ISLAM DAN KRISTEN AGAMA KEKERASAN?
Posted by mochihotoru | Posted in Analysis, Religions | Posted on 7:28:00 PM
AJARAN ISLAM
Seperti diketahui bersama kata ‘Islam’ berarti ‘tunduk/menyerah’, berasal dari bahasa Arab, juga mempunyai hubungan dengan kata ‘Salaam’ yang berarti ‘damai’. Perlu diketahui di saat Muhammad menyerukan kitab suci Al Quran kepada bangsa Arab 14 abad lalu, salah satu misi utamanya adalah menghentikan aktivitas pembunuhan massal seperti yang kita saksikan pada WTC 11 Sept, Bom Bali 1 dan 2, dan yang terakhir pengeboman Hotel JW Mariott dan Ritz Carlton di Mega Kuningan, Jakarta.
Pada masa pra-Islam, Arab dirundung oleh perang suku, di mana hampir tiap suku-suku mempunyai dendam dan rasa ingin balas dendam terhadap suku lain, sehingga sering terjadi perang antarpuak saat itu. Bahkan Muhammad pun beberapa kali menjadi target pembunuhan namun dirinya selamat. Juga pengikutnya pada masa awal Islam, harus melakukan Hijrah karena siksaan yang dilancarkan oleh komunitas Quraisy.
Muhammad beserta pengikutnya dipaksa turun ke medan perang demi menyelamatkan diri, namun setelah situasi membaik dan kondisi masyarakat Muslim saat itu semakin mapan. Sang Nabi pun mengalihkan perhatiannya dengan membangun koalisi damai dengan suku-suku di sekitar Madinah (Yatsrib) dan memperoleh kemenangan mutlak di bumi Anshar itu. Di saat wafatnya, Muhammad telah menjadikan hampir seluruh tanah Arab dalam situasi damai.
Sebelum wafat, Muhammad pernah mewanti-wanti umatnya ketika menjalani Haji Wada:
“Marilah semua tenang dan dengarkan kata-kata yang akan kusampaikan ini. Sepeninggalku, janganlah pernah kalian menjadi murtad, dengan membentur (memotong) leher satu sama lain.” [HR Bukhari dari Abu Zur'a Ibnu 'Amr Ibnu Jarir dengan sanad sahih]
Al Quran kitab yang di dalamnya membahas banyak isu sosial, oleh karenanya wajar jika pada sejumlah ayat terdapat pembicaraan tentang perang, karena saat itu perang merupakan realitas sosial yang dihadapi oleh kaum Muslim generasi awal. Perang adalah aktivitas yang kejam pada masa itu, eksekusi mati pada tawanan perang sering terjadi, karenanya Al Quran pun pada masa itu memerintahkan “Tawan dan bunuhlah mereka di mana saja kamu menemuinya,” (Wanita 4: 89). Ayat inilah yang kerap dipakai oleh nonmuslim dan orientalis demi meyakinkan pembacanya bahwa Islam adalah agama yang haus darah. Namun sayangnya mereka tidak meneruskan ayat selanjutnya yang berbunyi: “Tetapi jika mereka membiarkan kamu, dan tidak memerangi kamu serta mengemukakan perdamaian kepadamu maka Allah tidak memberi jalan bagimu (untuk menawan dan membunuh) mereka” (Wanita 4: 90).
Dalam Al Quran, perang diizinkan untuk mempertahankan diri. Kaum Muslim tidak diperkenankan memulai permusuhan (Sapi Betina 2: 190). Perang memang aktivitas mengerikan pula kejam, namun adakalanya kamu harus melakukannya demi tujuan membebaskan/ menyelamatkan diri dari penyiksaan seperti halnya yang dialami umat Muslim saat ditindas oleh kaum kafir Mekah (Sapi Betina 2: 191; 2: 217) dan membela yang lemah (Wanita 4: 75; 22: 40). Permusuhan dan peperangan harus dihentikan selekas mungkin, dan jika musuh ingin berdamai maka umat Muslim wajib damai (Sapi Betina 2: 192).
Islam bukanlah agama yang kecanduan perang, bahkan jihad pun tidak termasuk dalam salah satu rukun Islam, maupun rukun Iman. Arti Jihad sebenarnya pun bukan ‘Perang Suci’ melainkan ‘berjuang’. Perjuangan tidak selalu dalam konteks perang, berjuang melawan diri sendiri dan hawa nafsu keburukan, adalah jihad.
Islam tidak memperkenalkan dirinya dengan pedang, sebaliknya Islam mengubah budaya pedang dengan budaya saling menghormati dan menghargai. Dalam satu surat Al Quran mengatakan,” Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam);” (Sapi Betina 2: 256). Oleh karenanya umat muslim dapat hidup berdampingan dengan komunitas Yahudi dan Kristen di Madinah, atau biasa disebut ‘Ahli Kitab’ yang menyembah Tuhan yang sama (Laba-Laba 29: 46).
Bahkan pada khotbah terakhirnya Muhammad mengatakan, “Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal.”(Kamar-Kamar 49: 13). Perhatikan ayat ini mengatakan; ”Supaya kamu saling mengenal”––¬bukan saling membunuh, bukan saling menaklukan, tapi saling mengenal!. Tuhan menginginkan tercipta suasana damai harmonis dan saling menghargai satu sama lain––seperti layaknya dua yang saling kenal.
Maka salah kaprahlah bagi mereka yang berpendapat bahwa Islam memerintahkan umatnya untuk melakukan pembunuhan besar-besaran terhadap ‘kafir’, pendapat ini sama sekali tidak ada landasannya, bahkan ia bertentangan dengan konsep Islam yang mengedepankan keadilan dan berbuat baik kepada sesama manusia, seperti tertulis pada ayat:
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (Perempuan yang Diuji 60:8)
Islam bukan agama yang menyerukan umatnya untuk selalu berperang, namun sebaliknya menyebarkan kasih kepada seluruh alam dan menjadi contoh terbaik bagi seluruh umat manusia. Islam tidak menyerukan umatnya untuk membunuhi nonmuslim yang tidak memeranginya (Hidangan 5:32; Pembeda 25:6).
Dan bagi nonmuslim yang bersahabat, maka ia mendapat perlindungan dari penguasa Islam, istilah bagi nonmuslim seperti ini ialah kafir zimi (atau dzimmi) berasal dari kata dzimah yang bermakna aman atau janji, yakni golongan nonmuslim yang hidup berdamai dalam naungan pemerintahan Islam (Daulah Islam). Mengenai kafir jenis ini Muhammad saw berpesan:
"Barangsiapa yang mengganggu seorang kafir zimmi maka aku yang menjadi lawannya nanti pada hari kiamat!". [HR. Al Khathib dalam At Tarikh dari Ibnu Mas'ud radhiallahu 'anhu dengan sanad sahih]
Selanjutnya ada juga istilah kafir muaahad (atau mu'aahad), yaitu orang kafir yang tinggal di negeri mereka sendiri, namun mempunyai perjanjian dengan kaum muslim untuk tidak saling menyerang. Nabi Besar umat Islam juga memberikan pesan kepada umatnya berkenaan kaum kafir jenis ini:
"Barangsiapa yang membunuh seorang kafir muahad maka dia tidak akan mencium aroma wangi Sorga (padahal) sesungguhnya aroma wangi Sorga itu didapati (tercium) sejauh perjalanan 40 tahun." [HR. Al Bukhari 3166, 6914; An Nasaa-i 4764; Ibnu Majah 2736; Ahmad V/36]
Adapula jenis kafir yang disebut kafir mustakmin (atau musta’mim), ialah orang kafir yang memasuki daulah Islam, ia bukan golongan zimmi bukan pula muaahad, dengan maksud meminta perlindungan. Maka umat Islam diwajibkan untuk melindunginya, seperti teredaksi pada surat Tobat 9:6:
"Dan jika salah seorang dari kaum musyrik itu meminta perlindungan kepadamu maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman Allah, kemudian antarkanlah ia ke tempat yang aman baginya.” (Tobat 9:6)
Maka sungguh sangat disayangkan melihat kenyataan dewasa ini, agama Islam dibajak oleh sebagian golongan ‘muslim’ demi menjustifikasi tindakan berdarah mereka untuk membunuhi nonmuslim. Yang padahal golongan kafir yang boleh diperangi hanyalah golongan kafir harbi, ialah kafir yang jelas-jelas memerangi Islam dan kaum Muslim. Namun begitu Islam tetap menahan umatnya agar tidak memulai perang dengan golongan harbi ini, kecuali mereka diperangi terlebih dahulu.
"Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (Sapi Betina 2:190)
Karena Islam agama dakwah, yang menyerukan umatnya agar menyebarkan ajaran Islam. Tentu menyebarkannya dengan kekerasan bukanlah cara yang tepat, namun berdakwah dengan hikmat dan cara yang baik:
"Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmat dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik." (Lebah 16:125)
Dan jika mereka menolak seruan kita maka Allah telah berfirman, “Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya?” (Yunus 10:99).
Dengan kata lain, jika mereka menolak maka seorang muslim tidak diperkenankan untuk memaksanya.
Sebagai penutup perlu diketahui pula bahwa menurut Al Quran dalam Pembeda 25:68 dijelaskan tentang seorang mukmin sejati, “Dan orang-orang yang tidak menyembah tuhan yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar."
AJARAN KRISTEN
Belakangan ini kita melihat perang dan kekerasan terjadi di banyak tempat dan dari kekerasan yang timbul itu banyak juga orang-orang yang beragama Kristen terlibat. Dalam konteks inilah sering timbul pertanyaan apakah Ajaran Kristen mengajarkan kekerasan?
Ada yang menyebut adanya indikasi kekerasan itu terjadi karena Alkitab dianggap mengajarkan hal itu, itu antara lain disebutkan terlihat dari ayat-ayat berikut:
"Mereka menumpas dengan mata pedang segala sesuatu yang di dalam kota itu, baik laki-laki maupun perempuan, baik tua maupun muda, sampai kepada lembu, domba, dan keledai." (Yosua 6:21)
"Tetapi dari kota-kota bangsa-bangsa itu yang diberikan TUHAN Allahmu, kepadamu menjadi milik pusakamu, janganlah kaubiarkan hidup apapun yang bernafas." (Ulangan 20:16)
"Siapa yang menghujat nama TUHAN, pastilah ia dihukum mati dan dilontari dengan batu oleh seluruh jamaah itu. Baik yang asing maupun orang Israel asli, bila ia menghujat nama TUHAN, haruslah dihukum mati." (Imamat 24:16)
"Jadi pergilah sekarang, kalahkanlah orang Amalek, tumpaslah segala yang ada padanya, dan janganlah ada belas kasihan padanya. Bunuhlah semuanya, laki-laki maupun perempuan, kanak-kanak maupun anak-anak yang menyusu, lembu maupun domba, unta maupun keledai." (1 Samuel 15:3).
Memang dalam Perjanjian Lama tidak sukar mencari ayat-ayat bernada seperti itu dan bila kita menafsirkannya secara harfiah di luar konteksnya maka akan mudah sampai pada kesimpulan demikian, namun apakah ini perilaku yang diikuti oleh umat Kristen?
Ayat-ayat di atas adalah ayat-ayat yang menceritakan ketika umat Israel memasuki tanah Kanaan, dan kita harus menyadari mengapa kemarahan Tuhan begitu besar sehingga menggunakan tangan orang Israel untuk menghukum mereka. Orang-orang Kanaan hidup dalam kondisi yang masih sangat primitif di mana kejahatan mereka begitu besar, mereka menyembah berhala dan sangat menghujat Tuhan, dan bahkan dalam ibadat mereka, mereka sering mengorbankan anak-anak. Etika mereka kacau sekali seperti terlihat dalam kota Sodom dan Gomora. Namun dalam Perjanjian Lama, hukuman Tuhan ini tidak hanya dilakukan terhadap musuh-musuh Israel, namun juga secara adil terhadap orang Israel sendiri bila mereka menjadi musuh Tuhan seperti dalam kasus 'Penyembahan Berhala Lembu Emas' (Keluaran 32).
Dalam Perjanjian Baru yang dijanjikan (Yeremia 31 & Yehezkiel 36) konsep 'hukum' Perjanjian Lama yang bersifat kedagingan (sunat kulup) digantikan dengan konsep 'kasih' yang bersifat batiniah (sunat hati), dan Alkitab Perjanjian Baru yang dianut orang Kristen sebagai penggenap Perjanjian Lama mengajarkan agar kita mengasihi Tuhan Allah dan mengasihi sesama manusia seperti mengasihi diri sendiri (Matius 22:34-40). Yesus sendiri memberikan contoh bahwa Ia tidak melawan melainkan rela berkorban demi umatnya.
Kalau begitu, banyak orang bertanya mengapa dalam Perjanjian Baru ada berita kekerasan juga? Bukankah ayat-ayat berikut menunjukkan hal itu?
"Jangan kamu menyangka bahwa aku datang untuk membawa damai di atas bumi; aku datang bukan untuk membawa damai melainkan pedang"
(Matius 10:34)
"Kamu menyangka, bahwa aku datang untuk membawa damai di atas bumi? Bukan, kataku kepadamu, bukan damai, melainkan pertentangan"
(Lukas 12:51)
"Dan campakkanlah hamba yang tidak berguna itu ke dalam kegelapan yang paling gelap. Di sanalah akan terdapat ratap dan kertak gigi"
(Matius 25:30)
Kembali di sini kita harus menafsirkan ayat-ayat Alkitab dengan mengerti dalam kaitan konteksnya dan tidak bisa begitu saja dilepaskan sebagai ayat yang terpisah. Yesus sendiri mengucapkan ayat Matius 10:34 itu menyebutkan dalam kaitan ayat-ayat Matius 10 pengutusan para Rasul yang ibarat domba berada ditengah serigala, mereka akan dianiaya, ditangkap, dan dibunuh, bahkan oleh orang-orang Farisi yang mempercayai Taurat Tuhan. Jadi dalam konteks situasi demikianlah maka Yesus menghibur para rasulnya bahwa 'pedang akan menjadi risiko yang harus diterima mereka yang menjadi Kristen'.
Ayat-ayat Lukas 12:51 juga bernada serupa bahwa menjadi Kristen bukan lalu disenangi semua orang maupun keluarga namun ada resiko bahwa ia bahkan akan dimusuhi oleh keluarga sendiri karena iman mereka, namun dalam konteks itu bukannya Yesus mengajar supaya para pengikutnya bermain pedang atau menentang orang lain, tetapi agar tetap mengasihi musuh-musuh mereka. Yesus sendiri berkata:
"Kamu telah mendengar firman [PL]: mata ganti mata dan gigi ganti gigi. Tetapi aku berkata kepadamu: Janganlah kamu melawan orang yang berbuat jahat kepadamu, melainkan siapapun yang menampar pipi kananmu, berilah juga kepadanya pipi kirimu... Kamu telah mendengar firman: Kasihilah sesamamu manusia dan bencilah musuhmu. Tetapi Aku berkata kepadamu: Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu.” (Matius 5:38-39, 43-44)
Ayat-ayat terdahulu mengenai pedang dan pertentangan tidak mendorong –orang-orang kristen abad pertama berontak dan melawan para penguasa Romawi, namun ayat-ayat tadi (dalam pengertiannya yang benar) justru menguatkan orang-orang Kristen mengenai harga yang harus dibayar bila menjadi orang kristen sehingga mereka rela menerima penganiayaan bahkan pembakaran karena nama Kristus.
Tetapi, mengapa di Taman Getsemane, ketika akan ditangkap Yesus tidak melarang Petrus yang membawa pedang? Dari konteksnya kita melihat bahwa bukan maksud Yesus untuk menyuruh Petrus membela diri [Petrus adalah seorang nelayan] namun dengan pengetahuan sebelumnya Yesus tahu bahwa Petrus ingin memotong telinga seorang imam, dan kejadian itu dibiarkan dengan maksud agar menjadi contoh mukjizat dan juga pelajaran bagi Petrus, Yesus berkata: "Masukkan pedang itu kembali kepada sarungnya, sebab barangsiapa menggunakan pedang, akan binasa oleh pedang." (Matius 26:52), dan ini dilanjutkan dengan menyembuhkan telinga korban.
Ayat Matius 25:30 bercerita mengenai Akhir Zaman yang menceritakan hukuman akhir bagi mereka yang tidak beriman dan tidak melakukan kehendak Allah melainkan berbuat jahat di mata Allah.
Tetapi, bagaimana dengan adanya kenyataan di mana ada masyarakat Kristen melakukan kekerasan bahkan ethnic cleansing seperti Perang Salib [yang diserukan oleh Paus Urbanus II] dan sekarang di Bosnia dan Kosovo, dan di Indonesia dalam kasus Ambon?
Di sini kita harus berhati-hati untuk tidak mengaitkan dosa bangsa [tabiat buruk suatu bangsa] dengan dosa agama [ajaran agama pada suatu bangsa] yang dianut bangsa itu. Dalam contoh Perjanjian Lama kita sering melihat (terutama dalam kitab Nabi-Nabi) bahwa Tuhan menyalahkan orang Israel (yang beragama Taurat) karena tidak taat kepada Tuhan (pemberi Taurat), jadi misalnya kalau orang Israel membantai musuh-musuh Palestinanya, kita tidak bisa begitu saja menafsirkan seakan-akan Perjanjian Lama mengajarkan untuk membantai pengikut Al Quran dan pengikut Perjanjian Baru (ingat 30% rakyat Palestina beragama Kristen dan ikut berjuang, termasuk isteri Arafat). Orang Israel bertindak sadis bukan karena ajaran Perjanjian Lama, namun karena watak pemberontakan mereka kepada Tuhan yang menghasilkan tradisi Zionisme di luar kehendak Tuhan.
Orang-orang yang beragama Kristen yang ikut Perang Salib tidak menggunakan ayat-ayat Alkitab namun lebih membawakan misi peradaban Eropa yang ingin menunjukkan supremasi mereka pada peradaban Timur Tengah, agama Kristen sendiri tidak pernah mengajarkan umatnya untuk merebut kota Yerusalem. Jadi di sini kita melihat dosa bangsa yang tidak sesuai dengan firman Tuhan.
Memang harus diakui bahwa sejak Konstantin, raja Romawi, masuk Kristen (entah benar entah karena alasan politis, atau keduanya) maka secara massal rakyat ikut-ikutan menjadi 'kristen' (sebagai agama tradisi) sekalipun mereka belum bertobat dan tetap menyembah patung dan merayakan upacara penyembahan berhala. Ketika terjadi Reformasi di Eropa memang ada saling-bunuh antara orang Katolik dan Protestan (seperti Irlandia sekarang) tertentu namun itu bukan karena ajaran Alkitab, karena ajarannya sama, namun karena perbenturan kepentingan ras dalam berebut tanah dan kekuasaan.
Soal Bosnia dan Kosovo, menarik untuk diamati bahwa sekalipun melibatkan anarkisme Serbia yang secara tadisional beragama Kristen Ortodoks melawan Bosnia dan Kosovo yang secara tradisional beragama Islam, namun itu bukan perang Kristen-Islam melainkan perang etnis berebut tanah dan kekuasaan, soalnya Serbia juga memerangi Kroasia dengan motivasi sama padahal Kroasia beragama tradisi Kristen Katolik. Yang menarik dalam perang ini adalah justru yang kemudian membebaskan Bosnia dan Kosovo dari tangan Serbia adalah koalisi Barat (yang dianggap Kristen), jadi apakah kita akan menyimpulkannya sebagai perang agama di mana Kristen (Serbia) membasmi Islam (Bosnia & Kosovo) dan kemudian si pembasmi itu sendiri (yang Kristen) dibasmi Kristen (koalisi Barat), tentu tidak bisa ditafsirkan begitu, bukan?
Dalam kasus Ambon, kalau kita lihat urusannya memang melibatkan kedua belah pihak yang dibatasi perbedaan agama, tetapi kembali harus diingat karena konflik Ambon punya sejarah panjang perebutan tanah, kekuasaan dan 'emas hijau' (rempah-rempah) ditambah sikap kedua pihak yang berwatak keras! Kalau itu perang agama dan Alkitab mengajarkan kekerasan tentu umat Kristen di mana-mana di Indonesia akan mengangkat pedang karena gereja mereka banyak dibakar dan akan mengirimkan 'Laskar Kristen' untuk ikut berperang di Ambon, namun itu tidak pernah terjadi! Mengapa? Karena Ambon adalah perang etnis dan Alkitab tidak mengajarkan kekerasan.
Dari penjelasan di atas kita dapat melihat bahwa untuk mendatangkan damai rasa maaf dan kasih harus dijalankan oleh semua umat beragama, dan kalau ia belum melakukannya berarti ia belum melakukan kehendak Tuhan; jadi perbuatannya tidak mewakili ajaran agamanya melainkan lebih mewakili ajaran suku dan tradisinya, dan sejalan dengan watak keras yang belum diperbaharui oleh firman Tuhan.
Harus diakui sebagai introspeksi bagi umat Kristen dan Islam sendiri agar lebih menempatkan ajaran Kitab Suci di atas kepentingan dan sentimen ras dan golongan, karena itu dalam menghadapi perang saudara di Ambon, umat Kristen dan umat Islam perlu menahan diri untuk tidak begitu saja menyalahkan satu pihak dan membenarkan pihak lain yang kebetulan secara tradisional berlabel agama yang sama. Kedua pihak sama-sama mempunyai kesalahan dan kebenaran, dan khususnya umat bergama Kristen dan Islam yang ikut berperang dan melakukan pengusiran (banyak umat kristen dan muslim di Ambon tidak ikut berperang yang juga menjadi korban) perlu kita doakan dan ingatkan agar mereka kembali ke jalan Allah.
Menarik sekali bahwa banyak kesadaran sudah timbul di kalangan umat beragama untuk membantu para pengungsi dengan segala daya yang bukan diarahkan kepada mereka yang seagama namun kepada semua yang menderita sebagai korban perang saudara itu.
Gregory Baum dalam bukunya 'Religion & Alienation' mengemukan sifat ambigu agama, yaitu disatu segi agama bisa bersifat menyembuhkan (therapeutic) namun ia juga bisa mengasingkan manusia dari sesamanya (alienating). Adalah tugas setiap insan beragama di Indonesia untuk tidak terlibat pada sentimen SARA tetapi untuk berpijak pada kebenaran dan berusaha sebanyak mungkin untuk menjadikan agamanya masing-masing sebagai yang mendatangkan penyembuhan yang bersifat 'therapeutic' agar damai sejahtera dialami semua pihak.
(sumber: kajian-agama.blogspot.com dan yabina.org dengan perubahan)
Seperti diketahui bersama kata ‘Islam’ berarti ‘tunduk/menyerah’, berasal dari bahasa Arab, juga mempunyai hubungan dengan kata ‘Salaam’ yang berarti ‘damai’. Perlu diketahui di saat Muhammad menyerukan kitab suci Al Quran kepada bangsa Arab 14 abad lalu, salah satu misi utamanya adalah menghentikan aktivitas pembunuhan massal seperti yang kita saksikan pada WTC 11 Sept, Bom Bali 1 dan 2, dan yang terakhir pengeboman Hotel JW Mariott dan Ritz Carlton di Mega Kuningan, Jakarta.
Pada masa pra-Islam, Arab dirundung oleh perang suku, di mana hampir tiap suku-suku mempunyai dendam dan rasa ingin balas dendam terhadap suku lain, sehingga sering terjadi perang antarpuak saat itu. Bahkan Muhammad pun beberapa kali menjadi target pembunuhan namun dirinya selamat. Juga pengikutnya pada masa awal Islam, harus melakukan Hijrah karena siksaan yang dilancarkan oleh komunitas Quraisy.
Muhammad beserta pengikutnya dipaksa turun ke medan perang demi menyelamatkan diri, namun setelah situasi membaik dan kondisi masyarakat Muslim saat itu semakin mapan. Sang Nabi pun mengalihkan perhatiannya dengan membangun koalisi damai dengan suku-suku di sekitar Madinah (Yatsrib) dan memperoleh kemenangan mutlak di bumi Anshar itu. Di saat wafatnya, Muhammad telah menjadikan hampir seluruh tanah Arab dalam situasi damai.
Sebelum wafat, Muhammad pernah mewanti-wanti umatnya ketika menjalani Haji Wada:
“Marilah semua tenang dan dengarkan kata-kata yang akan kusampaikan ini. Sepeninggalku, janganlah pernah kalian menjadi murtad, dengan membentur (memotong) leher satu sama lain.” [HR Bukhari dari Abu Zur'a Ibnu 'Amr Ibnu Jarir dengan sanad sahih]
Al Quran kitab yang di dalamnya membahas banyak isu sosial, oleh karenanya wajar jika pada sejumlah ayat terdapat pembicaraan tentang perang, karena saat itu perang merupakan realitas sosial yang dihadapi oleh kaum Muslim generasi awal. Perang adalah aktivitas yang kejam pada masa itu, eksekusi mati pada tawanan perang sering terjadi, karenanya Al Quran pun pada masa itu memerintahkan “Tawan dan bunuhlah mereka di mana saja kamu menemuinya,” (Wanita 4: 89). Ayat inilah yang kerap dipakai oleh nonmuslim dan orientalis demi meyakinkan pembacanya bahwa Islam adalah agama yang haus darah. Namun sayangnya mereka tidak meneruskan ayat selanjutnya yang berbunyi: “Tetapi jika mereka membiarkan kamu, dan tidak memerangi kamu serta mengemukakan perdamaian kepadamu maka Allah tidak memberi jalan bagimu (untuk menawan dan membunuh) mereka” (Wanita 4: 90).
Dalam Al Quran, perang diizinkan untuk mempertahankan diri. Kaum Muslim tidak diperkenankan memulai permusuhan (Sapi Betina 2: 190). Perang memang aktivitas mengerikan pula kejam, namun adakalanya kamu harus melakukannya demi tujuan membebaskan/ menyelamatkan diri dari penyiksaan seperti halnya yang dialami umat Muslim saat ditindas oleh kaum kafir Mekah (Sapi Betina 2: 191; 2: 217) dan membela yang lemah (Wanita 4: 75; 22: 40). Permusuhan dan peperangan harus dihentikan selekas mungkin, dan jika musuh ingin berdamai maka umat Muslim wajib damai (Sapi Betina 2: 192).
Islam bukanlah agama yang kecanduan perang, bahkan jihad pun tidak termasuk dalam salah satu rukun Islam, maupun rukun Iman. Arti Jihad sebenarnya pun bukan ‘Perang Suci’ melainkan ‘berjuang’. Perjuangan tidak selalu dalam konteks perang, berjuang melawan diri sendiri dan hawa nafsu keburukan, adalah jihad.
Islam tidak memperkenalkan dirinya dengan pedang, sebaliknya Islam mengubah budaya pedang dengan budaya saling menghormati dan menghargai. Dalam satu surat Al Quran mengatakan,” Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam);” (Sapi Betina 2: 256). Oleh karenanya umat muslim dapat hidup berdampingan dengan komunitas Yahudi dan Kristen di Madinah, atau biasa disebut ‘Ahli Kitab’ yang menyembah Tuhan yang sama (Laba-Laba 29: 46).
Bahkan pada khotbah terakhirnya Muhammad mengatakan, “Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal.”(Kamar-Kamar 49: 13). Perhatikan ayat ini mengatakan; ”Supaya kamu saling mengenal”––¬bukan saling membunuh, bukan saling menaklukan, tapi saling mengenal!. Tuhan menginginkan tercipta suasana damai harmonis dan saling menghargai satu sama lain––seperti layaknya dua yang saling kenal.
Maka salah kaprahlah bagi mereka yang berpendapat bahwa Islam memerintahkan umatnya untuk melakukan pembunuhan besar-besaran terhadap ‘kafir’, pendapat ini sama sekali tidak ada landasannya, bahkan ia bertentangan dengan konsep Islam yang mengedepankan keadilan dan berbuat baik kepada sesama manusia, seperti tertulis pada ayat:
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (Perempuan yang Diuji 60:8)
Islam bukan agama yang menyerukan umatnya untuk selalu berperang, namun sebaliknya menyebarkan kasih kepada seluruh alam dan menjadi contoh terbaik bagi seluruh umat manusia. Islam tidak menyerukan umatnya untuk membunuhi nonmuslim yang tidak memeranginya (Hidangan 5:32; Pembeda 25:6).
Dan bagi nonmuslim yang bersahabat, maka ia mendapat perlindungan dari penguasa Islam, istilah bagi nonmuslim seperti ini ialah kafir zimi (atau dzimmi) berasal dari kata dzimah yang bermakna aman atau janji, yakni golongan nonmuslim yang hidup berdamai dalam naungan pemerintahan Islam (Daulah Islam). Mengenai kafir jenis ini Muhammad saw berpesan:
"Barangsiapa yang mengganggu seorang kafir zimmi maka aku yang menjadi lawannya nanti pada hari kiamat!". [HR. Al Khathib dalam At Tarikh dari Ibnu Mas'ud radhiallahu 'anhu dengan sanad sahih]
Selanjutnya ada juga istilah kafir muaahad (atau mu'aahad), yaitu orang kafir yang tinggal di negeri mereka sendiri, namun mempunyai perjanjian dengan kaum muslim untuk tidak saling menyerang. Nabi Besar umat Islam juga memberikan pesan kepada umatnya berkenaan kaum kafir jenis ini:
"Barangsiapa yang membunuh seorang kafir muahad maka dia tidak akan mencium aroma wangi Sorga (padahal) sesungguhnya aroma wangi Sorga itu didapati (tercium) sejauh perjalanan 40 tahun." [HR. Al Bukhari 3166, 6914; An Nasaa-i 4764; Ibnu Majah 2736; Ahmad V/36]
Adapula jenis kafir yang disebut kafir mustakmin (atau musta’mim), ialah orang kafir yang memasuki daulah Islam, ia bukan golongan zimmi bukan pula muaahad, dengan maksud meminta perlindungan. Maka umat Islam diwajibkan untuk melindunginya, seperti teredaksi pada surat Tobat 9:6:
"Dan jika salah seorang dari kaum musyrik itu meminta perlindungan kepadamu maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman Allah, kemudian antarkanlah ia ke tempat yang aman baginya.” (Tobat 9:6)
Maka sungguh sangat disayangkan melihat kenyataan dewasa ini, agama Islam dibajak oleh sebagian golongan ‘muslim’ demi menjustifikasi tindakan berdarah mereka untuk membunuhi nonmuslim. Yang padahal golongan kafir yang boleh diperangi hanyalah golongan kafir harbi, ialah kafir yang jelas-jelas memerangi Islam dan kaum Muslim. Namun begitu Islam tetap menahan umatnya agar tidak memulai perang dengan golongan harbi ini, kecuali mereka diperangi terlebih dahulu.
"Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (Sapi Betina 2:190)
Karena Islam agama dakwah, yang menyerukan umatnya agar menyebarkan ajaran Islam. Tentu menyebarkannya dengan kekerasan bukanlah cara yang tepat, namun berdakwah dengan hikmat dan cara yang baik:
"Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmat dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik." (Lebah 16:125)
Dan jika mereka menolak seruan kita maka Allah telah berfirman, “Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya?” (Yunus 10:99).
Dengan kata lain, jika mereka menolak maka seorang muslim tidak diperkenankan untuk memaksanya.
Sebagai penutup perlu diketahui pula bahwa menurut Al Quran dalam Pembeda 25:68 dijelaskan tentang seorang mukmin sejati, “Dan orang-orang yang tidak menyembah tuhan yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar."
AJARAN KRISTEN
Belakangan ini kita melihat perang dan kekerasan terjadi di banyak tempat dan dari kekerasan yang timbul itu banyak juga orang-orang yang beragama Kristen terlibat. Dalam konteks inilah sering timbul pertanyaan apakah Ajaran Kristen mengajarkan kekerasan?
Ada yang menyebut adanya indikasi kekerasan itu terjadi karena Alkitab dianggap mengajarkan hal itu, itu antara lain disebutkan terlihat dari ayat-ayat berikut:
"Mereka menumpas dengan mata pedang segala sesuatu yang di dalam kota itu, baik laki-laki maupun perempuan, baik tua maupun muda, sampai kepada lembu, domba, dan keledai." (Yosua 6:21)
"Tetapi dari kota-kota bangsa-bangsa itu yang diberikan TUHAN Allahmu, kepadamu menjadi milik pusakamu, janganlah kaubiarkan hidup apapun yang bernafas." (Ulangan 20:16)
"Siapa yang menghujat nama TUHAN, pastilah ia dihukum mati dan dilontari dengan batu oleh seluruh jamaah itu. Baik yang asing maupun orang Israel asli, bila ia menghujat nama TUHAN, haruslah dihukum mati." (Imamat 24:16)
"Jadi pergilah sekarang, kalahkanlah orang Amalek, tumpaslah segala yang ada padanya, dan janganlah ada belas kasihan padanya. Bunuhlah semuanya, laki-laki maupun perempuan, kanak-kanak maupun anak-anak yang menyusu, lembu maupun domba, unta maupun keledai." (1 Samuel 15:3).
Memang dalam Perjanjian Lama tidak sukar mencari ayat-ayat bernada seperti itu dan bila kita menafsirkannya secara harfiah di luar konteksnya maka akan mudah sampai pada kesimpulan demikian, namun apakah ini perilaku yang diikuti oleh umat Kristen?
Ayat-ayat di atas adalah ayat-ayat yang menceritakan ketika umat Israel memasuki tanah Kanaan, dan kita harus menyadari mengapa kemarahan Tuhan begitu besar sehingga menggunakan tangan orang Israel untuk menghukum mereka. Orang-orang Kanaan hidup dalam kondisi yang masih sangat primitif di mana kejahatan mereka begitu besar, mereka menyembah berhala dan sangat menghujat Tuhan, dan bahkan dalam ibadat mereka, mereka sering mengorbankan anak-anak. Etika mereka kacau sekali seperti terlihat dalam kota Sodom dan Gomora. Namun dalam Perjanjian Lama, hukuman Tuhan ini tidak hanya dilakukan terhadap musuh-musuh Israel, namun juga secara adil terhadap orang Israel sendiri bila mereka menjadi musuh Tuhan seperti dalam kasus 'Penyembahan Berhala Lembu Emas' (Keluaran 32).
Dalam Perjanjian Baru yang dijanjikan (Yeremia 31 & Yehezkiel 36) konsep 'hukum' Perjanjian Lama yang bersifat kedagingan (sunat kulup) digantikan dengan konsep 'kasih' yang bersifat batiniah (sunat hati), dan Alkitab Perjanjian Baru yang dianut orang Kristen sebagai penggenap Perjanjian Lama mengajarkan agar kita mengasihi Tuhan Allah dan mengasihi sesama manusia seperti mengasihi diri sendiri (Matius 22:34-40). Yesus sendiri memberikan contoh bahwa Ia tidak melawan melainkan rela berkorban demi umatnya.
Kalau begitu, banyak orang bertanya mengapa dalam Perjanjian Baru ada berita kekerasan juga? Bukankah ayat-ayat berikut menunjukkan hal itu?
"Jangan kamu menyangka bahwa aku datang untuk membawa damai di atas bumi; aku datang bukan untuk membawa damai melainkan pedang"
(Matius 10:34)
"Kamu menyangka, bahwa aku datang untuk membawa damai di atas bumi? Bukan, kataku kepadamu, bukan damai, melainkan pertentangan"
(Lukas 12:51)
"Dan campakkanlah hamba yang tidak berguna itu ke dalam kegelapan yang paling gelap. Di sanalah akan terdapat ratap dan kertak gigi"
(Matius 25:30)
Kembali di sini kita harus menafsirkan ayat-ayat Alkitab dengan mengerti dalam kaitan konteksnya dan tidak bisa begitu saja dilepaskan sebagai ayat yang terpisah. Yesus sendiri mengucapkan ayat Matius 10:34 itu menyebutkan dalam kaitan ayat-ayat Matius 10 pengutusan para Rasul yang ibarat domba berada ditengah serigala, mereka akan dianiaya, ditangkap, dan dibunuh, bahkan oleh orang-orang Farisi yang mempercayai Taurat Tuhan. Jadi dalam konteks situasi demikianlah maka Yesus menghibur para rasulnya bahwa 'pedang akan menjadi risiko yang harus diterima mereka yang menjadi Kristen'.
Ayat-ayat Lukas 12:51 juga bernada serupa bahwa menjadi Kristen bukan lalu disenangi semua orang maupun keluarga namun ada resiko bahwa ia bahkan akan dimusuhi oleh keluarga sendiri karena iman mereka, namun dalam konteks itu bukannya Yesus mengajar supaya para pengikutnya bermain pedang atau menentang orang lain, tetapi agar tetap mengasihi musuh-musuh mereka. Yesus sendiri berkata:
"Kamu telah mendengar firman [PL]: mata ganti mata dan gigi ganti gigi. Tetapi aku berkata kepadamu: Janganlah kamu melawan orang yang berbuat jahat kepadamu, melainkan siapapun yang menampar pipi kananmu, berilah juga kepadanya pipi kirimu... Kamu telah mendengar firman: Kasihilah sesamamu manusia dan bencilah musuhmu. Tetapi Aku berkata kepadamu: Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu.” (Matius 5:38-39, 43-44)
Ayat-ayat terdahulu mengenai pedang dan pertentangan tidak mendorong –orang-orang kristen abad pertama berontak dan melawan para penguasa Romawi, namun ayat-ayat tadi (dalam pengertiannya yang benar) justru menguatkan orang-orang Kristen mengenai harga yang harus dibayar bila menjadi orang kristen sehingga mereka rela menerima penganiayaan bahkan pembakaran karena nama Kristus.
Tetapi, mengapa di Taman Getsemane, ketika akan ditangkap Yesus tidak melarang Petrus yang membawa pedang? Dari konteksnya kita melihat bahwa bukan maksud Yesus untuk menyuruh Petrus membela diri [Petrus adalah seorang nelayan] namun dengan pengetahuan sebelumnya Yesus tahu bahwa Petrus ingin memotong telinga seorang imam, dan kejadian itu dibiarkan dengan maksud agar menjadi contoh mukjizat dan juga pelajaran bagi Petrus, Yesus berkata: "Masukkan pedang itu kembali kepada sarungnya, sebab barangsiapa menggunakan pedang, akan binasa oleh pedang." (Matius 26:52), dan ini dilanjutkan dengan menyembuhkan telinga korban.
Ayat Matius 25:30 bercerita mengenai Akhir Zaman yang menceritakan hukuman akhir bagi mereka yang tidak beriman dan tidak melakukan kehendak Allah melainkan berbuat jahat di mata Allah.
Tetapi, bagaimana dengan adanya kenyataan di mana ada masyarakat Kristen melakukan kekerasan bahkan ethnic cleansing seperti Perang Salib [yang diserukan oleh Paus Urbanus II] dan sekarang di Bosnia dan Kosovo, dan di Indonesia dalam kasus Ambon?
Di sini kita harus berhati-hati untuk tidak mengaitkan dosa bangsa [tabiat buruk suatu bangsa] dengan dosa agama [ajaran agama pada suatu bangsa] yang dianut bangsa itu. Dalam contoh Perjanjian Lama kita sering melihat (terutama dalam kitab Nabi-Nabi) bahwa Tuhan menyalahkan orang Israel (yang beragama Taurat) karena tidak taat kepada Tuhan (pemberi Taurat), jadi misalnya kalau orang Israel membantai musuh-musuh Palestinanya, kita tidak bisa begitu saja menafsirkan seakan-akan Perjanjian Lama mengajarkan untuk membantai pengikut Al Quran dan pengikut Perjanjian Baru (ingat 30% rakyat Palestina beragama Kristen dan ikut berjuang, termasuk isteri Arafat). Orang Israel bertindak sadis bukan karena ajaran Perjanjian Lama, namun karena watak pemberontakan mereka kepada Tuhan yang menghasilkan tradisi Zionisme di luar kehendak Tuhan.
Orang-orang yang beragama Kristen yang ikut Perang Salib tidak menggunakan ayat-ayat Alkitab namun lebih membawakan misi peradaban Eropa yang ingin menunjukkan supremasi mereka pada peradaban Timur Tengah, agama Kristen sendiri tidak pernah mengajarkan umatnya untuk merebut kota Yerusalem. Jadi di sini kita melihat dosa bangsa yang tidak sesuai dengan firman Tuhan.
Memang harus diakui bahwa sejak Konstantin, raja Romawi, masuk Kristen (entah benar entah karena alasan politis, atau keduanya) maka secara massal rakyat ikut-ikutan menjadi 'kristen' (sebagai agama tradisi) sekalipun mereka belum bertobat dan tetap menyembah patung dan merayakan upacara penyembahan berhala. Ketika terjadi Reformasi di Eropa memang ada saling-bunuh antara orang Katolik dan Protestan (seperti Irlandia sekarang) tertentu namun itu bukan karena ajaran Alkitab, karena ajarannya sama, namun karena perbenturan kepentingan ras dalam berebut tanah dan kekuasaan.
Soal Bosnia dan Kosovo, menarik untuk diamati bahwa sekalipun melibatkan anarkisme Serbia yang secara tadisional beragama Kristen Ortodoks melawan Bosnia dan Kosovo yang secara tradisional beragama Islam, namun itu bukan perang Kristen-Islam melainkan perang etnis berebut tanah dan kekuasaan, soalnya Serbia juga memerangi Kroasia dengan motivasi sama padahal Kroasia beragama tradisi Kristen Katolik. Yang menarik dalam perang ini adalah justru yang kemudian membebaskan Bosnia dan Kosovo dari tangan Serbia adalah koalisi Barat (yang dianggap Kristen), jadi apakah kita akan menyimpulkannya sebagai perang agama di mana Kristen (Serbia) membasmi Islam (Bosnia & Kosovo) dan kemudian si pembasmi itu sendiri (yang Kristen) dibasmi Kristen (koalisi Barat), tentu tidak bisa ditafsirkan begitu, bukan?
Dalam kasus Ambon, kalau kita lihat urusannya memang melibatkan kedua belah pihak yang dibatasi perbedaan agama, tetapi kembali harus diingat karena konflik Ambon punya sejarah panjang perebutan tanah, kekuasaan dan 'emas hijau' (rempah-rempah) ditambah sikap kedua pihak yang berwatak keras! Kalau itu perang agama dan Alkitab mengajarkan kekerasan tentu umat Kristen di mana-mana di Indonesia akan mengangkat pedang karena gereja mereka banyak dibakar dan akan mengirimkan 'Laskar Kristen' untuk ikut berperang di Ambon, namun itu tidak pernah terjadi! Mengapa? Karena Ambon adalah perang etnis dan Alkitab tidak mengajarkan kekerasan.
Dari penjelasan di atas kita dapat melihat bahwa untuk mendatangkan damai rasa maaf dan kasih harus dijalankan oleh semua umat beragama, dan kalau ia belum melakukannya berarti ia belum melakukan kehendak Tuhan; jadi perbuatannya tidak mewakili ajaran agamanya melainkan lebih mewakili ajaran suku dan tradisinya, dan sejalan dengan watak keras yang belum diperbaharui oleh firman Tuhan.
Harus diakui sebagai introspeksi bagi umat Kristen dan Islam sendiri agar lebih menempatkan ajaran Kitab Suci di atas kepentingan dan sentimen ras dan golongan, karena itu dalam menghadapi perang saudara di Ambon, umat Kristen dan umat Islam perlu menahan diri untuk tidak begitu saja menyalahkan satu pihak dan membenarkan pihak lain yang kebetulan secara tradisional berlabel agama yang sama. Kedua pihak sama-sama mempunyai kesalahan dan kebenaran, dan khususnya umat bergama Kristen dan Islam yang ikut berperang dan melakukan pengusiran (banyak umat kristen dan muslim di Ambon tidak ikut berperang yang juga menjadi korban) perlu kita doakan dan ingatkan agar mereka kembali ke jalan Allah.
Menarik sekali bahwa banyak kesadaran sudah timbul di kalangan umat beragama untuk membantu para pengungsi dengan segala daya yang bukan diarahkan kepada mereka yang seagama namun kepada semua yang menderita sebagai korban perang saudara itu.
Gregory Baum dalam bukunya 'Religion & Alienation' mengemukan sifat ambigu agama, yaitu disatu segi agama bisa bersifat menyembuhkan (therapeutic) namun ia juga bisa mengasingkan manusia dari sesamanya (alienating). Adalah tugas setiap insan beragama di Indonesia untuk tidak terlibat pada sentimen SARA tetapi untuk berpijak pada kebenaran dan berusaha sebanyak mungkin untuk menjadikan agamanya masing-masing sebagai yang mendatangkan penyembuhan yang bersifat 'therapeutic' agar damai sejahtera dialami semua pihak.
(sumber: kajian-agama.blogspot.com dan yabina.org dengan perubahan)
nice artikel gan... ijin share ya...
Kalau agama dipakai sebagai alasan untuk membantai manusia lain, lbh baik agama dihapus saja.