Fenomena Gunung Es Perkeretaapian
Posted by mochihotoru | Posted in Culture, Government, Indonesia, Organisations | Posted on 1:41:00 AM
Oleh Darwis SN
Kecelakaan kereta api kembali terjadi pada bulan Juni 2010. Kereta Api (KA) Logawa jurusan Purwokerto-Jember terguling di area persawahan di Kabupaten Madiun, Jawa Timur. Enam penumpang tewas dan puluhan lainnya mengalami luka berat. Bagaimanapun, peristiwa ini menandakan buruknya kondisi perkeretaapian nasional.
Padahal kalau ditilik dari segi pendanaan, PT KA selama ini telah meraup dana public service obligation (PSO) atau subsidi langsung mencapai ratusan miliar rupiah setiap tahunnya untuk pengoperasian KA kelas ekonomi. Dana PSO yang dikucurkan oleh pemerintah lewat kantong APBN itu ternyata diduga salah sasaran. Sebab, dana itu tidak digunakan untuk perbaikan pelayanan KA ekonomi yang menjadi andalan rakyat kecil. Operasional KA kelas ekonomi justru makin terpuruk. Salah satu indikasinya adalah makin berkurangnya jumlah gerbong yang dioperasikan dan makin buruknya perawatan teknis. Akibatnya, penumpang terpaksa dan terbiasa meluber hingga ke atas gerbong. Kondisi itu jelas menstimulisasi terjadinya kecelakaan setiap saat.
Belum lagi, soal manajemen perlintasan yang menjadi salah satu sumber kecelakaan. Dari perincian data, jumlah pintu perlintasan kereta api di Indonesia (Jawa dan Sumatera) mencapai 8.385 buah (jumlah itu akan kian bertambah seiring dengan makin bertambahnya jumlah wilayah permukiman). Namun, dari jumlah itu, tercatat hanya 1.145 pintu perlintasan KA yang dijaga. Selebihnya 7.240 pintu merupakan perlintasan “maut” karena tidak dijaga petugas. Hal ini memperlihatkan betapa lemah tanggung jawab pemerintah terhadap keselamatan publik.
Pemerintah dan manajemen PT KA harus berhenti menyalahkan rakyat kecil sebagai penyebab terjadinya kecelakaan. Mobil yang ditabrak kereta api bukan karena pengemudi yang salah. Tetapi, itu terjadi karena pemerintah dan manajemen PT KA tidak serius menyediakan palang pintu perlintasan.
Mestinya pemerintah segera melakukan tindakan tegas, membenahi kinerja PT KA. Pemerintah harus mengutamakan service oriented, bukan profit oriented. Pemerintah tidak seharusnya hanya mengurusi BUMN yang meraup keuntungan besar seperti perusahaan sektor perbankan, keuangan, dan telekomunikasi. Pemerintah juga harus peduli pada BUMN yang berkaitan dengan pelayanan publik seperti perkeretaapian ini.
Berbagai musibah akan terus mendera para penumpang angkutan darat yang satu ini jika para pimpinannya tidak mengubah sikap. Sampai kapan dan harus minta jumlah korban berapa lagi rakyat kita yang akan terbunuh jika pemerintah tidak segera membenahi manajemen PT KA?
Seorang anggota dewan pernah mengungkap hasil pengawasan menyeluruh terhadap PT KA yang menunjukkan ketidakseimbangan antara pendapatan dan pelayanan. Di satu sisi, pendapatan perusahaan angkutan ini cukup menggembirakan. Namun, di sisi lain, pelayanan di lapangan tidak lebih baik dari angkutan perusahaan darat lainnya. Sekadar contoh, hasil laporan keuangan PT KA menunjukkan angka Rp1,9 triliun sebagai pendapatan tahun 2004. Begitu juga dengan tahun-tahun sebelumnya yang menunjukkan angka yang hampir sama. Dengan pengeluaran tetap hanya mencapai Rp1,5 triliun, tentunya perusahaan bisa memberikan peningkatan pelayanan dan kenyamanan kepada para penumpang dan eksternal perusahaan.
Persoalan di tubuh PT KA Indonesia ibarat fenomena gunung es. Karena itu, seperti harapan banyak orang, tidak perlu saling menyalahkan terkait kecelakaan yang menimpa armada KA kita. Yang paling penting, tindakan nyata untuk segera membenahi manajemen PT KA mutlak perlu dilakukan.
Perubahan demi perubahan nama organisasi pengelola perkeretaapian kita menyiratkan adanya dilema antara kereta api untuk angkutan rakyat yang murah dan kereta api sebagai jasa angkutan yang mendatangkan keuntungan. Bayangkan saja, nama Djawatan Kereta Api (DKA)—”jawatan” dimaknai terutama untuk melayani masyarakat—pada 1963 diubah menjadi Perusahaan Negara Kereta Api (PNKA). Ini bukan sekadar ganti nama, melainkan mengandung maksud bahwa perkeretaapian boleh mencari pemasukan sendiri. Dalam hal ini pemerintah lebih berperan hanya sebagai pemegang saham.
Tampaknya PNKA dianggap gagal. Alhasil, tahun 1973 PNKA dikembalikan menjadi “jawatan”, yakni PJKA atau Perusahaan Jawatan Kereta Api. Perkeretaapian kembali sepenuhnya dikelola lewat birokrasi pemerintah. Namun, justru ketika bernama PJKA ini, jumlah subsidi malah turun. Lalu, pada 1991 pemerintah mempersilakan PJKA mengembangkan diri. Namanya pun diubah lagi menjadi Perumka (Perusahaan Umum Kereta Api) yang pada 1994, untuk pertama kali dalam sejarah perkeretaapian Indonesia-sejak awal kemerdekaan-meraih laba sekitar Rp3,5 miliar.
Krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak 1997 justru menguntungkan perkeretaapian. Banyak penumpang pesawat beralih ke kereta eksekutif. Prospek ini menyebabkan pemerintah mengubah Perumka menjadi PT (Perseroan) tahun 1999. Dari sini, sisi bisnis perkeretaapian menjadi lebih besar daripada sisi pelayanan masyarakat. Peningkatan layanan bagi masyarakat kelas bawah pun tak bisa dipenuhi.
Memang, itu bukan semata kesalahan PT KA. Merajalelanya calo, pencurian peralatan kereta api (dari kipas angin sampai sekrup sinyal di pintu perlintasan kereta api), penumpang gelap, dan lain-lain ikut andil hingga PT KA terus merugi. Akibatnya, perawatan dan peremajaan peralatan KA serta peningkatan kualitas karyawan tidak sepenuhnya bisa dilakukan.
Dalam kondisi seperti ini, pihak manajemen terpaksa banyak menerapkan “kebijaksanaan”. Misalnya, ketika lampu sinyal mati dan belum diganti karena bujet masih harus ditunggu, masinis pun dipersilakan jalan terus. Biarpun peraturan mengatakan apabila ada orang di atap kereta, maka kereta sama sekali tak boleh jalan, itu terpaksa dilanggar. Menertibkan terhadap mereka yang berkeliaran di atap kereta bukan perkara mudah. Untuk mencegahnya, tentu dibutuhkan tenaga dan biaya. Celakanya, iklim “melanggar” ini menjadi kebiasaan sehingga masinis pun berani melanggar rambu walau tidak ada perintah.
Tidakkah dengan demikian lebih baik PT KA dikembalikan sebagai “jawatan” sehingga manajemen jelas arahnya: melayani masyarakat luas? Tentu, pelayanan dalam makna yang benar, yakni ada kemudahan, jaminan keselamatan, syukur-syukur ditambah kenyamanan. Lalu, berapa besar subsidi harus dikucurkan untuk kereta api? Perkeretaapian bukan dunia yang berdiri sendiri. Ia pun bagian dari sarana transportasi di republik ini. Jika saja pendapatan negara tak dikorupsi, mestinya tersedia cukup uang untuk hal-hal yang memang sudah seharusnya disubsidi, seperti perkeretaapian ini.
*) Penulis adalah praktisi pendidikan, alumnus University of Adelaide, Australia
Sumber: suarakarya-online.com
Comments (0)
Post a Comment