Pandangan Islam tentang Budak Wanita
Posted by mochihotoru | Posted in Holy Books, Islam, Religions | Posted on 2:22:00 PM
Dalam ajaran Islam, sering dikisahkan bahwa jika seorang muslim pada masa lalu memiliki budak wanita, maka dia diperbolehkan untuk mencampurinya tanpa dinikahi terlebih dulu. Benarkah? Banyak umat Islam yang awam menolak menjawab pertanyaan tersebut karena kurangnya pengetahuan. Mereka menganggap hal tersebut hana tuduhan tak beralasan. Terlebih, karena kebencian, skeptisme, dan kurangnya pengetahuan, banyak orang di luar Islam dan kaum orientalis yang menyerang Islam dari sisi ini.
Bagaimanapun juga, perbudakan tersebut memang dibenarkan secara langsung oleh Al Quran sendiri, kitab suci yang umat islam absolutkan itu. Dalam banyak ayatnya, Al Quran memang memperbolehkan laki-laki menyetubuhi budaknya sendiri. Tetapi dia dilarang sama sekali menyetubuhi budak orang lain.
Hal itu antara lain terdapat dalam ayat-ayat ini:
Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. (Orang-Orang Mukmin 23:5-6)
Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap perempuan yang yatim, maka nikahilah wanita-wanita yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil (dan akan menyakiti hati), maka nikahilah seorang saja atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (Wanita 4:3)
Dan diharamkan juga untuk mengawini wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian yaitu mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri yang telah kamu campuri di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya, sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (Wanita 4:42)
Pembolehan itu kalau kita lihat di masa sekarang ini, sekilas memang terasa aneh dan tidak sesuai dengan rasio kita, bahkan melanggar hak asasi. Sebab kita hidup di abad XXI, di mana perbudakan sudah menjadi barang yang asing. Kalau sampai kita membaca ayat Al-Quran yang seolah menerima konsep perbudakan, bahkan pemiliknya sampai boleh menyetubuhinya, tentu saja kita akan merasa sangat heran.
Namun pahamilah bahwa status budak atau hamba sahaya itu amat hina. Budak dianggap sebagai makhluk setengah binatang dan setengah manusia. Maka tindakan menyetubuhi budak di masa itu jangan dianggap sebagai kenikmatan, justru sebaliknya, masyarakat di masa itu memandangnya sebagai sebuah tindakan yang amat sangat hina dan tidak terhormat. Meski pun dihalalkan oleh Al Quran.
Dan ketika Al Quran menghalalkan laki-laki menyetubuhi budaknya, hal itu merupakan dispensasi atau keringanan belaka. Terutama buat mereka yang tidak mampu menikahi wanita terhormat dan mulia. Masyarakat sendiri di masa itu tidaklah memandang bahwa menyetubuhi budak itu sebagai sebuah fasilitas penyaluran aktivitas seksual yang ‘wah’. Sebab memang sudah menjadi konvensi bahkan sebuah kelaziman.
Berbeda dengan zaman sekarang, kalau kita mendengar kebolehan menyetubuhi budak, seolah kita merasakan kehebohan tersendiri. Padahal para budak wanita itu bukan sekedar wanita murahan atau rendahan, bahkan dianggap sebagai separuh binatang yang pantas diperlakukan sesuka hati. Anda bisa bayangkan, mana ada orang di masa itu mau menyetubuhi makhluk setengah manusia dan setengah binatang. Pastilah mereka lebih memilih untuk menikah dengan para wanita mulia, ketimbang menggauli budak. Kalau sampai ada yang menyetubuhinya, mereka pun merasa kurang terhormat dan akan terhukum oleh masyarakat.
Mari kita renungkan kembali keadaan sosial kemasyarakatan di masa itu, yakni abad ketujuh masehi, tentu pandangan kita akan berbeda jauh.
Ketahuilah bahwa perbudakan itu sendiri bukan produk agama Islam. Perbudakan itu sudah ada jauh sebelum Al Quran ini diturunkan. Di zaman Romawi dan Yunani Kuno, Persia kuno, China, dan hampir seluruh peradaban manusia di masa lalu telah dikenal perbudakan. Bahkan di zaman Abraham, istilah perbudakan sudah dikenal. Dan semua itu terjadi berabad-abad sebelum Islam datang.
Sebagaimana tertulis dalam catatan-catatan kuna, negeri Arab termasuk negeri yang belakangan mengenal perbudakan, sebagaimana belakangan pula dalam mengenal kebejatan moral. Minuman keras, pemerkosaan, makan uang riba, menyembah berhala, poligami tak terbatas, dan budaya-budaya kotor lainnya bukan berasal dari negeri Arab, tetapi justru dari peradaban-peradaban besar manusia.
Ini penting kita pahami terlebih dahulu sebelum memvonis ajaran Islam. Negeri Arab adalah peradaban yang terakhir mengenal budaya-budaya kotor itu dari hasil persinggungan mereka dengan dunia luar. Karena orang-orang Mekkah, yang kebanyakan pedagang, itu biasa melakukan perjalanan dagang ke berbagai negeri. Justru dari peradaban-peradaban ‘maju’ lainnya itulah Arab masuk ke dalam zaman Kebodohan. Perlu Anda ketahui bahwa berhala-berhala yang ada di dalam dan luar Kaabah yang berjumlah 360 itu adalah produk impor. Yang terbesar di antaranya adalah Hubal (Baal)—yang juga pernah disembah bangsa Israel dan bangsa Babilonia—yang asli produk impor dari negeri Yaman.
Saat itu dunia mengenal perbudakan dan belaku secara international. Yaitu tiap budak ada tarif dan harganya. Dan ini sangat berpengaruh pada mekanisme pasar dunia saat itu. Bisa dikatakan bahwa budak adalah salah satu komoditi suatu negara. Dia bisa diperjual-belikan dan dimiliki sebagai investasi layaknya ternak.
Dan hukum international saat itu membenarkan menyetubuhi budak milik sendiri. Bahkan semua tawanan perang secara otomatis menjadi budak pihak yang menang meski budak itu adalah keluarga kerajaan dan puteri-puteri pembesar. Ini semua terjadi bukan di Arab, tapi di peradaban-peradaban besar dunia saat itu. Arab hanya mendapat imbasnya saja.
Dalam kondisi dunia yang seperti itulah Islam diturunkan. Bukan hanya untuk dunia Arab, karena bentuk kebobrokan moral tersebut bukan milik bangsa Arab sendiri, justru ada di berbagai peradaban manusia saat itu.
Maka wajar bila Al Quran banyak menyebutkan fenomena yang ada pada masa itu termasuk perbudakan. Bukan berarti Al Quran mengakui perbudakan, tetapi merupakan petunjuk untuk melakukan kebijakan di tengah sistem kehidupan yang masih mengakui perbudakan saat itu.
Ingat pula, tidak ada jaminan bahwa fenomena perbudakan itu telah hilang untuk selamanya. Karena Kebodohan itu selalu berulang. Tidak ada jaminan bahwa kebobrokan moral manusia zaman dahulu yang telah Allah hancurkan, di masa mendatang tidak kembali melakukannya. Termasuk perbudakan.
Kebetulan saja kita hari ini hidup di masa di mana jenis perbudakan seperti itu kelihatannya sudah tidak ada lagi. Tapi ingat, perbudakan baru saja berlalu beberapa ratus tahun yang lalu di Barat yang katanya modern, demokratis, dan cinta kasih. Ingat pula bahwa saat ini terdapat jenis perbudakan baru, terutama terhadap perempuan dan anak-anak, yang disebut human trafficking. Jadi tidak ada ayat Al Quran yang habis masa berlakunya.
Di sisi lain, perhatikan Al Quran dan Sunnah, hampir semua hukum yang berkaitan dengan perbudakan itu berujung pada pembebasan mereka. Semua pintu yang mengarah kepada terbukanya pintu pembebasan budak terbuka lebar. Dan sebaliknya, semua pintu menuju kepada perbudakannya tertutup rapat. Dengan demikian, secara sistematis, jumlah budak akan habis sesuai perjalanan waktu.
Sementara itu, perbudakan tidaklah semata-mata penindasan, tapi pahamilah bahwa di masa itu perbudakan adalah komoditi. Harga budak itu cukup mahal. Seseorang dalam sekejap akan jatuh miskin bila secara tiba-tiba perbudakan dihapuskan oleh Islam. Seorang tuan (mucikari) yang memiliki 100 budak, akan menjadi orang papa (fakir miskin) bila pada suatu hari perbudakan dihapuskan. Padahal dia mendapatkan budak itu dari membeli dan mengeluarkan uang yang cukup besar serta menabung bertahun-tahun. Bila hal itu terjadi, di mana sisi keadilan bagi orang yang memiliki budak, sedangkan dia ditakdirkan hidup di zaman di mana perbudakan terjadi dan menjadi komoditi—apalagi jika dia telah merewat para budak itu sebaik mungkin.
Karena itu Islam tidak secara tiba-tiba menghapuskan perbudakan dalam satu hari. Islam melakukannya dengan proses kultural yang smooth. Banyak sekali hukuman dan denda yang bentuknya membebaskan budak. Bahkan dalam hukum Islam dikenal istilah kredit pembebasan budak. Seorang budak boleh mencicil sejumlah uang untuk menebus dirinya sendiri yang tidak boleh dihalangi oleh tuannya.
Dengan cara yang sistematis dan proses yang alami, perbudakan hilang dari dunia Islam jauh beberapa ratus tahun sebelum orang Barat meninggalkan perbudakan.
Kalau hari ini ada orang yang bilang Al Quran mengakui perbudakan, maka dia perlu belajar sejarah lebih dalam sebelum bicara. Pendapatnya itu hanya akan memperkenalkan kepada dunia tentang keterbatasan ilmunya dan pada gilirannya akan menjadi bahan tertawaan saja.
Dengan sudah berakhirnya era perbudakan manusia oleh sebab turunnya agama Islam, maka otomatis urusan kebolehan menyetubuhi budak pun tidak perlu dibicarakan lagi. Sebab perbudakannya sendiri sudah dileyapkan oleh hukum Islam.
Mungkin ada yang bertanya, kalau perbudakan sudah lenyap, mengapa Al Quran masih saja bicara tentang perbudakan?
Untuk menjawab itu kita perlu melihat lebih luas. Marilah kita membuat pengandaian sederhana. Seandainya suatu ketika nanti entah kapan, terjadi perang dunia yang melumat semua kehidupan dunia. Lalu sehabis perang besar tersebut peradaban umat manusia hancur lebur, mungkin juga peradaban manusia kembali lagi menjadi peradaban purba, terasing di negeri asing seperti sepuluh suku Israel yang hilang. Lantas umat manusia yang terlunta-lunta kembali jatuh ke jurang perbudakan manusia di tangan orang-orang yang berkuasa, maka agama Islam masih punya hukum-hukum suci yang mengatur masalah perbudakan.
(sumber: blog.re.or.id)
Comments (0)
Post a Comment