Indo, Indon, dan Indonesia

Posted by mochihotoru | Posted in , , , | Posted on 12:46:00 AM

Oleh Wannofri Samry

Don’t marry an Indo! Don’t associate with him. Our future does not lie here, but in Europe. Repair the mistake once made by our ancestor. Create chances for your children in Holland. (Paul van der Veur, 1969)

Begitulah kesan seorang warga negara Belanda tentang warga keturunan Indonesia-Belanda sampai pascakemerdekaan. Mereka adalah orang-orang hina yang tidak pantas menjadi kawan, teman sosial, dan lain-lain. Kesan itu tentu berakar pada sejarah Hindia Belanda yang diskriminatif, yang menganggap kaum pribumi Hindia Belanda sebagai orang-orang barbar dan inlander.

Akhir-akhir ini permasalahan serupa muncul kembali di Malaysia, saat Malaysia lebih jaya, sementara Indonesia lebih terpuruk secara ekonomi. Karena itu, banyak tenaga kerja Indonesia (TKI) pasca-1990-an yang mencari kerja ke Malaysia, baik secara legal maupun ilegal. Namun umumnya TKI itu merupakan tenaga kerja kasar. Sedikit sekali orang Indonesia yang bekerja di sektor terhormat, yang mengunakan skill tinggi.

Kondisi itu membangun kesan pada Malaysia bahwa Indonesia adalah negara miskin dan pengimpor tenaga kerja kasar dan kelas jongos. Kesan itu melekat sampai ke anak-anak sehingga mereka menyebut Indonesia menjadi “Indon”. Kata itu mirip secara sosial ucapannya dengan sebutan “Indo” bagi keturunan Indo-Eropa di Hindia-Belanda. Indo-Eropa juga tidak dihormati dalam tatanan pemerintahan kolonial Belanda.

Kaum indo dalam tatanan hukum kolonial Belanda berada dua tingkat dari orang Eropa dan satu tingkat di bawah timur asing. Sebutan Indon” di Malaysia telah menjadi sebutan umum, bahkan media massa Malaysia memublikasikan kata itu tanpa merasa bersalah. Umpamanya saat artis-artis dari Indonesia tampil di Malaysia, media Malaysia dengan seronok menulis: Artis Indon akan show!

Sebutan itu memang tidak aneh kedengaran di mana-mana di seluruh wilayah negara jiran (tetangga) itu. Para pelajar Indonesia di Malaysia, yang tentu paling kenyang dengan sebutan itu, sering merasa geram. Paling-paling mereka bisa menjelaskan bahwa sebutan itu tidak mereka sukai. Namun tidak mungkinlah setiap saat menjelaskan itu kepada setiap orang Malaysia, bisa menghabiskan energi.

Sebutan “Indon” yang kurang mengenakkan itu sebenarnya belum ada dalam literatur sosial, sejarah, dan politik Indonesia, yang ada hanya kata “Indo” dan “Indonesia”. Indo untuk keturunan Eropa-Indonesia dan Indonesia untuk seluruh masyarakat yang berada di wilayah negara Indonesia.

“Indon”

KataIndon” memang asli muncul di Malaysia. Kosakata “Indon” seakan-akan menjadi sebutan tanpa dosa bagi sebagian besar orang Malaysia terhadap orang-orang Indonesia. Bukan hanya pekerja kasar yang dipanggil “Indon”, para pelajar dan pejabat Indonesia di Malaysia pun disebut “Indon”.

Bagi orang Indonesia yang terpelajar, “Indon” itu sama dengan sebutan inlander (pribumi tengik) di zaman kolonial Belanda. Mereka itu dianggap kaum tidak beradab, musiknya hanya ngak-ngik-ngok, tampilannya dekil, wawasannya sempit, pemberontak, perusuh, dan sebagainya.

Di mana-mana, di Malaysia, seperti di bandara, pasar, dan lingkungan sosial lainnya, seorang Indonesia sering merasa bahwa ada sikap yang merendahkan secara sosial. Bila mereka (orang Malysia) kenal bahwa yang mereka hadapi orang Indonesia, mereka lebih suka berbicara meninggi. Mereka tidak lagi memakai stratifikasi bahasa sosial sebagaimana yang sering diterapkan di Malaysia untuk kata sapaan.

Umpamanya tanpa memanggil “Cik” untuk perempuan bujang, “Puan” untuk perempuan sudah menikah, “Encik” untuk laki-laki yang lebih terhormat. Di kedai-kedai mereka enak saja memanggil “you”, “kamu”, dan “kau” terhadap orang Indonesia. Terutama “kamu” dan “kau” adalah panggilan kasar di Malaysia. Umpamanya saat membeli makanan di kedai runcit, seorang pelayan kedai yang masih remaja enak saja bilang dengan sombong, “Kamu nak beli apa?”

Di bandara sering orang Indonesia diperiksa dengan kasar oleh pihak imigrasi. Petugas sering juga memeriksa uang yang dibawa oleh orang Indonesia ke Malaysia. Dalam pikiran mereka, orang Indonesia itu miskin dan membuat Malaysia susah. Karena itu mereka harus memastikan bahwa orang Indonesia yang ke Malaysia mempunyai uang yang cukup.

Walaupun warga Indonesia sering dianggap “Indon”, dalam banyak hal sebenarnya Malaysia itu mengagumi Indonesia dari segi bahasa, budaya, demokratisasi, serta kemolekan dan keluasan wilayah. Beberapa profesor di Malaysia mengagumi sejarah kebijakan bahasa Melayu sebagai bahasa Indonesia. Seorang sejarawan di Universitas Kebangsaan Malaysia (UKM) mengatakan bahwa bangsa Indonesia sangat tepat memilih bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional sehingga bahasa Melayu menjadi bahasa persatuan.

http://cdn.radionetherlands.nl/data/files/images/MalayIndo_0.jpg

Sementara bahasa daerah juga berkembang sebagai kekayaan budaya. “Akademisi budaya dan bahasa di Malaysia umumnya merisaukan ketidakberkembangan bahasa Melayu di Malaysia, bahkan kini tidak hanya terdesak oleh bahasa Inggris, tetapi juga oleh bahasa Cina dan India. Kekaguman lain yang terlihat adalah beredarnya lagu-lagu Indonesia di Malaysia.

Lagu-lagu itu diputar di dalam bus, di kafe, televisi, dan radio. Namun ini pun menjadi masalah jugabagaimanakah hak ciptanya? Hal yang jelas, sumbangan seniman Indonesia sangat besar terhadap masyarakat Malaysia. Hal itu juga terjadi dalam bidang sastra. Mereka mengagumi sastrawan-sastrawan senior Indonesia seperti Hamka dan Pramoedya Ananta Toer. Karya kedua sastrawan itu pun menjadi bacaan umum di Malaysia.

Perhatian Malaysia terhadap karya cipta intelektual Indonesia sangat mengagumkan juga. Perhatian mereka mungkin melebihi perhatian orang Indonesia. Buktinya karya-karya pemikiran klasik Indonesia sampai yang mutkahir bolehlah dikatakan cukup lengkap dikoleksi oleh perpustakaanperpustakaan perguruan tinggi Malaysia. Ini juga tantangan bagi Indonesia ke depan.

Malaysia-Indonesia

Kalau dikaji sejarah Malaysia dan Indonesia memang banyak kesamaan. Dalam naskah-naskah Melayu semua itu akan terbaca. Bagi masyarakat di seluruh Nusantara, wilayah Semenanjung, Jawa, Sulawesi, dan sekitar kepulauan Indonesia adalah jaringan dagang dan budaya yang tidak bisa dipisahkan.

Penduduk-penduduk di kawasan ini memang sudah lama sering bermigrasi atau bertukar tempat. Malaka dibangun pertama sekali oleh orang Sumatera, Parameswara. Johor-Riau Lingga pernah menjadi satu kerajaan. Hanya Inggris yang memisahkan mereka tahun 1824. Banyak kaum pergerakan Indonesia lari ke Malaysia tahun 1930-an sehingga menjadi tokoh pergerakan pula di Malaysia.

Contohnya Tun Abdul Razak yang kini dilekatkan namanya di Dewan Conseleri UKM, dia juga keturunan Indonesia. Begitu juga Hamka tahun 1972 dinobatkan menjadi doktor di UKM. Kini nama Hamka pun dilekatkan di bagian dokumentasi UKM. Hampir semua kaum cerdik pandai di Malaysia mengagumi Hamka, juga Natsir, sebagai tokoh Islam.

Sejak masa Orde Baru dirasakan bahwa sebenarnya Indonesia penting bagi Malaysia, terutama dalam memberikan keseimbangan politik di Malaysia. Masa Soeharto diakui ada kerja sama pengiriman imigran ke Malaysia dan ini penting bagi orang-orang Melayu untuk memberikan keseimbangan politik terhadap golongan etnis Cina. Selain itu orang Indonesia juga penting sebagai sumber tenaga kerja murah dan gigih.

Bagi Indonesia, Malaysia juga penting. Selain sebagai kawan serumpun, juga sebagai katup pengaman ekonomi yang selalu krisis. Sebab jika tidak ada Malaysia juga akan menimbulkan masalah pengangguran besar-besaran di Indonesia. Menurut keterangan resmi Himpunan Pengusaha Jasa Penempatan Tenaga Kerja Indonesia (HIMSATAKI) tahun 2008, jumlah TKI Indonesia di Malaysia hampir 700.000 orang.

Artinya hampir sama dengan penduduk Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau. Ini tentu belum termasuk ribuan TKI yang ilegal dan para pedagang yang bolak-balik ke Malaysia. Menurut data kedutaan Malaysia, ada sekitar 500-1.000 TKI legal bermasalah di Malaysia. Limpahan TKI ini pula yang merendahan bangsa Indonesia karena mereka bekerja pada sektor buruh dan pekerja kasar—tidak mau menuntut ilmu lebih tinggi dan hanya memimpikan mendapat duit yang banyak hasil kerja di luar negeri.

Pemerintah mesti memikirkan bagimana menghapuskan citra “Indon” yang mirip dengan inlander pada masa penjajahan Belanda itu. Sebab stigma negatif yang diberikan orang lain terhadap bangsa Indonesia tidak hanya sebagai penghinaan, tetapi juga menjadi pemukulan mental dan identitas. Pemulihan nama itu tidak hanya cukup dengan imbauan pelarangan sikap demikian terhadap Pemerintah Malaysia, tetapi juga membangun bangsa ini agar kepalanya tegak dan berjalannya tegap.

Karena itu, keseriusan pemerintah untuk menyiapkan berbagai prasyarat kesejahteraan seperti pendidikan, lapangan kerja, dan berbagai fasilitas pelayanan publik adalah penting. Bagaimanapun bangsa Indonesia juga tidak ingin menjadi beban dan tergantung pada bangsa lain. Pantaslahkita” malu bila Indonesia sebagai saudara tua Malaysia mesti “merengek” secara ekonomi ke Malaysia.

*) Dosen di Universitas Andalas, Kandidat Doktor di Universitas Kebangsaan Malaysia (UKM)

Sumber: seputar-indonesia.com

Comments (0)

Post a Comment