SAHABAT? BULLSHIT!!
Posted by mochihotoru | Posted in Thoughts | Posted on 4:57:00 PM
Hari ini, aku mendengar curahan hati temanku tentang pengkhianatan seorang "sahabat". Temanku--yang tak mungkin kusebut namanya di sini--bercerita bahwa si "sahabat" itu merebut pacarnya.
Awalnya si "sahabat" itu meminta bantuan pacar temanku. Keputusan muncul di mana si pacar harus berpura-pura menjadi kekasih si "sahabat". Dari sana, mereka mulai dekat dan akhirnya si pacar sampai tega berkencan tanpa sepengetahuan temanku itu. Pernah, katanya, mereka di tempat dan waktu berlainan mengatakan secara terang-terangan kepada temanku bahwa mereka saling suka [tepatnya, sayang].
Terlepas dari cerita tersebut yang mungkin terlalu dini untuk menyimpulkan bahwa itu merupakan sebuah "pengkhiatan seorang sahabat", sejak dulu hingga sekarang aku tidak percaya dengan yang namanya SAHABAT. Tidak sama sekali! Bahkan aku tak pernah terpikir untuk mencoba memiliki sahabat bahkan sekali pun.
Aku memang belum pernah merasakan memiliki sahabat. Aku memang belum pernah merasakan dikhianati seorang sahabat. Bukan pengalaman, memang, yang membuatku sangat anti dengan kata itu. TABU bagiku untuk memiliki sahabat!
Walaupun kadang aku mengucapkannya, bagiku, kosakata itu memiliki pengertian sama dengan 'teman'. Ketika aku mengucapkan "Kau memang sahabatku!", itu bukan berarti dalam makna sebenarnya. Sahabat, ya, teman. Teman, ya, teman. Orang yang menemani. Untuk mengobrol, berbagi cerita dan sesuatu yang berharga, berjalan-jalan, melepaskan penat, bercanda-tawa, rekan kerja, tempat meminta-beri pertolongan, tempat saling mengenal, dan sebangsanya.
Dalam bahasa Inggris tak ada istilah khusus untuk 'sahabat'. Yang ada hanya best friend 'teman terbaik'. Istilah best friend ini lantas oleh kita disejajarkan dengan istilah sahabat. Namun, faktanya, yang namanya 'sahabat' seolah menempati tangga prestasi lebih tinggi daripada 'teman terbaik'. Sebuah kenaifan yang jarang disadari.
Lantas, mengapa aku begitu antipati dengan istilah itu? Setiap manusia memiliki pemikiran sendiri. Setiap pemikiran tersebut memiliki sejarahnya sendiri yang berhubungan dengan psikologi, pengetahuan, dan masa lalu orang tersebut. Sebuah pertemanan dapat menjadikan setiap pemikiran yang berbeda menjadi satu, atau setidaknya terjadi harmonisasi.
Namun, pemikiran-pemikiran tersebut bisa saja berubah 180 derajat sewaktu-waktu. Semua didasarkan kepentingan pribadi. Tidak setiap orang bisa menjaga harmonisasi tadi walaupun pertemanan sudah berlangsung, katakanlah, sejak batita. Walaupun hati mereka sudah terikat.
Lantas, mereka tadi menamakan pertemanan mereka "PERSAHABATAN". Mereka berkata bahwa pertemanan mereka adalah didasarkan oleh hati, ketulusan dan pengorbanan. Mereka berkata persahabatan mereka takkan lekang dimakan waktu. Benarkah? Apakah mereka tidak pernah memperkirakan hal-hal apa saja yang mungkin terjadi? Apa mereka yakin 100% bahwa mereka tahu sifat-sifat sebenarnya dari 'sahabat' mereka?
Pandanganku mungkin terlihat skeptis. Tapi, setidaknya, kita sebagai manusia yang ditakdirkan untuk berpikir [cogito, ergo sum] harusnya tidak pernah memiliki pegangan 'let it flow', termasuk di dalamnya perihal 'sahabat'. Persahabatan bukanlah satu-satunya tempat bagi kita untuk, bahkan, menyerakan privasi dan intelektualitas kita. Hanya sebagai 'teman'. Dan cukup 'teman'.
Awalnya si "sahabat" itu meminta bantuan pacar temanku. Keputusan muncul di mana si pacar harus berpura-pura menjadi kekasih si "sahabat". Dari sana, mereka mulai dekat dan akhirnya si pacar sampai tega berkencan tanpa sepengetahuan temanku itu. Pernah, katanya, mereka di tempat dan waktu berlainan mengatakan secara terang-terangan kepada temanku bahwa mereka saling suka [tepatnya, sayang].
Terlepas dari cerita tersebut yang mungkin terlalu dini untuk menyimpulkan bahwa itu merupakan sebuah "pengkhiatan seorang sahabat", sejak dulu hingga sekarang aku tidak percaya dengan yang namanya SAHABAT. Tidak sama sekali! Bahkan aku tak pernah terpikir untuk mencoba memiliki sahabat bahkan sekali pun.
Aku memang belum pernah merasakan memiliki sahabat. Aku memang belum pernah merasakan dikhianati seorang sahabat. Bukan pengalaman, memang, yang membuatku sangat anti dengan kata itu. TABU bagiku untuk memiliki sahabat!
Walaupun kadang aku mengucapkannya, bagiku, kosakata itu memiliki pengertian sama dengan 'teman'. Ketika aku mengucapkan "Kau memang sahabatku!", itu bukan berarti dalam makna sebenarnya. Sahabat, ya, teman. Teman, ya, teman. Orang yang menemani. Untuk mengobrol, berbagi cerita dan sesuatu yang berharga, berjalan-jalan, melepaskan penat, bercanda-tawa, rekan kerja, tempat meminta-beri pertolongan, tempat saling mengenal, dan sebangsanya.
Dalam bahasa Inggris tak ada istilah khusus untuk 'sahabat'. Yang ada hanya best friend 'teman terbaik'. Istilah best friend ini lantas oleh kita disejajarkan dengan istilah sahabat. Namun, faktanya, yang namanya 'sahabat' seolah menempati tangga prestasi lebih tinggi daripada 'teman terbaik'. Sebuah kenaifan yang jarang disadari.
Lantas, mengapa aku begitu antipati dengan istilah itu? Setiap manusia memiliki pemikiran sendiri. Setiap pemikiran tersebut memiliki sejarahnya sendiri yang berhubungan dengan psikologi, pengetahuan, dan masa lalu orang tersebut. Sebuah pertemanan dapat menjadikan setiap pemikiran yang berbeda menjadi satu, atau setidaknya terjadi harmonisasi.
Namun, pemikiran-pemikiran tersebut bisa saja berubah 180 derajat sewaktu-waktu. Semua didasarkan kepentingan pribadi. Tidak setiap orang bisa menjaga harmonisasi tadi walaupun pertemanan sudah berlangsung, katakanlah, sejak batita. Walaupun hati mereka sudah terikat.
Lantas, mereka tadi menamakan pertemanan mereka "PERSAHABATAN". Mereka berkata bahwa pertemanan mereka adalah didasarkan oleh hati, ketulusan dan pengorbanan. Mereka berkata persahabatan mereka takkan lekang dimakan waktu. Benarkah? Apakah mereka tidak pernah memperkirakan hal-hal apa saja yang mungkin terjadi? Apa mereka yakin 100% bahwa mereka tahu sifat-sifat sebenarnya dari 'sahabat' mereka?
Pandanganku mungkin terlihat skeptis. Tapi, setidaknya, kita sebagai manusia yang ditakdirkan untuk berpikir [cogito, ergo sum] harusnya tidak pernah memiliki pegangan 'let it flow', termasuk di dalamnya perihal 'sahabat'. Persahabatan bukanlah satu-satunya tempat bagi kita untuk, bahkan, menyerakan privasi dan intelektualitas kita. Hanya sebagai 'teman'. Dan cukup 'teman'.
Comments (0)
Post a Comment