Belajar dari Jepang

Posted by mochihotoru | Posted in , , , , | Posted on 6:40:00 PM

Tiada negeri yang memegang teguh tradisi lengser dari jabatan publik seperti Jepang. Di 'Negeri Matahari Terbit', pejabat publik mundur manakala mereka gagal menjaga amanat rakyat.

Bahkan mereka mundur karena alasan yang dalam tradisi dan kultur politik negara lain dianggap sangat sepele. Misalnya kedapatan main golf di saat rakyat menderita.

Terakhir, Yukio Hatoyama yang baru menjabat perdana menteri Jepang selama delapan bulan, mengumumkan pengunduran dirinya. Hatoyama mundur setelah gagal memenuhi janji kampanyenya untuk memindahkan pangkalan militer Amerika Serikat, Futenma, dari Pulau Okinawa.


http://images.smh.com.au/2009/08/31/706735/Yukio-Hatoyama-420x0.jpg

Dengan mundurnya Hatoyama berarti sudah empat perdana menteri lengser dalam kurun waktu empat tahun terakhir. Sebelumnya, Taro Aso, Yasuo Fukuda, serta Shinzo Abe mundur dari jabatan perdana menteri dengan penyebab yang kurang lebih sama, yakni gagal menjalankan amanat rakyat.

Lengsernya empat perdana menteri dalam empat tahun terakhir mengandung makna bahwa mundur dari jabatan publik merupakan tradisi lumrah belaka di Jepang. Media massa di berbagai belahan dunia senantiasa menjadikannya sebagai berita besar. Bukan sebagai peristiwa biasa-biasa saja, melainkan suatu peristiwa luar biasa.

Luar biasa bukan cuma karena yang mundur seorang perdana menteri. Luar biasa karena tradisi mundurnya seorang pejabat publik yang gagal mengemban amanat publik semestinya menjadi model pembelajaran bagi kultur politik lain, termasuk Indonesia.

Di negeri kita, nyaris tidak ada pejabat, mulai dari presiden, menteri, anggota parlemen, gubernur, sampai bupati, yang sukarela mundur setelah gagal memenuhi aspirasi rakyat. Pejabat di sini mundur karena dipaksa mundur. Presiden Soeharto turun takhta setelah dilengserkan oleh kekuatan reformasi. Presiden Abdurrahman Wahid jatuh dari tampuk kekuasaan setelah dimakzulkan oleh parlemen.

Pejabat negeri ini tidak memiliki tradisi lengser dari jabatan karena dalam kultur politik kita, jabatan dimaknai sebagai status, bukan fungsi. Mereka lebih peduli pada status dan abai terhadap fungsi.

Survei Political and Economic Risk, yang menempatkan Indonesia sebagai negara dengan birokrasi terburuk nomor dua di Asia, memperlihatkan secara gamblang betapa para pemangku status birokrat tidak menjalankan fungsi birokrasi secara baik.

Memandang jabatan sebagai status merupakan ciri kultur politik feodalistis. Dalam kultur ini, pemangku jabatan senantiasa teguh menegakkan bahkan mengoleksi posisi, bila perlu secara turun-temurun.

Sebaliknya, memaknai posisi sebagai fungsi merupakan karakter kultur politik modern dan demokratis. Dalam kultur politik modern dan demokratis, posisi adalah fungsi sekaligus pertanggungjawaban.

Ketika seorang pejabat gagal menjalankan fungsi mengemban amanat rakyat, mundur dari jabatan merupakan pertanggungjawaban di muka publik.


http://american.com/graphics/2007/july-august-2007/DataPoints1.JPG


Kita mendesak pejabat publik negeri ini belajar dari kolega mereka di Jepang. Pejabat yang tak fungsional memenuhi aspirasi rakyat, minggir saja dari jabatan, sebelum dipinggirkan secara paksa. Sukarela mundur tentu lebih bermartabat daripada dipaksa mundur.

Sumber: mediaindonesia.com

Comments (0)

Post a Comment