Kondisi Pertelevisian Indonesia Kini
Posted by mochihotoru | Posted in Culture, Education, Indonesia, Media | Posted on 12:01:00 AM
Ketika penulis berada di Australia untuk mengikuti pendidikan selama kurang lebih empat bulan, penulis mendapat kesulitan dalam hal “Pengetahuan Umum”. Di sana mata penulis terbuka bahwa pengetahuan penulis akan hal-hal yang terjadi di dunia ini sangat minim. Penulis memiliki beberapa teman dari beberapa negara tetangga termasuk Vietnam. Banyak hal yang penulis kagumi dari mereka. Terutama dalam hal pengetahuan umum dan teknologi. Mereka tahu banyak hal. Walaupun dalam kemampuan berbahasa Inggris boleh dibilang kita sebagai orang Indonesia bisa berbangga diri karena tidak kalah dengan mereka, namun ketika membicarakan pengetahuan umum kita kalah jauh, paling tidak itulah yang saya rasakan.
Di sana saya belajar banyak hal. Mencari informasi dari televisi dan internet. Di sanalah penulis mengetahui Global Warming (pada waktu itu di Indonesia belum terdengar gaungnya), mengetahui tentang penyakit AIDS dan macam-macam topik lainnya. Setelah kembali ke Indonesia, penulis menonton televisi. Saya baru menyadari, sangat sedikit tayangan yang menampilkan berita dunia. Semua penuh dengan berita dalam negeri. Mulai dari politik sampai infotainment. Tayangan film pun hampir semuanya produk lokal. Sinetron, talk show, musik, liputan-liputan mayoritas terjadi dan diproduksi di dalam negeri.
Suatu hari saya chatting dengan teman penulis dari Vietnam, layaknya teman lama kami mengobrol mengenai banyak hal. Ketika dia mengajak berbicara tentang berita terkini dunia, penulis tidak bisa banyak bicara. Padahal waktu itu topiknya tidak telalu jauh melenceng, yakni tentang pemilihan perdana menteri Australia yang baru. Penulis segera mencari-cari berita itu di internet, supaya bisa sedikit menanggapi obrolannya.
Penulis kembali mengamati televisi. Ya ampun, di mana saya harus mencari berita itu? Beberapa saluran tevesaya pencet bergantian namun tidak juga mendapatkan yang penulis inginkan. Pada waktu-waktu biasanya berita ditayangkan, penulis segera menonton dengan seksama. Semua berita lokal. Berita dunia hanya sekilas. Hanya kurang dari 20% berita dalam negeri. Berita yang memuat berita dunia pun hanya ada di stasiun televisi tertentu yang notabene-nya adalah stasiun teve berita.
Pikiran saya langsung melayang ke generasi muda negeri ini. Bagaimana mereka mendapatkan berita-berita yang terjadi di dunia ini? Teve kabel? Tidak semua rumah dapat berlangganan teve kabel. Internet? Tidak semua orang dapat menikmati internet dengan mudah. Penulis, contohnya, kalau mau menikmati internet di rumah, harus memikirkan biaya lumayan besar yang dikeluarkan tiap bulan. Untungnya di kantor penulis tersedia wireless network sehingga penulis bisa mengakses internet pada jam kantor. Bagaimana dengan warnet? Tidak semua orang dapat merasa nyaman berlama-lama di warnet. Selain karena faktor kenyamanan, biaya, juga soal waktu. Bagaimana dengan anak-anak sekolah? Akankah mereka ke warnet untuk mencari berita? Mungkin ya, tapi sangat sedikit jumlahnya. Sebagian mereka hanya pasrah menerima berita dari televisi di rumah. Itupun tidak banyak. Karena waktu-waktu penayangan berita semakin sedikit saja. Coba saja lihat tayangan televisi pada saat primetime. Hampir semua menayangkan sinetron kejar tayang. Kalau keadaan terus seperti ini, bagaimana kita dapat bersaing dengan orang luar? Jangankan bersaing, mengobrol saja juga tidak berani.
Selain berita, film dan musik luar negeri juga menghilang dari stasiun televisi kita. Betapa inginnya saya menyaksikan film-film luar yang nuansanya berbeda dengan film dalam negeri. Penulis juga ingin sekali mendengar pemain-pemain film itu berbicara dengan bahasa aslinya. Dengan menonton film seperti itu juga dapat melatih pendengaran kita akan suatu bahasa, bahasa Inggris atau Mandarin misalnya. Ada satu atau dua stasiun televisi yang terkadang menayangkan film luar negeri namun sayang sekali, film-film itu semua sudah dialih-bahasakan.
Terkadang ada stasiun televisi yang menayangkan film-fim barat. Namun, jam tayangnya di atas jam sembilan malam. Film-film yang ditayangkan pun sudah kadaluwarsa. Ada yang baru pertama kali ditayangkan, ada pula yang sudah berulang kali ditayangkan. Kalau melihat gaya berpakaian dan potongan rambut aktor dan aktris di dalamnya, kita sudah dapat menebak bahwa film itu diproduksi beberapa tahun bahkan mungkin belasan tahun yang lalu.
Kecewa. Itulah yang penulis rasakan dengan perkembangan televisi Indonesia sekarang ini. Televisi sebagai sarana yang paling efektif dalam menyampaikan informasi pada masyarakat seharusnya juga bisa menjadi sarana pendidikan. Menghasilkan generasi muda yang berpikiran luas tidak hanya bergantung dari lembaga pendidikan formal maupun informal. Televisi juga dapat memberi masukan sedikit demi sedikit (yang akan menjadi besar nantinya) dalam perkembangan pemikiran generasi muda. Tayangkanlah juga berita-berita dunia sehingga mata masyarakat dapat lebih terbuka, tidak picik. Mengenai film, bukannya tidak cinta produksi dalam negeri, tapi alangkah baiknya kita juga membuka diri dengan menayangkan film-film atau tayangan musik dari luar negeri. Padahal dengan menayangkan produk-produk luar dapat membuat para produsen film dan musik dapat membandingkan selera publik dan menjadi terpacu untuk lebih baik lagi. Di atas langit masih ada langit. Jangan beranggapan semua yang kita hasilkan adalah yang terbaik. Ingat, tidak semua tayangan luar negeri buruk bagi perkembangan generasi muda. Menghalangi informasi bagi mereka justru lebih buruk.
Comments (0)
Post a Comment