu yang sebelumnya dianut ketika pencarian dimulai. Dengan begitu, dia bisa menyatakan dengan tulus bahwa ajarannya itu benar atau sebaliknya, ajarannya itu salah. Bukan berarti wajib menjadi seorang penganut agnostik (percaya Tuhan tapi tak menganut agama). Seseorang tetap mencari kebenaran dalam kepercayaannya––mendalami kepercayaannya––sambil mencari kebenaran di luar. Ini perlu kebulatan tekat, kejujuran hati, dan keberanian besar mengingat banyak sekali tantangannya. Tetapi tantangan tersebut menjadi bukan apa-apa seandainya dia ingat Sorga yang akan dia tuju.

Namun perlu dibedakan antara pencari kebenaran dengan orang-orang yang berpindah kepercayaan tanpa didasari pemahaman yang benar. Pencari kebenaran pun berbeda dengan orang orang yang berpindah kepercayaan karena sesuatu yang disebut hidayat atau panggilan hati. Seseorang yang merasa hatinya terpanggil misalnya: karena dia sebelumnya merasakan sesuatu di dalam dirinya saat mendengar lonceng gereja/azan atau ayat-ayat Kitab Suci––bagiku itu hanya bersifat psikologis.

Jangan terlena pada kehidupan dunia. Jangan terlena pula pada ajaran yang mengantarkan ke arah Sorga ‘Katanya’––Sorga yang instan dan bebas tanggung jawab dunia. Ingatlah akan Sorga yang dinanti-nantikan itu. Walaupun sains berusaha membuktikan bahwa Tuhan dan akhirat itu hanya bualan nenek moyang kita, apa kita mau begitu saja percaya? Sayang, selama ini pula mereka gagal dan malah semakin memperjelas eksistensi Tuhan! Pencari ‘kebenaran’ itu telah memperlihatkan Kebenaran yang sesungguhnya!

Garut, Juli 2009

Comments (1)

KEBENARAN TELAH DATANG

Hadirnya sosok manusia mulia pembawa kebenaran dan ajaran “KEBENARAN” yaitu : “HIDUP YANG BENAR” dan “HUKUM YANG BENAR”.

—————HIDUP YANG BENAR
1. Jujur.
2. Sholat.
3. Yakin, sabar, sadar, tekun, ikhlas.
4. Jangan punya niat jelek dengan siapapun termasuk setan sekalipun.
5. Jangan merasa apapun.
—————————-Tanggal 6 Juni 2009
————————————–ttd
———————–Muhammad Gatot Haryanto

————–HUKUM YANG BENAR
1. Yang benar hanya Allah.
2. Saya hanya punya hak mengatakan benar dan salah.
3. Saya tidak punya hak mengadili, menghukum, membunuh.
4. Marah saya karena sayang.
5. Walaupun disakiti saya tidak punya hak untuk menyakiti.
————————-Minggu pagi jam 10.00
———————–Tanggal, 10 Januari 2010
————————————ttd
———————-Muhammad Gatot Haryanto


Demikian penyampaian singkat saya ini, semoga dapat bermanfaat bagi anda.

Sahrudin
Hp.081386480007
http://www.kiblatdunia.blogspot.com

Post a Comment