AGAMA BANGSA ARAB JAHILIYAH DALAM SYAIR
Posted by mochihotoru | Posted in History, Religions, Science | Posted on 5:33:00 PM
0
Syair sebagaimana yang dikatakan oleh M. Atar Semi, adalah karya seni kreatif yang objeknya adalah manusia dan kehidupannya. Dengan ungkapan lain, bahwa syair adalah gambaran nyata tentang kehidupan masyarakat zamannya. Syair pada hakikatnya menggambarkan berbagai macam aspek kehidupan; sosial, budaya, ekonomi, politik,
Hal itulah, agaknya yang membuat para sejarawan menjadi “serba salah” memosisikan syair sebagai sumber data dan informasi sejarah. Di satu sisi, syair adalah suatu karya seni yang lebih mementingkan unsur keindahan daripada kebenaran. Sebab, syair disusun oleh beberapa aspek yang menjadikannya indah, di antaranya adalah imajinasi dan emosi. Di sisi lain, seperti yang disebutkan bahwa syair adalah gambaran nyata kehidupan masyarakat zamannya. Namun demikian, ada hal yang menjadi kesepakatan para ahli sejarah, bahwa khusus untuk syair-syair Arab pra-Islam boleh dan bahkan harus dirujuk untuk dijadikan sumber dalam kajian sejarah. Kajian tentang masyarakat Arab pra-Islam tidaklah akan utuh dan sempurna jika tidak merujuk kepada syair-syair Arab pra-Islam (Jahiliyah) tersebut.
Kedua, para penyair memiliki kedudukan yang sangat tinggi dalam sistem masyarakat bangsa Arab pra-Islam.
Animisme dan Dinamisme
Keyakinan ini kebanyakan dianut oleh masyarakat Arab yang tinggal di daerah pedalaman. Thamtham adalah benda-benda yang sangat dihormati oleh bangsa Arab, yang sebagian besarnya berupa hewan dan tumbuhan. Mereka berkeyakinan, bahwa arwah leluhur dan nenek moyang mereka selalu mengawasi dan menyertai mereka dengan cara berada di dalam jasad binatang atau tumbuhan. Jika mereka meyakini hewan tertentu sebagai tempat bertenggernya arwah nenek moyang mereka, maka hewan tersebut tidak boleh diganggu, disakiti apalagi disembelih. Begitu juga jika tumbuhan, maka tumbuhan itu tidak boleh ditebang dalam kondisi apapun dan dengan alasan apapun. Mereka berkeyakinan, bahwa jika mereka mengganggu, merusak, atau membinasakan binatang atau tumbuhan tersebut, maka bencana besar akan datang menimpa mereka.
Sangat terkenal sebuah syair yang mencela bani Hanifah, karena telah memakan buah sebatang korma yang mereka sembah. Hal ini meraka lakukan karena terpaksa, disebabkan masa paceklik dan kelaparan.
أكلت حنيفة ربها زمن التقحم والمجاعة
لم يحذروا من ربهم سوء العواقب والتياعة
Suku Abu Hanifah telah menyantap tuhannya di masa paceklik dan di masa lapar
Tak mereka nampak takut akan hukuman dan dan siksa pedih tuhannya.
Bahkan saking besarnya pengaruh kepercayaan ini di kalangan masyarakat Arab, nama-nama kabilah (suku) pun diberi nama sesuai nama bintang atau tumbuhan. Seperti, suku Asad (singa), suku Fahd (macan), suku Dabigah (kuda pacu), suku Tsur (sapi jantan), suku Ziibu (serigala), suku Nasr (elang), suku Hanzalah (labu), atau juga nama hewan laut seperti suku Quraisy (singa laut). Bahkan, nama orang sekalipun diberi nama bintang atau tumbuhan, seperti Kilab (pendiri suku Kilab).
Penyembah Berhala
Bangsa Arab pada masa pra-Islam mengenal dua istilah untuk sebutan berhala; asnam (ashnâm) dan ausan (autsân). Perbedaan keduanya terletak dalam bahan materialnya dan tujuan. Patung itu terbuat dari emas, perak, atau kayu disebut dengan shamam atau ashnâm. Patung-patung tersebut biasanya dipakai untuk ritual peribadatan, penyembahan, pelayanan, tempat berdoa, serta meminta kesembuhan dan keselamatan. Sedangkan, patung yang terbuat dari batu, maka disebut dengan watsni atau autsân. Patung ini biasanya dipakai untuk acara ritul korban dan persembahan sesajen. Ritual seperti itu sudah dikenal oleh masyarakat Arab semenjak lama.
Orang yang pertama membuat patung dari suku keturunan Ismael adalah Huzail anak Mudrik, sedangkan orang pertama memperkenalkan patung berhala kepada masyarakat Quraisy adalah Umar anak Luhay. Sementara, kabilah Arab yang pertama menyembah berhala adalah suku Huzail dan suku Mudar yang menyembah patung Shiwa. Seperti yang diungkapkan penyair berikut:
تراهم حول قيلهم عكوفا كما عكفت هزيل على واع
Engkau lihat mereka tunduk dan sujud kepada raja mereka, seperti tunduk dan sujudnya suku Huzail kepada Sang Shiwa
Penyembahan berhala pun berkembang di kalangan masyarakat Arab waktu itu, setelah Umar bin Luhay memperkenalkan kepada mereka patung yang dibawanya dari lembah Qudaid (tempat yang terletak antara Mekah dan Madinah), patung itu kemudian diberi nama Manat, dan diletakan di dalam Kabah. Bahkan, ritual penyembahan Manat tidak hanya dilakukan orang Arab Quraisy, namun juga orang-orang Arab Madinah suku Aus dan suku Khazraj yang selalu berkunjung dan mengadakan penyembahan dan korban kepada patung Manat. Seperti yang diungkapkan oleh Abdul Uzza al-Mazini
إني حلفت يميني صدق برة بمناة عند محل آل الخزرج
Sungguh kubersumpah dalam Manat, di tempat kelurga Khazraj biasanya beribadat
Yahudi dan Kristen
Sebelum kedatangan Islam, agama Yahudi dan Kristen sudah tersebar di Jazirah Arab. Agama Yahudi diperkirakan masuk ke Jazirah Arab dari Palestina pada tahun 70 M, ketika mereka mendapat tekanan dari penjajah Romawi raja Titus. Sebagian mereka berpindah ke wilayah Hijaz seperti Madinah (Yatsrib), Khaibar, dan Thaif. Sementara agama Kristen berpindah ke Jazirah Arab pada masa kekuasaan Dzu Nuwas (510-525 M) yang melakukan tekananan terhadap masyarakat Kristen Najran di Yaman utara dan memaksa mereka memeluk agama Yahudi. Seperti yang diceritakan dalam Gugusan Bintang ayat 4-8 yang berbunyi:
“Binasa dan terlaknatlah orang-orang yang membuat parit berapi yang dinyalakan dengan kayu bakar, ketika mereka duduk di sekitarnya, sedang mereka menyaksikan apa yang mereka perbuat terhadap orang-orang yang beriman. Dan mereka tidak menyiksa orang-orang percaya itu melainkan karena orang-orang mukmin itu beriman kepada Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji, Yang mempunyai Kerajaan Langit dan Bumi dan Allah Maha Menyaksikan segala sesuatu. Sesungguhnya orang-orang yang mendatangkan cobaan kepada orang-orang yang percaya yang laki-laki dan perempuan kemudian mereka tidak bertobat, maka bagi mereka hukuman Jahanam dan bagi mereka api yang membakar.”
Kedua agama ini bersaing untuk menyebarkan pengaruhnya. Namun, agama Kristen lebih mengungguli Yahudi, disebabkan karakter kedua agama ini yang berbeda. Kristen adalah agama misionaris dan bersifat progresif, sedangkan Yahudi adalah agama yang kurang progresif. Sehingga, agama Kristen dipeluk oleh banyak suku-suku Arab, namun tidak dalam pengertian mereka berpindah agama secara total. Akan tetapi, masyarakat Arab waktu itu memadukan antara ajaran lama mereka dengan ajaran Kristen. Hal itu, seperti yang telihat dalam ungkapan Adi bin Zaid al-Ibadi berikut:
سعى الأعداء لا يألون شرا علي ورب مكة والصليب
Selalu saja musuh-musuh itu berusaha menjahatiku, oh, aku bersumpah demi Tuhan Kabah dan salib
Dalam syair di atas orang Arab menyebutkan Tuhan Kabah dan salib dan ungkapan bersamaan. Selanjutnya, terlihat di dalam beberapa syairnya, para penyair betapa pola kehidupan serta istilah-istilah dalam agama Kristen sudah sangat familiar di kalangan orang Arab sendiri. Simak misalnya syair Umrul Qais berikut ini:
يضئ سناه كمصابيح راهب أهان السليط فى الذبال المفتل
Lampunya tetap bersinar bak lampu pendeta, sekalipun lidah orang yang fasih melempar hinaan dengan untaian kata tajam
Penganut Agama Hanif
Sebelum kemunculan Islam, di Jazirah Arab telah muncul sebuah gerakan keagamaan yang pengikutnya adalah para cendikiawan dan pemikir Arab zamannya. Mereka menjauhkan diri dari penyembahan berhala dan juga tidak ikut melakukan ibadat dan pelayanan seperti halnya umat Yahudi dan Kristen. Mereka melakukan peribadatan leluhur mereka yang dipercayai sebagai ajaran murni Abraham melalui anaknya Ismael dan keturunannya. Mereka disebut sebagai kelompok hanif, atau disebut juga hunafa atau mutahanifin. Penamaan ini dinisbahkan kepada sifat Abraham seperti yang disebutkan dalam Sapi Betina ayat 135 yang berbunyi:
“Dan mereka berkata: ‘Hendaklah kamu menjadi penganut agama Yahudi atau Kristen seperti kami, maka kamu akan mendapat petunjuk (Keselamatan)’. Maka katakanlah: ‘Tidak. Kami hanya mau mengikuti agama Abraham yang lurus. Dan dia (Abraham) bukanlah dari golongan orang membuat allah lain di hadapan Allah.’”
Di antara mereka yang terkenal adalah Khadijah anak Khuwailid (istri pertama Muhammad), Qis anak Saidah, Zaid anak Umar anak Nufail, Umayyah anak Abi Shalt, Suwaid anak Amir, Asaad Abu Karab al Himyari, Waraqah anak Naufal al Quraisy, Qutaylah anak Naufal al Quraisy, Zuhair anak Abi Sulma, dan lain-lain. Kebanyakan dari mereka adalah orang-orang dari suku Asad yang memang terkenal sebagai suku yang tetap mempertahankan agama Ismael anak Abraham selain suku Hasyim, yang merupakan suku Muhammad, dan suku-suku di Madinah. Merekalah yang berupaya memurnikan keyakinan sebagian masyarakat Arab dari penyembahan berhala dan penyekutuan Tuhan. Sehingga, pemikiran-pemikiran mereka inilah yang kemudian berpengaruh besar terhadap perubahan keyakinan masyarakat Arab sebelum kedatangan Islam. Bentuk pemikiran kelompok beragama hanif ini seperti telihat dalam syair Zaid bin Umar berikut:
أربا واحدا أم ألف رب أدين أذا تقسمت الأمور
عزلت اللات والعزى جميعا لذلك يفعل الجلد الصبور
فلا عزى أدين ولا ابنتها ولاصنمي بنى عمرو أزور
ولاغنما أدين وكان ربا لنا فى الدهر إذا حلمي يسير
بأن الله قد أفنى رجالا كثيرا كان شأنهم الفجور
وأبقى آخرين يبر قوم فيربل منهم الطفل الصغير
ولكن أعبد الرحمن ربي ليغفر ذنبي الرب الغفور
Apakah satu Tuhan yang kusembah atau seribu tuhan jika urusan telah terbagi
Kutinggalkan Latta dan Uzza, semuanya, begitulah yang dilakukan orang kuat dan sabar
Aku bukanlah penyembah Uzza dan tak pula kedua anak perempuannya, dan tidak juga aku kunjungi patung suku Amar
Aku tidak mau menyembah kambing, karena kami punya Tuhan Sepanjang
Masa semenjak masih bayi
Allah telah membinasakan berapa banyak tokoh dan manusia, akibat dosa daging dan kejahatan mereka
Kemudian Dia tinggalkan kelompok yang berbuat baik, lalu tumbuh lagi generasi baru dari mereka
Aku pasti menyembah Tuhan Yang Penyayang, agar Tuhanku yang Maha Pengampun mengampuni semua dosaku
Begitulah aspek kehidupan agama masyarakat Arab pra-Islam yang digambarkan oleh syair-syair bangsa Arab dari masa itu. Agaknya, hal itu menjadi bukti betapa syair tidak boleh diabaikan ketika kita menguraikan sejarah suatu bangsa, khususnya ketika kita berbicara kehidupan masyarakat Arab pra-Islam. Jika kita berbicara sejarah mereka, tentulah syair sesuatu yang mesti dirujuk agar gambaran sejarah tentang masyarakat Arab zaman itu bisa lebih utuh dan menyeluruh.
(sumber: lppbi-fiba.blogspot.com)