AGAMA BANGSA ARAB JAHILIYAH DALAM SYAIR

Posted by mochihotoru | Posted in , , | Posted on 5:33:00 PM

0

Syair sebagaimana yang dikatakan oleh M. Atar Semi, adalah karya seni kreatif yang objeknya adalah manusia dan kehidupannya. Dengan ungkapan lain, bahwa syair adalah gambaran nyata tentang kehidupan masyarakat zamannya. Syair pada hakikatnya menggambarkan berbagai macam aspek kehidupan; sosial, budaya, ekonomi, politik, gaya berpikir serta agama dan kepercayaan masyarakatnya.

Hal itulah, agaknya yang membuat para sejarawan menjadi “serba salah” memosisikan syair sebagai sumber data dan informasi sejarah. Di satu sisi, syair adalah suatu karya seni yang lebih mementingkan unsur keindahan daripada kebenaran. Sebab, syair disusun oleh beberapa aspek yang menjadikannya indah, di antaranya adalah imajinasi dan emosi. Di sisi lain, seperti yang disebutkan bahwa syair adalah gambaran nyata kehidupan masyarakat zamannya. Namun demikian, ada hal yang menjadi kesepakatan para ahli sejarah, bahwa khusus untuk syair-syair Arab pra-Islam boleh dan bahkan harus dirujuk untuk dijadikan sumber dalam kajian sejarah. Kajian tentang masyarakat Arab pra-Islam tidaklah akan utuh dan sempurna jika tidak merujuk kepada syair-syair Arab pra-Islam (Jahiliyah) tersebut.

Ada beberapa hal yang menyebabkan mengapa syair Arab dari zaman Kebodohan (Jahiliyah) mesti menjadi rujukan sejarah. Pertama, sudah menjadi pengetahuan umum bahwa masyarakat Arab pra-Islam tidak meninggalkan bukti-bukti tertulis tentang kehidupan mereka zaman itu, seperti halnya bangsa-bangsa lain di dunia. Sebab, mereka tidak mengenal budaya tulis pada zaman itu dan lebih senang dan bangga dengan budaya oral dan hafalan. Mereka sanggup menghafal ratusan bahkan ribuan syair di kepalanya selama hidupnya. Oleh karena itu, satu-satunya sumber sejarah yang bisa dilacak adalah syair-syair Arab yang beredar di kalangan para perawi syair. Sebab, tradisi riwayat syair sudah mengakar dalam budaya masyarakat Arab semenjak masa lalu. Hal itu disebabkan oleh kekaguman mereka terhadap seni bahasa yang indah dan menjadi kebanggaan bagi setiap orang bila dia bisa menghafal syair-syair penyair kabilahnya, dari generasi ke generasi. Sehingga, masyarakat Arab pra-Islam berlomba-lomba untuk bisa menghafal syair para penyair dan meriwayatkannya kepada generasi berikutnya.

Kedua, para penyair memiliki kedudukan yang sangat tinggi dalam sistem masyarakat bangsa Arab pra-Islam. Para penyair dianggap sebagai orang yang memiliki kekuatan supernatural dan mampu mengetahui hal-hal yang gaib. Oleh kerana itulah para penyair mendapat tempat yang terhormat di tengah masyarakat, bahkan dianggap sebagai nabinya suatu kabilah. Sehingga, kata-kata yang diucapkan oleh para penyair, dianggap bukan perkataan yang biasa dan berhak diabaikan saja. Ungkapan para penyair adalah sesuatu yang mesti dihargai dan dijaga. Dengan demikian, khusus untuk syair-syair Arab pra-Islam para sejarawan sepakat—sekalipun ada yang tidak setuju seperti Thaha Husein, namun kapasitasnya bukanlah sebagai sejarawan—untuk menjadikannya sebagai sumber sejarah bagi bangsa Arab. Syair Arab pra-Islam adalah rekaman dari kehidupan pada zamannya. Berikut, kita akan melihat salah satu aspek kehidupan masyarakat Arab yang digambarkan syair, yaitu aspek agama.

Ada beberapa bentuk keyakinan atau agama yang dianut oleh masyarakat Arab pra-Islam. Syair-syair Arab merekam beberapa bentuk keyakinan atau agama masyarakat Arab pra-Islam tersebut, di antaranya:

Animisme dan Dinamisme

Keyakinan ini kebanyakan dianut oleh masyarakat Arab yang tinggal di daerah pedalaman. Thamtham adalah benda-benda yang sangat dihormati oleh bangsa Arab, yang sebagian besarnya berupa hewan dan tumbuhan. Mereka berkeyakinan, bahwa arwah leluhur dan nenek moyang mereka selalu mengawasi dan menyertai mereka dengan cara berada di dalam jasad binatang atau tumbuhan. Jika mereka meyakini hewan tertentu sebagai tempat bertenggernya arwah nenek moyang mereka, maka hewan tersebut tidak boleh diganggu, disakiti apalagi disembelih. Begitu juga jika tumbuhan, maka tumbuhan itu tidak boleh ditebang dalam kondisi apapun dan dengan alasan apapun. Mereka berkeyakinan, bahwa jika mereka mengganggu, merusak, atau membinasakan binatang atau tumbuhan tersebut, maka bencana besar akan datang menimpa mereka.

Sangat terkenal sebuah syair yang mencela bani Hanifah, karena telah memakan buah sebatang korma yang mereka sembah. Hal ini meraka lakukan karena terpaksa, disebabkan masa paceklik dan kelaparan.

أكلت حنيفة ربها زمن التقحم والمجاعة

لم يحذروا من ربهم سوء العواقب والتياعة

Suku Abu Hanifah telah menyantap tuhannya di masa paceklik dan di masa lapar
Tak mereka nampak takut akan hukuman dan dan siksa pedih tuhannya.

Bahkan saking besarnya pengaruh kepercayaan ini di kalangan masyarakat Arab, nama-nama kabilah (suku) pun diberi nama sesuai nama bintang atau tumbuhan. Seperti, suku Asad (singa), suku Fahd (macan), suku Dabigah (kuda pacu), suku Tsur (sapi jantan), suku Ziibu (serigala), suku Nasr (elang), suku Hanzalah (labu), atau juga nama hewan laut seperti suku Quraisy (singa laut). Bahkan, nama orang sekalipun diberi nama bintang atau tumbuhan, seperti Kilab (pendiri suku Kilab).

Penyembah Berhala

Bangsa Arab pada masa pra-Islam mengenal dua istilah untuk sebutan berhala; asnam (ashnâm) dan ausan (autsân). Perbedaan keduanya terletak dalam bahan materialnya dan tujuan. Patung itu terbuat dari emas, perak, atau kayu disebut dengan shamam atau ashnâm. Patung-patung tersebut biasanya dipakai untuk ritual peribadatan, penyembahan, pelayanan, tempat berdoa, serta meminta kesembuhan dan keselamatan. Sedangkan, patung yang terbuat dari batu, maka disebut dengan watsni atau autsân. Patung ini biasanya dipakai untuk acara ritul korban dan persembahan sesajen. Ritual seperti itu sudah dikenal oleh masyarakat Arab semenjak lama.

Orang yang pertama membuat patung dari suku keturunan Ismael adalah Huzail anak Mudrik, sedangkan orang pertama memperkenalkan patung berhala kepada masyarakat Quraisy adalah Umar anak Luhay. Sementara, kabilah Arab yang pertama menyembah berhala adalah suku Huzail dan suku Mudar yang menyembah patung Shiwa. Seperti yang diungkapkan penyair berikut:

تراهم حول قيلهم عكوفا كما عكفت هزيل على واع

Engkau lihat mereka tunduk dan sujud kepada raja mereka, seperti tunduk dan sujudnya suku Huzail kepada Sang Shiwa

Penyembahan berhala pun berkembang di kalangan masyarakat Arab waktu itu, setelah Umar bin Luhay memperkenalkan kepada mereka patung yang dibawanya dari lembah Qudaid (tempat yang terletak antara Mekah dan Madinah), patung itu kemudian diberi nama Manat, dan diletakan di dalam Kabah. Bahkan, ritual penyembahan Manat tidak hanya dilakukan orang Arab Quraisy, namun juga orang-orang Arab Madinah suku Aus dan suku Khazraj yang selalu berkunjung dan mengadakan penyembahan dan korban kepada patung Manat. Seperti yang diungkapkan oleh Abdul Uzza al-Mazini

إني حلفت يميني صدق برة بمناة عند محل آل الخزرج
Sungguh kubersumpah dalam Manat, di tempat kelurga Khazraj biasanya beribadat

Yahudi dan Kristen

Sebelum kedatangan Islam, agama Yahudi dan Kristen sudah tersebar di Jazirah Arab. Agama Yahudi diperkirakan masuk ke Jazirah Arab dari Palestina pada tahun 70 M, ketika mereka mendapat tekanan dari penjajah Romawi raja Titus. Sebagian mereka berpindah ke wilayah Hijaz seperti Madinah (Yatsrib), Khaibar, dan Thaif. Sementara agama Kristen berpindah ke Jazirah Arab pada masa kekuasaan Dzu Nuwas (510-525 M) yang melakukan tekananan terhadap masyarakat Kristen Najran di Yaman utara dan memaksa mereka memeluk agama Yahudi. Seperti yang diceritakan dalam Gugusan Bintang ayat 4-8 yang berbunyi:

“Binasa dan terlaknatlah orang-orang yang membuat parit berapi yang dinyalakan dengan kayu bakar, ketika mereka duduk di sekitarnya, sedang mereka menyaksikan apa yang mereka perbuat terhadap orang-orang yang beriman. Dan mereka tidak menyiksa orang-orang percaya itu melainkan karena orang-orang mukmin itu beriman kepada Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji, Yang mempunyai Kerajaan Langit dan Bumi dan Allah Maha Menyaksikan segala sesuatu. Sesungguhnya orang-orang yang mendatangkan cobaan kepada orang-orang yang percaya yang laki-laki dan perempuan kemudian mereka tidak bertobat, maka bagi mereka hukuman Jahanam dan bagi mereka api yang membakar.”

Kedua agama ini bersaing untuk menyebarkan pengaruhnya. Namun, agama Kristen lebih mengungguli Yahudi, disebabkan karakter kedua agama ini yang berbeda. Kristen adalah agama misionaris dan bersifat progresif, sedangkan Yahudi adalah agama yang kurang progresif. Sehingga, agama Kristen dipeluk oleh banyak suku-suku Arab, namun tidak dalam pengertian mereka berpindah agama secara total. Akan tetapi, masyarakat Arab waktu itu memadukan antara ajaran lama mereka dengan ajaran Kristen. Hal itu, seperti yang telihat dalam ungkapan Adi bin Zaid al-Ibadi berikut:

سعى الأعداء لا يألون شرا علي ورب مكة والصليب

Selalu saja musuh-musuh itu berusaha menjahatiku, oh, aku bersumpah demi Tuhan Kabah dan salib

Dalam syair di atas orang Arab menyebutkan Tuhan Kabah dan salib dan ungkapan bersamaan. Selanjutnya, terlihat di dalam beberapa syairnya, para penyair betapa pola kehidupan serta istilah-istilah dalam agama Kristen sudah sangat familiar di kalangan orang Arab sendiri. Simak misalnya syair Umrul Qais berikut ini:

يضئ سناه كمصابيح راهب أهان السليط فى الذبال المفتل

Lampunya tetap bersinar bak lampu pendeta, sekalipun lidah orang yang fasih melempar hinaan dengan untaian kata tajam

Penganut Agama Hanif

Sebelum kemunculan Islam, di Jazirah Arab telah muncul sebuah gerakan keagamaan yang pengikutnya adalah para cendikiawan dan pemikir Arab zamannya. Mereka menjauhkan diri dari penyembahan berhala dan juga tidak ikut melakukan ibadat dan pelayanan seperti halnya umat Yahudi dan Kristen. Mereka melakukan peribadatan leluhur mereka yang dipercayai sebagai ajaran murni Abraham melalui anaknya Ismael dan keturunannya. Mereka disebut sebagai kelompok hanif, atau disebut juga hunafa atau mutahanifin. Penamaan ini dinisbahkan kepada sifat Abraham seperti yang disebutkan dalam Sapi Betina ayat 135 yang berbunyi:

“Dan mereka berkata: Hendaklah kamu menjadi penganut agama Yahudi atau Kristen seperti kami, maka kamu akan mendapat petunjuk (Keselamatan). Maka katakanlah: Tidak. Kami hanya mau mengikuti agama Abraham yang lurus. Dan dia (Abraham) bukanlah dari golongan orang membuat allah lain di hadapan Allah.

Di antara mereka yang terkenal adalah Khadijah anak Khuwailid (istri pertama Muhammad), Qis anak Saidah, Zaid anak Umar anak Nufail, Umayyah anak Abi Shalt, Suwaid anak Amir, Asaad Abu Karab al Himyari, Waraqah anak Naufal al Quraisy, Qutaylah anak Naufal al Quraisy, Zuhair anak Abi Sulma, dan lain-lain. Kebanyakan dari mereka adalah orang-orang dari suku Asad yang memang terkenal sebagai suku yang tetap mempertahankan agama Ismael anak Abraham selain suku Hasyim, yang merupakan suku Muhammad, dan suku-suku di Madinah. Merekalah yang berupaya memurnikan keyakinan sebagian masyarakat Arab dari penyembahan berhala dan penyekutuan Tuhan. Sehingga, pemikiran-pemikiran mereka inilah yang kemudian berpengaruh besar terhadap perubahan keyakinan masyarakat Arab sebelum kedatangan Islam. Bentuk pemikiran kelompok beragama hanif ini seperti telihat dalam syair Zaid bin Umar berikut:

أربا واحدا أم ألف رب أدين أذا تقسمت الأمور

عزلت اللات والعزى جميعا لذلك يفعل الجلد الصبور

فلا عزى أدين ولا ابنتها ولاصنمي بنى عمرو أزور

ولاغنما أدين وكان ربا لنا فى الدهر إذا حلمي يسير

بأن الله قد أفنى رجالا كثيرا كان شأنهم الفجور

وأبقى آخرين يبر قوم فيربل منهم الطفل الصغير

ولكن أعبد الرحمن ربي ليغفر ذنبي الرب الغفور

Apakah satu Tuhan yang kusembah atau seribu tuhan jika urusan telah terbagi

Kutinggalkan Latta dan Uzza, semuanya, begitulah yang dilakukan orang kuat dan sabar

Aku bukanlah penyembah Uzza dan tak pula kedua anak perempuannya, dan tidak juga aku kunjungi patung suku Amar

Aku tidak mau menyembah kambing, karena kami punya Tuhan Sepanjang

Masa semenjak masih bayi

Allah telah membinasakan berapa banyak tokoh dan manusia, akibat dosa daging dan kejahatan mereka

Kemudian Dia tinggalkan kelompok yang berbuat baik, lalu tumbuh lagi generasi baru dari mereka

Aku pasti menyembah Tuhan Yang Penyayang, agar Tuhanku yang Maha Pengampun mengampuni semua dosaku

Begitulah aspek kehidupan agama masyarakat Arab pra-Islam yang digambarkan oleh syair-syair bangsa Arab dari masa itu. Agaknya, hal itu menjadi bukti betapa syair tidak boleh diabaikan ketika kita menguraikan sejarah suatu bangsa, khususnya ketika kita berbicara kehidupan masyarakat Arab pra-Islam. Jika kita berbicara sejarah mereka, tentulah syair sesuatu yang mesti dirujuk agar gambaran sejarah tentang masyarakat Arab zaman itu bisa lebih utuh dan menyeluruh.

(sumber: lppbi-fiba.blogspot.com)


VIRUS INDONESIA HARUS LEBIH DIWASPADAI

Posted by mochihotoru | Posted in | Posted on 11:29:00 AM

0

Virus komputer lokal buatan Indonesia yang banyak beredar di dunia maya saat ini diyakini lebih berbahaya dari virus produksi asing. Dalam beberapa kasus, virus lokal sampai menghilangkan data file di komputer korban.

"Sementara, virus asing tidak sampai menghilangkan file penting penggunanya. Produsen virus tersebut hanya ingin menunjukkan kelemahan windows yang ada saat ini," kata Yudhi Kukuh, Technical Security Consultant, ESET Indonesia, perusahaan di bidang keamanan digital, Minggu (23/8).

Namun, jelas dia, dari sejumlah virus yang menyebar di seluruh jaringan komputer di dunia, virus asal Indonesia hanya menyumbang 0,1 persen. "Meski penguasaannya terbilang minim secara internasional, pengguna komputer perlu menyadari pentingnya antivirus untuk melindungi data," ujarnya.

Sampai saat ini, kata dia, variasi virus di dunia sangat beragam. Akan tetapi, yang kini menjadi tren dan berbahaya adalah virus "configure". Virus ini sifatnya bisa menggandakan diri, sehingga kini variannya bisa mencapai turunan ke-30 ("configure" varian AQ).

"Mayoritas, selama ini yang menyerang komputer di antaranya `configure generic`, `configure` varian A, dan `configure` varian AA," katanya.

Sementara, ia mencontohkan, ragam virus lokal yang juga membahayakan data pengguna komputer seperti babon, aksika, "coolface & coolface MP3 player", W32/Kill AV, pendekar "blank", pacaran, "blue fantassy", "Windx-Matrox". Selain itu, ada juga virus amburadul, FD Shield, Purwo C, dan Nadia Saphira.

Terkait pengguna antivirus ESET, Marketing Communications ESET Indonesia, Chrissie Maryanto, menyatakan, sampai saat ini pasar terbesar sebanyak 60 persen berada di Jakarta, 30 persen di Surabaya, dan 10 persennya menyebar di kota lain. "Dari jumlah tersebut, segmentasi pasar kami terdiri dari 80 persen kalangan korporasi dan 20 persen pelaku usaha ritel," katanya.

Khusus di Surabaya, ia siap menembus pasar ritel di kota tersebut. Salah satunya dengan menjalin kerja sama dengan peritel yang bergerak di bidang teknologi informasi (TI). Sementara itu, sejak Agustus ini ia telah memiliki reseller di Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, Malang, Jember, Bali, Balikpapan, dan Papua.

"Mengenai upaya menarik konsumen, kami memberikan promo Merdeka Dari Virus dengan harga promosi untuk Home Edition seperti ESET Antivirus NOD32 yang kini menjadi 24,99 dolar Amerika Serikat (AS), dari harga normal 39,99 dolar AS," katanya.


(sumber: tekno.kompas.com)


Kamus Besar Bahasa Indonesia dalam Jaringan

Posted by mochihotoru | Posted in , | Posted on 4:31:00 PM

0

Kamus Besar Bahasa Indonesia yang dikenal dengan sebutan KBBI terbit pertama 28 Oktober 1988 saat Pembukaan Kongres V Bahasa Indonesia. Sejak itu kamus tersebut telah menjadi sumber rujukan yang dipercaya baik di kalangan pengguna di dalam maupun di luar negeri. Setiap ada permasalahan tentang kata, KBBI selalu dianggap sebagai jalan keluar penyelesaiannya. Selain muatan isi, KBBI memang disusun tidak sekadar sebagai sumber rujukan, tetapi menjadi sumber penggalian ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni, serta peradaban Indonesia. Oleh karena itu, rujukan tersebut kemudian semakin mengakar di dalam kehidupan berbahasa Indonesia walaupun upaya penyempurnaan isi tidak selamanya mengimbangi perkembangan kosakata bahasa Indonesia.

KBBI daring ini merupakan upaya penyediaan kemudahan akses terhadap Kamus Besar Bahasa Indonesia di mana pun, kapan pun, dan siapa pun selama dapat memanfaatkan jaringan teknologi informasi dan komunikasi.

Pangkalan data KBBI daring ini diambil dari KBBI edisi III. Pemutakhiran dan penyempurnaan isi KBBI sedang dilakukan dan akan diterbitkan dalam edisi IV tahun ini. Tampilan antarmuka KBBI daring sengaja didesain dalam bentuk sederhana agar pengguna tidak menemukan kesulitan dalam penggunaan kamus ini.

Untuk mengunjungi, klik di sini.

SEPUTAR BULAN SYABAN

Posted by mochihotoru | Posted in , , | Posted on 1:11:00 PM

0

Syaban adalah nama bulan kedelapan dalam penanggalan Hijriah. Dinamakan Syaban karena pada bulan tersebut orang-orang Arab yatasya’abun (berpencar) untuk mencari sumber air. Dikatakan demikian juga karena mereka tasya’ub (terpencar) di gua-gua. Selain itu, dikatakan sebagai bulan Syaban juga karena bulan tersebut sya’aba (muncul) di antara dua bulan Rajab dan Ramadan. Bentuk jamak dari kata Sya’ban adalah Sya’abanaat dan Sya’aabiin.

Mengenai puasa di bulan Syaban Aisyah pernah berkata, “Rasul Allah berpuasa sampai kami mengira beliau tidak akan pernah berbuka, dan beliau berbuka sampai kami mengira beliau tidak akan pernah berpuasa. Aku tidak pernah melihat Rasul Allah menyempurnakan puasa satu bulan penuh kecuali pada bulan Ramadan, dan aku tidak pernah melihat beliau berpuasa lebih banyak dari bulan Syaban.” (HR. Bukhari No. 1833, Muslim No. 1956).

Selain itu, riwayat Muslim No. 1957 menyebutkan: “Beliau berpuasa pada semua bulan Syaban. Sedikit sekali beliau tidak berpuasa pada bulan Syaban.”

Sebagian ulama, seperti Ibnul Mubarak, bersepakat bahwa Sang Nabi tidak pernah melakukan puasa penuh selama bulan Syaban, akan tetapi beliau banyak berpuasa di dalamnya. Pendapat ini didukung dengan riwayat pada Sahih Muslim No. 1954 dari Aisyah beliau berkata: “Aku tidak pernah mengetahui beliau berpuasa selama satu bulan penuh selain pada bulan Ramadan.” Dalam riwayat lain yang dituturkan Muslim (No. 1955), Aisyah berkata: “Aku tidak pernah melihatnya puasa satu bulan penuh semenjak beliau menetap di Madinah kecuali pada bulan Ramadan.” Dalam Al Sahihain, Ibnu Abbas berkata: “Tidaklah Rasul Allah berpuasa satu bulan penuh selain pada bulan Ramadan.” (HR. Bukhari No. 1971 dan Muslim No.1157).

Ibnu Abbas menyimpulkan bahwa berpuasa satu bulan penuh selain Ramadan adalah hal yang harus ditinggalkan. Ibnu Hajar berkata: “Puasanya beliau sebagai puasa sunat (sukarela) lebih banyak pada bulan Syaban daripada puasanya di selain bulan Syaban. Beliau berpuasa untuk mengagungkan bulan Syaban.”

Usamah bin Zaid berkata: “Saya berkata: ‘Ya Rasul Allah, saya tidak pernah melihatmu berpuasa dalam satu bulan penuh dari bulan-bulan lain seperti puasanmu di bulan Syaban.’ Maka beliau berfirman: ‘Itulah bulan di mana manusia lalai darinya, antara Rajab dan Ramadan, dan merupakan bulan yang di dalamnya diangkat semua perbuatan kepada Tuhan Semesta Alam. Aku senang jika perbuatanku diangkat sedangkan diriku dalam keadaan berpuasa.’” (HR. Nasai, lihat Sahih Targhib wa at Tarhib hlm. 425).

Dalam sebuah riwayat dari Abu Dawud (No. 2076), Aisyah berkata: “Bulan yang paling dicintai Rasul Allah untuk berpuasa adalah bulan Syaban kemudian beliau sambung dengan puasa Ramadan.” (Disahihkan oleh Al-Albani, lihat Sahih Sunan Abi Dawud 2/461.)

Ibnu Rajab berkata: “Puasa bulan Syaban lebih utama dari puasa pada Bulan Haram (Bulan Suci). Sedangkan puasa sunat yang paling utama adalah yang dekat dengan Ramadan, sebelum dan sesudahnya. Kedudukan puasa Syaban di antara puasa yang lain sama dengan kedudukan salat sunat rawatib (salat yang dikerjakan sebelum atau sesudah salat lima waktu) terhadap salat wajib sebelum dan sesudahnya, yakni sebagai penyempurna kekurangan pada yang wajib. Demikian pula puasa sebelum dan sesudah Ramadan. Karena sunat rawatib lebih utama dari sunat mutlak (salat yang boleh dikerjakan kapan saja selain pada waktu-waktu terlarang), maka demikian juga puasa sebelum dan sesudah Ramadan lebih utama dari puasa yang jauh darinya.

Firman Muhammad yang menyatakan bahwa Syaban adalah bulan di mana manusia lalai darinya, antara Rajab dan Ramadan menunjukkan bahwa ketika bulan ini diapit oleh dua bulan yang agung—bulan haram dan bulan puasa—manusia sibuk dengan kedua bulan tersebut sehingga lalai dari bulan Syaban. Banyak di antara manusia mengganggap bahwa puasa Rajab lebih utama dari puasa Syaban karena Rajab merupakan Bulan Haram, padahal tidaklah demikian. Dalam hadis tadi terdapat isyarat pula bahwa sebagian yang telah mahsyur keutamaannya, baik itu waktu, tempat, maupun orang bisa jadi yang selainnya lebih utama darinya.

Dalam hadis itu pula terdapat dalil disunatkannya menghidupkan waktu-waktu yang manusia lalai darinya dengan ketaatan dan pelayanan. Sebagaimana sebagian orang salaf (orang dari kalangan rasul, sahabat, dan sebagainya), mereka senang menghidupkan waktu antara Maghrib dan Isya dengan salat dan melakukan persekutuan dengan Allah. Mereka mengatakan saat itu adalah saat lalainya manusia. Hal-hal lain yang baik untuk dilakukan adalah mengingat dan melakukan puji-pujian terhadap Allah Yang Maha Tinggi (zikir) di tempat jual-beli (tempat umum) karena jika seseorang melakukannya berarti dia dianggap mampu untuk tetap mengingat Allah di tengah orang-orang yang lalai. Banyak sekali keuntungan yang datang dari penggunaan waktu secara baik dengan mengingat dan beribadat kepada Allah, termasuk hal-hal berikut:

Melakukan perbuatan baik secara tersembunyi, dan menutupi serta merahasiakan ibadat sunat adalah lebih baik, terlebih dalam hal berpuasa, karena merupakan rahasia antara hamba dengan Tuhannya. Oleh karena itu, dikatakan padanya bahwa tidak boleh ada perasaan pamer seperti orang munafik. Banyak orang salaf yang berpuasa bertahun-tahun tanpa ada seorangpun yang mengetahuinya. Mereka keluar dari rumahnya menuju pasar dengan membekal dua potong roti kemudian keduanya disedekahkan dan dia sendiri berpuasa. Maka keluarganya mengira bahwa dia telah memakannya dan orang-orang di pasar juga menyangka bahwa dia telah memakannya di rumah. Orang salaf senang menampakkan hal-hal yang bisa menyembunyikan puasanya.

Ibnu Masud menuturkan hadis yang berbunyi: “Jika kalian akan berpuasa, maka berminyaklah (memoles bibirnya dengan minyak agar tidak terkesan sedang berpuasa).” Berkata Qutadah: “Disunatkan bagi orang yang berpuasa untuk berminyak sampai hilang darinya kesan sedang berpuasa.”

Perbuatan saleh yang dilakukan pada waktu lalai itu memang terasa berat bagi jiwa. Salah satu tanda dari betapa baiknya suatu perbuatan di mata Tuhan adalah kesulitannya dan beratnya terhadap jiwa dalam melakukan perbuatan itu: suatu perbuatan apabila banyak orang yang mengerjakannya maka akan terasa mudah, namun apabila banyak yang melalaikannya maka akan terasa berat bagi mereka yang mengingat Allah. Dalam Sahih Muslim No. 2984, dituturkan dari hadis Maaqil bin Yassar: “Ibadat yang dikerjakan di waktu lalai adalah sepeti berhijrah kepadaku.” [Frasa ‘ibadat yang dikerjakan di waktu lalai’ menunjuk pada waktu di mana terjadinya banyak fitnah, penderitaan, dan godaan yang besar karena manusia mengikuti hawa nafsu (sifat kedagingan) mereka.]

Para ulama berselisih pendapat mengenai sebab Rasul Allah banyak berpuasa di bulan Syaban. Pendapat-pendapat yang ada adalah sebagai berikut:

1. Bahwa beliau tidak dapat melakukan puasa tiga hari setiap bulannya karena beliau mengadakan perjalanan atau hal lainnya, sehingga beliau menyatukannya (menunaikannya) pada bulan Syaban. Ketika Sang Nabi mengamalkan suatu ibadat sunat maka beliau akan terus melakukannya, dan apabila melewatkannya maka beliau membayar utang ibadatnya itu.

2. Dikatakan bahwa istri-istri beliau membayar utang puasa Ramadannya pada bulan Syaban sehingga beliaupun ikut berpuasa untuk menghormati mereka. Ini berbeda dengan apa yang dikatakan Aisyah bahwa dia mengakhirkan pembayaran utang puasanya sampai bulan Syaban karena sibuk bersama Rasul Allah.

3. Dikatakan bahwa Muhammad berpuasa karena pada bulan itu manusia tak memberi perhatian kepadanya. Pendapat ini adalah pendapat yang paling kuat karena adanya hadis Usamah yang telah disebutkan tadi yang tercantum di dalamnya: “Itulah bulan yang manusia lalai darinya, antara Rajab dan Ramadan.” (HR. Nasai. Lihat Sahih at Targib wat Tarhib hlm. 425).

Apabila telah masuk bulan Syaban, sementara masih tersisa puasa sunat yang belum dilakukannnya, maka Muhammad akan membayar utang puasanya pada bulan tersebut sehingga sempurnalah puasa sunat beliau sebelum masuk Ramadan. Sama seperti halnya apabila beliau melewatkan ibadat sunat atau salat malam, maka beliau senantiasa menebusnya. Dengan demikian Aisyah waktu mengumpulkan pembayaran utangnya bersamaan dengan puasa sunatnya beliau, Aisyah membayar apa yang wajib baginya dari bulan Ramadan karena dia berbuka lantaran haid (menstruasi); sedangkan pada bulan-bulan lain dia sibuk bersama Sang Nabi. Perlu untuk diperhatikan dan sebagai peringatan bagi orang yang masih punya utang puasa Ramadan sebelumnya untuk membayarnya sebelum masuk Ramadan berikutnya. Tidak diperbolehkan untuk mengakhirkan sampai setelah Ramadan berikutnya kecuali karena masalah darurat, misalnya sakit yang terus berlanjut sampai dua Ramadan. Barang siapa yang mampu untuk membayarnya sebelum Ramadan tetapi tidak melakukannya, maka wajib bagi dia di samping membayarnya setelah bertobat sebelumnya, dia harus memberi makan orang-orang miskin setiap hari, Ini merupakan pandangan (hasil kajian hadis) dari Malik, Asy-Syafii, dan Ahmad.

Yang termasuk keuntungan dari puasa di bulan Syaban adalah bahwa puasa ini merupakan latihan untuk puasa Ramadan agar tidak mengalami kesulitan dan berat pada saatnya nanti. Bahkan akan terbiasa sehingga bisa memasuki Ramadan dalam keadaan kuat dan bersemangat. Syaban itu dapat dikatakan sebagai pendahuluan bagi Ramadan maka di sana ada pula amalan-amalan yang ada pada bulan Ramadan seperti puasa, membaca Alquran, dan bersedekah. Salamah bin Suhail berkata: “Telah dikatakan bahwa bulan Syaban itu merupakan bulannya para pembaca Alquran.” Habib bin Abi Tsabit berkata mengenai bulan Syaban: “Inilah bulannya para pembaca Alquran.” Amr bin Qais Al-Mulai apabila masuk bulan Syaban dia menutup tokonya dan meluangkan waktu khusus untuk membaca Alquran.

Puasa pada Akhir bulan Syaban
Dalam Al Sahihain yang ditulis Imran bin Hushain tertulis bahwa Rasul Allah bersabda: “Apakah engkau berpuasa pada sarar (akhir) bulan ini?” Dia berkata: “Tidak.” Maka beliau bersabda: “Apabila engkau berbuka maka puasalah dua hari.” Dalam riwayat Bukhari: “Saya kira yang dimaksud adalah bulan Ramadan.” Sementara dalam riwayat Muslim: “Apakah engkau puasa pada sarar (akhir) bulan Syaban ?” (HR. Bukhari 4/200 dan Muslim No. 1161).

Telah terjadi perdebatan dalam penafsiran kata sarar dalam hadis ini, dan yang makna banyak dikenal adalah akhir bulan. Dikatakan sarar asy syahr dengan mengkasrahkan sin atau memfathahkannya, dan memfathahkannya ini yang lebih benar. Akhir bulan dinamakan sarar karena bulannya istisrar (tersembunyi).

Apabila seseorang berkata, telah dikatakan dalam Sahihain dari Abu Hurairah bahwa Sang Nabi bersabda: “Janganlah kalian mendului Ramadan dengan puasa sehari atau dua hari sebelumnya kecuali orang yang terbiasa berpuasa maka puasalah.” (HR. Bukhari No. 1983 dan Muslim No. 1082), maka bagimana kita mengompromikan hadis anjuran berpuasa (Hadis Imran bin Hushain tadi) dengan hadis larangan ini?

Berkata kebanyakan ulama dan para peneliti hadis: Sesungguhnya orang yang ditanya oleh Rasul Allah ini telah diketahui oleh Rasul Allah bahwa dia ini terbiasa berpuasa atau karena dia punya nazar sehingga diperintahkan untuk membayarnya.

Dikatakan bahwa dalam masalah ini ada pendapat lain, dan ringkasnya bahwa puasa di akhir bulan Syaban ada pada tiga keadaan:

1. Berpuasa dengan niat puasa Ramadan sebagai bentuk kehati-hatian barangkali sudah masuk bulan Ramadan. Puasa seperti ini hukumnya haram.

2. Berpuasa dengan niat nazar atau membayar utang puasa Ramadan yang lalu atau membayar kafarat (denda) atau yang lainnya. Jumhur ulama memperbolehkan yang demikian.

3. Berpuasa dengan niat puasa sunat biasa. Kelompok yang mengharuskan adanya pemisah antara Syaban dan Ramadan dengan berbuka membenci hal yang demikian, di antaranya adalah Hasan Al-Bashri—meskipun sudah terbiasa berpuasa—akan tetapi Malik memberikan keringanan bagi orang yang sudah terbiasa berpuasa. Asy-Syafii, Al-Auzai, dan Ahmad serta selainnya memisahkan antara orang yang terbiasa dengan yang tidak.

Secara keseluruhan hadis Abu Hurairah tadilah yang digunakan oleh kebanyakan ulama. Yakni dibencinya mendahului Ramadan dengan puasa sunat sehari atau dua hari bagi orang yang tidak punya kebiasaan berpuasa, dan tidak pula mendahuluinya dengan puasa pada bulan Syaban yang terus-menerus bersambung sampai akhir bulan.

Apabila seseorang berkata, mengapa puasa sebelum Ramadan secara langsung ini dibenci (bagi orang-orang yang tidak punya kebiasaan berpuasa sebelumnya)? Jawabnya adalah karena dua hal:

Pertama, agar tidak menambah puasa Ramadan pada waktu yang bukan termasuk Ramadan, sebagaimana dilarangnya puasa pada hari raya karena alasan ini, sebagai peringatan dari apa yang terjadi pada Ahli Kitab dengan puasa mereka yaitu mereka menambah-nambah puasa mereka tidak lebih berdasarkan pendapat mayoritas (kesepakatan) dan hawa nafsu mereka semata daripada aturan Tuhan sendiri dalam Kitab Suci.

Atas dasar tersebut maka dilaranglah puasa pada yaum asy syak (hari yang diragukan). Berkata Umar: Barangsiapa yang berpuasa pada hari syak maka dia telah berkhianat kepada Abul Qasim (Muhammad). Hari syak adalah hari yang diragukan padanya apakah termasuk Ramadan atau bukan yang disebabkan karena adanya kabar tentang telah dilihatnya hilal Ramadan tetapi kabar ini ditolak. Adapun yaum al ghaim (hari yang mendung sehingga tidak bisa dilihat apakah hilal sudah muncul atau belum maka di antara ulama ada yang menjadikannya sebagai hari syak dan terlarang berpuasa padanya. Ini adalah perkataaan kebanyakan ulama.

Kedua, membedakan antara puasa sunat dan wajib. Sesungguhnya membedakan antara yang wajib dan yang sunat adalah suatu keharusan. Oleh karenanya diharamkan puasa pada hari raya (untuk membedakan antara puasa Ramadan yang wajib dengan puasa pada bulan Syawal yang sunat). Rasul Allah melarang untuk menyambung salat wajib dengan dengan salat sunat sampai dipisahkan oleh salam, doa, atau pembicaraan. Terlebih salat sunat qabliah Fajr (Subuh) maka, sesuai hukum Islam, harus dipisahkan dengan salat wajib. Karenanya diharuskan menurut iman Islam untuk dilakukan di rumah serta berbaring-baring sesaat sesudahnya. Sang Nabi ketika melihat ada yang sedang salat qabliah kemudian ikamat dikumandangkan, beliau berkata kepadanya: “Apakah salat Subuh itu empat rakaat?” (HR. Bukhari No.663).

Barangkali sebagian orang yang kurang memahami ajaran Islam mengira bahwa berbuka (tidak berpuasa) sebelum Ramadan dimaksudkan agar bisa memenuhi semua keinginan (memuaskan daging) dalam hal makanan sebelum datangnya larangan dengan puasa. Ini adalah keliru dan merupakan suatu kebodohan dari orang yang berpikir seperti itu.

(sumber: kajian-agama.blogspot.com)

SURVEI KEBEBASAN BERAGAMA

Posted by mochihotoru | Posted in | Posted on 3:42:00 PM

0

Tema penting yang luput dari perhatian kita, terutama pasangan presiden dan wakil presiden yang baru, adalah bagaimana menyajikan model cetak biru tentang format kebebasan beragama dan usaha merajut kerukunan beragama di tengah kenyataan pluralisme agama dewasa ini.

Pada awal 1990-an kita sempat menerima pujian dari sarjana dan pemimpin agama tentang terbentuknya model jalan tengah kerukunan beragama di Indonesia. Namun, tidak lebih dari satu dekade kemudian, model itu ternyata berwatak semu dan rapuh seketika. Konflik memuncak di Ambon di mana variabel agama bertemu dengan struktur sosial-ekonomi dan politik yang timpang.

Relatif minimnya perhatian pemimpin agama dan politik terhadap penembakan Pendeta Susianti Tinulele di Palu pada saat menyampaikan misi profetik keagamaan di Gereja Efatha, justru semakin menegaskan bahwa kita bukan saja miskin cetak biru kebebasan beragama, tapi juga sudah kehilangan rasa kepekaan kemanusiaan kita terhadap pelanggaran hak asasi manusia, terutama hak asasi dalam ekspresi keberagamaan.

Padahal, jika sepenuhnya kita sadari, masa depan kita sebagai bangsa yang plural, lebih-lebih dari segi agama, antara lain akan sangat ditentukan oleh sejauh mana kita bersikap bijak dan tepat dalam mengelola kebebasan dan kerukunan beragama secara demokratis. Hanya saja, selama ini kita belum mendapatkan gambaran besar yang utuh tentang sejauh manakah peringkat kebebasan beragama di Indonesia dibandingkan, misalnya, dengan dunia Islam dan negara-negara Eropa dan Amerika. Sejauh manakah, misalnya juga, korelasi antara penganut agama di suatu negara dengan peringkat kebebasan beragama.

Sejauh kita belum memiliki indeks peringkat kebebasan beragama yang kredibel, maka, suka tak suka, kita hanya bisa merujuk pada data Freedom House yang dikenal memiliki reputasi internasional dalam menyurvei peringkat demokrasi negara-negara di dunia. Freedom House memiliki divisi Center for Religious Freedom yang bertugas, salah satunya, menyurvei peringkat kebebasan beragama negara-negara di dunia. Iran, Arab Saudi, dan Sudan, misalnya, menempati peringkat “tidak bebas” (unfree) dalam hal kebebasan beragama. Indonesia, berdampingan dengan Turki dan Mesir, sedikit lebih baik dengan menduduki posisi “bebas sebagian” (partly free). Dua negara Skandinavia, Norwegia, dan Finlandia, bersama Amerika dan negara-negara Eropa seperti Belanda, Inggris, Jerman, dan seterusnya, menempati peringkat “bebas” (free) dalam hal kebebasan beragama—walau di beberapa daerah minoritas masih tetap ditindas dan “tidak dianggap manusia”.


Data Freedom House melalui Center for Religious Freedom menunjukkan, dunia Islam secara umum masih relatif rendah peringkat kebebasan beragama; jauh tertinggal dengan negara Amerika, Eropa, dan Skandinavia yang “bebas” dalam indeks kebebasan beragama. Negara-negara ini umumnya didominasi oleh Protestan dan Katolik. Secara akademis, bisa diajukan pertanyaan; apakah nilai-nilai dan kultur Protestan dan Katolik memiliki pengaruh signifikan terhadap kultur toleransi, kebebasan, dan demokrasi ketimbang kultur Islam?

Jika kultur toleransi dan kebebasan diletakkan dalam kerangka turunan dari nilai-nilai demokrasi, maka nilai-nilai Protestan dan Katolik memang memiliki kontribusi signifikan terhadap indeks kebebasan beragama. Studi klasik Alexis de Tocqueville (1969) tentang demokrasi di Amerika abad ke-19 secara jelas menunjukkan bahwa Kristen, baik dari segi nilai-nilai dan asosiasi-asosiasi sosial-keagamaannya memiliki peran signifikan dalam pengembangan kultur toleransi dan demokrasi di Amerika. Ketika warga negara menjadi individu yang otonom dan aktif, maka gereja berperan sebagai asosiasi-asosiasi sipil yang menjadi wadah kolektif keterlibatan sipil (civic engagement) dalam isu-isu publik. Gereja perlahan-lahan menyinergikan ritus-ritus keagamaan dengan isu-isu publik secara terpadu.

Pengalaman saya dalam panel diskusi di the King Church di Ohio, 13 Mei 2003, bersama sejumlah aktivis gereja dan sosial sekaligus, malah sudah bergerak jauh mentransendensikan iman untuk aksi toleransi, pluralisme, dan kemanusiaan. Meski George W. Bush begitu beringas menyerbu Irak, tapi pada kutub lain aktivis gereja melakukan aksi kemanusiaan dan perdamaian secara masif. Agama berubah menjadi identitas sosial, dan gereja, dengan demikian, menjadi wadah asosiasi sosial yang berdampak positif terhadap pengembangan kultur toleransi, kebebasan, dan demokrasi.

Ketika Harvey Cox menulis The Secular City tahun 1965, dia memang mulai merekam bahwa kota sekuler menjadi medium perayaan makna kebebasan sipil. Institusi-institusi pendidikan perlahan-lahan terbebas dari intervensi lembaga keagamaan; peradaban kota mulai bangkit bersamaan dengan kematian agama-agama tradisional; dan nilai-nilai manusia mengalami relativisme akibat sekularisasi yang berjalan masif. Namun, dua dekade kemudian, tepatnya 1985, Harvey Cox buru-buru merevisi tesisnya dengan menulis “risalah revisionis” sejarah kebangkitan agama justru di dunia sekuler, Religion in the Secular City, (1985).

Kematian agama di era sekuler memang terlampau prematur diumumkan. Agama, institusi, dan elitenya justru menjadi kampiun konsolidasi demokratisasi di berbagai belahan dunia; Asia, Afrika, Amerika Latin, dan Eropa Timur. Dalam studinya yang sangat berpengaruh, The Third Wave: Democratization in the Late Twentieth Century (1991), Samuel P Huntington mendokumentasikan bahwa di antara 30 negara yang bertransisi menuju demokrasi antara tahun 1974 dan 1990, sekitar tiga perempat justru didominasi Katolik. Dan Katolik kemudian mencatat tinta emas dalam menempati peringkat “bebas” dalam indeks kebebasan beragama, terlepas dari sejarah para penguasa Katolik yang dahulu memaksa dan mengancam membunuh rakyatnya, terutama yang beragama Islam dan Yahudi, untuk beralih ke agama Katolik seperti di Spanyol (inkuisisi Spanyol) atau Sri Paus menyerukan perang atas nama agama. Ini memang pola umum dalam membaca Katolik dalam kaitannya dengan indeks kebebasan beragama dan demokratisasi.

Tentu saja, ada studi-studi kecil yang tak terekam dan atau sengaja disingkirkan. Misalnya, riset ilmuwan politik Putnam di Italia berkesimpulan bahwa Katolik mempunyai pengaruh negatif terhadap penampilan demokrasi.

Memang, Freedom House, dalam hal ini Center for Religious Freedom, mengakui adanya sejumlah kritik dalam surveinya, terutama menyangkut soal metodologi, standar dan isi pertanyaan, dan bias imperialistis terhadap dunia Islam. Survei ini dituduh sebagai modus terbaru cara bekerjanya pengetahuan dan kekuasaan Barat dalam pencitraan dunia Islam. Rendahnya indeks kebebasan beragama di dunia Islam, dengan menggunakan logika ini, dipakai Barat sebagai “instrumen ilmiah” untuk menyebarkan stereotipe terhadap dunia Islam sebagai tidak toleran dari segi kebebasan beragama dan relatif absen dalam sumbangsih terhadap demokratisasi.

Tesis Edward Said tentang orientalisme sejak 1978 seolah masih berlaku dan malah benar adanya bahwa orientalis adalah agen dan instrumen imperialisme, dan ketertarikannya terhadap pengetahuan, terutama dunia Timur dan Islam, dipakai sebagai sumber kekuasaan untuk memberikan stereotip negatif dan kemudian menjajahnya, entah dalam bentuk kolonialisme, imperialisme, maupun globalisasi. Karena itu, apa yang disebut Said (2003: 316) sebagai “skandal kesarjanaan” sebenarnya merujuk pada perselingkuhan intelektual, terutama di Perancis, Inggris, dan Amerika, yang mengabdikan pengetahuannya kepada penguasa untuk melakukan kolonialisme dan imperialisme di Timur Tengah sejak akhir abad ke-18 sampai awal abad ke-20.

Namun, jika kita mau lebih adil, kritik itu muncul juga tak terlepas dari tingkat rendahnya peringkat kebebasan beragama di dunia Islam. Terlepas dari adanya bias imperialistik terhadap dunia Islam, tapi akal sehat kita akan berkata ‘ya’ bahwa Norwegia mempunyai kebebasan beragama yang jauh lebih baik dibandingkan dengan, misalnya, Sudan, Arab Saudi, dan bahkan Indonesia sekalipun. Karena itu, kita sebaiknya memosisikan survei itu sebagai bahan introspeksi ke dalam bahwa ada sesuatu yang sangat mendasar, terkait dengan toleransi dan kebebasan beragama yang harus segera kita benahi bersama-sama.

Sebuah tulisan dari Sukidi Mulyadi Kader Muhammadiyah; Alumnus Ohio University; dan Mahasiswa Teologi di Harvard Divinity School, Harvard University, Cambridge, Amerika

(sumber: aman.web.id)

FILSAFAT BANYAKNYA ISTRI MUHAMMAD

Posted by mochihotoru | Posted in , , | Posted on 2:59:00 PM

3

Pernikahan Nabi Besar Muhammad dengan beberapa orang wanita adalah untuk memecahkan rangkaian persoalan sosial dan politik dalam kehidupan beliau. Karena kita ketahui bahwa tatkala Muhammad menyerukan dakwah (panggilan) Islam, beliau hanyalah seorang diri. Hingga beberapa lama, selain beberapa orang yang beriman kepadanya, beliau bangkit melawan segenap kepercayaan sesat yang telah merajalela di lingkungannya. Dan beliau mengumumkan perang (ideologi) kepada semua pihak. Wajarlah kiranya jika seluruh suku dan kabilah di lingkungan tersebut memobilisasi massa untuk melawan Sang Nabi.

Seluruh sarana yang dapat digunakan untuk mematahkan persekongkolan musuh yang kotor ini, harus diberdayakan. Salah satu strategi dan sarana tersebut adalah menjalin hubungan kekeluargaan dan kekerabatan melalui jalan pernikahan dengan kabilah-kabilah yang beragam. Karena, pernikahan dan hubungan kekerabatan adalah jalinan yang termasuk paling kokoh dan kuat pada masyarakat Arab pada zaman Kebodohan. Dan mereka berpandangan bahwa menantu kabilah merupakan bagian dari mereka, membelanya adalah wajib, dan meninggalkannya terlantar termasuk perbuatan tercela.

Terdapat indikasi-indikasi banyak di hadapan kita yang menunjukkan bahwa pernikahan Muhammad setidak-tidaknya lebih bernuansa politis. Dan sebagian pernikahan beliau, seperti pernikahannya dengan Zainab, didasari tujuan untuk mematahkan tradisi jahiliyah (kebodohan) sebagaimana tertuang dalam surat Golongan-Golongan Sekutu (Al-Ahzab) ayat 37. Sebagian lainnya adalah untuk mengurangi jumlah musuh, menjalin persahabatan dan menarik kecintaan orang-orang atau kaum yang fanatik dan keras kepala. Namun bukan berarti Muhammad tak mencintai mereka. Muhammad tetap menjadi suami yang baik bagi mereka semua. Bagaimanapun cintanya kepada Tuhan jauh lebih besar dari cinta-cinta yang lain.


Jelas bahwa seseorang yang berusia dua puluh lima tahun, masa prime time, menikah dengan wanita janda yang berusia empat puluh tahun dan merasa puas diri dengan seorang janda hingga usia tiga puluh lima tahun, kemudian ia melakukan pernikahan dengan berbagai wanita, tentu saja beliau memiliki alasan dan filsafat di balik pernikahan-pernikahan ini.

Sama sekali tidak ada alasan untuk mengatakan bahwa beliau menikah semata-mata karena motivasi atau dorongan seksual, sebab pernikahan bagi bangsa Arab pada masa itu sangat sederhana dan biasa, dan bahkan terkadang istri pertama yang melakukan lamaran untuk istri kedua bagi suaminya, dan mereka, seperti kebanyakan manusia pada masa itu, tidak percaya pada pembatasan jumlah istri. Bagi Muhammad, pernikahan-pernikahan yang dilakukan beliau pada masa mudanya, selain tidak ada kendala sosial, atau tidak dikenakan syarat-syarat berat agar memiliki kekayaan yang banyak, juga tidak dinilai sebagai aib dan cela.

Menariknya, menurut catatan sejarah disebutkan bahwa Muhammad hanya sekali menikah dengan seorang wanita perawan, yaitu Aisyah. Selebihnya, istri-istri beliau adalah wanita-wanita janda, yang tentu saja tidak dapat dilihat dari sisi adanya motivasi seksual di balik pernikahan ini.

Bahkan, kita membaca di sebagian catatan sejarah bahwa Muhammad menikah dengan beberapa wanita dan tidak melaksanakan acara pesta pernikahan, dan Muhammad tidak pernah bersenggama dengan mereka, bahkan beliau cukup merasa puas dengan lamaran beberapa wanita dan beberapa kabilah. Sebatas itu mereka sudah merasa gembira dan bangga bahwa wanita dari kabilah mereka disebut sebagai istri seorang Nabi Muhammad, dan ini merupakan kehormatan bagi mereka. Dengan demikian, hubungan dan jalinan sosial mereka dengan Sang Nabi semakin kokoh dan solid, serta semakin bertekad dalam membela beliau.

Dari sisi lain, jelas bahwa Muhammad bukanlah seorang mandul dan kenyataannya, beliau hanya memiliki beberapa anak sebagai buah hatinya. Sekiranya pernikahan-pernikahan ini disebabkan oleh daya tarik seksual, tentu saja beliau akan memiliki banyak anak dari wanita-wanita yang dinikahinya itu.

Juga harus diingat bahwa sebagian dari wanita-wanita ini, seperti Aisyah, menjadi istri Muhammad pada akhir usia remaja—bukan anak-anak seperti pandangan banyak orang. Oleh karena itu, setelah sekian tahun berlalu, baru ia dapat menjadi istri Muhammad yang sebenarnya. Hal ini menunjukkan bahwa pernikahan dengan putri remaja seperti ini memiliki motivasi-motivasi yang lain, dan tujuan utamanya adalah seperti yang telah kami singgung di atas.

Meski kaum orientalis dan orang-orang yang membenci Islam dan ajarannya hendak berdalih dengan melecehkan pernikahan-pernikahan Muhammad, dan membuat sebuah dongeng palsu serta mengubah fakta sejarah mengenai pernikahan-pernikahan tersebut, akan tetapi usia tua Nabi yang dipercaya sebagai penebus dosa umat Islam ini ketika melakukan pernikahan-pernikahan tersebut dari satu sisi, dan beragamnya usia dan kabilah wanita-wanita ini dari sisi lain, serta berbagai indikasi lainnya sebagaimana telah kami singgung sebelumnya, menjadi realitas yang dapat menerangi dan menepis tuduhan dan konspirasi keji yang dialamatkan kepada Nabi yang dimuliakan ini.

(sumber: telagahikmah.org)

Petrus dan Kefas dalam Galatia 2:7-14 adalah Orang yang Berbeda

Posted by mochihotoru | Posted in , , , | Posted on 12:43:00 PM

0

Dalam Galatia 2:11-14, terdapat adegan Kephas Paulus memarahi Petrus. Ayat ini biasanya digunakan untuk mematahkan Primat Paus sebagai Pengganti Petrus. Ayat ini juga dipakai oleh mereka yang tidak mengerti tentang Gereja Katolik. Namun sejarah tidak bohong. Ternyata Petrus dan Kefas adalah dua orang yang berbeda. Penelitian ini dilakukan oleh Pastor Yesuit D. Pujol dalam tesisnya yang berjudul "ETUDES" pada abad 19 lampau.

Romo Yesuit D. Pujol mempublikasikan topik ini dalam bukunya yang berjudul "Etudes" di abad 19 lalu dan ia menjelaskan secara luar biasa dan efektifnya bahwa Rasul Petrus dan Kefas dari Antiokia dan Korintus tidak mungkin orang yang sama. Hal ini sungguh mengejutkan terlebih lagi tidak ada yang membantah argumentasi Romo D. Pujol tersebut. Sang Romo Yesuit ini menunjukkan lebih jauh lagi bahwa Petrus dan Kefas adalah dua individu berbeda di mana fakta ini mewakili tradisi kuno yang tidak pernah hilang dalam sejarah Gereja. Pada abad ke-3 M Santo Clement dari Aleksandria mengamati bahwa "Kefas adalah salah satu dari 70 murid yang kebetulan memiliki nama yang sama dengan Rasul Petrus." Keyakinan yang sama ini juga ditemukan dalam tulisan-tulisan dari Santo Dorotheus dari Tyre (abad ke-4 M.) dan Eusebius, yang dikenal sebagai sejarawan ulung Gereja kuno (abad ke-4 M.). Bahkan di awal-awal tulisan Bapa-bapa Gereja perdana yang berjudul "Epistle of the Apostles" kira-kira bertahun 160 M dapat dibaca sebagai berikut:

"Kami, Yohanes, Thomas, Petrus, Andreas, Yakobus, Filipus, Bartholomeus Matius, Nathaniel, Yudas orang Zelot, dan Kephas, menuliskan kepada Gereja-gereja di sebelah timur dan barat, di sebelah utara dan selatan…” Lebih lanjut, orang-orang Kristen yang berbahasa Yunani yang telah mengenal sejak awal Injil Matius (aslinya Injil Matius ditulis dalam bahasa Ibrani atau Aram), hanya akan mengetahui nama Rasul melalui nama Petrus. Dalam teks yang terkenal tentang Petrus pada Matius 16:15-19 kata “Kefas” tidak muncul! Adalah nama Petrus-lah yang selalu akrab di telinga orang-orang Yunani di luar wilayah Palestina.

Berikut adalah ringkasan kesimpulan yang dibuat Romo Pujol, SJ tentang analisis teks Perjanjian Baru:

  1. Yohanes 1:42 - Teks Yohanes 1:42 di mana Kristus memanggil “Simon, anak Yohanes, dengan sebutan ‘Kefas’ (yang diinterpretasikan sebagai ‘Petrus’)” tidak mungkin dapat diketahui oleh orang-orang Yunani (yang telah memeluk agama Kristen) yang berasal dari Antiokia dan Korintus pada masa beredarnya Surat-surat Paulus. Orang-orang Yunani hanya mengenal nama "Petrus" yang merujuk kepada Kepala para Rasul.
  2. Galatia 1:18 – adanya kesalahan teknis penyalinan sehingga mengakibatkan munculnya nama “Kefas” yang seringkali menggantikan nama “Petrus”.
  3. Galatia 2:7-14 –ujian kritis menunjukkan bahwa rujukan kepada Petrus dan Kefas harus dipahami sebagai cara membedakan Petrus dari Kefas. Jika mereka adalah dua orang yang sama, mengapa Paulus merujuk Petrus dalam dua tempat dan, di lain pihak, Paulus juga merujuk Kefas dalam 3 tempat yang berbeda? Oleh sebab itu ketidakkonsistenan di sini menunjukkan sesuatu yang tidak masuk akal.
  4. Selain itu, dalam Galatia. 2:9, kita mendapatkan contoh lain pembacan teks Injil yang tidak ada. Ini adalah suatu asumsi nyata bahwa untuk mengidentifikasi "Yakobus, Kefas, dan Yohanes" yang disebutkan di sana akan menjadi Rasul Petrus, Yakobus dan Yohanes. Sebaliknya, Yakobus, Kefas, dan Yohanes bersama yang lain sedang berhadapan dengan orang-orang Yahudi dari Yerusalem di mana Paulus sangat menentang mereka.
  5. 1 Korintus 3:21 dan 9:5 - Kefas jelas berada di bawah peringkat para Rasul.
  6. Tidak juga di Korintus 15:5 membuktikan bahwa Kefas adalah Rasul Petrus karena teks ini justru mengimplikasikan adanya perbedaan diantara mereka, karena Kefas dibedakan dari Daftar Dua Belas Para Rasul. Lalu siapa Kefas itu sesungguhnya? Romo Pujol, SJ setuju dengan beberapa kritik yang meyakini bahwa Kefas kemungkinan adalah salah satu dari dua murid di mana Yesus menampakkan diri sesaat setelah Kebangkitan-Nya. Kita tahu bahwa Cleophas adalah salah satu dari dua murid di mana Kristus muncul setelah Kebangkitan. Mengapa tidak orang lain saja yang bernama Kefas? Hal ini tentunya akan menjadi petunjuk yang menjelaskan orang-orang beriman ketika berkumpul di Yerusalem sehingga si Kefas ini menjadi lawan berat dan "pemimpin partai kaum Yahudi" yang menyebabkan keributan di Korintus dan Antiokia.
  7. Orang-orang yang berpendapat adanya dua identitas berbeda antara Kefas dan Rasul Petrus tentu akan bersikap biasa-biasa saja ketika Paulus dengan percaya diri memarahi Kefas waktu mereka di Antiokia setelah Konsili Yerusalem. Perselisihan antara Santo Paulus dan Kefas di Antiokhia berlangsung sebelum mulainya Konsili Yerusalem. Lebih lanjut perlu diketahui, adalah tidak bisa dimengerti bagi para Rasul yang menghadiri Konsili Yerusalem untuk bertindak di luar sifat-sifat mereka dengan memaksa orang lain yang masih berpegang pada adat Yahudi untuk meninggalkan kebiasaan Yahudinya setelah memeluk Kristen sesuai aturan yang disepakati imam-imam gereja saat itu. Potret psikologis dari tokoh Kefas seperti yang digambarkan oleh Santo Paulus tidak cocok dengan penggambaran karakter yang diterangkan oleh Santo Petrus setelah Pentakosta.

Selain hal itu di atas, ada argumen yang dibuat oleh Romo Pujol, SJ secara impresif yakni kesaksian seorang visioner stigmata terkenal yang bernama Theresa Neumann (wafat 1962). Dalam buku kecil tahun 1942 yang berjudul "The Passion Flower of Konnersreuth", Romo Frederick M. Lynk, S.V.D. membuat pengamatan dari salah satu penglihatan Theresa Neumann sbb:

“Kefas yang dimaksud oleh Surat Paulus ke Galatia, yang kepadanya Santo Paulus memarahi di depan wajahnya bukanlah Petrus, Pangeran Para Rasul itu. Tidak ada disebutkan dalam tokoh terkemuka ini berdasarkan fakta kuna bahwa Kefas itu tenggelam di laut saat menjalankan misinya dan oleh karena itu timbul pendapat bahwa dia tidak berbuat apa-apa dalam usahanya menyebarkan ajaran Kristen atau adanya catatan bahwa Kefas jatuh dari imannya.”

Dalam paragraf sebelumnya, saya berani menyatakan secara kredibel bahwa tesis “Etudes” (1865) yang diperbaharui oleh Pastor Yesuit dari Perancis ini (Romo D. Pujol, SJ) adalah bahwa “Kefas” yang dicela oleh Santo Paulus dalam Suratnya ke Galatia (2:7-14) tidak mungkin rasul Petrus, Pangeran Para Rasul itu. Romo Pujol sendiri mengambil tesisnya dari sebuah tradisi kuna yang ditemukan dalam tulisan-tulisan Santo Clement dari Alexandria (abad 3 M) – suatu tulisan yang juga diakui oleh St Jerome dan juga dipakai oleh beberapa penulis lain di zamannya yakni antara tahun 340-420. Walaupun Santo Jerome menyangka bahwa Kefas dan Petrus yang disebutkan oleh Santo Paulus dalam surat-suratnya itu adalah orang yang sama, namun Santo Jerome mengakui adanya bukti sbb:

“Ada orang yang berpikir bahwa Kefas, yang kepadanya Paulus memarahi di depan wajahnya, bukanlah Rasul Petrus, tetapi orang lain dari ke-70 murid, dan mereka menuduh bahwa Petrus tidak mungkin makan bersama dengan bangsa-bangsa kafir, sebab Petrus sendiri telah membaptis Kornelius Komandan Pasukan Romawi, dan pada saat ia pergi ke Yerusalem, setelah ditentang oleh orang-orang Kristen yang bersunat dan lantas ada suara yang berkata, ‘Mengapa Engkau tidak masuk ke mereka yang tidak bersunat dan makan bersama-sama dengan mereka?’, setelah mendapatkan penglihatan demikian, Petrus akhirnya sadar dan menjawab: ‘Jika, demikian maka Allah telah memberikan anugerah yang sama dengan kita karena mereka juga percaya kepada Yesus Kristus, lalu katanya: siapalah saya yang bisa menahan Kuasa Allah?’ Setelah mendengarkan Petrus, sidang itu diam sesaat dan kemudian mereka memuliakan Allah, dan lantas berkata: ‘Karena itu kepada bangsa lain juga, Allah memberikan hidup bagi mereka yang bertobat.’”

Seperti yang digambarkan oleh Lukas, penulis sejarah itu, Santo Lukas tidak menyebutkan adanya pertikaian Petrus dan Paulus ini, atau bahkan Santo Lukas pernah mengatakan bahwa Petrus ada di Antiokhia bersama dengan Paulus, dan kejadian ini mungkin dapat disampaikan kepada Porphyry karena dia telah menghujat, bahwa katanya: kita bisa percaya bahwa Petrus telah berbuat salah atau bahwa Paulus secara tidak sopan telah mencela Pangeran Para Rasul tersebut”.

(sumber: ourunity.blogspot.com)

10 Argumen Melawan Harry Potter

Posted by mochihotoru | Posted in , , | Posted on 12:34:00 PM

0

Ditulis oleh Seorang Wanita Yang Melakukan Korespondensi dengan Kardinal Ratzinger
Gabriele Kuby, penulis tentang Harry Potter: "Baik atau Jahat"

1. Harry Potter adalah proyek dengan terma global yang panjang untuk mengubah suatu budaya. Di generasi muda saat ini, sikap untuk menahan diri terhadap magis dan klenis [occult] sedang dihancurkan. Dengan demikian, ada semacam kekuatan yang masuk kembali ke dalam masyarakat yang mana Kekristenan telah mengatasinya.

2. Hogwarts, sebuah sekolah magis dan ilmu sihir, adalah sebuah dunia kekerasan dan horor yang tertutup, dunia kutukan dan pesona, dunia ideologi rasis dan korban darah, kejijikan dan obsesi. Terdapat suatu atmosfir ancaman yang berkesinambungan yang mana para pembaca tidak dapat melewatkannya.

3. Sementara Harry Potter muncul pada awalnya untuk melawan kejahatan, tapi nyatanya kemiripan antara Dia dengan Voldermort, musuh besarnya dalam cerita tersebut, lama-lama menjadi semakin jelas. Dalam Volume kelima, Harry sedang kerasukan Voldermort, yang mengakibatkan timbulnya gejala-gejala disintegrasi kepribadian.

4. Dunia manusia mengalami degradasi, dunia para tukang sihir menjadi dimuliakan.

5. Tidak ada dimensi transendental yang positif. Hal-hal supernatural seluruhnya bersifat demonic [iblis-jahat]. Simbol-simbol ilahi dinodai.

6. Harry Potter bukanlah kisah atau cerita dongeng modern. Dalam cerita-cerita dongeng, para tukang sihir adalah figur iblis yang ambigu. Pahlawan melepaskan kekuatan mereka melalui kebaikan. Dalam cerita ini dunianya Harry Potter, tidak ada karakter yang berusaha keras secara konsisten untuk mencapai kebaikan. Karena apa yang nampaknya menjadi tujuan yang baik maka cara-cara jahat akan digunakan.

7. Kuasa pembeda untuk membedakan hal yang baik dengan yang jahat dari para para pembaca dihalang-halangi melalui manipulasi emosional dan kebingungan intelektual.

8. Hal ini adalah suatu serangan terhadap generasi muda, merayu mereka secara penuh permainan ke dalam sebuah dunia sihir dan klenik, lalu mengisi imajinasi anak-anak muda dengan gambar dari sebuah dunia dimana iblis berkuasa yang daripadanya tidak ada jalan keluar malah sebaliknya, dunia iblis digambarkan begitu diinginkan.

9. Mereka yang menilai berbagai pendapat tentang Harry Potter boleh menentang kuasa yang hampir besar sekali yang menekan kelompok anak-anak tersebut, yang sedang dikerjakan melalui korporasi raksasa dan serangan multi mediasalah satunya menayangkan elemen-elemen dari pencucian otak secara totaliter.

10. Karena melalui buku-buku Harry Potter ini maka iman kepada Allah yang penuh kasih secara sistematis dirusakkan, bahkan dihancurkan dalam diri orang-orang muda melalui “nilai-nilai” palsu dan penghujatan terhadap Kebenaran Judeo-Kristen. Pengenalan buku-buku ini di sekolah-sekolah tidak bisa ditolerir. Para orang tua seharusnya menolak izin bagi anak-anak mereka untuk mengambil bagian dalam indoktrinasi Harry Potter demi alasan iman dan hati nurani.


(sumber: ourunity.blogspot.com)

KONSEP KESELAMATAN

Posted by mochihotoru | Posted in | Posted on 12:26:00 PM

6

Dosa Manusia
Semua orang yang beragama yakin bahwa tak ada manusia yang luput dari dosa, bahkan para nabi utusan Tuhan sekalipun. Apalagi para penganut agama Samawi percaya bahwa dosa manusia diawali oleh bapa-ibu seluruh manusia sendiri, Adam dan Hawa, yang melanggar perintah Tuhan untuk tidak mendekati sebuah pohon terlarang.

Kejadian ini memang telah dirancang oleh Tuhan karena memang Tuhan bermaksud untuk menjadikan manusia sebagai pemimpin di bumi. Maka dari itu sejak awal, setelah diajari banyak hal oleh Tuhan, kedua manusia tadi juga diajari dosa. Sebelumnya, Tuhan telah memperingatkan Adam dan Hawa tentang adanya Lucifer yang selalu iri kepada mereka sehingga berniat menjatuhkan manusia ke dalam dosa. Namun akhirnya mereka pun tergoda melakukan dosa dengan memetik buah dari pohon terlarang.

Dari dosa awal tersebut, maka manusia pun akhirnya berbuat dosa. Dosa tidak bisa menurun secara genetis, namun dosa muncul dengan sendirinya karena egoisme manusia akibat diberikannya akal juga karena faktor lingkungan di mana manusia tanpa sengaja mempelajari perbuatan dosa dari orang lain. Semakin banyak manusia, maka semakin banyaklah ide untuk berbuat dosa karena tidak ada tuntunan dari Tuhan. Karena itu Tuhan mengutus orang-orang terpercaya-Nya untuk mengembalikan mereka dari kedosaan dan mengajarkan kebenaran kepada manusia.

Musa, Yesus Kristus, dan Muhammad yang dipercaya sebagai penyampai firman Tuhan, dan dianggap sebagai firman Tuhan sendiri karena cara penyampaiannya, sering memberikan peringatan yang tajam jika berkenaan dengan dosa dan hukuman. Konsep yang sama berupa ancaman Neraka selalu ditekankan sebagai konsekuensi bagi manusia yang tidak percaya dan membangkang perintah Tuhan yang disampaikan para utusan Tuhan. Sebuah tempat di mana manusia menjadi kayu bakar yang akan dibakar dan dihukum sesuai perbuatan buruk mereka di bumi. Dalam Alkitab, banyak sekali peringatan-peringatan Yesus mengenai hukuman di Neraka seperti dalam Keluaran 34:7; Matius 10:28 maupun Lukas 12:5. Begitu pula dalam Alquran, banyak disebutkan ancaman tegas berupa Neraka, seperti dalam Sapi Betina 2:23 dan Gua 18:27.

Namun di samping peringatan tadi, mereka, Musa, Yesus Kristus, dan Muhammad, juga memberi janji berupa Kerajaan Sorga bagi senantiasa mengikuti ajaran dan perintah mereka (Ulangan 26:15; Matius 4:17; Sapi Betina 2:25). Semua itu diawali dengan pertobatan dan pengakuan dosa-dosa diiringi tekat kuat demi Tuhan untuk tidak melakukannya kembali. Sorga merupakan tempat yang selalu digambarkan dengan keindahan di dalamnya dan kemuliaan yang diberikan Tuhan Yang Maha Suci. Menurut semua ajaran para nabi, Sorga ini diberikan orang-orang yang berhasil melewati godaan Setan di dunia yang selalu berusaha menjatuhkan manusia ke dalam jurang kedosaan.

Ajaran Tuhan dan Keselamatan
Para nabi yang diutus ke bumi untuk mengajarkan manusia suatu Kebenaran Mutlak dengan dibimbing oleh Roh Kudus. Jumlah mereka sangat banyak dan menyebar di seluruh suku yang ada di dunia. Bukan saja di daerah Timur Tengah seperti diyakini orang-orang awam. Mungkin saja di masa lalu ada juga nabi yang pernah turun ke daerah di Tanah Air untuk mengajarkan Kebenaran kepada orang Indonesia pada masa lalu.

Ajaran yang mereka bawa semua sama, yaitu tentang keberadaan Tuhan yang Esa. Juga aturan-aturan yang harus diikuti oleh manusia sebagai pemimpin yang baik di bumi. Mereka juga ‘dilatih’ untuk meluruskan penyimpangan ajaran yang disampaikan nabi sebelumnya. Konsep Keselamatan mereka juga sama—walau dalam bahasa yang berbeda, yaitu mengenai janji Tuhan yang akan memberi mereka Sorga jika mengikuti perintah-Nya yang kudus.

Jika melihat Kitab Suci secara keseluruhan, kita akan melihat suku-suku yang berbuat dosa dan meninggalkan ajaran Tuhan. Namun, tentu saja, sebelum mereka terjerembab ke dalam dosa seperti itu, leluhur mereka telah menerima ajaran yang benar. Sayang, beberapa generasi setelah itu, pandangan terhadap ajaran Kebenaran pun berubah. Bahkan nama Tuhan dan banyak nama para orang saleh utusan Tuhan itu pun dijadikan nama dewa untuk mereka sembah. Semua karena penyesuaian terhadap pandangan pribadi mereka. Anak-cucu mereka pun kembali kepada jurang dosa.

Bukan tidak mungkin bahwa di zaman modern ini ajaran-ajaran kebenaran yang dibawa para nabi, khususnya Musa, Yesus, dan Muhammad pun telah dibelokkan dari makna asal, bahkan oleh petinggi-petinggi agama mereka sendiri yang dianggap paling menguasai. Sedangkan orang-orang awam yang hanya mengikuti tradisi ritual keagamaan dan mendengarkan kotbah mereka hanya mengikuti ajaran mereka, tak peduli ajarannya sesuai dengan ajaran yang para utusan Tuhan tadi atau bukan. Bahkan mereka tak peduli apakah ajaran yang disampaikan utusan Tuhan yang satu dengan yang lain yang seharusnya sama itu sesuai atau tidak; mereka percaya tanpa pengertian.

Hukuman Dosa
Jika melihat Kitab Suci agama-agama Samawi dengan benar, akan diketahui bahwa setiap dosa akan diperhitungkan hukumannya. Tidak selalu berupa hukuman di Neraka, terkadang hukuman pun diberikan di bumi. Namun ancaman yang merupakan konsekuensi paling jelas adalah hukuman Neraka. Setiap dosa yang dibuat akan dipertimbangkan dengan seadil-adilnya.

Menurut konsep yang dibawa para nabi, dosa ini tak bisa dihapus begitu saja. Tidak hanya dengan memercayai adanya Kekuasaan Tuhan dan Keselamatan yang dibawa utusan Tuhan. Tidak pula hanya dengan memercayai penebusan dosa oleh seorang Yesus. Semuanya ditimbang sesuai perbuatan mereka selama di dunia. Perbuatan baik akan mendekatkan dia kepada Sorga, sedangkan perbuatan buruk akan mendekatkan dia kepada Neraka. Ancaman Neraka adalah sesuatu yang wajib ada agar manusia yang selalu membangkang aturan Tuhan bisa menjaga perbuatan mereka dari dosa serta menghindari perbuatan yang merugikan alam dan sesama manusia. Hal itu pula yang bisa menyenangkan hati Tuhan yang mereka percayai.

Adanya ancaman Neraka bukanlah suatu hal yang buruk. Ancaman Neraka bukan mencerminkan ketidakcintaannya terhadap manusia. Bukan pula merupakan keraguan Tuhan terhadap manusia-manusia yang percaya kepada-Nya. Justru Neraka diciptakan agar manusia dapat manusia dapat mencintai Tuhannya secara benar. Dengan mengingat Neraka, tentu secara psikologis orang-orang akan takut berbuat dosa dan kerusakan di bumi juga menjaga perasaan sesama manusia. Dengan adanya ancaman Neraka seharusnya manusia yang percaya tidak lagi berbohong, membunuh, memakan makanan yang buruk bagi dirinya, menjaga kelestarian alam, dan melakukan hal-hal buruk dan berdosa lagi sesuai aturan Tuhan. Manusia tidak lagi melakukan semua itu atas nama Tuhan karena berpikir Tuhan akan menyukainya dan mengampuninya karena dilakukan demi Dia. Padahal sudah jelas dalam Kitab Suci bahwa Tuhan tidak menginginkan adanya kerusakan di bumi.

Bayangkan jika Anda akan dibunuh, pasti Anda tak mau hal itu terjadi. Oleh karena itu Tuhan melarang membunuh. Bayangkan jika orang yang Anda cintai sakit parah karena makanan yang buruk yang dia selalu makan, padahal Tuhan sudah melarang untuk tidak memakannya. Bayangkan jika Anda kepanasan dan menderita dehidrasi karena suhu bumi yang memanas. Ingat, Tuhan telah melarang kita untuk merusak tanaman demi kepentingan pribadi. Bagaimanapun, Tuhan tidak akan menyuruh dan melarang manusia berbuat sesuatu tanpa alasan. Yang baik akan mendapat upah, yang buruk akan mendapat hukuman dosa.

Dalam agama Samawi, sebenarnya sudah jelas semuanya. Contohnya dalam ajaran Islam, dosa-dosa yang dilakukan sebesar bakteri pun jelas akan dihitung. Begitu pula perbuatan baik yang mereka lakukan dengan tulus akan dihitung walau sebesar bakteri sekalipun. Dengan demikian, dalam ajaran mereka, jelas pula Sorga dipercaya akan menjadi tempat bagi orang-orang yang benar-benar suci dan tulus mencintai Tuhan—bukan bagi orang yang cuma menginginkan dan percaya Sorga tanpa berusaha menyenangkan Tuhan dengan berbuat kebaikan di dunia. Sementara, orang dianggap baik pun jika mereka tidak melakukannya dengan tulus akan mendapat hukuman. Terkadang orang akan ‘mampir’ ke Neraka sebentar lalu diangkat ke Sorganya jika perbuatan buruknya hampir menyamai perbuatan baiknya.

Konsep dalam agama Islam tadi sedikit mirip dengan konsep dalam ajaran Katolik. Dalam ajaran Katolik, dosa-dosa pun akan diperhitungkan. Ajaran Katolik percaya bahwa semua orang yang percaya kepada Yesus, maka Sorga adalah balasannya. Namun ketika seseorang melakukan dosa, maka mereka akan menjalani penyucian terlebih dahulu sebelum dimasukkan ke Sorga. Konsep Api Penyucian (Purgatori) ini menjaga seorang Katolik yang taat untuk selalu menjaga diri dari dosa.

Konsep Keselamatan Yesus
Konsep Keselamatan yang sama seperti nabi-nabi sebelumnya ditawarkan Yesus Sang Juru Selamat, yang dipercaya oleh umat Kristen dan umat Islam, untuk menunjukkan Tuhan yang sama. Namun, tanpa memerhatikan Dia itu Tuhan atau bukan, Yesus yang sengaja turun ke bumi untuk membenarkan ajaran-ajaran para nabi sebelumnya menjadi seolah tidak berguna kehadirannya. Padahal, Dia sendiri datang untuk meluruskan salah satu ajaran Tuhan yang bernama Hukum Taurat yang telah diselewengkan dan disalahtafsirkan umat Yahudi di masanya.

Yesus memang jalan Kebenaran. Di masanya, tak ada jalan lain untuk bertemu Bapa di Sorga selain melalui Dia. Yesus memang menebus dosa manusia. Namun apakah itu berarti manusia boleh melakukan dosa sebebasnya? Asal percaya bahwa dosa asal manusia telah ditebus oleh Yesus, asal mau mengakui hal itu sendiri di hadapan Tuhan ataupun di depan imam, maka manusia bebas dari aturan-aturan kekal yang Tuhan berikan kepada manusia? Apakah semudah itu untuk memasuki Kerajaan Sorga yang Kudus? Mungkinkah manusia yang telah membunuh ribuan nyawa manusia denagn sengaja dan senang membenci orang lain akan masuk Kerajaan Sorga dan hidup seperti malaikat, seperti yang diajarkan imam-imam gereja, asal mengakui Yesus sebagai Juru Selamatnya?

Memang benar bahwa Hukum Taurat lebih menekankan kepada umat Israel yang dikenal sebagai bangsa pembangkang walau Tuhan telah menyatakan bahwa bangsa Israel adalah bangsa yang diberkati Allah dengan maksud agar mereka mengerti keinginan Tuhan. Namun ternyata mereka malah menjadi angkuh dan merendahkan bangsa lain. Aturan-aturan yang diberikan kepada mereka sangat ketat dan keras namun akhirnya mereka pun tetap membangkang dan menafsirkan ayat-ayat Tuhan dengan cara mereka sendiri. Dalam keadaan itulah Yesus datang.

Yesus, seorang yang memiliki kuasa dan terkemuka di dunia dan akhirat (Matius 28:18; Keluarga Amran 3:45), menjalankan semua Hukum Taurat untuk menunjukkan makna yang sesungguhnya dari Hukum Taurat tersebut. Walaupun Dia ditentang oleh banyak orang karena ajaran-ajaran kebenaran yang Dia ajarkan, namun orang-orang Farisi, orang-orang Saduki, dan golongan Yahudi lainnya merasa segan kepada-Nya. Ajaran yang Dia amanatkan kepada murid-murid dan pengikut-pengikut-Nya menjadi wajib untuk dilaksanakan tanpa mengenal bangsa. Itulah makna dari ajaran-ajaran yang Dia berikan.

Namun, orang-orang yang mengaku sebagai pengikut Yesus saat ini sama sekali tak melakukan ajaran-ajaran yang diberikan Yesus sekitar duapuluh abad yang lalu. Konsep Keselamatan pun berubah dengan sendirinya. Begitu pula konsep dosa. Hal ini ditunjukkan oleh ajaran Paulus seperti di bawah ini:

Tetapi kita tahu, bahwa segala sesuatu yang tercantum dalam Kitab Taurat ditujukan kepada mereka yang hidup di bawah hukum Taurat, supaya tersumbat setiap mulut dan seluruh dunia jatuh ke bawah hukuman Allah. Sebab tidak seorangpun yang dapat dibenarkan di hadapan Allah oleh karena melakukan hukum Taurat, karena justru oleh hukum Taurat orang mengenal dosa. (Roma 3:19-20)

Dengan demikian, konsep dosa pun berubah. Terutama karena konsep mengenai penyaliban Yesus yang disebut-sebut sebagai penebusan dosa manusia, maka bukan hanya konsep dosa itu sendiri yang berubah, namun pandangan manusia terhadap dosa itu pun berubah. Orang-orang menganggap bahwa aturanlah yang membuat manusia membangkang. Karena ada aturan, maka manusia ingin melanggar aturan tersebut. Di lain pihak, hukum Tuhan yang membawa Keselamatan juga berubah. Dari konsep ‘patuh hukum’ menjadi konsep ‘percaya (saja)’. Orang-orang yang mengaku pengikut Yesus menganggap bahwa ‘asal percaya (bahwa Yesus disalib untuk menebus dosa manusia), maka akan diselamatkan’. Benarkah itu?

Paulus yang dianggap rasul oleh pengikut Yesus non-Yahudi mengajarkan bahwa Hukum Taurat hanya ditujukan bagi orang-orang Yahudi. Padahal, seperti yang kita tahu, para nabi terdahulu yang diutus ke dalam banyak bangsa menyerukan ajaran yang sama dengan hukum Taurat. Apalagi Yesus yang merupakan orang Yahudi turun ke tengah-tengah bahsa Israel untuk membenarkan ajaran imam yang melenceng dari makna Kitab Suci. Maka, bukankah seharusnya orang yang mengaku dirinya pengikut setia dan bahkan mendengar sabda Yesus mengikuti semua ajaran Yesus, bukan melencengkannya karena dianggap tak sesuai dengan kebiasaan nenek moyang mereka? Kalau begitu, apa bedanya mereka dengan kaum Nuh, kaum Abraham, atau bahkan bangsa Israel, yang melencengkan ajaran nabi sebelumnya karena ingin disesuaikan dengan pandangan leluhur mereka yang sesat?

Ajakan kepada Kebenaran
Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk menyesatkan. Bukan pula dimaksudkan untuk melencengkan (ajaran para imam). Bahkan sebaliknya, tulisan ini ditulis untuk mengajak umat Tuhan untuk kembali ke jalan yang lurus. Menunjukkan jalan lurus kepada domba-domba yang tersesat. Memberi tahu kembali ‘orang-orang Farisi’ yang salah tafsir. Bukan bermaksud menggurui, tapi kita berusaha bersama-sama memahami keadaan dan memperbaikinya secara jujur. Demi keselamatan diri kita sendiri di hari depan nanti.

Yesus akan sendiri mengingatkan berkali-kali bahwa orang berdosa akan dihukum. Karena itu, tidak semudah itu masuk ke dalam Sorga. Ingat, di zaman sekarang, menjadi hansip pun bukanlah sesuatu yang mudah mengingat semakin banyaknya persyaratan. Karena itu mustahil Tuhan mengubah peraturannya, seperti manusia, dan menjadikan syarat masuk Kerajaan Sorga yang begitu kudus dan penuh kesenangan melebihi dunia menjadi amat sangat mudah (baca: hanya dengan percaya) bagi manusia-manusia yang sejak awal selalu mudah untuk berbuat dosa.

Mungkin ada yang akan berkata, ajaran bukan untuk melencengkan ajaran Tuhan, tapi menunjukkan bukti cinta kasih Tuhan. Mereka berpendapat bahwa Tuhan melihat kehidupan manusia di dunia ini semakin sulit, karena itu terdapat beberapa penyesuaian karena kasihan terhadap manusia. Pertanyaannya adalah, apakah Tuhan sendiri yang melakukan penyesuaian itu atau manusia? Atau apakah Tuhan tidak berpikir panjang ketika membentuk hukum yang akan diberikan kepada manusia?

Aturan-aturan Tuhan atau Hukum Tuhan diciptakan sebagai seleksi bagi manusia yang ingin masuk ke dalam kerajaan-Nya. Karena rasanya mustahil Tuhan membiarkan manusia yang kotor, sering melakukan kejahatan, dan membenci sesama akan dibiarkan begitu saja masuk ke dalam kemuliaan-Nya (Sorga). Jika dibiarkan—karena orang tersebut hanya percaya akan penebusan dosa oleh Yesus, lantas apa bedanya Sorga dengan dunia ini? Toh manusia tetap bisa melakukan keburukan, berbuat kerusakan, dan melanggar perjanjian dengan Tuhan di Sorga nanti. Bedanya, di Sorga nanti semua manusia itu ‘percaya’ kepada Yesus, sedangkan di dunia sekarang kebanyakan orang ‘tidak percaya’. Apakah begitu?

Atau mungkin karena ‘percaya’ itu maka semua orang akan berubah menjadi seperti malaikat, sesuai ajaran yang ada saat ini? Bukankah itu berarti kita diikat dalam ketidakbebasan karena sifat keburukan kita dibuang. Kita bukan diri kita yang sesungguhnya di Sorga nanti. Kita tak masuk Sorga dengan dengan kecintaan kita terhadap Tuhan tidak secara tulus. Tuhan telah berbaik hati membuang sifat buruk kita. Bukan diri kita sendiri yang membuangnya sejak dari dunia. Jika memang demikian, mungkinkah Tuhan akan mengangkat ke Sorga orang-orang Yahudi dari zaman Musa hingga kedatangan Yesus yang telah berbuat kejahatan paling berat tapi tetap percaya kepada Tuhan yang Satu, percaya akan kedatangan Yesus kelak, dan, di lain sisi, dia melakukan puji-pujian untuk Tuhan?

Atau, menurut kalian yang mengaku pengikut setia Yesus, mungkinkah bagi jutaan umat Islam yang begitu menghomati dan memuja Yesus Kristus (yang dalam bahasa Arab disebut Isa Al-Masih atau Yasuu Al Masih) dan percaya akan kuasa Yesus di Sorga dan di bumi akan masuk Sorga? Meskipun mereka tidak percaya akan ketuhanan Yesus (tapi percaya kepada ketuanan-Nya) seperti banyak orang Kristen di masa-masa awal, namun mereka mengikuti Hukum Taurat secara sungguh-sungguh, bersembahyang (melakukan pelayanan dan doa kepada Tuhan) setiap hari, dan tidak melakukan dosa sama sekali. Perlu diketahui, sebagian umat Islam percaya bahwa Yesus mati di kayu salib untuk menebus dosa manusia. Tetapi umat Islam tersebut tidak menafsirkannya bahwa dosa manusia habis begitu saja dalam satu hari sehingga mereka berkeyakinan penebusan dosa di sini berarti bahwa Yesus disalib agar manusia mengerti penderitaan-Nya dan mengikuti ajaran-ajaran-Nya agar terhindar dari dosa—bukan dengan cara mengubah ajarannya. Dengan percaya kepada Yesus sebagai jalan Kebenaran—seperti mereka percaya kepada Muhammad, mengikuti ajaran Yesus, dan menghindari perbuatan buruk, maka dosa mereka akan ditebus oleh Tuhan dengan sendirinya (terhapus oleh pahala kebaikan yang melimpah).

Oh, sungguh enaknya konsep Keselamatan yang seperti dikatakan tadi. Asal percaya, maka Sorga pun didapat. Percaya saja! Sorga hanya diisi oleh manusia-manusia yang percaya, tak peduli dia melakukan kebaikan dan menjalankan perintah Tuhan atau tidak. Iman memang seharusnya membawa kebaikan. Tapi, katanya, tak apa-apa kok berbuat dosa toh dosa kita sudah ditebus dan kita cuma melakukannya karena (alasan) khilaf. Tinggal akui saja kesalahan kita di rumah ibadat sendiri atau di depan pastur nanti. Tak ada Neraka. Karena ajaran dan tradisi seperti itu, manusia yang diberi beban oleh Tuhan untuk menjaga bumi ini pun bisa dengan seenaknya menghancurkan dan mengacak-acak bumi serta melakukan apapun dengan bebas di bumi, tak peduli bisa menyakiti orang lain (juga umat beragama lain) asal tak menyakiti dan menghina ajaran agamanya sendiri.

Atas dasar semua itu, di sini aku mengajak semua manusia untuk kembali ke jalan yang benar. Menjauhi sifat-sifat orang Farisi yang pernah ditegur Yesus di mana mereka menyelewengkan aturan-aturan Tuhan dengan seenaknya. Memaknai kisah para nabi yang telah susah payah mengajak umatnya untuk tidak lagi melencengkan ajaran Tuhan tapi mereka tetap saja berbuat hal yang sama, bahkan menganggap orang yang mengajak kepada Kebenaran tersebut sebagai orang sesat dan bidat.

Jangan asal percaya dengan dogma dan ajaran ulama, gereja, atau para rabbi. Ketika mereka melakukan sesuatu yang buruk tanpa alasan (hanya sekedar ingin berkuasa) dan mereka mengatakan bahwa itu inspirasi dari Tuhan dan dituntun oleh Roh Kudus, apa harus dipercayai begitu saja. Pengikut-pengikutnya mungkin akan percaya buta. Tapi ketika sesuatu yang buruk yang dilakukan itu menimpa mereka—walaupun para imam meyakinkan bahwa itu demi Tuhan, para pengikut itu baru akan sadar kesalahan mereka yang memercayai imam-imam yang menyamar sebagai terang tadi dan mencaci-maki mereka karena merasa ditipu. Ingat, orang-orang Farisi yang ditegur Yesus pun percaya kepada para imam besar yang dianggap ahli dalam bidang agama dan tak mungkin berdosa karena merasa telah mengikuti ajaran Musa sejak puluhan abad. Ingat pula peristiwa-peristiwa sejarah yang menggambarkan manusia-manusia yang jatuh ke dalam dosa karena mendewakan orang saleh di masa lalu dan merasa moyang mereka melakukannya juga padahal moyangnya sendiri mngikuti orang saleh tersebut secara benar.

Tak usahlah berpindah ke agama lain yang dirasa lebih sesuai dengan ajaran Tuhan yang kekal dari zaman Adam hingga sekarang. Tak usah pula berkata bahwa konsep Keselamatan dalam agamanya goolah yang paling pasti (karena hanya ada Sorga dan tak ada penghukuman bagi yang percaya). Yang terpenting adalah orang-orang Yahudi, yang merasa sebagai pengikut Musa. kembali menegakkan kembali Hukum Taurat dan beribadat kepada Tuhan yang Satu tanpamelecehkan agama lain; orang-orang Kristen, pengikut Yesus yang benar-benar setia, dari semua denominasi mengikuti ajaran Yesus yang sesungguhnya dan menjadikan Yesus, sang Anak Manusia, sebagai contoh atau teladan yang harus diikuti, terlepas dari kontroversi apakah Dia Tuhan atau bukan, dan tidak merasa akan masuk Sorga dengan mudahnya sehingga berbuat kejelekan di dunia; dan umat Islam merasa mengikuti ajaran Muhammad yang dianggap penyempurna ajaran para nabi sebelumnya dengan mempelajari Kitab Suci dan hadis dengan sebenar-benarnya. Ingatlah bahwa Aturan Tuhan jauh lebih baik daripada aturan manusia jika mereka mengetahui.

Jatinangor, Agustus 2009