SURVEI KEBEBASAN BERAGAMA

Posted by mochihotoru | Posted in | Posted on 3:42:00 PM

Tema penting yang luput dari perhatian kita, terutama pasangan presiden dan wakil presiden yang baru, adalah bagaimana menyajikan model cetak biru tentang format kebebasan beragama dan usaha merajut kerukunan beragama di tengah kenyataan pluralisme agama dewasa ini.

Pada awal 1990-an kita sempat menerima pujian dari sarjana dan pemimpin agama tentang terbentuknya model jalan tengah kerukunan beragama di Indonesia. Namun, tidak lebih dari satu dekade kemudian, model itu ternyata berwatak semu dan rapuh seketika. Konflik memuncak di Ambon di mana variabel agama bertemu dengan struktur sosial-ekonomi dan politik yang timpang.

Relatif minimnya perhatian pemimpin agama dan politik terhadap penembakan Pendeta Susianti Tinulele di Palu pada saat menyampaikan misi profetik keagamaan di Gereja Efatha, justru semakin menegaskan bahwa kita bukan saja miskin cetak biru kebebasan beragama, tapi juga sudah kehilangan rasa kepekaan kemanusiaan kita terhadap pelanggaran hak asasi manusia, terutama hak asasi dalam ekspresi keberagamaan.

Padahal, jika sepenuhnya kita sadari, masa depan kita sebagai bangsa yang plural, lebih-lebih dari segi agama, antara lain akan sangat ditentukan oleh sejauh mana kita bersikap bijak dan tepat dalam mengelola kebebasan dan kerukunan beragama secara demokratis. Hanya saja, selama ini kita belum mendapatkan gambaran besar yang utuh tentang sejauh manakah peringkat kebebasan beragama di Indonesia dibandingkan, misalnya, dengan dunia Islam dan negara-negara Eropa dan Amerika. Sejauh manakah, misalnya juga, korelasi antara penganut agama di suatu negara dengan peringkat kebebasan beragama.

Sejauh kita belum memiliki indeks peringkat kebebasan beragama yang kredibel, maka, suka tak suka, kita hanya bisa merujuk pada data Freedom House yang dikenal memiliki reputasi internasional dalam menyurvei peringkat demokrasi negara-negara di dunia. Freedom House memiliki divisi Center for Religious Freedom yang bertugas, salah satunya, menyurvei peringkat kebebasan beragama negara-negara di dunia. Iran, Arab Saudi, dan Sudan, misalnya, menempati peringkat “tidak bebas” (unfree) dalam hal kebebasan beragama. Indonesia, berdampingan dengan Turki dan Mesir, sedikit lebih baik dengan menduduki posisi “bebas sebagian” (partly free). Dua negara Skandinavia, Norwegia, dan Finlandia, bersama Amerika dan negara-negara Eropa seperti Belanda, Inggris, Jerman, dan seterusnya, menempati peringkat “bebas” (free) dalam hal kebebasan beragama—walau di beberapa daerah minoritas masih tetap ditindas dan “tidak dianggap manusia”.


Data Freedom House melalui Center for Religious Freedom menunjukkan, dunia Islam secara umum masih relatif rendah peringkat kebebasan beragama; jauh tertinggal dengan negara Amerika, Eropa, dan Skandinavia yang “bebas” dalam indeks kebebasan beragama. Negara-negara ini umumnya didominasi oleh Protestan dan Katolik. Secara akademis, bisa diajukan pertanyaan; apakah nilai-nilai dan kultur Protestan dan Katolik memiliki pengaruh signifikan terhadap kultur toleransi, kebebasan, dan demokrasi ketimbang kultur Islam?

Jika kultur toleransi dan kebebasan diletakkan dalam kerangka turunan dari nilai-nilai demokrasi, maka nilai-nilai Protestan dan Katolik memang memiliki kontribusi signifikan terhadap indeks kebebasan beragama. Studi klasik Alexis de Tocqueville (1969) tentang demokrasi di Amerika abad ke-19 secara jelas menunjukkan bahwa Kristen, baik dari segi nilai-nilai dan asosiasi-asosiasi sosial-keagamaannya memiliki peran signifikan dalam pengembangan kultur toleransi dan demokrasi di Amerika. Ketika warga negara menjadi individu yang otonom dan aktif, maka gereja berperan sebagai asosiasi-asosiasi sipil yang menjadi wadah kolektif keterlibatan sipil (civic engagement) dalam isu-isu publik. Gereja perlahan-lahan menyinergikan ritus-ritus keagamaan dengan isu-isu publik secara terpadu.

Pengalaman saya dalam panel diskusi di the King Church di Ohio, 13 Mei 2003, bersama sejumlah aktivis gereja dan sosial sekaligus, malah sudah bergerak jauh mentransendensikan iman untuk aksi toleransi, pluralisme, dan kemanusiaan. Meski George W. Bush begitu beringas menyerbu Irak, tapi pada kutub lain aktivis gereja melakukan aksi kemanusiaan dan perdamaian secara masif. Agama berubah menjadi identitas sosial, dan gereja, dengan demikian, menjadi wadah asosiasi sosial yang berdampak positif terhadap pengembangan kultur toleransi, kebebasan, dan demokrasi.

Ketika Harvey Cox menulis The Secular City tahun 1965, dia memang mulai merekam bahwa kota sekuler menjadi medium perayaan makna kebebasan sipil. Institusi-institusi pendidikan perlahan-lahan terbebas dari intervensi lembaga keagamaan; peradaban kota mulai bangkit bersamaan dengan kematian agama-agama tradisional; dan nilai-nilai manusia mengalami relativisme akibat sekularisasi yang berjalan masif. Namun, dua dekade kemudian, tepatnya 1985, Harvey Cox buru-buru merevisi tesisnya dengan menulis “risalah revisionis” sejarah kebangkitan agama justru di dunia sekuler, Religion in the Secular City, (1985).

Kematian agama di era sekuler memang terlampau prematur diumumkan. Agama, institusi, dan elitenya justru menjadi kampiun konsolidasi demokratisasi di berbagai belahan dunia; Asia, Afrika, Amerika Latin, dan Eropa Timur. Dalam studinya yang sangat berpengaruh, The Third Wave: Democratization in the Late Twentieth Century (1991), Samuel P Huntington mendokumentasikan bahwa di antara 30 negara yang bertransisi menuju demokrasi antara tahun 1974 dan 1990, sekitar tiga perempat justru didominasi Katolik. Dan Katolik kemudian mencatat tinta emas dalam menempati peringkat “bebas” dalam indeks kebebasan beragama, terlepas dari sejarah para penguasa Katolik yang dahulu memaksa dan mengancam membunuh rakyatnya, terutama yang beragama Islam dan Yahudi, untuk beralih ke agama Katolik seperti di Spanyol (inkuisisi Spanyol) atau Sri Paus menyerukan perang atas nama agama. Ini memang pola umum dalam membaca Katolik dalam kaitannya dengan indeks kebebasan beragama dan demokratisasi.

Tentu saja, ada studi-studi kecil yang tak terekam dan atau sengaja disingkirkan. Misalnya, riset ilmuwan politik Putnam di Italia berkesimpulan bahwa Katolik mempunyai pengaruh negatif terhadap penampilan demokrasi.

Memang, Freedom House, dalam hal ini Center for Religious Freedom, mengakui adanya sejumlah kritik dalam surveinya, terutama menyangkut soal metodologi, standar dan isi pertanyaan, dan bias imperialistis terhadap dunia Islam. Survei ini dituduh sebagai modus terbaru cara bekerjanya pengetahuan dan kekuasaan Barat dalam pencitraan dunia Islam. Rendahnya indeks kebebasan beragama di dunia Islam, dengan menggunakan logika ini, dipakai Barat sebagai “instrumen ilmiah” untuk menyebarkan stereotipe terhadap dunia Islam sebagai tidak toleran dari segi kebebasan beragama dan relatif absen dalam sumbangsih terhadap demokratisasi.

Tesis Edward Said tentang orientalisme sejak 1978 seolah masih berlaku dan malah benar adanya bahwa orientalis adalah agen dan instrumen imperialisme, dan ketertarikannya terhadap pengetahuan, terutama dunia Timur dan Islam, dipakai sebagai sumber kekuasaan untuk memberikan stereotip negatif dan kemudian menjajahnya, entah dalam bentuk kolonialisme, imperialisme, maupun globalisasi. Karena itu, apa yang disebut Said (2003: 316) sebagai “skandal kesarjanaan” sebenarnya merujuk pada perselingkuhan intelektual, terutama di Perancis, Inggris, dan Amerika, yang mengabdikan pengetahuannya kepada penguasa untuk melakukan kolonialisme dan imperialisme di Timur Tengah sejak akhir abad ke-18 sampai awal abad ke-20.

Namun, jika kita mau lebih adil, kritik itu muncul juga tak terlepas dari tingkat rendahnya peringkat kebebasan beragama di dunia Islam. Terlepas dari adanya bias imperialistik terhadap dunia Islam, tapi akal sehat kita akan berkata ‘ya’ bahwa Norwegia mempunyai kebebasan beragama yang jauh lebih baik dibandingkan dengan, misalnya, Sudan, Arab Saudi, dan bahkan Indonesia sekalipun. Karena itu, kita sebaiknya memosisikan survei itu sebagai bahan introspeksi ke dalam bahwa ada sesuatu yang sangat mendasar, terkait dengan toleransi dan kebebasan beragama yang harus segera kita benahi bersama-sama.

Sebuah tulisan dari Sukidi Mulyadi Kader Muhammadiyah; Alumnus Ohio University; dan Mahasiswa Teologi di Harvard Divinity School, Harvard University, Cambridge, Amerika

(sumber: aman.web.id)

Comments (0)

Post a Comment