Hidup Tanpa Benci, Tanpa Sikap Diskriminatif

Posted by mochihotoru | Posted in , , , , | Posted on 7:52:00 PM

Dunia ini dipenuhi kebencian. Lihatlah berapa banyak manusia yang terbunuh setiap hari; aksi terorisme dan perang yang tak habis-habisan. Manusia saling membenci, saling membinasa. Kita semua tentunya pernah membenci dan menyadari begitu menderitanya diri kita bila kita tidak melepaskan kebencian itu di hati kita. Hati kita terasa panas dan tak nyaman. Dan bila kita melukai makhluk lain oleh karena kebencian tersebut, maka kita akan terjerumus ke permasalahan yang lebih besar lagi. Rasa panas yang menggebu-gebu itu membuat orang tidak dapat berpikir sehat, lalu memilih jalan pintas untuk melampiaskan emosi tersebut.

Ironisnya, semua kebencian ini adalah berawal dari kebodohan. Kita tidak diajarkan ajaran yang benar, tetapi diajari ajaran-ajaran keliru yang membuat kita saling membenci dan mendendam. Ambilah contoh: para teroris. Tanpa disadari, setiap kali kita mendengar kata “teroris,” pikiran kita langsung menghubungkannya dengan sekelompok fanatik Islam yang siap mati dalam upaya mereka untuk membunuh orang-orang yang tak bersalah. Ditambah lagi gosip-gosip, terutama yang terpengaruh media Barat yang islamofobis, yang menyebutkan bahwa agama Islam membenarkan aksi-aksi teroris tersebut. Maka tak heran kita menghubungkan Islam dengan terorisme. Kita mengecap mereka sebagai “teroris.” Kita menjadi benci Islam. Kita menjadi anti-Islam.

Marilah kita meneliti kekeliruan-kekeliruan fatal yang menyebabkan berkembangnya semua kebencian ini. Kenyataannya adalah media (teve, koran, radio, internet) lebih menaruh fokus terhadap aksi-aksi teroris Islam. Berapa banyakkah berita yang melaporkan aksi-aksi teroris Macan Tamil (Tamil Tigers) di Sri Lanka? Banyak dari kita yang malahan tidak mengetahui adanya perang saudara yang telah berlangsung puluhan tahun di Sri Lanka antara kaum teroris Macan Tamil (mayoritas Hindu) dengan kaum Sinhalese (mayoritas Buddha). Itulah sebabnya setiap kali kita mendengar kata “teroris,” pikiran kita langsung menghubungkannya dengan teroris Islam. Asosiasi yang spontan ini bersifat ‘diskriminatif’ dan merusak rasionalisasi kita.

Ambilah contoh: apel. Kalau sejak kecil kita hanya dikasih lihat apel hijau, maka setiap kali kata ‘apel’ muncul, kita mengasosiasikannya dengan apel hijau. Kenyataannya, apel merah juga ada. Tetapi karena kita tak menyadari adanya apel merah, maka kita berpikir bahwa semua apel itu hijau.

Begitulah dengan kata ‘teroris’ ini. Kita langsung cap ‘teroris’ itu Islam. Ini adalah sikap diskriminatif yang tak terpuji. Tentunya asosiasi ini sangat menyinggung hati masyarakat Islam. Bagaimana bila asosiasi ini kita ubah: sekarang kita mengasosiasikan dengan agama kita masing-masing? Tentu itu menyakitkan, bukan? Inilah yang disebut sikap diskriminatif.

Coba kita mengulangi sedikit sejarah. Hitler yang beragama Kristen membunuh jutaan kaum Yahudi. Tetapi mengapa kita tidak mendengar orang-orang menghubungkan terorisme dengan agama Kristen? Mungkin ada yang mengatakan bahwa Hitler tidak menggunakan nama Kristen dalam membantai jutaan jiwa orang Yahudi. Tetapi, kenyataannya, dalam berbagai ceramahnya di depan umum, Hitler sering menggunakan Kristen untuk memberantas kaum Yahudi (Munich, 12 April 1922). Dia menyebutkan bahwa kaum Yahudi adalah musuh Yesus dan Allah, dan oleh karenanya mereka pantas diberantas habis dari muka bumi ini.

Lalu mengapa dengan adanya aksi teroris Macan Tamil tadi, kita tak menghubungkan Hindu ataupun ras Tamil dengan terorisme? Kenyataannya adalah pasti ada umat dari masing-masing agama yang pernah melakukan perbuatan-perbuatan yang tercela. Tetapi mengasosiasikan perbuatan tersebut dengan agama mereka itu adalah kebodohan besar. Baik umat agama itu sendiri maupun umat agama lain tidak pantas mengasosiasikan suatu perbuatan tercela dengan suatu agama. Disebutkan kebodohan besar karena asosiasi yang salah ini akan membuat kebencian berkembang di dunia ini—padahal kita mengaku bahwa kita diajarkan untuk mengasihi semua makhluk bagaimanapun makhluk itu. Kebencian inilah yang akan membinasakan manusia.

Banyak orang yang percaya bahwa agama Islam mengajarkan kekerasan, menuduh bahwa agama Islam menjanjikan Surga dan 72 gadis perawan kepada para teroris yang mati berkorban (bdk. Hadis no. 2562, Tirmizi). Tetapi oleh para ahli Islam sendiri telah dinyatakan bahwa sumber yang mengajarkan hal-hal keliru tersebut adalah berasal dari hadis yang kurang berbobot, dan interpretasi yang diberikan dari hadis tersebut juga sangat keliru. Banyak sudah manusia yang terbinasa oleh interpretasi keliru ini. Ini akan tetap berlangsung selama kekeliruan ini tak terhapus dari diri manusia, muslim maupun non-muslim.

Pada dasarnya semua agama memiliki kekurangan-kekurangan. Kekurangan ini tentu saja bisa berasal dari kekeliruan pengikut-pengikut agamanya, dan belum tentu dari pendiri agamanya. Walaupun hampir semua umat beragama diajari untuk yakin terhadap kitab suci mereka, akan tetapi ia yang bijak menyadari bahwa tidak 100% yang tertera di kitab suci itu dapat dianggap benar (layak ditafsirkan secara harfiah), baik itu kitab suci agama Islam, Kristen, Yahudi, Hindu, maupun Buddha.

Para ahli agama juga telah menunjukan bahwa di dalam Torah atau Taurat (kitab suci agama Yahudi, yang diakui juga sebagai bagian dari kitab suci Kekristenan dan Islam) juga terkandung unsur kekerasan. Kitab Yirmiyahu atau Yeremia 18:7:11 berisi seruan untuk memporak-porandakan, menghancurkan, dan melenyapkan suatu negara. Kitab suci agama Buddha juga mengandung unsur kekerasan. Digha Nikaya 3 berisi ancaman yang menyebutkan bahwa siapapun yang dengan sengaja tidak menghiraukan Buddha, kepalanya akan terbelah. Ancaman ini tidak mencerminkan ciri khas seorang Buddha, dan juga berdasarkan banyak analisis dari para ahli Buddhis telah disimpulkan bahwa isi dari kitab suci Buddhis tidaklah semua berasal dari Buddha.


Dari contoh-contoh yang disebut di atas, jelaslah terlihat pentingnya peran para ahli agama dalam meneliti semua sumber-sumber tersebut dan sungguh tidak bijak bila kita hanya mengandalkan keyakinan belaka. Umat berkewajiban untuk mempelajari pendapat dan uraian objektif dari para pakar agama mereka masing-masing.


http://i36.photobucket.com/albums/e20/DreamDancer157/Reiligion.jpg

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiG3SxWKjuT0wnqhb6weCLtd4UgCb5ZSrYYJG9Yr2jUt7Q5kiyqJkqWpSZWsRZ69k_hlf_Cxo-JOIbBhxmlBG78DsNfn3hdI04FOezP1MRG__1tL-4ZxV3Cb_2eVjfcjxzx0Q81FeZ9rN4/s1600/hate-crimes-stop-hating.jpg

http://files.myopera.com/minhlinh85/blog/We_Are_All_Connected_by_ohhhsunshin.jpg

http://www.lumaxart.com/GoldGuyBlog/GEOZ06541_www.lumaxart.jpg

Manusia berbeda dengan makhluk lainnya karena manusia memiliki akal sehat (akal budi). Kita seharusnya menyadari bahwa semua orang yang terlibat di dalam konfrontasi yang berlandaskan kebencian ini akan mengalami kerugian. Perang yang tak habis-habisan ini, walau bermotif untuk membinasakan para teroris yang berpandangan sesat, juga merugikan banyak orang. Akibat dari peperangan ini, ekonomi negara menjadi terguncang. Dana yang seharusnya dipergunakan untuk meningkatkan kesejahteraan manusia malahan digunakan untuk saling membinasakan sesama manusia. Pemuda-pemudi, anak-anak, dan ibu-ibu yang tak bersalah juga ikut tewas di medan peperangan. Kebencian bukannya berkurang, malahan berkembang semakin pesat. Apapun cara untuk menyelesaikan permasalahan ini, perang tentu bukanlah pilihan yang terpuji. Kehidupan yang baik, di mana kebutuhan pokok dapat dipenuhi dengan berkecukupan, disertai pendidikan dan pengetahuan yang benar, di mana sifat bersahabat dikembangkan dan rasa benci dan dendam disingkirkan, adalah jalan yang ampuh dalam mengatasi permasalahan ini. Seandainya saja dana yang dipakai untuk peperangan tersebut dapat semuanya disalurkan ke perkembangan ekonomi dan pendidikan negara-negara yang terbelakang ini, maka penduduk mereka akan menjadi lebih terdidik dan ajaran-ajaran sesat tersebut akan sendirinya ditinggalkan oleh masyarakat setempat. Inilah jalan yang seharusnya dipakai oleh manusia yang berakal sehat.

Sumber: Taman Budicipta

Comments (0)

Post a Comment