SEPUTAR BULAN SYABAN
Posted by mochihotoru | Posted in Analysis, Islam, Religions | Posted on 1:11:00 PM
Syaban adalah nama bulan kedelapan dalam penanggalan Hijriah. Dinamakan Syaban karena pada bulan tersebut orang-orang Arab yatasya’abun (berpencar) untuk mencari sumber air. Dikatakan demikian juga karena mereka tasya’ub (terpencar) di gua-gua. Selain itu, dikatakan sebagai bulan Syaban juga karena bulan tersebut sya’aba (muncul) di antara dua bulan Rajab dan Ramadan. Bentuk jamak dari kata Sya’ban adalah Sya’abanaat dan Sya’aabiin.
Mengenai puasa di bulan Syaban Aisyah pernah berkata, “Rasul Allah berpuasa sampai kami mengira beliau tidak akan pernah berbuka, dan beliau berbuka sampai kami mengira beliau tidak akan pernah berpuasa. Aku tidak pernah melihat Rasul Allah menyempurnakan puasa satu bulan penuh kecuali pada bulan Ramadan, dan aku tidak pernah melihat beliau berpuasa lebih banyak dari bulan Syaban.” (HR. Bukhari No. 1833, Muslim No. 1956).
Selain itu, riwayat Muslim No. 1957 menyebutkan: “Beliau berpuasa pada semua bulan Syaban. Sedikit sekali beliau tidak berpuasa pada bulan Syaban.”
Sebagian ulama, seperti Ibnul Mubarak, bersepakat bahwa Sang Nabi tidak pernah melakukan puasa penuh selama bulan Syaban, akan tetapi beliau banyak berpuasa di dalamnya. Pendapat ini didukung dengan riwayat pada Sahih Muslim No. 1954 dari Aisyah beliau berkata: “Aku tidak pernah mengetahui beliau berpuasa selama satu bulan penuh selain pada bulan Ramadan.” Dalam riwayat lain yang dituturkan Muslim (No. 1955), Aisyah berkata: “Aku tidak pernah melihatnya puasa satu bulan penuh semenjak beliau menetap di Madinah kecuali pada bulan Ramadan.” Dalam Al Sahihain, Ibnu Abbas berkata: “Tidaklah Rasul Allah berpuasa satu bulan penuh selain pada bulan Ramadan.” (HR. Bukhari No. 1971 dan Muslim No.1157).
Ibnu Abbas menyimpulkan bahwa berpuasa satu bulan penuh selain Ramadan adalah hal yang harus ditinggalkan. Ibnu Hajar berkata: “Puasanya beliau sebagai puasa sunat (sukarela) lebih banyak pada bulan Syaban daripada puasanya di selain bulan Syaban. Beliau berpuasa untuk mengagungkan bulan Syaban.”
Usamah bin Zaid berkata: “Saya berkata: ‘Ya Rasul Allah, saya tidak pernah melihatmu berpuasa dalam satu bulan penuh dari bulan-bulan lain seperti puasanmu di bulan Syaban.’ Maka beliau berfirman: ‘Itulah bulan di mana manusia lalai darinya, antara Rajab dan Ramadan, dan merupakan bulan yang di dalamnya diangkat semua perbuatan kepada Tuhan Semesta Alam. Aku senang jika perbuatanku diangkat sedangkan diriku dalam keadaan berpuasa.’” (HR. Nasai, lihat Sahih Targhib wa at Tarhib hlm. 425).
Dalam sebuah riwayat dari Abu Dawud (No. 2076), Aisyah berkata: “Bulan yang paling dicintai Rasul Allah untuk berpuasa adalah bulan Syaban kemudian beliau sambung dengan puasa Ramadan.” (Disahihkan oleh Al-Albani, lihat Sahih Sunan Abi Dawud 2/461.)
Ibnu Rajab berkata: “Puasa bulan Syaban lebih utama dari puasa pada Bulan Haram (Bulan Suci). Sedangkan puasa sunat yang paling utama adalah yang dekat dengan Ramadan, sebelum dan sesudahnya. Kedudukan puasa Syaban di antara puasa yang lain sama dengan kedudukan salat sunat rawatib (salat yang dikerjakan sebelum atau sesudah salat lima waktu) terhadap salat wajib sebelum dan sesudahnya, yakni sebagai penyempurna kekurangan pada yang wajib. Demikian pula puasa sebelum dan sesudah Ramadan. Karena sunat rawatib lebih utama dari sunat mutlak (salat yang boleh dikerjakan kapan saja selain pada waktu-waktu terlarang), maka demikian juga puasa sebelum dan sesudah Ramadan lebih utama dari puasa yang jauh darinya.
Firman Muhammad yang menyatakan bahwa Syaban adalah bulan di mana manusia lalai darinya, antara Rajab dan Ramadan menunjukkan bahwa ketika bulan ini diapit oleh dua bulan yang agung—bulan haram dan bulan puasa—manusia sibuk dengan kedua bulan tersebut sehingga lalai dari bulan Syaban. Banyak di antara manusia mengganggap bahwa puasa Rajab lebih utama dari puasa Syaban karena Rajab merupakan Bulan Haram, padahal tidaklah demikian. Dalam hadis tadi terdapat isyarat pula bahwa sebagian yang telah mahsyur keutamaannya, baik itu waktu, tempat, maupun orang bisa jadi yang selainnya lebih utama darinya.
Dalam hadis itu pula terdapat dalil disunatkannya menghidupkan waktu-waktu yang manusia lalai darinya dengan ketaatan dan pelayanan. Sebagaimana sebagian orang salaf (orang dari kalangan rasul, sahabat, dan sebagainya), mereka senang menghidupkan waktu antara Maghrib dan Isya dengan salat dan melakukan persekutuan dengan Allah. Mereka mengatakan saat itu adalah saat lalainya manusia. Hal-hal lain yang baik untuk dilakukan adalah mengingat dan melakukan puji-pujian terhadap Allah Yang Maha Tinggi (zikir) di tempat jual-beli (tempat umum) karena jika seseorang melakukannya berarti dia dianggap mampu untuk tetap mengingat Allah di tengah orang-orang yang lalai. Banyak sekali keuntungan yang datang dari penggunaan waktu secara baik dengan mengingat dan beribadat kepada Allah, termasuk hal-hal berikut:
Melakukan perbuatan baik secara tersembunyi, dan menutupi serta merahasiakan ibadat sunat adalah lebih baik, terlebih dalam hal berpuasa, karena merupakan rahasia antara hamba dengan Tuhannya. Oleh karena itu, dikatakan padanya bahwa tidak boleh ada perasaan pamer seperti orang munafik. Banyak orang salaf yang berpuasa bertahun-tahun tanpa ada seorangpun yang mengetahuinya. Mereka keluar dari rumahnya menuju pasar dengan membekal dua potong roti kemudian keduanya disedekahkan dan dia sendiri berpuasa. Maka keluarganya mengira bahwa dia telah memakannya dan orang-orang di pasar juga menyangka bahwa dia telah memakannya di rumah. Orang salaf senang menampakkan hal-hal yang bisa menyembunyikan puasanya.
Ibnu Masud menuturkan hadis yang berbunyi: “Jika kalian akan berpuasa, maka berminyaklah (memoles bibirnya dengan minyak agar tidak terkesan sedang berpuasa).” Berkata Qutadah: “Disunatkan bagi orang yang berpuasa untuk berminyak sampai hilang darinya kesan sedang berpuasa.”
Perbuatan saleh yang dilakukan pada waktu lalai itu memang terasa berat bagi jiwa. Salah satu tanda dari betapa baiknya suatu perbuatan di mata Tuhan adalah kesulitannya dan beratnya terhadap jiwa dalam melakukan perbuatan itu: suatu perbuatan apabila banyak orang yang mengerjakannya maka akan terasa mudah, namun apabila banyak yang melalaikannya maka akan terasa berat bagi mereka yang mengingat Allah. Dalam Sahih Muslim No. 2984, dituturkan dari hadis Maaqil bin Yassar: “Ibadat yang dikerjakan di waktu lalai adalah sepeti berhijrah kepadaku.” [Frasa ‘ibadat yang dikerjakan di waktu lalai’ menunjuk pada waktu di mana terjadinya banyak fitnah, penderitaan, dan godaan yang besar karena manusia mengikuti hawa nafsu (sifat kedagingan) mereka.]
Para ulama berselisih pendapat mengenai sebab Rasul Allah banyak berpuasa di bulan Syaban. Pendapat-pendapat yang ada adalah sebagai berikut:
1. Bahwa beliau tidak dapat melakukan puasa tiga hari setiap bulannya karena beliau mengadakan perjalanan atau hal lainnya, sehingga beliau menyatukannya (menunaikannya) pada bulan Syaban. Ketika Sang Nabi mengamalkan suatu ibadat sunat maka beliau akan terus melakukannya, dan apabila melewatkannya maka beliau membayar utang ibadatnya itu.
2. Dikatakan bahwa istri-istri beliau membayar utang puasa Ramadannya pada bulan Syaban sehingga beliaupun ikut berpuasa untuk menghormati mereka. Ini berbeda dengan apa yang dikatakan Aisyah bahwa dia mengakhirkan pembayaran utang puasanya sampai bulan Syaban karena sibuk bersama Rasul Allah.
3. Dikatakan bahwa Muhammad berpuasa karena pada bulan itu manusia tak memberi perhatian kepadanya. Pendapat ini adalah pendapat yang paling kuat karena adanya hadis Usamah yang telah disebutkan tadi yang tercantum di dalamnya: “Itulah bulan yang manusia lalai darinya, antara Rajab dan Ramadan.” (HR. Nasai. Lihat Sahih at Targib wat Tarhib hlm. 425).
Apabila telah masuk bulan Syaban, sementara masih tersisa puasa sunat yang belum dilakukannnya, maka Muhammad akan membayar utang puasanya pada bulan tersebut sehingga sempurnalah puasa sunat beliau sebelum masuk Ramadan. Sama seperti halnya apabila beliau melewatkan ibadat sunat atau salat malam, maka beliau senantiasa menebusnya. Dengan demikian Aisyah waktu mengumpulkan pembayaran utangnya bersamaan dengan puasa sunatnya beliau, Aisyah membayar apa yang wajib baginya dari bulan Ramadan karena dia berbuka lantaran haid (menstruasi); sedangkan pada bulan-bulan lain dia sibuk bersama Sang Nabi. Perlu untuk diperhatikan dan sebagai peringatan bagi orang yang masih punya utang puasa Ramadan sebelumnya untuk membayarnya sebelum masuk Ramadan berikutnya. Tidak diperbolehkan untuk mengakhirkan sampai setelah Ramadan berikutnya kecuali karena masalah darurat, misalnya sakit yang terus berlanjut sampai dua Ramadan. Barang siapa yang mampu untuk membayarnya sebelum Ramadan tetapi tidak melakukannya, maka wajib bagi dia di samping membayarnya setelah bertobat sebelumnya, dia harus memberi makan orang-orang miskin setiap hari, Ini merupakan pandangan (hasil kajian hadis) dari Malik, Asy-Syafii, dan Ahmad.
Yang termasuk keuntungan dari puasa di bulan Syaban adalah bahwa puasa ini merupakan latihan untuk puasa Ramadan agar tidak mengalami kesulitan dan berat pada saatnya nanti. Bahkan akan terbiasa sehingga bisa memasuki Ramadan dalam keadaan kuat dan bersemangat. Syaban itu dapat dikatakan sebagai pendahuluan bagi Ramadan maka di sana ada pula amalan-amalan yang ada pada bulan Ramadan seperti puasa, membaca Alquran, dan bersedekah. Salamah bin Suhail berkata: “Telah dikatakan bahwa bulan Syaban itu merupakan bulannya para pembaca Alquran.” Habib bin Abi Tsabit berkata mengenai bulan Syaban: “Inilah bulannya para pembaca Alquran.” Amr bin Qais Al-Mulai apabila masuk bulan Syaban dia menutup tokonya dan meluangkan waktu khusus untuk membaca Alquran.
Puasa pada Akhir bulan Syaban
Dalam Al Sahihain yang ditulis Imran bin Hushain tertulis bahwa Rasul Allah bersabda: “Apakah engkau berpuasa pada sarar (akhir) bulan ini?” Dia berkata: “Tidak.” Maka beliau bersabda: “Apabila engkau berbuka maka puasalah dua hari.” Dalam riwayat Bukhari: “Saya kira yang dimaksud adalah bulan Ramadan.” Sementara dalam riwayat Muslim: “Apakah engkau puasa pada sarar (akhir) bulan Syaban ?” (HR. Bukhari 4/200 dan Muslim No. 1161).
Telah terjadi perdebatan dalam penafsiran kata sarar dalam hadis ini, dan yang makna banyak dikenal adalah akhir bulan. Dikatakan sarar asy syahr dengan mengkasrahkan sin atau memfathahkannya, dan memfathahkannya ini yang lebih benar. Akhir bulan dinamakan sarar karena bulannya istisrar (tersembunyi).
Apabila seseorang berkata, telah dikatakan dalam Sahihain dari Abu Hurairah bahwa Sang Nabi bersabda: “Janganlah kalian mendului Ramadan dengan puasa sehari atau dua hari sebelumnya kecuali orang yang terbiasa berpuasa maka puasalah.” (HR. Bukhari No. 1983 dan Muslim No. 1082), maka bagimana kita mengompromikan hadis anjuran berpuasa (Hadis Imran bin Hushain tadi) dengan hadis larangan ini?
Berkata kebanyakan ulama dan para peneliti hadis: Sesungguhnya orang yang ditanya oleh Rasul Allah ini telah diketahui oleh Rasul Allah bahwa dia ini terbiasa berpuasa atau karena dia punya nazar sehingga diperintahkan untuk membayarnya.
Dikatakan bahwa dalam masalah ini ada pendapat lain, dan ringkasnya bahwa puasa di akhir bulan Syaban ada pada tiga keadaan:
1. Berpuasa dengan niat puasa Ramadan sebagai bentuk kehati-hatian barangkali sudah masuk bulan Ramadan. Puasa seperti ini hukumnya haram.
2. Berpuasa dengan niat nazar atau membayar utang puasa Ramadan yang lalu atau membayar kafarat (denda) atau yang lainnya. Jumhur ulama memperbolehkan yang demikian.
3. Berpuasa dengan niat puasa sunat biasa. Kelompok yang mengharuskan adanya pemisah antara Syaban dan Ramadan dengan berbuka membenci hal yang demikian, di antaranya adalah Hasan Al-Bashri—meskipun sudah terbiasa berpuasa—akan tetapi Malik memberikan keringanan bagi orang yang sudah terbiasa berpuasa. Asy-Syafii, Al-Auzai, dan Ahmad serta selainnya memisahkan antara orang yang terbiasa dengan yang tidak.
Secara keseluruhan hadis Abu Hurairah tadilah yang digunakan oleh kebanyakan ulama. Yakni dibencinya mendahului Ramadan dengan puasa sunat sehari atau dua hari bagi orang yang tidak punya kebiasaan berpuasa, dan tidak pula mendahuluinya dengan puasa pada bulan Syaban yang terus-menerus bersambung sampai akhir bulan.
Apabila seseorang berkata, mengapa puasa sebelum Ramadan secara langsung ini dibenci (bagi orang-orang yang tidak punya kebiasaan berpuasa sebelumnya)? Jawabnya adalah karena dua hal:
Pertama, agar tidak menambah puasa Ramadan pada waktu yang bukan termasuk Ramadan, sebagaimana dilarangnya puasa pada hari raya karena alasan ini, sebagai peringatan dari apa yang terjadi pada Ahli Kitab dengan puasa mereka yaitu mereka menambah-nambah puasa mereka tidak lebih berdasarkan pendapat mayoritas (kesepakatan) dan hawa nafsu mereka semata daripada aturan Tuhan sendiri dalam Kitab Suci.
Atas dasar tersebut maka dilaranglah puasa pada yaum asy syak (hari yang diragukan). Berkata Umar: Barangsiapa yang berpuasa pada hari syak maka dia telah berkhianat kepada Abul Qasim (Muhammad). Hari syak adalah hari yang diragukan padanya apakah termasuk Ramadan atau bukan yang disebabkan karena adanya kabar tentang telah dilihatnya hilal Ramadan tetapi kabar ini ditolak. Adapun yaum al ghaim (hari yang mendung sehingga tidak bisa dilihat apakah hilal sudah muncul atau belum maka di antara ulama ada yang menjadikannya sebagai hari syak dan terlarang berpuasa padanya. Ini adalah perkataaan kebanyakan ulama.
Kedua, membedakan antara puasa sunat dan wajib. Sesungguhnya membedakan antara yang wajib dan yang sunat adalah suatu keharusan. Oleh karenanya diharamkan puasa pada hari raya (untuk membedakan antara puasa Ramadan yang wajib dengan puasa pada bulan Syawal yang sunat). Rasul Allah melarang untuk menyambung salat wajib dengan dengan salat sunat sampai dipisahkan oleh salam, doa, atau pembicaraan. Terlebih salat sunat qabliah Fajr (Subuh) maka, sesuai hukum Islam, harus dipisahkan dengan salat wajib. Karenanya diharuskan menurut iman Islam untuk dilakukan di rumah serta berbaring-baring sesaat sesudahnya. Sang Nabi ketika melihat ada yang sedang salat qabliah kemudian ikamat dikumandangkan, beliau berkata kepadanya: “Apakah salat Subuh itu empat rakaat?” (HR. Bukhari No.663).
Barangkali sebagian orang yang kurang memahami ajaran Islam mengira bahwa berbuka (tidak berpuasa) sebelum Ramadan dimaksudkan agar bisa memenuhi semua keinginan (memuaskan daging) dalam hal makanan sebelum datangnya larangan dengan puasa. Ini adalah keliru dan merupakan suatu kebodohan dari orang yang berpikir seperti itu.
(sumber: kajian-agama.blogspot.com)
Mengenai puasa di bulan Syaban Aisyah pernah berkata, “Rasul Allah berpuasa sampai kami mengira beliau tidak akan pernah berbuka, dan beliau berbuka sampai kami mengira beliau tidak akan pernah berpuasa. Aku tidak pernah melihat Rasul Allah menyempurnakan puasa satu bulan penuh kecuali pada bulan Ramadan, dan aku tidak pernah melihat beliau berpuasa lebih banyak dari bulan Syaban.” (HR. Bukhari No. 1833, Muslim No. 1956).
Selain itu, riwayat Muslim No. 1957 menyebutkan: “Beliau berpuasa pada semua bulan Syaban. Sedikit sekali beliau tidak berpuasa pada bulan Syaban.”
Sebagian ulama, seperti Ibnul Mubarak, bersepakat bahwa Sang Nabi tidak pernah melakukan puasa penuh selama bulan Syaban, akan tetapi beliau banyak berpuasa di dalamnya. Pendapat ini didukung dengan riwayat pada Sahih Muslim No. 1954 dari Aisyah beliau berkata: “Aku tidak pernah mengetahui beliau berpuasa selama satu bulan penuh selain pada bulan Ramadan.” Dalam riwayat lain yang dituturkan Muslim (No. 1955), Aisyah berkata: “Aku tidak pernah melihatnya puasa satu bulan penuh semenjak beliau menetap di Madinah kecuali pada bulan Ramadan.” Dalam Al Sahihain, Ibnu Abbas berkata: “Tidaklah Rasul Allah berpuasa satu bulan penuh selain pada bulan Ramadan.” (HR. Bukhari No. 1971 dan Muslim No.1157).
Ibnu Abbas menyimpulkan bahwa berpuasa satu bulan penuh selain Ramadan adalah hal yang harus ditinggalkan. Ibnu Hajar berkata: “Puasanya beliau sebagai puasa sunat (sukarela) lebih banyak pada bulan Syaban daripada puasanya di selain bulan Syaban. Beliau berpuasa untuk mengagungkan bulan Syaban.”
Usamah bin Zaid berkata: “Saya berkata: ‘Ya Rasul Allah, saya tidak pernah melihatmu berpuasa dalam satu bulan penuh dari bulan-bulan lain seperti puasanmu di bulan Syaban.’ Maka beliau berfirman: ‘Itulah bulan di mana manusia lalai darinya, antara Rajab dan Ramadan, dan merupakan bulan yang di dalamnya diangkat semua perbuatan kepada Tuhan Semesta Alam. Aku senang jika perbuatanku diangkat sedangkan diriku dalam keadaan berpuasa.’” (HR. Nasai, lihat Sahih Targhib wa at Tarhib hlm. 425).
Dalam sebuah riwayat dari Abu Dawud (No. 2076), Aisyah berkata: “Bulan yang paling dicintai Rasul Allah untuk berpuasa adalah bulan Syaban kemudian beliau sambung dengan puasa Ramadan.” (Disahihkan oleh Al-Albani, lihat Sahih Sunan Abi Dawud 2/461.)
Ibnu Rajab berkata: “Puasa bulan Syaban lebih utama dari puasa pada Bulan Haram (Bulan Suci). Sedangkan puasa sunat yang paling utama adalah yang dekat dengan Ramadan, sebelum dan sesudahnya. Kedudukan puasa Syaban di antara puasa yang lain sama dengan kedudukan salat sunat rawatib (salat yang dikerjakan sebelum atau sesudah salat lima waktu) terhadap salat wajib sebelum dan sesudahnya, yakni sebagai penyempurna kekurangan pada yang wajib. Demikian pula puasa sebelum dan sesudah Ramadan. Karena sunat rawatib lebih utama dari sunat mutlak (salat yang boleh dikerjakan kapan saja selain pada waktu-waktu terlarang), maka demikian juga puasa sebelum dan sesudah Ramadan lebih utama dari puasa yang jauh darinya.
Firman Muhammad yang menyatakan bahwa Syaban adalah bulan di mana manusia lalai darinya, antara Rajab dan Ramadan menunjukkan bahwa ketika bulan ini diapit oleh dua bulan yang agung—bulan haram dan bulan puasa—manusia sibuk dengan kedua bulan tersebut sehingga lalai dari bulan Syaban. Banyak di antara manusia mengganggap bahwa puasa Rajab lebih utama dari puasa Syaban karena Rajab merupakan Bulan Haram, padahal tidaklah demikian. Dalam hadis tadi terdapat isyarat pula bahwa sebagian yang telah mahsyur keutamaannya, baik itu waktu, tempat, maupun orang bisa jadi yang selainnya lebih utama darinya.
Dalam hadis itu pula terdapat dalil disunatkannya menghidupkan waktu-waktu yang manusia lalai darinya dengan ketaatan dan pelayanan. Sebagaimana sebagian orang salaf (orang dari kalangan rasul, sahabat, dan sebagainya), mereka senang menghidupkan waktu antara Maghrib dan Isya dengan salat dan melakukan persekutuan dengan Allah. Mereka mengatakan saat itu adalah saat lalainya manusia. Hal-hal lain yang baik untuk dilakukan adalah mengingat dan melakukan puji-pujian terhadap Allah Yang Maha Tinggi (zikir) di tempat jual-beli (tempat umum) karena jika seseorang melakukannya berarti dia dianggap mampu untuk tetap mengingat Allah di tengah orang-orang yang lalai. Banyak sekali keuntungan yang datang dari penggunaan waktu secara baik dengan mengingat dan beribadat kepada Allah, termasuk hal-hal berikut:
Melakukan perbuatan baik secara tersembunyi, dan menutupi serta merahasiakan ibadat sunat adalah lebih baik, terlebih dalam hal berpuasa, karena merupakan rahasia antara hamba dengan Tuhannya. Oleh karena itu, dikatakan padanya bahwa tidak boleh ada perasaan pamer seperti orang munafik. Banyak orang salaf yang berpuasa bertahun-tahun tanpa ada seorangpun yang mengetahuinya. Mereka keluar dari rumahnya menuju pasar dengan membekal dua potong roti kemudian keduanya disedekahkan dan dia sendiri berpuasa. Maka keluarganya mengira bahwa dia telah memakannya dan orang-orang di pasar juga menyangka bahwa dia telah memakannya di rumah. Orang salaf senang menampakkan hal-hal yang bisa menyembunyikan puasanya.
Ibnu Masud menuturkan hadis yang berbunyi: “Jika kalian akan berpuasa, maka berminyaklah (memoles bibirnya dengan minyak agar tidak terkesan sedang berpuasa).” Berkata Qutadah: “Disunatkan bagi orang yang berpuasa untuk berminyak sampai hilang darinya kesan sedang berpuasa.”
Perbuatan saleh yang dilakukan pada waktu lalai itu memang terasa berat bagi jiwa. Salah satu tanda dari betapa baiknya suatu perbuatan di mata Tuhan adalah kesulitannya dan beratnya terhadap jiwa dalam melakukan perbuatan itu: suatu perbuatan apabila banyak orang yang mengerjakannya maka akan terasa mudah, namun apabila banyak yang melalaikannya maka akan terasa berat bagi mereka yang mengingat Allah. Dalam Sahih Muslim No. 2984, dituturkan dari hadis Maaqil bin Yassar: “Ibadat yang dikerjakan di waktu lalai adalah sepeti berhijrah kepadaku.” [Frasa ‘ibadat yang dikerjakan di waktu lalai’ menunjuk pada waktu di mana terjadinya banyak fitnah, penderitaan, dan godaan yang besar karena manusia mengikuti hawa nafsu (sifat kedagingan) mereka.]
Para ulama berselisih pendapat mengenai sebab Rasul Allah banyak berpuasa di bulan Syaban. Pendapat-pendapat yang ada adalah sebagai berikut:
1. Bahwa beliau tidak dapat melakukan puasa tiga hari setiap bulannya karena beliau mengadakan perjalanan atau hal lainnya, sehingga beliau menyatukannya (menunaikannya) pada bulan Syaban. Ketika Sang Nabi mengamalkan suatu ibadat sunat maka beliau akan terus melakukannya, dan apabila melewatkannya maka beliau membayar utang ibadatnya itu.
2. Dikatakan bahwa istri-istri beliau membayar utang puasa Ramadannya pada bulan Syaban sehingga beliaupun ikut berpuasa untuk menghormati mereka. Ini berbeda dengan apa yang dikatakan Aisyah bahwa dia mengakhirkan pembayaran utang puasanya sampai bulan Syaban karena sibuk bersama Rasul Allah.
3. Dikatakan bahwa Muhammad berpuasa karena pada bulan itu manusia tak memberi perhatian kepadanya. Pendapat ini adalah pendapat yang paling kuat karena adanya hadis Usamah yang telah disebutkan tadi yang tercantum di dalamnya: “Itulah bulan yang manusia lalai darinya, antara Rajab dan Ramadan.” (HR. Nasai. Lihat Sahih at Targib wat Tarhib hlm. 425).
Apabila telah masuk bulan Syaban, sementara masih tersisa puasa sunat yang belum dilakukannnya, maka Muhammad akan membayar utang puasanya pada bulan tersebut sehingga sempurnalah puasa sunat beliau sebelum masuk Ramadan. Sama seperti halnya apabila beliau melewatkan ibadat sunat atau salat malam, maka beliau senantiasa menebusnya. Dengan demikian Aisyah waktu mengumpulkan pembayaran utangnya bersamaan dengan puasa sunatnya beliau, Aisyah membayar apa yang wajib baginya dari bulan Ramadan karena dia berbuka lantaran haid (menstruasi); sedangkan pada bulan-bulan lain dia sibuk bersama Sang Nabi. Perlu untuk diperhatikan dan sebagai peringatan bagi orang yang masih punya utang puasa Ramadan sebelumnya untuk membayarnya sebelum masuk Ramadan berikutnya. Tidak diperbolehkan untuk mengakhirkan sampai setelah Ramadan berikutnya kecuali karena masalah darurat, misalnya sakit yang terus berlanjut sampai dua Ramadan. Barang siapa yang mampu untuk membayarnya sebelum Ramadan tetapi tidak melakukannya, maka wajib bagi dia di samping membayarnya setelah bertobat sebelumnya, dia harus memberi makan orang-orang miskin setiap hari, Ini merupakan pandangan (hasil kajian hadis) dari Malik, Asy-Syafii, dan Ahmad.
Yang termasuk keuntungan dari puasa di bulan Syaban adalah bahwa puasa ini merupakan latihan untuk puasa Ramadan agar tidak mengalami kesulitan dan berat pada saatnya nanti. Bahkan akan terbiasa sehingga bisa memasuki Ramadan dalam keadaan kuat dan bersemangat. Syaban itu dapat dikatakan sebagai pendahuluan bagi Ramadan maka di sana ada pula amalan-amalan yang ada pada bulan Ramadan seperti puasa, membaca Alquran, dan bersedekah. Salamah bin Suhail berkata: “Telah dikatakan bahwa bulan Syaban itu merupakan bulannya para pembaca Alquran.” Habib bin Abi Tsabit berkata mengenai bulan Syaban: “Inilah bulannya para pembaca Alquran.” Amr bin Qais Al-Mulai apabila masuk bulan Syaban dia menutup tokonya dan meluangkan waktu khusus untuk membaca Alquran.
Puasa pada Akhir bulan Syaban
Dalam Al Sahihain yang ditulis Imran bin Hushain tertulis bahwa Rasul Allah bersabda: “Apakah engkau berpuasa pada sarar (akhir) bulan ini?” Dia berkata: “Tidak.” Maka beliau bersabda: “Apabila engkau berbuka maka puasalah dua hari.” Dalam riwayat Bukhari: “Saya kira yang dimaksud adalah bulan Ramadan.” Sementara dalam riwayat Muslim: “Apakah engkau puasa pada sarar (akhir) bulan Syaban ?” (HR. Bukhari 4/200 dan Muslim No. 1161).
Telah terjadi perdebatan dalam penafsiran kata sarar dalam hadis ini, dan yang makna banyak dikenal adalah akhir bulan. Dikatakan sarar asy syahr dengan mengkasrahkan sin atau memfathahkannya, dan memfathahkannya ini yang lebih benar. Akhir bulan dinamakan sarar karena bulannya istisrar (tersembunyi).
Apabila seseorang berkata, telah dikatakan dalam Sahihain dari Abu Hurairah bahwa Sang Nabi bersabda: “Janganlah kalian mendului Ramadan dengan puasa sehari atau dua hari sebelumnya kecuali orang yang terbiasa berpuasa maka puasalah.” (HR. Bukhari No. 1983 dan Muslim No. 1082), maka bagimana kita mengompromikan hadis anjuran berpuasa (Hadis Imran bin Hushain tadi) dengan hadis larangan ini?
Berkata kebanyakan ulama dan para peneliti hadis: Sesungguhnya orang yang ditanya oleh Rasul Allah ini telah diketahui oleh Rasul Allah bahwa dia ini terbiasa berpuasa atau karena dia punya nazar sehingga diperintahkan untuk membayarnya.
Dikatakan bahwa dalam masalah ini ada pendapat lain, dan ringkasnya bahwa puasa di akhir bulan Syaban ada pada tiga keadaan:
1. Berpuasa dengan niat puasa Ramadan sebagai bentuk kehati-hatian barangkali sudah masuk bulan Ramadan. Puasa seperti ini hukumnya haram.
2. Berpuasa dengan niat nazar atau membayar utang puasa Ramadan yang lalu atau membayar kafarat (denda) atau yang lainnya. Jumhur ulama memperbolehkan yang demikian.
3. Berpuasa dengan niat puasa sunat biasa. Kelompok yang mengharuskan adanya pemisah antara Syaban dan Ramadan dengan berbuka membenci hal yang demikian, di antaranya adalah Hasan Al-Bashri—meskipun sudah terbiasa berpuasa—akan tetapi Malik memberikan keringanan bagi orang yang sudah terbiasa berpuasa. Asy-Syafii, Al-Auzai, dan Ahmad serta selainnya memisahkan antara orang yang terbiasa dengan yang tidak.
Secara keseluruhan hadis Abu Hurairah tadilah yang digunakan oleh kebanyakan ulama. Yakni dibencinya mendahului Ramadan dengan puasa sunat sehari atau dua hari bagi orang yang tidak punya kebiasaan berpuasa, dan tidak pula mendahuluinya dengan puasa pada bulan Syaban yang terus-menerus bersambung sampai akhir bulan.
Apabila seseorang berkata, mengapa puasa sebelum Ramadan secara langsung ini dibenci (bagi orang-orang yang tidak punya kebiasaan berpuasa sebelumnya)? Jawabnya adalah karena dua hal:
Pertama, agar tidak menambah puasa Ramadan pada waktu yang bukan termasuk Ramadan, sebagaimana dilarangnya puasa pada hari raya karena alasan ini, sebagai peringatan dari apa yang terjadi pada Ahli Kitab dengan puasa mereka yaitu mereka menambah-nambah puasa mereka tidak lebih berdasarkan pendapat mayoritas (kesepakatan) dan hawa nafsu mereka semata daripada aturan Tuhan sendiri dalam Kitab Suci.
Atas dasar tersebut maka dilaranglah puasa pada yaum asy syak (hari yang diragukan). Berkata Umar: Barangsiapa yang berpuasa pada hari syak maka dia telah berkhianat kepada Abul Qasim (Muhammad). Hari syak adalah hari yang diragukan padanya apakah termasuk Ramadan atau bukan yang disebabkan karena adanya kabar tentang telah dilihatnya hilal Ramadan tetapi kabar ini ditolak. Adapun yaum al ghaim (hari yang mendung sehingga tidak bisa dilihat apakah hilal sudah muncul atau belum maka di antara ulama ada yang menjadikannya sebagai hari syak dan terlarang berpuasa padanya. Ini adalah perkataaan kebanyakan ulama.
Kedua, membedakan antara puasa sunat dan wajib. Sesungguhnya membedakan antara yang wajib dan yang sunat adalah suatu keharusan. Oleh karenanya diharamkan puasa pada hari raya (untuk membedakan antara puasa Ramadan yang wajib dengan puasa pada bulan Syawal yang sunat). Rasul Allah melarang untuk menyambung salat wajib dengan dengan salat sunat sampai dipisahkan oleh salam, doa, atau pembicaraan. Terlebih salat sunat qabliah Fajr (Subuh) maka, sesuai hukum Islam, harus dipisahkan dengan salat wajib. Karenanya diharuskan menurut iman Islam untuk dilakukan di rumah serta berbaring-baring sesaat sesudahnya. Sang Nabi ketika melihat ada yang sedang salat qabliah kemudian ikamat dikumandangkan, beliau berkata kepadanya: “Apakah salat Subuh itu empat rakaat?” (HR. Bukhari No.663).
Barangkali sebagian orang yang kurang memahami ajaran Islam mengira bahwa berbuka (tidak berpuasa) sebelum Ramadan dimaksudkan agar bisa memenuhi semua keinginan (memuaskan daging) dalam hal makanan sebelum datangnya larangan dengan puasa. Ini adalah keliru dan merupakan suatu kebodohan dari orang yang berpikir seperti itu.
(sumber: kajian-agama.blogspot.com)
Comments (0)
Post a Comment