Haul Sang Proklamator Kian Terkikis Maknanya

Posted by mochihotoru | Posted in , , | Posted on 5:58:00 PM

Oleh Endang Sukarelawati

Haul yang berarti memperingati hari wafat seseorang yang sudah meninggal dan dilakukan setiap tahun terutama dilakukan oleh masyarakat yang masih memegang teguh “ugeman” budaya tradisional dan ritual masyarakat Jawa.

Seperti masyarakat Jawa lainnya, hari wafatnya sang proklamator Kusno Sosrodihardjo alias Ir. Soekarno alias Bung Karno (6 Juni 1901-21 Juni 1970) diperingati masyarakat dengan acara ritual selamatan sesuai ritual Jawa.

http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/0/01/Presiden_Sukarno.jpg

Acara sakral itu juga diselipi ‘umbo rampe’ semaan Alquran, pembacaan surat Yasin (Yasinan) maupun doa bersama yang digelar dua hari berturut-turut (19-20 Juni) yang dipusatkan di Gedung Perpustakaan Bung Karno yang berada di areal pemakaman maupun di Istana Gebang Jalan Sultan Agung 59 Blitar.

Acara Haul yang sebelumnya diisi selamatan rutin tahunan yang diselenggarakan pihak keluarga besar Bung Karno di Blitar nampaknya perlahan-lahan mulai berubah dan makna mendalam peringatan haul itu sendiri mulai terkikis bahkan antusiasme masyarakat yang beberapa tahun silam begitu besar juga mulai memudar.

“Saya sendiri sebagai masyarakat Blitar yang mencintai keberadaan Bung Karno sebagai pemimpin besar juga tidak tahu mengapa dari tahun ke tahun antusias masyarakat mendatangi acara haul ini juga terus menurun dan kalaupun datang ya hanya sekadar datang saja, tidak punya ‘greget’ memaknai haul itu sendiri,” kata salah seorang warga di kawasan Istana Gebang, Herman.

Menurut dia, beberapa tahun lalu, masyarakat dengan ikhlas datang bahkan warga yang mampu juga membawa nasi tumpeng untuk selamatan bersama-sama dengan keluarga besar Bung Karno yang tinggal di Istana Gebang.

Sekarang, katanya, haul Bung Karno menjadi tidak lebih dari sekedar ritual seremonial atau formalitas belaka, karena yang terlibat dalam peringatan itu lebih banyak ditangani oleh pemerintah.

“Sebenarnya kami senang pemerintah ikut turun tangan membantu melestarikan acara haul Bung Karno ini dengan biaya dari pemerintah (APBD), tapi sekarang yang dilibatkan banyak dari pemerintahan bukan dari keluarga Bung Karno sehingga haul ini menjadi hampa dan hanya bermakna formalitas tahunan saja,” tegasnya.

Sementara warga lainnya, Andika Irianto, mengatakan, penurunan jumlah pengunjung saat peringatan haul Bung Karno yang dirasakan dalam beberapa tahun terakhir ini disebabkan beberapa kondisi di antaranya acara haul hanya menjadi acara seremonial yang statis dan “ketidakrukunan” putra-putri Bung Karno sendiri akibat berseberangan politik.

Ia mengakui, sebelum putra-putri sang Putra Fajar itu terjun ke dunia politik, acara haul begitu bermakna dengan kehadiran putra-putri Bung Karno bersama keluarga besarnya.

“Mereka masih memperhatikan dan bergaul dengan rakyat kecil, tapi sekarang Bu Mega, Mas Guruh, Guntur saja tidak pernah datang,” katanya.

Sekarang yang rajin datang pada haul Bung Karno, katanya, hanya Bu Rachmawati Soekarnoputri, kadang-kadang juga Bu Sukmawati.

“Tapi kalau datang bersamaan ya tidak saling bertegur sapa, kondisi ini yang membuat kami prihatin apalagi setelah Bu Mega mencalonkan diri sebagai presiden tahun 2004, masyarakat semakin enggan datang ke acara haul yang sebenarnya penuh makna ini,” katanya.

Ketidakakuran putra-putri Bung Karno juga terlihat jelas ketika Sukmawati Soekarnoputri yang datang belakangan di acara pengajian akbar haul Bung Karno ke-39 di Gedung Perpustakaan Bung Karna yang berlokasi di areal pemakaman.

Rachmawati yang datang lebih dulu bersama rombongan sama sekali tidak ditoleh sedikitpun oleh Sukmawati, hanya dilewati saja.

Sukmawati justru menghampiri istri Wali Kota dan Bupati Blitar, padahal tempat duduk istri Bupati Blitar melewati Rachmati, namun keduanya tidak saling bertegur sapa apalagi berjabat tangan.

Tak Mengultuskan

Sebagai upaya untuk meneruskan perjuangan dan melestarikan nilai-nilai yang diwariskan Bung Karno, tradisi haul untuk mengenang semua yang berkaitan dengan The Founding Father itu akan terus dibenahi.

Tradisi haul Bung Karno ini bukan untuk mengultuskan atau mendewa-dewakan Bung Karno, namun melalui momentum ini, kita sebagai pewaris kemerdekaan menundukkan hati, bersimpuh dan berdoa kepada Tuhan agar arwah Bung Karno diterima di sisi-Nya,” tegas Ketua Panitia Pelaksana, Kasmiadi.

Menurut dia, di tengah banyaknya masalah yang masih akrab dengan bangsa ini, satu masalah krusial yang dihadapi bangsa saat ini adalah krisis nasionalisme dan disorientasi, maka sudah sepantasnya masyarakat Indonesia kembali pada sosok teladan, sang pemersatu bangsa, Bung Karno.

Dalam kondisi negara yang ada saat ini, katanya, pemikiran Bung Karno yang tercetus dalam “Tri Sakti” yakni bagaimana dapat berdaulat di bidang politik, berdikari di bidang ekonomi dan kepribadian di bidang kebudayaan masih layak untuk diterapkan termasuk konsep nasionalisme untuk memperkokoh kehidupan berbangsa dan bernegara.

Senada dengan Kasmiadi, Wali Kota Blitar, Drs. H. Djarot Saiful Hidayat, MS juga menolak jika acara haul Bung Karno yang menjadi tradisi tahunan di daerah itu sebagai bentuk dari pengultusan ataupun mendewa-dewakan terhadap sang proklamator.

“Kami hanya ingin memberikan penghargaan sekaligus untuk mengenang semua jasa-jasa Bung Karno tehadap bangsa Indonesia yang begitu besar. Kami sama sekali tidak ada niat mengultuskan atau mendewakan Bung Karno,” tegasnya.

Acara haul Bung Karno ke-39 waktu lalu yang dirangkai dengan berbagai acara lainnya seperi pementasan budaya itu tidak seramai tahun-tahun sebelumnya dan ada pergeseran termasuk makna haul itu sendiri juga mulai memudar oleh banyak kepentingan termasuk kepentingan ekonomi.

http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/2/20/Altar_ruang_tamu.jpg


Refleksi Perjalanan Haul

Semula haul hanya diperingati oleh keluarga secara sederhana dan khidmat, dengan memanjatkan doa-doa, puji-pujian kepada Sang Pencipta dan melakukan pembacaan tahlil serta surah Yasin di makam maupun di kediaman Istana Gebang yang hanya dihadiri kerabat dekat penyelenggara, yakni Ibu Wardoyo.

Secara rutin doa-doa dan tahlil selalu dilaksanakan setiap satu tahun sekali dengan imam tahlil yang berganti-ganti oleh para ulama dari Blitar, namun sejak tahun 1987, atas inisiatif Ibu Wardoyo yang diwakili Ny. Sukartini Saroyo dan dibantu Islan Gatot Imbata serta H.Bakri, acara selamatan ritual Islam itupun dilaksanakan secara lengkap dengan istilah haul.

Sejak adanya istilah haul tersebut akhirnya pengajian diadakan secara terbuka di halaman Istana Gebang dengan memberikan kesempatan kepada keluarga Bung Karno untuk memberikan sambutan.

Pada waktu itu diwakili oleh Rachmawati Soekarnoputri sedangkan tokoh publik yang terlibat dalam acara haul adalah Ketua PBNU H. Mahbub Junaedi dan pengajian diisi oleh pengasuh Ponpes Tebuireng KH. Yusuf Hasyim.

“Sejak peringatan haul terbuka, masyarakat mulai berduyun-duyun dalam acara haul berikutnya, bahkan tokoh-tokoh masyarakat dan pejabat juga banyak yang datang yang akhirnya membuat putri Bung Karno, Rachmawati melibatkan anak didiknya dari Yayasan Pendidikan Soekarno (YPS),” kata Impuni Herman yang juga cucu Ibu Wardoyo (sepupu Bung Karno).

Pada tahun 1992, atas prakarsa pimpinan kelompok Pemuda Nasionalis, Drs. Zond Maoeni, acara haul diperingati secara resmi oleh kalangan pejabat pemerintah. Selanjutnya diperingati dengan menghadirkan Emha Ainun Nadjib, Hasyim Muzadi, dan Erros Djarot.

“Puncak dari diakuinya acara haul Bung Karno secara resmi oleh kalangan pemerintah pada tahun 1998, ketika itu tokoh-tokoh besar seperti Gus Dur dan Megawati juga datang,” ujarnya.

Tindak lanjut perhatian dan pengakuan pemerintah terhadap haul Bung Karno tersebut terwujud bertepatan dengan peringatan satu abad Bung Karno yang dihadiri oleh Presiden KH. Abdurrahman Wahid dan Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri pada tahun 2001 serta diterbitkannya koin emas dan perangko satu abad Bung Karno.

Sumber: Formatnews

Comments (0)

Post a Comment