Wacana yang Sangat Sering Disalahpahami Banyak Kalangan

Posted by mochihotoru | Posted in , , , , , | Posted on 4:00:00 AM

Oleh Lily Zakiyah Munir

Dalam sebuah ceramah, seorang ustaz berbicara tentang pengaruh Barat dalam kehidupan Muslim di Indonesia. Sang ustaz mengambil gender sebagai contoh. “Gender,” katanya dengan bersemangat dan percaya diri, “adalah keberhasilan Barat dalam melemahkan akidah kaum Muslim. Gender telah membawa perempuan Indonesia keluar dari rumah dan berkeliaran di tempat umum. Inilah yang mengakibatkan maraknya pelacuran.”

Peristiwa di atas muncul kembali dalam ingatan saya ketika membaca berita tentang penyegelan Kantor Fahmina di Cirebon beberapa waktu lalu. Dalam penjelasannya, salah satu “eksekutor” mengatakan lembaga ini telah melakukan indoktrinasi sekular dan memperjuangkan persamaan gender yang mereka nilai bertentangan dengan Rancangan Undang-Undang Antipornografi (Koran Tempo, 23 Mei 2006, A9).

Pernyataan seperti di atas jelas tidak didasarkan pada pemahaman yang benar atas konsep gender. Tidak ada dasar logis mengaitkan gender dengan pelacuran atau pornografi. Banyak faktor yang memicu maraknya pelacuran dan pornografi. Perjuangan kesetaraan gender justru mengangkat harkat kemanusiaan perempuan dan membuat mereka percaya diri sebagai manusia seutuhnya, serta mampu bernegosiasi melawan eksploitasi dan komersialisasi fisik mereka.

Begitu pula sangat tidak adil membuat asumsi kehadiran perempuan di ranah publik mengakibatkan maraknya pelacuran. Bukankah aktivitas yang satu ini tidak mungkin terjadi tanpa partisipasi lelaki?

Informasi yang terdistorsi tentang kesetaraan gender sering kali muncul karena pemahaman keagamaan yang sudah bias, seolah-olah kesetaraan gender bertentangan dengan Islam. Ini tidak saja salah, tetapi juga menafikan semangat Alquran dalam membebaskan kaum tertindas, termasuk perempuan. Informasi seperti ini sama sekali tidak mencerahkan, bahkan cenderung membawa umat mundur ke masa lalu ketika perempuan sekadar menjadi obyek dan makhluk domestik.

Komitmen Global dan Islami

Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang ditandatangani di San Francisco pada tahun 1945 adalah perjanjian internasional pertama yang memproklamirkan kesetaraan gender sebagai bagian mendasar dari hak asasi manusia. Sejak saat itu PBB telah membantu menciptakan warisan sejarah tentang strategi, standar, program, dan tujuan dalam memajukan status perempuan di seluruh dunia.

Berbagai konferensi dunia telah diselenggarakan guna membahas topik dan tema yang relevan; yang terbesar adalah Konferensi Dunia Wanita IV di Beijing tahun 1995. Dua belas area kritis diidentifikasi dalam memajukan perempuan, antara lain kemiskinan, pendidikan, kesehatan, hak asasi perempuan, dan ekonomi. Komitmen ini diteguhkan kembali pada tahun 2000 dalam Pertemuan Puncak Milenium.

Lima belas abad silam, Alquran telah melakukan revolusi dengan memberi status setara antara perempuan dan lelaki. Bukti yang relevan dari kesetaraan ini adalah tentang asal kejadian penciptaan manusia. Alquran menyebutkan bahwa perempuan dan lelaki, meskipun mereka secara biologis berbeda, secara ontologis serta etika moral adalah sama karena keduanya berasal dari diri (nafs) yang satu, dikaruniai status sama sebagai hamba/ pelayan (‘abid) dan wakil (khalifah) Allah di bumi, dan masing-masing adalah separuh dari sebuah pasangan.

Untuk mengapresiasi terobosan Alquran yang revolusioner dalam membebaskan dan memberdayakan perempuan, perlu dipahami konteks sosial, budaya, dan historis turunnya Kitab Suci. Demikian pula, sejarah Islam mencatat titik balik itu. Reformasi yang dilakukan Nabi Muhammad untuk membebaskan perempuan ternyata mengalami kemunduran setelah beliau wafat. Larangan Nabi untuk mendiskriminasi atau menistakan perempuan, seperti yang umum terjadi di budaya Arab waktu itu, marak kembali sepeninggal beliau

Warisan adat seperti itulah yang kini banyak membentuk paradigma pemikiran masyarakat Muslim. Tampak ada jurang yang lebar antara keindahan ayat-ayat Alquran dengan realitas dalam kehidupan sehari-hari. Sudah saatnya jurang itu kita tutup dengan memperjuangkan kesetaraan gender, demi keadilan yang merupakan inti ajaran Islam.

*) Research Fellow Program Islam dan Hak Asasi Manusia, Emory University, Atlanta, Georgia, AS

Sumber: Harian Kompas

Comments (0)

Post a Comment