Seks, Video, dan Publisitas
Posted by mochihotoru | Posted in Analysis, Culture, Education, Healthy Life, Medicine, Science, Social | Posted on 7:58:00 PM
Oleh Er Maya Nugroho
Masih menghangat video intim pasangan ‘mirip artis’ itu bertebaran di jagad maya. Gambar hidup yang selayaknya disimpan untuk konsumsi pribadi malah laris manis dinikmati publik bak kacang rebus. Diunduh dan lalu disebarkan, dan kini dikomersilkan. Berita ‘panas’-nya bahkan masih menjadi trending topics di situs microblogging, semacam Twitter dan Facebook.
Pelakon pria dan wanita utama di dalamnya ditengarai adalah pesohor negeri ini. Hebatnya, ditelisik lebih mendalam, sang pria dalam video intim itu dikabarkan memiliki lagi berpuluh video privatnya dengan sejumlah wanita, teman tidurnya. Lalu benarkah, si pria memiliki perilaku seks yang menyimpang?
Pakar seksologi, Dr. Boyke Dian Nugraha menilai orang yang membuat video porno diri sendiri termasuk dalam penyimpangan seksual, yaitu skopofilia (scopophilia). Skopofilia sendiri berasal dari bahasa Yunani, scopos, berarti melihat, dan philia yang bermakna kesenangan. “Jadi, mendapat kesenangan seksual dengan melihat objek erotis,” jelas Boyke.
Penyimpangan seksual ini bisa dikaitkan dengan unsur narsisme, atau kecintaan berlebihan terhadap diri sendiri. Dari kacamata psikologi, perilaku narsis pada seks ini terpengaruh karena dorongan/ kecenderungan untuk memamerkan bagian tubuhnya, atau yang akrab disebut ekshibitionisme (exhibitionism). Pamer tubuh inilah yang menjadi salah satu upaya pelaku untuk membirahikan diri.
Seperti yang diungkap pada buku klasik Dictionary of Psychology karangan Howard C. Warren, dalam kesehariannya, pelaku ekshibisionisme justru terlihat kentara pada kaum hawa, meski kecenderungan seperti itu tidak mereka sadari muncul di alam bawah sadarnya dan bersifat kompulsif atau sukar dihindari/ ditolak.
Lalu, jika banyak wanita senang tanpa sadar membiarkan tubuhnya dinikmati mata pria yang seakan ‘menelanjangi’ atau ‘menjamah’, maka kebanyakan pria pun lantas merasa terbirahi dengan menikmati dan memandang kemolekan tubuh lawan jenisnya—yang secara otomatis menjadi sebuah barang murah belaka. Hal inilah yang lalu memunculkan fenomena lain, seperti yang telah disebutkan di atas, yaitu skopofilia.
Dengan memahami dua kata kunci di atas, ekshibisionisme dan skopofilia, maka proses take and give pun telah berjalan. Ada pihak yang senang pamer, dan ada pihak yang gemar menikmati. Ya, hubungan mutualisme dalam seks itu telah terwujud. Namun, adakah hubungan mutualisme jika menilik kasus video ‘panas’ yang santer beredar saat ini?
Ya, tentu saja ada. Keberuntungan sekaligus kepuasan itu ada pada perekam gambar. Sebagai pelakon sekaligus pelaku skopofilia, dirinya merasa puas, karena inilah sarana tepat untuk membangun perasaan hebat dan percaya diri. Kepuasan yang menjadi obat manjur atas penyakit rendah diri yang pernah hinggap dalam diri pelaku.
Lantas, bagaimana dengan para ‘korbannya’? Kesediaan para wanita dikorbankan (baca: direkam) tak lepas dari peran mereka yang ikut pula menikmati keintiman itu. Mereka turn on dan tersebutlah mengalami sexual addict, sebentuk perasaan ternikmati, terpuaskan bahkan terangsang, hingga akhirnya mereka tak kuasa menolak untuk ‘dikorbankan’.
Sayang, pengorbanan mereka akhirnya justru malah membuat mereka buntung. Momen intim yang unforgetable itu pun harus jatuh ke tangan yang salah, ‘ketelanjangan’ mereka dinikmati gratisan, digandakan, dan lantas diperjualbelikan dengan harga yang sangat-sangat miring.
Seks adalah hal yang sangat intim dan pribadi—bahkan suci, namun kenyataannya narsisme berbuah publisitas menjadikan seks tak lagi privasi. Kecanggihan teknologi telah membuat sebagian orang menuntaskan kenarsisan itu dengan cara yang salah. Lalu haruskah video tape dan kamera kita musnahkan saja?
Ya, kasus video seks ‘mirip artis’ yang beredar saat ini telah mengingatkan saya pada judul sebuah film “Sex, Lies and Videotape” Bahwa seks dalam video tape itu bukanlah sebuah kebohongan kepada publik, toh, video itu nyata-nyata sudah beredar cepat ke seantero negeri.
Jadi sekali lagi, memang menjadi hak sepenuhnya bagi Anda dan setiap pasangan manapun untuk mengabadikan setiap momen intimnya. Namun bijak kiranya jika Anda bersedia menahan diri, apapun alasannya. Karena sebuah hasrat hendaknya jangan terlalu dipenuhi, karena bisa berdampak buruk, menyesatkan.
Comments (0)
Post a Comment