Bahasa Aceh Mulai Dianggap Bahasa Kampungan oleh Sebagian Masyarakat Aceh

Posted by mochihotoru | Posted in , , | Posted on 9:38:00 PM

“Bahasa mencirikan dan menandakan bangsa”. Sepertinya sepotong kalimat ini tidak lagi bermakna bagi sebagian masyarakat Aceh. Ciri utama sebagai sebuah bangsa/ suku banyak dinomorsekiankan oleh masyarakat Aceh, merupakan sebuah realita lapangan yang dianggap bukan masalah oleh segelintir masyarakat Aceh yang sangat patut dipermasalahkan sebagai rasa tanggung jawab akan keacehan bangsa ini, sebagai rasa tanggung jawab kita yang menyatakan diri bangsa/ suku Aceh, juga sebagai rasa tanggung jawab terhadap sesuatu yang tidak bisa diciptakan oleh pribadi manusia walaupun itu lahir dari manusia, yaitu peninggalan paling berharga, peninggalan ciri bangsa dari nenek moyang (bahasa dan adat budaya Aceh). Jika ciri utama ditinggalkan, adat dan budaya sebagai ciri khas bangsa nomor dua tidak akan bisa dipertahankan apalagi dilestarikan.

Bahasa tak ada bedanya dengan alur kehidupan manusia. Sejak dahulu kala, bahasa lahir, hidup, dan lenyap dengan masyarakat pemakainya (user). Kata “lenyap”, sungguh rangkaian enam huruf yang menjadi momok paling menakutkan bagi yang peduli dan bangga dengan bangsa, sebuah problema peradaban bangsa Aceh yang seharusnya dipikirkan berulang-ulang supaya di masa depan tidak menjadi peradaban Aceh yang tidak ‘Aceh’. Bahasa merupakan alat komunikasi turun-temurun yang harus dipertahankan dan dilestarikan sebagai rasa tanggung jawab terhadap bangsa dan ciri khas bangsa sampai kiamat tiba. Hal ini sepertinya sudah dianggap masalah yang sepele, masalah yang dinomorurutkan di poin yang kesekian oleh sebagian masyarakat Aceh. Karena dewasa ini bahasa Aceh sepertinya menjadi bahasa nomor dua di Aceh sendiri setelah bahasa Indonesia, realita ini terjadi terutama di daerah perkotaan, pinggiran kota, dan berlanjut ke daerah perkampungan dimana tempat letaknya ciri khas utama yang tinggi sebuah bangsa, dalam konteks ini; ciri khas bangsa Aceh.

Dalam sebuah opini yang ditulis oleh Gerard Bibang, wartawan Ranesi, “Gejala ini, ternyata, merupakan salah satu akibat dari apa yang disebut peperangan bahasa. Sekitar 6.000 bahasa besar di seluruh dunia terancam punah dalam waktu yang tidak terlalu lama. Keanekaan bahasa sebagai bagian dari warisan keanekaan kebudayaan umat manusia, juga terancam punah. Bahasa Aceh kemungkinan besar masuk dalam kategori tersebut. Jika bahasa tidak bisa dipertahankan, adat yang lainnya akan sangat mudah lenyap mengikuti alur “kemajuan” penggunanya. Kemajuan yang sangat memundurkan.

Bahasa Aceh merupakan bahasa regional (daerah) yang sangat rentan lenyap di masa depan. Bahasa nasional sendiri sekarang sangat banyak mengalami pencampuran dengan bahasa daerah (bukan tercampur dengan bahasa daerah Aceh), seperti kata ‘saya’ dan ‘kamu’ dalam percakapan sehari-hari banyak yang menggunakan kata ‘gue’ dan ‘lo’ (bahasa Betawi). Hilang standardisasi juga karena peperangan bahasa. Sepertinya suku Betawi menang dalam go on and survive ciri bangsa mereka. Di Indonesia, bahasa Aceh termasuk bahasa paling lemah, rentan lenyap ditikam bahasa nasional yang mulai hilang standardisasi tersebut dalam ‘medan perang bahasa’ di Indonesia. Adat budaya Aceh sangat lemah dalam survive apalagi go on. Mulai dan bahkan sudah kalah dengan power adat budaya bangsa/ suku lain. Tidak mampu menguasai medan “perang” karena ‘pasukan’ Aceh sudah banyak yang tidak ‘Aceh’ karena bahasa.

Bahasa Aceh mulai kehabisan ‘darah’ karena tikaman bahasa nasional, mulai lenyap. Tidak hanya bahasa, adat juga, ‘mulai hilang’ di Aceh. Kreasi Aceh yang bernilai Aceh juga mulai ditikam dari dalam dan dari luar, salah satu contohnya lagu, lagu Aceh yang tidak bernilai Aceh, ditikam dari dalam, cuma meniru, contohnya, seperti lagu SMS, maaf, juga yang sedang ngepop sekarang di Aceh yaitu lagu intermezzo dalam film Eumpang Breueh.

Bahasa. Utamanya bahasa, banyak bangsa ini yang tidak bisa bahasa bangsanya, apalagi menguasainya. Banyak yang malu menggunakan bahasa bangsa sebagai bentuk isyarat bahwa dia merupakan salah satu dari bangsa ini. Realita lapangan juga menunjukkan ada yang berpura-pura tidak bisa bahasa bangsa.

Bahasa Aceh, bahasa geutanyoe telah banyak mengalami perubahan, dan mulai hilang karena rasa malu, rasa tidak PD (percaya diri) menggunakan bahasa kampungan (bahasa Aceh), karena tidak bisa, karena tidak menguasainya sebab dari beberapa sebab oleh sebagian bangsa ini. Kata-kata perkata mulai hilang karena pengaruh dari sebab di atas, contohnya dari sekian banyak kata yang mulai hilang seperti kata ‘camca’ (artinya: sendok) sekarang sudah banyak yang langsung mengatakannya dalam bahasa Indonesia “sendok” dan boh limo juga terkena pengaruh bahasa Indonesia banyak yang langsung menyebutnya dengan “boh jeruk” . Pengaruh ‘gaul tingkat tinggi’. Juga dialek dan intonasi bahasa Aceh, banyak masyarakat Aceh sekarang yang menggunakan bahasa Aceh dalam intonasi rendah, seperti kata ‘ureueng’ (orang) intonasinya lebih mendalam, banyak yang mengatakan dengan kata ‘ureung’ yang intonasinya lebih dangkal, kata keubeue (kerbau) juga demikian, dan sebagainya. Kata-kata yang ‘meugampong’ mulai ditinggalkan, banyak masyarakat yang tidak mengerti, seperti kata teumeugom, situek, poh cakra, dan sebagainya.

Hanya sebagian masyarakat Aceh sekarang yang menggunakan kata, dialek, dan intonasi bahasanya tanpa ada rasa “malu dan rasa tidak PD” tanpa “sungkan-sungkan” oleh mereka yang bangga dan peduli dengan keacehannya dan oleh mereka yang karena pengaruh lingkungan tanpa didasari rasa bangga, tanpa didadasari oleh rasa tanggung jawab terhadap ciri khas bangsa ini.

Ini persoalan besar yang sangat patut dipermasalahkan terhadap kelangsungan adat dan budaya Aceh, terhadap kekayaan bangsa akan keanekaan adat budaya yang ada di Indonesia yang merupakan aset daerah yang sangat dibanggakan terutama di luar negeri, dan dibanggakan di dalam negeri, tetapi tidak “sangat” karena juga banyak yang tidak bangga, contoh besarnya di Aceh.

Budaya malu menggunakan bahasa sendiri juga mulai tumbuh dalam kehidupan sebagian masyarakat Aceh seiring dengan kemajuan zaman dan kemajuan pergaulan. “Tanya kenapa”? Jawabannya diketahui oleh masyarakat Aceh sendiri. Dewasa ini banyak masyarakat Aceh tulen yang tidak bisa bahasa Aceh. Ini disebabkan banyak hal, terutama karena didikan orang tuanya. Anak-anak Aceh banyak yang diajarkan bahasa Indonesia oleh orang tuanya, orang tuanya yang malu dan tidak bangga dengan keacehannya, orang tuanya yang tidak bisa bahasa Aceh karena neneknya, dan seterusnya. Banyak masyarakat Aceh menjadikan bahasa Indonesia menjadi bahasa utama dalam keluarganya terutama di daerah perkotaan. Tapi sampai dewasa ada sebagian bahkan banyak anak yang tidak juga bisa bahasa Aceh, juga dikarenakan beberapa masalah, ada yang tidak mau belajar bahasanya nenek moyang dari lingkungannya sendiri karena ada anggapan bahasa Aceh cuma ‘bahasa kampung’, bahasa percakapan orang-orang kampung, di kota tidak berlaku, bahkan ada yang dengan bangga mengatakan “aku nggak bisa bahasa Aceh” demi pergaulan ‘hebat’, pergaulan tingkat atas ‘anak-anak kota’. Ada juga karena lingkungan yang memang dalam semua hal interaksi dan komunikasi dalam bahasa Indonesia, walaupun sesama ‘Aceh’. Hal ini menyebabkan bahasa Aceh bukan lagi menjadi bahasa ibu oleh sebagian masyarakat Aceh. Kita takutkan beberapa keturunan ke depan akan ada yang menganggap bahasa bangsa Aceh adalah bahasa Indonesia. ‘Aneh’.

http://kippas.files.wordpress.com/2007/07/aceh-1.jpg

Budaya paling aneh juga mulai tumbuh, yaitu; bisa bahasa Aceh, tapi pura-pura tidak bisa, malu menggunakannya. Berbicara meukeulido (intonasi rendah/ bahasa celat) menjadi tren sebagian masyarakat Aceh dalam pergaulan sehari-harimaaf, permasalahan ini terutama didomininasi oleh kaum cewek, tidak ada maksud menjelekkan kebiasaan kaum perempuan, tapi begitulah kenyataannya. Banyak masyarakat Aceh yang padahal berasal kampung malah kadang-kadang berasal kampung terpencil hijrah ke kota pura-pura tidak bisa bahasa Aceh, berbicara menggunakan bahasa Aceh seolah-olah tidak bisa bahasa Aceh (meukeulido). Entah apa yang akan mereka dapatkan dengan ‘ngomong’ meukeulido (celat, seolah-olah baru belajar bahasa tersebut). Jika muncul pertanyaan “terus apa yang bisa didapatkan dari ‘ngomong’ bahasa Aceh? Jawabannya paling tidak kita menjadi pasukan yang gigih dan gagah dalam ‘medan perang bahasa’ yang sebutkan di atas tadi. Bagi yang memang tidak bisa bahasa Aceh, mungkin agak bisa ditolerir oleh pihak yang peduli terhadap adat dan budaya Aceh, tapi ada orang tulen tinggalnya tepi pantai atau di pinggir gunung dan bisa berbahasa Aceh tulen, hijrah ke kota peugah haba meukeulido sang aneuk Jakarta barô teuka u Aceh (berbicara dengan bahasa celat seolah-olah anak Jakarta yang baru datang ke Aceh) menjadi pasukan yang lari dari ‘medan perang’ di mata mereka. Sudah banyak masyarakat Aceh yang tidak bangga menjadi suku Aceh.

Bahasa Aceh mulai pudar, di lingkungan masyarakat dan lingkungan pemerintahan. Di Aceh ini dalam rapat “adat” sekalipun, pidato, diskusi banyak mengunakan bahasa Indonesia daripada bahasa Aceh sendiri. Entah karena malu, atau mungkin bahasa Aceh dianggap bahasa tidak “gaul” oleh sebagian masyarakat Aceh. Malah kadang-kadang komunikasi hari-hari dengan sesama ‘Aceh’ ada bahkan banyak yang menggunakan bahasa Indonesia (malu menggunakan bahasa sendiri). Apalagi dalam acara-acara yang menyangkut masalah pemerintahan, entah tujuannya supaya menjadi masyarakat yang “nasionalis” atau memang karena malu menggunakan bahasa Aceh karena dianggap bahasa norak (kampungan). Sebenarnya jika ada rasa ingin menjadi nasionalis dengan cara seperti itu justru tidak akan berjiwa nasional, sebab tidak melestarikan apa yang dibanggakan nasional itu sendiri, yaitu keanekaan adat budaya.

Hal ini tentu sangat memprihatinkan. Kepunahan bahasa adalah juga kepunahan sejarah peradaban. Jika satu kaum berhenti menggunakan suatu bahasa, maka kaum tersebut kehilangan beberapa kemampuan natural dari bahasa mereka. Jika bahasa Aceh lenyap, maka satu babak sejarah Aceh juga akan hilang.

Mungkin permasalahan ini juga karena pengaruh global, tetapi pribadi masyarakat Aceh lain dari yang lain dewasa ini. Suku lain, seperti Padang, mereka juga termasuk provinsi/ kota besar, banyak suku lain juga ada di sana, tetapi bahasa mereka (bahasa Minang) tetap nomor satu, hampir tak ada yang mengaku Padang tidak bisa bahasa Minang. Misalnya suku lain datang ke sana dan mereka tahu bahwa orang tersebut tidak bisa bahasa Minang, tetapi tetap mereka tegur pertama dengan bahasa mereka, dan jika kita menetap di satu daerah mereka, paling seminggu atau dua minggu mereka layani kita dengan bahasa Indonesia, mau tidak mau harus mempelajari bahasa mereka jika menetap di lingkungan mereka. Kemungkinan besar mereka juga akan menang dalam ‘peperangan ini’.

Permasalahan ini merupakan tanggung jawab suatu bangsa (dalam konteks ini; bangsa Aceh) yang masih hidup sekarang kepada nenek moyang yang sudah berpulang. Memang menggunakan bahasa apapun adalah hak pribadi seseorang, tapi bahasa merupakan ciri khas bangsa/ suku. Mencintai negara/ bangsa/ suku adalah bagian dari iman, melestarikan adat dan budaya adalah salah satu bentuk kecintaan terhadap negara/ bangsa/ suku.

Sebagai warga negara, seharusnya tidak hanya memiliki jiwa nasionalis, tetapi juga harus mempunyai jiwa regionalis dalam konteks ini, artinya tetap menjaga dan melestarikan adat budaya regional sendiri di samping juga melestarikan adat budaya nasional. Bayangkan jika sebuah bangsa tidak punya bahasa tetap, memakai bahasa orang sebagai alat komunikasi sesama, sungguh tidak mempunyai jati diri sebagai bangsa.

Permasalahan adat dan budaya, yang mestinya dibudayakan oleh bangsa ini, bukan hanya oleh budayawan yang membudayakannya karena gaji.

Permasalahan ini solusinya tergantung kepada pribadi masing-masing, semoga kita semua sebagai masyarakat Aceh bangga dengan keacehan kita.

(Meu’ah meunyo opini ceuramah nyoe jeuet keu saboh nyang meusinggông peurasaan peumbaca banmandum)

Sumber: jeumpa.wordpress.com

Comments (1)

Nyan keuh nyan !!! awak agam ngon dara aceh jinoe dok bak peutimang budaya gaul ( budaya kaphe ) tapi budaya endatu ka di peulikot !!!

Post a Comment