Fundamentalisme Zionis Yahudi-Kristen: Sebuah Deskripsi
Posted by mochihotoru | Posted in Analysis, Christianity, History, Politics, Protestant, Religions, World | Posted on 7:11:00 PM
Zionisme Kristen sederhananya dapat didefinisikan sebagai dukungan Kristen sepenuhnya terhadap Zionisme Yahudi. Bapak Zionisme Yahudi, Theodore Herzl (seorang agnostik; lihat foto), melalui tulisannya Der Judenstaat (terbit 1896) telah menyuarakan dengan kuat aspirasi Zionis, yaitu kehendak orang-orang Yahudi Diaspora (yang terserak-serak di Eropa Barat, Eropa Timur dan daerah Balkan) untuk memiliki negeri sendiri. Pada tahun 1897 di dalam Kongres Zionis Dunia I di Basel, Swiss, cita-cita Zionis dirumuskan dalam suatu seruan agar “kepada orang-orang Yahudi diberikan suatu negeri yang kehidupan publiknya aman dan memiliki kekuatan hukum yang terjamin di tanah Palestina.” Dukungan politik resmi, pertama dan sepenuhnya, terhadap aspirasi Zionisme ini datang dari Arthur James Balfour (1848-1930), seorang politikus (menlu) Inggris terpenting pada zamannya, ketika ia pada tanggal 2 November 1917 mendeklarasikan secara terbuka bahwa pemerintah Inggris mendukung “….pendirian suatu Tempat Tinggal Nasional (a National Home) bagi bangsa Yahudi di tanah Palestina, dan akan berusaha sebaik-baiknya untuk memudahkan tercapainya tujuan ini, ...” Deklarasi ini dikenal sebagai Deklarasi Balfour.
Arthur J. Balfour dibesarkan dalam suatu keluarga Kristen injili yang saleh dan sangat bersimpati terhadap Zionisme karena pengaruh ajaran dispensasionalisme John N. Darby yang ditekuninya. Sejalan dengan kepentingan-kepentingan pragmatis politik luar negeri Inggris, posisi dan peran politisnya yang sangat kuat telah dimanfaatkannya untuk menerjemahkan skema dispensasionalisme pra-milennial ke dalam suatu bentuk material yang kongkret, yaitu pendirian a National Home bagi bangsa Yahudi, yang kemudian, pada 1948, terwujud dalam bentuk Negara Israel Modern.
Deklarasi Balfour ini telah memberikan kepada Zionisme, untuk pertama kalinya, suatu legitimasi politik internasional, dan ini menjadi pendorong kuat bagi kaum Zionis Kristen dan Zionis Yahudi untuk menguasai dan mendiami Palestina, tanpa memerhatikan apalagi memperhitungkan sejumlah, pada waktu itu, 700.000 orang Arab-Palestina yang sedang mendiami tanah itu di mana 10% di antaranya, pada waktu itu, adalah orang-orang Arab Kristen. Ketidakjelasan yang disengaja atas apa yang dimaksud dengan “a National Home” dalam Deklarasi Balfour―apakah “a Home” ini sinonim dengan suatu negara berdaulat, kalau ya, di mana batas-batas geografis teritorialnya, apakah teritorinya akan mencakup seluruh wilayah Palestina ataukah sebagian saja dari padanya, atau lebih luas lagi, lalu mengapakah yang disebut hanya tanah Palestina, sedangkan orang-orang Arab-Palestina sebagai penduduknya tidak disebut-sebut, dan bagaimanakah status kota Yerusalem ke depannya― telah menjadi penyebab selalu terhalang dan gagalnya segala perundingan yang bertujuan untuk mencapai kedamaian di Negara Israel dan kawasan Timur Tengah umumnya pada masa kini, seperti telah diatur dalam The Road Map to Peace yang diprakarsai dan dirancang Amerika Serikat, PBB, Uni Eropa, dan Rusia.
Di Amerika Serikat, mendahului gerakan Zionis Theodore Herzl di Eropa, William E. Blackstone, tokoh Kristen Zionis Amerika, pada bulan Maret 1891 melobi Presiden Amerika Serikat, Benjamin Harrison, dan mengajukan petisi pro-Yahudi yang ditandatangani tidak kurang dari 413 pemimpin Kristen dan Yahudi terkemuka Amerika. Petisi ini, yang kemudian dikenal sebagai Memorial Blackstone, mengajukan suatu solusi atas masalah yang dihadapi bangsa Yahudi:
“Mengapa tidak memberikan kembali tanah Palestina kepada [orang-orang Yahudi]? Sejalan dengan tindakan Allah menyebarkan bangsa-bangsa ke tempat-tempat di bumi, Palestina adalah tempat tinggal orang-orang Yahudi, suatu harta pusaka milik mereka yang dari padanya mereka telah disingkirkan dengan paksa... Mengapa para pemimpin dunia ini yang di bawah Perjanjian Berlin tahun 1878 telah memberikan Bulgaria kepada orang-orang Bulgaria dan Serbia kepada orang-orang Serbia, sekarang ini tidak memberikan tanah Palestina kepada orang-orang Yahudi?”
Meskipun Presiden Harrison tidak menuruti amanat petisi itu, namun Memorial Blackstone itu telah menjadi sesuatu yang sangat penting dalam mendorong para aktivis Zionis Kristen dan Yahudi Amerika selama lebih dari 60 tahun ke muka, sampai berdirinya Negara Israel Modern. Pada suatu rapat besar Zionis Yahudi yang diadakan di Los Angeles pada bulan Januari 1918, dengan sadar Blackstone melandaskan politik Zionisnya ini, yang sudah diperjuangkannya selama 30 tahun, pada keyakinan teologis dispensasionalisme: “[Hal ini saya lakukan] karena saya percaya bahwa Zionisme sejati didirikan atas dasar rencana, tujuan, dan perintah dari Allah yang Mahakuasa dan kekal, sebagaimana secara profetis telah dicatat dalam Firman Kudus-Nya, Alkitab.” Karena komitmennya yang dalam pada gerakan Zionisme di Amerika, Blackstone, oleh sahabat karibnya, Louis Brandeis, seorang Hakim Agung Yahudi pertama dalam Mahkamah Agung Amerika Serikat, dinyatakan sebagai Bapak Zionisme: “You are the Father of Zionism as your work antedates Herzl.” Bersama-sama dengan Brandeis, Blackstone, sejak pencanangan Memorial-nya, terus bekerja selama beberapa dasawarsa ke depan untuk meyakinkan rakyat Amerika dan khususnya para Presiden Amerika yang secara berkala berganti, untuk mendukung agenda perjuangan Zionisme.
Setelah Perang Dunia I berakhir, dan kemenangan berada di pihak sekutu, maka negara-negara sekutu pun membagi-bagi “tumpeng” Timur Tengah ke dalam “kawasan-kawasan pengaruh” (spheres of influence); dan Inggris mendapat mandat untuk memerintah di tanah Palestina sebagaimana ditetapkan oleh Liga Bangsa-bangsa waktu itu. Deklarasi Balfour pun dilaksanakan. Maka, pada 14 Mei 1948 Negara Israel Modern didirikan, dengan menelantarkan satu juta orang Arab-Palestina yang terusir dari tanah Palestina. Inilah awal kemenangan Zionisme, yang bagi kalangan Kristen Zionis dispensasionalis merupakan awal dari serangkaian peristiwa di Tanah Israel yang masih akan terjadi dan tengah dinanti-nantikan, sesuai nubuat para nabi, beberapa di antaranya: perluasan wilayah Tanah Israel sehingga mencakup wilayah-wilayah yang pernah dikuasai raja Daud dalam sejarah Israel kuna; kembalinya orang-orang Yahudi Diaspora ke Tanah Israel; pembangunan Bait Allah ketiga di kawasan Bukit Bait (Temple Mount), yang kemudian, menurut perspektif dispensasional, akan diduduki dan dinajiskan oleh sang Antikristus (Dajjal) persis sebelum Kristus datang kembali untuk mengangkat gereja Kristen ke surga; dan perang dahsyat Armagedon. Ini semua akan membawa dan menyeret dunia ke dalam kemelut dan kesengsaraan besar, selanjutnya tibalah pemerintahan Milennium, yang akan didahului oleh kedatangan Yesus Kristus (Yeshua Hamassiach) kembali yang akan menegakkan kedaulatan Yahudi atas dunia melalui pemerintahannya di kota Yerusalem. Orang-orang Kristen Zionis di mana pun harus mengupayakan segala hal apa pun untuk semua nubuat ini dipenuhi.
Dalam Kongres Zionis Dunia ke-27 (1968) di Yerusalem, Zionisme Yahudi dirumuskan dalam lima prinsip: 1) kesatuan orang-orang Yahudi dan keutamaan Negara Israel dalam kehidupan orang-orang Yahudi; 2) berkumpulnya kembali orang-orang Yahudi di negeri historik mereka, Eretz Israel; 3) penguatan Negara Israel Modern; 4) pemeliharaan identitas orang Yahudi; dan 5) perlindungan hak-hak orang Yahudi. Dua orang Rabbi Yahudi membuat lebih jelas dan tegas, apa itu Zionisme. Rabbi Shlomo Aviner (dikutip 1999) menegaskan “Kita tidak boleh lupa… bahwa tujuan paling utama dari dikumpulkannya kembali orang-orang Yahudi yang terserak-serak di negeri-negeri pembuangan dan pendirian Negara Israel Modern adalah pembangunan Bait Allah. Bait Allah ada di puncak piramida [perjuangan kita].” Hubungan antara teologi dan politik di dalam Zionisme Yahudi dengan gamblang dan tegas dinyatakan oleh Rabbi Yishrael Meida, “Ini adalah suatu perkara kedaulatan. Orang yang mengontrol Gunung Bait Allah, mengontrol Yerusalem. Dan orang yang mengontrol Yerusalem, mengontrol Tanah Israel.” Dari dua pernyataan ini pokok-pokok terpenting dari Zionisme Yahudi kelihatan jelas: menjadikan bangsa Yahudi berdaulat atas Tanah Israel dan kota Yerusalem, dan membangun Bait Allah; semuanya ini dapat dicapai hanya melalui Negara Israel Modern yang harus terus diperkuat.
Zionisme Kristen Masa Kini
Berdirinya Negara Israel Modern pada 1948 dipandang kalangan Kristen Zionis sebagai sepetik berita profetis terbesar dalam abad ke-20, suatu kabar tentang pemenuhan terpenting dari nubuat Kitab Suci, antara lain Yeremia 3:14, 18:
“Kembalilah, hai anak-anak murtad, ... Aku akan mengambil kamu, seorang dari setiap kota
dan dua orang dari setiap keluarga, dan akan membawa kamu ke Zion … pada masa itu kaum Yehuda akan pergi kepada kaum Israel, dan mereka akan datang bersama-sama dari negeri utara ke negeri yang telah Kubagikan kepada nenek moyangmu menjadi milik pusaka.”
“Datang bersama-sama dari negeri utara” ditafsir sebagai kembalinya orang-orang Yahudi dari negara-negara Rusia, Polandia, Jerman dan negara-negara lain di Eropa Timur dan daerah Balkan. Yeremia 16:14-15 juga ditafsir kalangan dispensasionalis dari sudut restorasionisme Zionis: “Sebab waktunya akan datang …. Aku akan membawa mereka pulang ke tanah yang telah Kuberikan kepada nenek moyang mereka.” Dalam argumentasi seorang dispensasionalis, kendati pun teks-teks ini pada konteks sejarahnya mengacu pada kembalinya Israel dari pembuangan di Babilonia, namun kalau teks-teks tersebut dipandang sebagai “nubuat lintas-zaman,” maka sebetulnya teks-teks ini “melihat ke depan, kepada peristiwa-peristiwa yang jauh lebih besar daripada kembalinya orang Yahudi dari Babilonia di bawah pimpinan Zerubabel”, yaitu kepada peristiwa pengumpulan kembali orang Yahudi untuk keduakalinya di zaman modern dari segala penjuru dunia, terutama dari negeri-negeri utara. “Negeri pusaka yang Allah telah berikan kepada nenek moyang Israel” yang akan dipulihkan kembali, ditafsir telah digenapi melalui Perang Enam Hari Israel (4-7, 9-10 Juni 1967) dalam melawan Yordania, Suriah, Mesir, dan Irak, yang membuat Israel menguasai Yerusalem (termasuk Kota Lama Yerusalem), Tepi Barat, Jalur Gaza (Samaria), Dataran Tinggi Golan, dan Sinai
Menyusul kemenangan-kemenangan spektakuler Israel dalam Perang Enam Hari itu, ayah mertua Billy Graham, Nelson Bell, yang pada waktu itu menjadi editor majalah Christianity Today, menyuarakan perasaan-perasaan banyak orang Kristen Injili Amerika pada waktu itu, ketika ia, di dalam editorial majalah itu, menulis, “untuk pertama kalinya dalam kurun waktu lebih dari 2000 tahun Yerusalem kini sepenuhnya berada kembali dalam kekuasaan orang-orang Yahudi; dan fakta ini memberikan suatu kepercayaan yang dibarui dan tergairahkan kepada setiap orang yang mempelajari Alkitab bahwa Alkitab itu benar dan sah.” Perang Enam Hari itu dilegitimasi dengan penjelasan teologis oleh Zionis Kristen, ketika mereka menyatakan bahwa: Allah ingin memberikan kepada umat-Nya bagian dari tanah yang tidak mereka terima pada tahun 1948. Hasil dari Perang Enam Hari adalah bahwa Yudea dan Samaria, dan Kota Lama Yerusalem, ibukota kerajaan Daud, dikembalikan kepada pemilik semula.
Dalam tahun 1976 terjadi serangkaian peristiwa yang membawa Zionisme Kristen langsung ke kancah politik arus utama Amerika Serikat. Berkat dukungan kalangan sayap kanan (sayap fundamentalis) kaum Kristen Injili Amerika, Jimmy Carter terpilih sebagai seorang Presiden yang sudah “lahir baru.” Setahun kemudian, di Israel Menachem Begin dan Partai Likud yang berhaluan politik fundamentalis (sayap kanan) memegang kekuasaan. Maka, lambat tapi pasti, terbangunlah suatu koalisi antara para politisi kanan, kaum Kristen injili, dan para pelobi Yahudi, di Amerika. Pada tahun 1978, Presiden Jimmy Carter mengakui bahwa kepercayaan-kepercayaan pro-Zionis yang dipegangnya telah memengaruhi kebijakan politik Timur Tengahnya; ia menyatakan, antara lain, bahwa Negara Israel adalah “suatu gerak kembali, pada akhirnya, kepada tanah ‘alkitabiah’ yang dari dalamnya bangsa Israel telah disingkirkan pada beratus-ratus tahun silam …Pendirian Negara Israel adalah pemenuhan dan hakikat sebenarnya dari nubuat-nubuat ‘alkitabiah’.” Tetapi, ketika Carter mulai ragu terhadap program-program pendudukan yang dengan agresif dilancarkan Partai Likud, dan mengusulkan suatu rencana untuk menciptakan suatu negara merdeka bagi orang-orang Arab Palestina, maka koalisi pro-Israel antara orang-orang Kristen injili dan orang-orang Yahudi dengan tanpa kasihan mengucilkannya, dan mereka mengalihkan dukungan mereka kepada Ronald Reagan dalam Pemilu 1980.
Ketika Reagan terpilih sebagai Presiden, maka dukungan Amerika kepada Zionisme Kristen bertambah besar dan luas. Pemerintahan Reagan bukan saja suatu pemerintahan yang paling pro-Israel dalam sejarah Amerika, tetapi juga memberikan jabatan-jabatan politik sangat penting pada beberapa orang Zionis Kristen. Bukan hanya Reagan, tetapi juga Kepala Departemen Kehakiman Amerika, Ed Meese, Sekretaris Departemen Pertahanan, Casper Weinberger, dan Mendagri James Watt, menganut kepercayaan pra-milenial dispensasional.
Dalam menjalankan pemerintahannya di Gedung Putih, Reagan secara teratur mengadakan seminar-seminar, dengan mengundang orang-orang Kristen Zionis fundamentalis seperti Jerry Falwell, Mike Evans, dan Hal Lindsey, untuk berbicara dan mengadakan kontak pribadi langsung dengan para pemimpin nasional dan Kongres. Sebagai contoh, pada tahun 1982, Reagan mengundang Falwell untuk memberikan suatu pandangan dan pengarahan kepada Dewan Keamanan Nasional mengenai kemungkinan pecahnya perang nuklir melawan Rusia. Hal Lindsey juga mengklaim bahwa Reagan telah mengundangnya untuk berbicara perihal perang dengan Rusia di depan para pajabat Pentagon. Di dalam suatu percakapan pribadi dengan Tom Dine, seorang pelobi senior Yahudi yang bekerja untuk American Israel Public Affairs Committee (AIPAC) yang dilaporkan dalam surat kabar The Washington Post, April 1984, Presiden Reagan menyatakan, “Anda tahu, saya berpaling kepada nabi-nabi kuna Perjanjian Lama dan kepada tanda-tanda yang meramalkan Perang Armagedon, dan saya sendiri jadi bertanya-tanya apakah kita ini adalah generasi yang akan melihat semuanya itu terpenuhi. Saya tidak tahu apakah Anda belakangan ini juga telah memerhatikan nubuat-nubuat para nabi itu; akan tetapi, percayalah kepada saya bahwa nubuat-nubuat itu menggambarkan masa-masa yang sekarang ini sedang kita jalani.”
Sementara George Bush Sr., Bill Clinton, dan George W. Bush, tidak tampak memegang keyakinan-keyakinan dan prapaham-prapaham pra-milennialisme dispensasional yang dipercayai Jimmy Carter dan Ronald Reagan, mereka toh tetap mempertahankan, mungkin dengan setengah hati, posisi kuat pro-Zionis para pendahulu mereka. Ini bisa terjadi terutama karena kuatnya pengaruh para pelobi Zionis yang dipandang banyak orang sebagai kelompok paling berkuasa di Amerika Serikat. Seperti telah disinggung di atas, Presiden Bush malah yakin bahwa di balik aksi-aksi militer Amerika Serikat terhadap Afganistan, yang sempat disebutnya sebagai “crusade” (perang salib) bangsa Amerika, dan terhadap Irak, terdapat rencana dan maksud Allah sendiri dalam pekerjaan-Nya di dunia ini, yakni untuk menghancurkan “axis of evil.” Tiga orang pemimpin Kristen evangelikal fundamentalis, Jerry Falwell, Pat Robertson, dan Hal Lindsey, yang pada masa pemerintahan Reagan diberi kewenangan untuk berbicara di Gedung Putih untuk menyampaikan visi-visi pra-milennial dispensasional mereka yang menyangkut Negara Israel dan pergolakan politik di Timur Tengah yang melibatkan negara-negara adidaya dunia, adalah orang-orang yang paling berpengaruh dalam empat dasawarsa terakhir ini dalam memantapkan kebijakan politik luar negeri Amerika untuk tetap pro-Zionis.
Falwell, Pat Robertson, dan Hal Lindsey, bersama-sama telah menjadi figur-figur simbolik terkemuka yang mempersatukan para pemimpin Kristen fundamentalis injili yang berpengaruh di Amerika, yang mencakup nama-nama seperti Zola Levitt, Oral Roberts, Mike Evans, Tim LaHaye, Kenneth Copeland, Paul Crouch, Ed McAteer, Jim Bakker, Chuck Missler, dan Jimmy Swaggart. Semuanya adalah para pemuka Kristen pro-Zionis; mereka membela kepentingan Israel melalui tulisan-tulisan dan siaran-siaran radio dan TV-satelit (network dan cable) mereka. Para pemimpin Kristen fundamentalis ini, bersama dengan organisasi-organisasi pro-Israel yang mereka pimpin, secara rutin dan teratur menjangkau lebih dari 100 juta orang Kristen Amerika, lebih dari 100 ribu pendeta; dan anggaran keuangan mereka, bila digabung, akan mencapai suatu jumlah yang besar, 300 juta dolar AS per tahun. Mereka membentuk suatu aliansi Zionis yang luas, fanatik, besar, dan ampuh dalam membentuk dan mengendalikan baik politik luar negeri Amerika Serikat di Timur Tengah maupun dukungan Kristen menyeluruh bagi Negara Israel. Hal Lindsey bahkan tanpa ragu menyamakan orang-orang Kristen lain yang anti-dispensasionalisme sebagai pendukung Nazisme yang anti-Semitik, karena, mereka, dalam penilaian Lindsey, menyangkal baik jati diri khas maupun masa depan bangsa Yahudi yang di dalam tujuan-tujuan Allah dengan dunia ini diberi tempat istimewa, yang karenanya harus didukung orang-orang Kristen.
Jerry Falwell, yang dengan mantap mengakui dirinya sebagai seorang Fundamentalis, adalah seorang pendeta dari Thomas Road Baptist Church dan pendiri serta rektor dari Baptist Liberty University yang mandiri, di Lynchburg, Virginia, dengan mahasiswanya berjumlah sekitar 10 ribu orang. Jerry Falwell Ministries mensponsori Jaringan Siaran TV Liberty dan program bersama Old Time Gospel Hour yang disiarkan 350 stasiun teve dan memiliki anggaran sebesar 60 juta dolar AS per tahun. Jerry Falwell juga mendirikan Moral Majority pada tahun 1979 sebagai bagian dari usahanya untuk menjadikan Amerika bangsa bermoral, yang anti terhadap homoseksualitas, aborsi, pornografi, dan dosa-dosa sosial lainnya (ironisnya usaha-usaha moral ini bertolakbelakang dengan keyakinan fatalistis dispensasionalismenya). Seperti umumnya orang-orang Kristen evangelikal, semula Falwell menjauhkan diri dari politik; tetapi ketika pada tahun 1967, dalam Perang Enam Hari, Israel berhasil merebut dan menguasai kawasan-kawasan lain di Timur Tengah dari negara-negara Arab tetangganya, Falwell pun, karena melihat "tangan Allah" bekerja dalam Perang Enam Hari itu, masuk ke dalam dunia politik dan menjadi seorang pendukung yang sangat bersemangat terhadap Negara Zionis. Sikap politik fundamentalisme Amerika Utara terhadap Negara Israel Modern kentara sekali dalam ucapan representatif dari Jerry Falwell, “We are Pro-American, which means strong national defense and the State of Israel” (lihat Jerry Falwell, “An Interview with the Lone Ranger of American Fundamentalism”, Christianity Today XXV, 15 [September 4, 1981] 21).
Pada tahun 1979, pemerintah Israel memberi Falwell sebuah pesawat jet untuk membantunya melaksanakan misinya membela kepentingan Israel. Setahun kemudian, 1980, Falwell menjadi seorang non-Yahudi pertama yang oleh Perdana Menteri Menachem Begin dianugerahi medali Vladimir Ze’ev Jabotinsky, sebuah penghargaan untuk mereka yang berjuang bagi keunggulan Zionis. Jabotinsky adalah pendiri Zionisme Revisionis dan berpandangan bahwa orang-orang Yahudi memiliki mandat ilahi untuk menguasai dan menduduki “kedua tepi (barat dan timur) Sungai Yordan” dan tidak bertanggungjawab pada hukum internasional. Dalam bulan Maret 1985, Falwell berbicara di hadapan Majelis Para Rabbi konservatif di Miami dan berjanji akan “memobilisasi 70 juta orang Kristen konservatif bagi Israel.” Pada Januari 1998, ketika PM Israel Benjamin Netanyahu berkunjung ke Washington, yang pertama dijumpainya bukan Presiden Clinton, tetapi Jerry Falwell dan The National Unity Coalition for Israel, suatu perhimpunan lebih dari 500 pemimpin Kristen fundamentalis. Dalam pertemuan itu, orang-orang dalam perhimpunan ini menyanjung Netanyahu sebagai “Ronald Reagan bangsa Israel.” Kali ini, Falwell berjanji akan menghubungi 200.000 pendeta dan pemimpin gereja untuk meminta Presiden Clinton mengakhiri tekanannya pada Israel yang mengharuskan Israel taat pada kesepakatan-kesepakatan Oslo (“Declaration of Principles”) yang ditandatangani di Washington 13 September 1993. Dalam suatu wawancara dengan surat kabar The Washington Post di tahun 1999, Falwell menegaskan bahwa Tepi Barat adalah “suatu bagian tidak terpisahkan dari negara Israel.” Memaksa Israel untuk menarik diri dari Tepi Barat, kata Falwell, adalah “sama dengan meminta Amerika memberikan Texas kepada Mexico, demi membangun suatu hubungan yang baik. Ini sungguh tidak masuk akal.” Falwell telah berhasil, barangkali lebih baik daripada pemimpin Kristen mana pun di Amerika, untuk meyakinkan para pengikutnya untuk mengakui bahwa adalah kewajiban mereka kepada Allah untuk memberikan dukungan tanpa syarat kepada Negara Israel.
Doktrin Diterjemah ke dalam Aktivitas Politik
Para penganut dispensasionalisme pra-milennial tidak membiarkan doktrin-doktrin mereka tinggal sebagai doktrin saja yang mengapung di awang-awang, melainkan menerjemahkannya ke dalam pelbagai aktivitas politik pro-Israel. Berikut ini suatu tinjauan dalam garis besar atas relasi doktrin dispensasionalisme pra-milennial dengan aktivitas-aktivitas politik para penganutnya.
1. Doktrin: Israel Umat Pilihan Allah
Keyakinan bahwa Israel adalah “umat khusus pilihan Allah” yang tidak bisa dibatalkan (selain teks-teks PL, kerap dirujuk Roma 11:28-29, “… tetapi mengenai pilihan, mereka [Israel] adalah kekasih Allah oleh karena nenek moyang. Sebab kasih karunia dan panggilan Allah tidak bisa diubah”) melahirkan kegiatan-kegiatan politik yang seratus persen berpihak kepada atau pro-Israel. Beberapa contoh dapat dikemukakan. Menyusul Perang Enam Hari di tahun 1967, kecuali satu-satunya dukungan dari Amerika Serikat, Negara Israel amat sangat dikucilkan dari komunitas dunia. Hal Lindsey pun meratap,
“Sampai pada Konferensi Madrid 1991, orang-orang Arab ‘diimbau’ sebanyak empat kali untuk ‘menaati’, ‘menghentikan’, ‘mengakhiri’, dsb. Tetapi Israel ‘dituntut’, ‘diperintahkan’, dsb., sebanyak tiga ratus lima kali, untuk melaksanakan keputusan Sidang Umum [PBB]. PBB membuat sebanyak 605 resolusi sejak berdirinya sampai Perang Teluk. Dari antaranya, sebanyak 429 atau sebesar 62 persen dari keseluruhan resolusi PBB melawan Israel atau kepentingan-kepentingannya.”
Maka orang-orang Kristen Zionis pun melihat peran mereka untuk menghibur Israel, dengan mengutip Yesaya 40:1-2, “Hiburkanlah, hiburkanlah umat-Ku, demikian firman Allahmu.”
Lalu, dalam bulan Oktober 2000, beberapa hari setelah Ariel Sharon melakukan perkunjungannya yang provokatif ke Haram Al-Sharif (kawasan pintu gerbang yang membawa masuk orang ke Bukit Bait, Temple Mount) yang waktunya diatur dengan seksama untuk merongrong pemerintahan Barak yang sedang bernegosiasi dengan Arafat untuk menjadikan Yerusalem sebagai suatu kota milik bersama (perkunjungan ini telah memicu perlawanan intifadah yang kedua), maka sebuah iklan muncul di The New York Times dengan judul “Surat Terbuka kepada Orang-orang Kristen Evangelikal dari Orang-orang Yahudi bagi Yesus (Jews for Jesus – yaitu, orang-orang Yahudi Kristen).” Di dalam iklan ini, mereka meminta orang-orang Kristen evangelikal untuk menunjukkan solidaritas mereka kepada Negara Israel pada saat-saat kritis ini:
“Sekaranglah waktunya untuk berpihak kepada Israel. Saudara-saudara di dalam Kristus, hati kami sangat berat ketika kami melihat gambaran-gambaran kekerasan dan pertumpahan darah di Timur Tengah… Rekan-rekan Kristen, “kasih karunia dan panggilan Allah itu tidak bisa diubah” (Roma 11:29). Begitu juga, dukungan kita bagi kehidupan dan ketahanan Israel di masa kegelapan ini tidak bisa diubah. Sekaranglah saatnya bagi orang-orang Kristen untuk berdiri di pihak Israel.”
Selain yang telah dikemukakan di atas tentang lobi-lobi Yahudi yang sangat kuat memengaruhi kebijakan luar negeri Amerika Serikat untuk kawasan Timur Tengah, bahkan juga sangat menentukan pemilihan-pemilihan presiden, beberapa hal lain dapat disebutkan. Pada tahun 1980 didirikanlah International Christian Embassy Jerusalem (ICEJ), dengan tujuan untuk mengoordinasikan “kegiatan-kegiatan lobi politik langsung dalam kerja sama dengan pemerintah Israel.” Salah satu sasaran utamanya adalah disingkirkannya kantor-kantor PLO di Negara-negara Barat dan dipindahkannya kedutaan besar Amerika Serikat dari Tel Aviv ke Yerusalem sebagai suatu bentuk pengakuan Amerika atas kedaulatan Israel atas kota Yerusalem.
Lembaga yang namanya National Unity Coalition for Israel (NUCFI) adalah jaringan Zionis terbesar dan paling berpengaruh yang telah didirikan di Amerika Serikat pada tahun 1994. NUCFI sekarang ini telah menjadi suatu koalisi besar dari 200 organisasi Yahudi dan Kristen yang berbeda-beda dan otonom, mewakili 400 juta orang anggotanya yang “bertekad bulat untuk menjadikan Israel sebuah negara yang aman.” Strategi utama mereka adalah melakukan lobi-lobi kepada media massa dan para politikus mapan papan atas Amerika Serikat, untuk menantang apa yang mereka sebut “disinformasi dan propaganda” yang disebar musuh-musuh Israel dan untuk mengungkapkan “kebenaran tentang Israel.” Ke dalam NUCFI telah bergabung tiga organisasi Kristen Zionis terbesar, yaitu Bridges for Peace, International Christian Embassy, dan Christians for Israel. Berkat kekuatan politik para pelobi Zionis, Amerika Serikat setiap tahunnya secara teratur mengikatkan diri untuk memberikan lebih dari tiga miliar dolar AS kepada Israel dalam bentuk pemberian, utang, dan bantuan.
Dukungan finansial besar kepada Israel juga datang dari kegiatan-kegiatan Holy Land tours yang dilaksanakan sebagai tanda solidaritas dengan Israel, sekaligus sebagai propaganda yang akan menimbulkan posisi pro-Israel dalam diri banyak orang Kristen injili sedunia. Dua orang pemuka Kristen injili Amerika, Pat Boone dan Jerry Falwell, adalah sekutu-sekutu Israel dalam mempromosikan pro-Israeli solidarity tours. Biro perjalanan ke Israel Friendship Tours milik Falwell, misalnya, memberikan kesempatan-kesempatan kepada para peserta untuk bukan hanya bertatap-muka dengan pejabat-pejabat tinggi pemerintah Israel dan pejabat-pejabat militer, tetapi juga untuk meninjau langsung medan-medan tempur Israel, mengadakan perkunjungan resmi ke instalasi dan posisi pertahanan strategis militer Israel, bahkan juga mengalami langsung perang yang dihadapi Israel sebagai suatu bangsa.
2. Doktrin: Restorasionisme
Orang-orang Kristen Zionis percaya bahwa adalah kehendak Allah untuk orang-orang Yahudi kembali ke Tanah Israel, sebab tanah ini, melalui ikatan perjanjian, telah diberikan Allah kepada keturunan-keturunan Abraham. Terkumpulnya kembali orang-orang Yahudi di Tanah Israel adalah pemenuhan nubuat para nabi PL. Dengan dipulihkannya status mereka sebagai pemilik sah Tanah Israel, maka akan menyusul kejadian-kejadian lain yang sedang dinanti-nantikan, antara lain, pembangunan kembali Bait Allah (sebagai Bait Allah ketiga) yang di dalamnya ibadah dan pemberian kurban-kurban yang diatur dalam Kitab Imamat akan dipulihkan. Restorasionisme semacam ini melahirkan kegiatan-kegiatan besar untuk memindahkan orang-orang Yahudi Diaspora (selain di Eropa Barat, tidak sedikit yang berdiam di negeri-negeri bekas Uni Soviet) kembali ke Tanah Israel. Emigrasi (Aliyah = “naik ke” Yerusalem) Yahudi besar-besaran, keluar dari negara-negara Eropa Barat dan Eropa Timur, kembali ke Tanah Israel, sedang berlangsung. Banyak organisasi atau agen perjalanan Kristen Zionis, yang tersebar di Eropa Barat dan Eropa Timur, dengan bekerja sama dengan organisasi-organisasi Yahudi, melaksanakan pemindahan besar-besaran ini, dengan dukungan dana sangat besar yang digali dari gereja-gereja Kristen evangelikal sedunia yang pro-Israel. Mereka mengurus hampir segala-galanya, dari dokumen-dokumen identitas dan perjalanan, transportasi darat, laut dan udara, sampai pada pemelajaran, pelatihan dan pemberian fasilitas-fasilitas dan sarana-sarana untuk hidup baru dan sehat di kawasan-kawasan pemukiman baru di Tanah Israel yang rawan penembakan gelap dan yang bagi para pendatang baru masih asing. Kawasan-kawasan pemukiman baru yang dibuka di tempat-tempat yang sebelumnya dihuni oleh orang-orang Arab Palestina (misalnya kawasan Tepi Barat) ditawarkan untuk “diadopsi”, dibiayai dan dipelihara, oleh gereja-gereja Kristen injili pro-Zionis.
3. Doktrin: Tanah Israel Seutuhnya Seperti Yang Dijanjikan
Bagi Zionisme Yahudi-Kristen yang memakai Kitab Suci sebagai petunjuk dan peta geografis, Tanah Israel, Eretz Israel, yang sah untuk bangsa Yahudi, dalam pandangan mereka, memiliki batas-batas yang jauh lebih luas ketimbang yang sekarang ini sedang diperdebatkan dengan Otoritas Palestina, Suriah, dan Yordania. Karena itu, orang-orang Kristen Zionis yang terlibat dalam usaha-usaha pemulihan Tanah Israel selalu mendukung dan membenarkan setiap aksi militer yang ingin memperluas batas-batas teritorial Negara Israel. David Allen Lewis, Presiden dari Christians United for Israel, menempatkan klaim Israel atas teritori mereka dalam konteks yang lebih luas Timur Tengah. Ia menegaskan, “Orang-orang Arab telah menguasai 99,5 persen kawasan Timur Tengah … hal ini tidak bisa dibenarkan.” Sudah dikatakan di atas, Perang Enam Hari pada tahun 1967 dipandang kalangan Zionis Kristen sebagai pekerjaan Allah untuk memberikan kepada Israel bagian-bagian tanah yang belum mereka terima pada tahun 1948, ketika Negara Israel didirikan.
Sejak 1967, dengan menggunakan berbagai insentif ekonomis dan perpajakan, dan juga dengan mengacu pada teks-teks Kitab Suci, pemerintah Israel telah berhasil mendorong 400 ribu orang Yahudi untuk mendiami Yerusalem Timur, Tepi Barat, Gaza, dan Dataran Tinggi Golan, melalui pembukaan 190 kawasan pemukiman baru yang, dilihat dari hukum internasional, illegal. Organisasi-organisasi Kristen Zionis mendukung penuh, secara politik dan finansial, usaha-usaha yahudisasi terhadap kawasan-kawasan pendudukan yang semula didiami bangsa Arab-Palestina atau atas kawasan-kawasan yang berupa bukit-bukit bebatuan yang kering dan tandus yang belum pernah didiami sama sekali selama ribuan tahun. Organisasi Jews for Jesus, misalnya, membandingkan pendudukan-pendudukan Israel atas kawasan-kawasan yang semula dimiliki bangsa Arab dengan pendudukan Texas oleh Amerika Serikat. Program-program “adopsi” dijalankan untuk memperkuat kawasan-kawasan pemukiman baru itu. Lembaga Christian Friends of Israeli Communities (CFOIC), yang didirikan Ted Beckett pada tahun 1995, dengan bekerjasama dengan Christian Friends of Israel (CFI), mengklaim telah berhasil menggerakkan 50 gereja di Amerika Serikat, Afrika Selatan, Jerman, Belanda, dan Filipina, untuk mengadopsi 39 kawasan pemukiman baru orang-orang Yahudi.
Melalui program bantuan-bantuan sosial, The International Christian Embassy Jerusalem (ICEJ) menyediakan dukungan finansial dan material terhadap proyek-proyek pembukaan dan pemeliharaan kawasan-kawasan pemukiman baru, termasuk juga program penyediaan rompi-rompi anti peluru untuk memperkuat kemauan para penghuni baru untuk bertahan diam di kawasan-kawasan yang rawan bahaya, yang kerap ditimbulkan oleh apa yang mereka gambarkan sebagai “tiga juta orang Palestina yang bermusuhan.” ICEJ juga berhasil menggalang dana sebesar 150 ribu dolar AS untuk membeli sebuah bus anti-peluru yang digunakan untuk memindahkan para pemukim keluar dan masuk dari dan ke kawasan-kawasan pemukiman baru yang dibuka di Tepi Barat dan Efrat. CFOIC meminta orang-orang Kristen untuk berdoa bagi keamanan para pemukim baru Yahudi dan bagi diakhirinya aksi-aksi teroris, dan agar pemberian tanah kepada orang-orang Palestina dihentikan dan, sebaliknya, orang-orang Yahudi makin banyak mendapatkan tanah.
4. Doktrin: Yerusalem Harus Dipertahankan Utuh
Bagi Zionisme Kristen dan Yahudi, kota Yerusalem seluruhnya, yang tidak dibagi-bagi, adalah ibukota abadi bagi kerajaan Daud dalam zaman PL yang dilanjutkan dalam Negara Israel Modern. Orang-orang Kristen Zionis dengan sangat kuat menolak setiap proposal apa pun yang mau menjadikan Yerusalem Timur sebagai ibukota Negara Palestina, atau sebagai kota yang dimiliki bersama tiga agama besar. Setelah Perang Enam Hari di tahun 1967, yang membuat Israel dikucilkan masyarakat internasional, orang-orang Kristen Zionis berjuang untuk dunia internasional mengakui Yerusalem sebagai ibukota Negara Israel.
Pada bulan Februari 1984, ICEJ mengirim seorang wakilnya, Richard Hellman, untuk berbicara di depan US Senate Committee on Foreign Relations di Washington dan mendesak Amerika Serikat untuk memindahkan kedutaan besarnya dari Tel Aviv ke Yerusalem dan mengakui kota itu sebagai ibukota Israel. Falwell dan American Israel Public Affairs Committee (AIPAC) juga melakukan gerak yang sama. Belakangan, Senator Bob Dole mengajukan suatu rancangan UU kepada Senat, yang kemudian disetujui, yang isinya mengharuskan Kedutaan Besar Amerika Serikat dibangun kembali di Yerusalem pada 21 Mei 1999, dan mengesahkan anggaran 100 juta dolar AS sebagai dana pendahuluan untuk tujuan tersebut. Dalam bulan Oktober 1995 ia menegaskan, “Ibukota Israel tidak dibicarakan dalam proses perdamaian, dan pemindahan kedutaan besar Amerika Serikat ke Yerusalem tidak akan memengaruhi hasil perundingan-perundingan apa pun di masa depan.” Akan tetapi Presiden Amerika Serikat tidak mau mengesahkan keputusan Senat itu; hal ini disesalkan Dole, dan ia memberikan komentarnya:
“Seperti telah berlaku selama tiga ribu tahun, Yerusalem pada masa kini juga adalah hati dan jiwa dari bangsa Yahudi. Kota ini pada masa kini juga, dan harus selamanya, menjadi ibukota abadi dan tidak terbagi-bagi dari Negara Israel … Waktunya telah tiba… untuk tidak hanya berbicara di atas kertas, untuk tidak hanya menyuarakan dukungan-dukungan, atau hanya membicarakan keputusan-keputusan Kongres. Waktunya telah tiba untuk melaksanakan UU itu sehingga memungkinkan tercapainya tujuan itu.”
Dalam tahun 1997, ICEJ mendukung sebuah iklan satu halaman penuh di The New York Times yang diberi judul “Orang-orang Kristen Menuntut suatu Yerusalem Yang Dipersatukan.” Pernyataan ini ditandatangani sepuluh pemimpin Kristen evangelikal, termasuk Pat Robertson, ketua Christian Broadcasting Netrwork dan Presiden Christian Coalition; Oral Roberts, pendiri dan ketua Oral Robert University; Jerry Falwell, pendiri Moral Majority; Ed McAteer, Presiden Religious Roundtable; dan David Allen Lewis, Presiden Christians United for Israel. Pernyataan mereka berbunyi,
“Kami, yang bertandatangan di bawah ini, para pemimpin spiritual Kristen, yang setiap Minggu berkomunikasi dengan lebih dari 100 juta orang Kristen Amerika, menyatakan bangga dapat bergabung bersama dalam mendukung kedaulatan yang tetap dari Negara Israel atas kota suci Yerusalem… kami percaya bahwa Yerusalem, atau bagian mana pun darinya, tidak akan dapat ditawar-tawar lagi dalam proses menuju perdamaian. Yerusalem harus tetap utuh, tidak terbagi, sebagai ibukota abadi dari bangsa Yahudi.”
Lalu para pembaca diundang untuk “bergabung bersama kami dalam misi suci kami untuk menjamin bahwa Yerusalem akan tetap tidak terbagi-bagi, sebagai ibukota abadi Israel.” Mereka menegaskan, “Perang untuk mempertahankan Yerusalem sudah dimulai, dan sekaranglah waktunya orang-orang yang percaya pada Yesus Kristus untuk mendukung saudara-saudara Yahudi kita dan Negara Israel. Inilah saatnya untuk kita bersatu dengan orang-orang Yahudi.” Pada tahun 2002, Falwell mengaitkan serangan teroris terhadap WTC (11 September 2001) dengan klaim Israel sebagai pemilik satu-satunya kota Yerusalem: serangan itu ditujukan untuk melawan Israel dan Zionisme Kristen Amerika. Falwell meminta Presiden Amerika Serikat untuk “Mempertahankan Yerusalem Tetap Bebas.”
Para Zionis Yahudi berpandangan bahwa siapa mengontrol Yerusalem, mengontrol Israel. Untuk bisa mengontrol Yerusalem, orang harus mengontrol Bait Allah. Karena itu, dalam politik Zionis, Bait Allah harus dibangun kembali; sebab dari pusat Bait Allah inilah Israel oleh Messias Yahudi yang dinantikan akan dikendalikan melalui ibadah, ritus-ritus kurban, dan sistem imamat, seperti pada zaman PL. Bagi para Zionis Kristen, Bait Allah ketiga harus dibangun, karena sudah diramalkan dalam Kitab Suci bahwa persis menjelang kedatangan Kristus kembali, akan datang sang Antikristus yang akan menajiskan Bait Allah Yahudi dan selanjutnya membawa dunia ke dalam kesengsaraan besar Perang Armagedon (Daniel 9:27; 11:31; 12:11; Markus 13:14 dan par.; Wahyu 16:12-16). Bagi mereka, kedatangan kembali Yesus Kristus harus diperjuangkan, dan akan dipercepat jika Bait Allah III dibangun.
5. Doktrin: Bait Allah Harus Dibangun Kembali
Bait Allah harus dibangun kembali, di lokasinya semula, di atas kawasan Temple Mount, karena, bagi Zionis Kristen, pembangunan ini sudah dinubuatkan, dan mereka bersama orang Yahudi, harus memenuhi nubuat itu. Para Zionis melihat persiapan-persiapan pembangunan Bait Allah ketiga sudah dimulai sejak 1967, ketika Israel berhasil menguasai Kota Lama Yerusalem; Bait ini akan menjadi Bait Allah Akhir Zaman.
Karena kawasan Bukit Bait sekarang ini ditempati umat Islam, dengan di atasnya berdiri bangunan-bangunan suci umat Islam (Masjid Umar, dengan Kubah Emas-nya; dan masjid Al Aqsa), dan kawasan ini dilarang dimasuki orang Yahudi, maka untuk Bait Allah Yerusalem dapat dibangun kembali dan sistem imamat dan kurban-kurban dapat dihidupkan kembali, kawasan Bukit Bait harus direbut kembali melalui aksi-aksi militer, dan bangunan-bangunan suci Islam yang ada di atasnya harus dihancurkan sampai rata dengan tanah. Orang-orang Zionis Yahudi generasi masa kini berpandangan bahwa adalah tugas mereka membebaskan Bukit Bait sehingga orang-orang Yahudi tidak dihalangi untuk melewati kawasan gerbang-gerbang (Haram Al-Sharif) yang membawa orang masuk ke Bukit ini, lalu melenyapkan bangunan-bangunan kafir yang ada di atasnya, serta mendirikan Bait Allah dan menegakkan bendera Israel di atas bukit ini.
Hanya dengan perang demi pembangunan Bait Allah, sang Messias akan datang. Antara 1967-1990 sudah terjadi 100 kali serangan terhadap Haram Al-Sharif oleh kelompok-kelompok militan Yahudi; yang tidak sedikit di antaranya didukung oleh kelompok-kelompok Zionis Kristen. Ratusan organisasi Zionis Yahudi dan Kristen telah dan sedang bekerja melakukan persiapan-persiapan yang luas dan mendalam untuk pembangunan Bait Allah ketiga. Dana miliaran dolar AS terus dihimpun dan digalang dari begitu banyak gereja evangelikal di Amerika dan Eropa untuk membiayai semua rencana dan persiapan pembangunan Bait Allah ketiga dan restorasi sistem imamat dan sistem kurban dalam agama Yahudi.
Kerinduan bangsa Yahudi untuk memiliki Bait Allah, harapan-harapan Kristen untuk diangkat ke surga menjelang masa kesengsaraan besar, dan ketakutan-ketakutan kuat umat muslim Arab-Palestina dan muslim sedunia akan dihancurkannya bangunan-bangunan suci Islam yang berada di Bukit Bait Allah―semuanya ini merangsang munculnya visi-visi apokaliptis tentang kehancuran total tatanan yang ada; dan semua ini, bagi kalangan dispensasionalis, adalah sesuatu yang sudah dinubuatkan: Perang Armageddon.
6. Doktrin: Mempercepat Perang Armagedon
Setelah runtuhnya komunisme, dalam penglihatan para dispensasionalis, perang Armageddon dalam Wahyu 16:12-16 akan berlangsung dalam bentuk suatu perang antara “peradaban Islam” (negara-negara Arab dan sekutu-sekutu non-Arab mereka) dan “peradaban Kristen” (Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya) yang akan berlangsung mula-mula di Timur Tengah. Perang ini demikian dahsyat sehingga jikalau Allah “tidak mempersingkat waktunya, maka tidak ada yang akan selamat.” Tetapi, orang-orang Kristen pro-Zionisme tidak akan ikut mengalami perang itu, sebab sebelum perang itu terjadi, mereka sudah akan diangkat ke surga; dan tinggal menyaksikan “dari atas” bagaimana bumi diseret ke dalam penderitaan berat sebelum tibanya Milennium dan pemulihan pemerintahan Mesias Yahudi di Yerusalem.
Adalah tugas dan panggilan setiap orang Kristen, ini keyakinan para dispensasionalis, untuk mempercepat tibanya perang dahsyat itu, antara lain dengan menolak semua proses menuju perdamaian (the Road Map to Peace) yang sedang diupayakan oleh para pemimpin dunia untuk kawasan Timur Tengah, khususnya dalam rangka mengatasi konflik Israel dan Palestina. Hal Lindsey, misalnya, mengatakan, “Aku sungguh muak memerhatikan bagaimana Presiden Amerika yang Kristen, yang bermaksud baik, berbicara tidak hentinya tentang visinya mengenai suatu negara Palestina yang hidup berdampingan dalam damai dengan negara Yahudi.” Bagi para dispensasionalis, perundingan untuk perdamaian bukan hanya telah membuang waktu, tetapi juga suatu pemberontakan melawan rencana-rencana Allah. Sejalan dengan penolakan proses perdamaian itu, kebencian dan setanisasi (demonizing) terhadap bangsa-bangsa Arab, khususnya terhadap Arafat (ketika ia masih hidup), dan pada agama Islam, harus terus ditanamkan ke dalam sanubari setiap orang Kristen yang pro-Israel. Maka bukan mustahil jikalau “pembersihan etnis” Arab-Palestina dari Tanah Israel juga akan dilakukan. Pada bulan Mei 2002, Dick Army, pemimpin Republican Senate House Majority, menyatakan,
“Bagian terbesar dari orang yang sekarang mendiami Israel telah didatangkan dari segala tempat di muka bumi ke negeri ini, dan mereka menjadikannya tempat tinggal mereka. Orang-orang Palestina dapat melakukan hal yang sama dan kami akan puas sepenuhnya untuk bekerja sama dengan orang Palestina dalam mewujudkan pemindahan ini. Kami tidak ingin mengorbankan Israel hanya demi bangsa Palestina memiliki suatu negeri buat mereka…. Saya puas melihat Israel menguasai Tepi Barat…. Ada banyak bangsa Arab yang memiliki beratus-ratus ribu are wilayah, tanah, tempat-tempat tinggal, dan kesempatan untuk menciptakan suatu Negara Palestina.”
Ketika Dick Army diminta untuk mengklarifikasi pernyataannya yang kontroversial itu, ia kembali menegaskan bahwa “Saya puas kalau Israel telah berhasil menduduki tanah yang sekarang sedang didudukinya dan kalau orang-orang yang menjadi penyerang-penyerang Israel menyingkir ke suatu daerah lain.”
Amerika Serikat bagaimana pun, sebagai satu-satunya adidaya dunia ini, harus tetap dijaga untuk selalu berpihak kepada Israel, kendatipun untuk itu negara adidaya ini harus menggunakan standar ganda dalam semua kebijakan politik, pertahanan dan militernya yang berkaitan dengan dunia Timur Tengah. Jika Amerika Serikat sampai gagal mempertahankan keberpihakannya kepada Negara Israel yang menyebabkannya kalah dalam melawan bangsa-bangsa Arab, maka negara adidaya ini juga, seperti “dinubuatkan” para tokoh dispensasionalis, akan terkena murka Allah, terjatuh dari anugerah, dan mengalami keruntuhan besar-besaran. Kata Falwell, “If Israel falls, the United States can no longer remain a democracy” dan juga, “Kekhawatiran terbesar saya adalah bahwa Presiden Bush dengan tanpa diketahuinya sedang membawa Amerika Serikat ke dalam penghukuman Allah. Sebab Allah sudah memperingatkan bahwa Ia akan menghakimi semua bangsa yang telah menyebabkan umat-Nya Israel tersingkir dari tanah yang Ia dengan kuasa-Nya sudah berikan kepada mereka.” Begitu juga, Pat Robertson memberi peringatan, jika Amerika Serikat, “ingin mengintervensi nubuat Alkitab dan ingin masuk lalu mengambil Yerusalem Timur dari orang-orang Yahudi lalu memberikannya kepada Yasser Arafat … maka semoga Tuhan menolong bangsa Amerika…. Jika Amerika Serikat mengambil Yerusalem Timur kembali dan menjadikannya ibukota Negara Palestina, maka kami meminta supaya murka Allah dijatuhkan ke atasnya.”
Comments (0)
Post a Comment