SEJARAH LAHIRNYA PANCASILA

Posted by mochihotoru | Posted in , , , | Posted on 4:59:00 PM

Mari kita telusuri fakta-fakta sejarah tentang kelahiran Pancasila. Dalam rapat BPUPKI pada tanggal 1 Juni 1945, Bung Karno menyatakan antara lain: “Saya mengakui, pada waktu saya berumur 16 tahun, duduk di bangku sekolah H.B.S. di Surabaya, saya dipengaruhi seorang sosialis yang bernama A. Baars, yang memberi pelajaran kepada saya—katanya: Jangan berpaham kebangsaan, tetapi berpahamlah rasa kemanusiaan seluruh dunia, jangan mempunyai rasa kebangsaan sedikit pun. Itu terjadi pada tahun 1917. Akan tetapi pada tahun 1918, alhamdulillah, ada orang lain yang memperingatkan saya, ia adalah Dr. Sun Yat Sen! Di dalam tulisannya ‘San Min Cu I’ atau ‘The THREE people’s Principles’, saya mendapatkan pelajaran yang membongkar kosmopolitanisme yang diajarkan oleh A. Baars itu. Dalam hati saya sejak itu tertanamlah rasa kebangsaan, oleh pengaruh ‘The THREE people’s Principles’ itu. Maka oleh karena itu, jikalau seluruh bangsa Tionghoa menganggap Dr. Sun Yat Sen sebagai penganjurnya, yakinlah bahwasanya Bung Karno juga seorang Indonesia yang dengan perasaan hormat dengan sehormat-hormatnya merasa berterima kasih kepada Dr. Sun Yat Sen—sampai masuk ke liang kubur.”


http://ceritaindonesia.files.wordpress.com/2008/01/soekarno-world-leader.jpg


Lebih lanjut ketika membicarakan prinsip keadilan sosial, Bung Karno, sekali lagi menyebutkan pengaruh San Min Cu I karya Dr. Sun Yat Sen: “Prinsip nomor 4 sekarang saya usulkan. Saya di dalam tiga hari ini belum mendengarkan prinsip itu, yaitu kesejahteraan, prinsip: tidak ada kemiskinan di dalam Indonesia merdeka. Saya katakan tadi prinsipnya San Min Cu I ialah ‘Mintsu, Min Chuan, Min Sheng’: Nationalism, democracy, socialism. Maka prinsip kita ... harus ... sociale rechtvaardigheid.”

Pada bagian lain dari pidato Bung Karno tersebut, dia menyatakan: “Maka demikian pula jikalau kita mendirikan negara Indonesia merdeka, Paduka tuan ketua, timbullah pertanyaan: Apakah Weltanschaung” kita, untuk mendirikan negara Indonesia merdeka di atasnya? Apakah nasional sosialisme? Ataukah historisch-materialisme? Apakah San Min Cu I, sebagai dikatakan oleh Dr. Sun Yat Sen? Di dalam tahun 1912 Sun Yat Sen mendirikan negara Tiongkok merdeka, tapi “Weltanschaung” telah dalam tahun 1885, kalau saya tidak salah, dipikirkan, dirancangkan. Di dalam buku “The THREE people’s Principles”, “San Min Cu I—Mintsu, Min Chuan, Min Sheng”: Nationalisme, demokrasi, sosialisme—telah digunakan oleh Dr. Sun Yat Sen Weltanschaung itu, tapi batu tahun 1912 beliau mendirikan negara baru di atas “WeltanschaungSan Min Cu I itu, yang telah disediakan terlebih dahulu berpuluh-puluh tahun.” (Tujuh Bahan Pokok demokrasi, Dua—R. Bandung, hal. 9-14.)

Pengaruh posmopolitanisme (internasionalisme) kaya A. Baars dan San Min Cu I kaya Dr. Sun Yat Sen yang diterima Bung Karno pada tahun 1917 dan 1918 di saat ia menduduki bangku sekolah H.B.S. benar-benar mendalam. Ha ini dapat dibuktikan pada saat Konferensi Partai Indonesia (Partindo) di Mataram pada tahun 1933, Bung Karno menyampaikan gagasan tentang marhaenisme, yang pengertiannya ialah:

(a) Sosio—nasionalisme, yang terdiri dari: Internasionalisme, Nasionalisme;

(b) Sosio—demokrasi, yang terdiri dari: Demokrasi, Keadilan sosial.

Jadi, marhaenisme, menurut Bung Karno, yang dicetuskan pada tahun 1933 di Mataram, yaitu: Internasionalisme; Nasionalisme; Demokrasi: Keadilan sosial. (Endang Saifuddin Anshari MA. Piagam Jakarta, 22 Juni 1945, Pustaka Bandung1981, hlm 17-19.)

Dan jika kita perhatikan dengan seksama, akan jelas sekali bahwa empat unsur marhaenisme seluruhnya diambil dari Internasionalisme milik A. Baars dan Nasionalisme, Demokrasi serta keadilan sosial (sosialisme) seluruhnya diambil dari San Min Cu I milik Dr. Sun Yat Sen.

Sekarang marilah kita membuktikan bahwa Pancasila yang dicetuskan Bung Karno pada tanggal 1 Juni 1945 di depan sidang BPUPKI adalah sama dengan Marhaeinisme yang disampaikan dalam Konferensi Partindo di Mataram pada tahun 1933, yang seluruhnya diambil dari kosmopolitanisme milik A. Baars dan San Min Cu I milik Dr. Sun Yat Sen. Di dalam pidato Bung Karno pada tanggal 1 Juni 1945 itu antara lain berbunyi: “Saudara-saudara! Dasar negara telah saya sebutkan, lima bilangannya. Inikah Panca Dharma? Bukan! Nama Panca Dharma tidak tepat di sini. Dharma berarti kewajiban, sedang kita membicarakan dasar ... Namanya bukan Panca Dharma, tetapi ... saya namakan ini dengan petunjuk seorang teman kita ahli bahasa ... namanya ialah Pancasila. Sila artinya asas atau dasar dan diatas kelima dasar itulah kita mendirikan negara Indonesia, kekal dan abadi. Kelima sila tadi berurutan sebagai berikut:

(a) Kebangsaan Idonesia;

(b) Internasionalisme atau perikemanusiaan;

(c) Mufakat atau domokrasi;

(d) Kesejahteraan sosial;

(e) Ketuhanan.

(Pidato Bung Karno pada tanggal 1 Juni 1945 dimuat dalam “20 tahun Indonesia Merdeka” Dep. Penerangan RI. 1965.)

Kelima sila dari Pancasila Bung Karno ini, kita cocokkan dengan marhaenisme Bung Karno adalah persis sama, hanya ditambah dengan Ketuhanan. Untuk lebih jelasnya baiklah kita susun sebagai berikut:

(a) Kebangsaan Indonesia berarti sama dengan nasionalisme dalam marhaenisme, juga sama dengan nasionalisme milik San Min Cu I milik Dr. Sun yat Sen, Cuma ditambah dengan kata-kata Indonesia.

(b) Internasionalisme atau perikemanusiaan berarti sama dengan internasionalisme dalam marhaenisme, juga sama dengan internasionalisme (kosmopolitanisme) milik A. Baars.

(c) Mufakat atau demokrasi berarti sama dengan demokrasi dalam marhaenisme, juga sama dengan demokrasi dalam San Min Cu I milik Dr. Sun Yat Sen;

(d) Kesejahteraan sosial berarti sama dengan keadilan sosial dalam marhaenisme, juga berarti sama dengan sosialisme dalam San Min Cu I milik Dr. Sun Yat Sen.


http://www.mutanteggplant.com/vitro-nasu/wp-content/uploads/2009/11/1sunyatsen.jpg


(e) Ketuhanan yang diambil dari pendapat-pendapat para pemimpin Islam, yang berbicara lebih dahulu dari Bung Karno, di dalam sidang BPUPKI pada tanggal 1 Juni 1945.

Dengan cara mencocokkan seperti ini, berarti nampak dengan jelas bahwa Pancasila yang dicetuskan oleh Bung Karno pada tanggal 1 Juni 1945, yang merupakan “Rumusan Pancasila I”, sehingga dijadikan Hari Lahirnya Pancasila, berasal dari tiga sumber yaitu:

(a) Dari San Min Cu I Dr. Sun Yat Sen (Cina);

(b) Dari internasionalisme (kosmopolitanisme) A. Baars (Belanda).

(c) Dari umat Islam.

Jadi Pancasila 1 Juni 1945, adalah bersumber dari: (1) Cina; (2) Belanda; dan (3) ajaran Islam. Dengan begitu bahwa pendapat yang menyatakan Pancasila itu digali dari bumi Indonesia sendiri atau dari peninggalan nenek moyang adalah sangat keliru dan salah!

Sebagaimana telah dimaklumi bahwa sebelum sidang pertama BPUPKI itu berakhir, dibentuklah satu panitia kecil untuk:

(a) Merumuskan kembali Pancasila sebagai dasar negara, berdasarkan pidato yang diucapkan Bung Karno pada tanggal 1 Juni 1945.

(b) Menjadikan dokumen itu sebagai teks untuk memproklamasikan Indonesia merdeka.

Dari dalam panitia kecil itu dipilih lagi sembilan orang untuk menyelenggarakan tugas itu. Rencana mereka itu disetujui pada tanggal 22 Juni 1945, yang kemudian diberikan nama dengan “Piagam Jakarta.” Piagam Jakarta tersebut berbunyi:

“Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.

Dan perjuangan pergerakan Kemerdekaan Indonesia telah sampai kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentosa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang Negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur.

Atas berkat rahmat Allah Yang Mahakuasa, dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan bebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaannya.

Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa dan ikut melasanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu hukum Dasar Negara Indonesia yang berdasar kedaulatan rakyat, dengan berdasar kepada: Ketuhanan, dengan menjalankan syariat Islam bagi pemeluk—kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan; serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia.”

Jakarta, 22-6-1605.

Ir. SOEKARNO;

Drs. Mohammad Hatta;

Mr. A.A Maramis;

Abikusno Tjokrosujoso;

Abdul Kahar Muzakir;

H.A. Salim;

Mr. Achmad Subardjo;

Wachid Hasjim;

Mr. Muhammad Yamin

(Moh. Hatta dkk. Op.cit. hal. 30-32)

Dengan begitu, maka Pancasila menurut Piagam Jakarta 22 Juni 1945, dan ini merupakan Rumusan Pancasila II, berbeda dengan Rumusan Pancasila I. Lebih jelasnya Rumusan Pancasila II ini adalah sebagai berikut:

(a) Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya;

(b) Kemanusiaan yang adil dan beradab;

(c) Persatuan Indonesia;

(d) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan;

(e) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Rumusan Pancasila II ini atau lebih dikenal dengan Pancasila menurut Piagam Jakarta tanggal 22 Juni 1945, baik mengenai sistematikanya maupun redaksinya sangat berbeda dengan Rumusan Pancasila I atau lebih dikenal dengan Pancasila Bung Karno tanggal 1 Juni 1945. pada Rumusan Pancasila I, Ketuhanan yang berada pada sila kelima, sedangkan pada Rumusan Pancasila II, Ketuhanan ada pada sila pertama, ditambah dengan anak kalimat—dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.” Kemudian pada Rumusan Pancasila I, kebangsaan Indonesia yang berada pada sila pertama, redaksinya berubah sama sekali menjadi Persatuan Indonesia pada Rumusan Pancasila II, dan tempatnya pun berubah yaitu pada sila ketiga. Demikian juga pada Rumusan Pancasila I. Internasionalisme atau perikemanusiaan, yang berada pada sila kedua, redaksinya berubah menjadi Kemanusiaan yang adil dan beradab. Selanjutnya pada Rumusan Pancasila I, Mufakat atau Demokrasi, yang berbeda pada sila ketiga, redaksinya berubah sama sekali pada Rumusan Pancasila II, yaitu menjadi Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan dan menempati sila keempat. Dan juga pada Rumusan Pancasila I, kesejahteraan sosial yang berada pada sila keempat, baik redaksinya, maka Pancasila pada Rumus II ini, tentunya mempunyai pengertian yang jauh berbeda dengan Pancasila pada Rumus I.

Rumusan Pancasila II ini atau yang lebih populer dengan nama Pancasila menurut Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945, yang dikerjakan oleh Panitia Sembilan, maka pada rapat terakhir BPUPKI pada tanggal 17 Juni 1945, secara bulat diterima Rumusan Pancasila II ini.

Sehari sesudah proklamasi, yaitu pada tanggal 18 Agustus 1945, terjadilah rapat “Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia” (PPKI). Panitia ini dibentuk sebelum proklamasi dan mulai aktip bekerja mulai tanggal 9 Agustus 1945 dengan beranggotakan 29 orang. Dengan mempergunakan rancangan yang telah dipersiapkan oleh BPUPKI, maka PPKI dapat menyelesaikan acara hari itu, yaitu:

(a) Menetapkan Undang-Undang Dasar; dan

(b) Memilih Presidan dan Wakil Presiden dalam waktu rapat selama tiga jam.

Dengan demikian terpenuhilah keinginan Bung Karno yang diucapkan pada waktu membuka rapat itu sebagai ketua panitia dengan kata-kata sebagai berikut; “Tuan-tuan sekalian tentu mengetahui dan mengakui, bahwa kita duduk di dalam suatu zaman yang beralih sebagai kilat cepatnya. Maka berhubungan dengan itu saya minta sekarang kepada tuan-tuan sekalian, supaya kita pun bertindak di dalam sidang ini dengan kecepatan kilat.”

Sedangkan mengenai sifat dari Undang-Undang Dasarnya sendiri Bung Karno berkata: “Tuan-tuan tentu mengerti bahwa ini adalah sekedar Undang-Undang Dasar sementara, Undang-Undang Dasar Kilat, bahwa barangkali boleh dikatakan pula, inilah revolutie grodwet. Nanti kita akan membuat undang-Undang Dasar yang lebih sempurna dan lengkap. Harap diingat benar-benar oleh tuan-tuan, agar kita ini harus bisa selesai dengan Undang-Undang Dasar itu.”

Dalam beberapa menit saja, tanpa ada perdebatan yang substansial disahkan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, dengan beberapa perubahan, khususnya dalam Rumusan Pancasila. (Pranoto Mangkusasmito, Pancasila dan sejarahnya, Lembaga Riset Jakarta, 1972, hal. 9-11.)

Adapun Pembukaan undang-Undang Dasar, yang di dalamnya terdapat Rumusan Pancasila II, yang disahkan oleh PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945, adalah sebagai berikut:

PEMBUKAAN

“Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.

Dan perjuangan pergerakan Kemerdekaan Indonesia telah sampai kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia kedepan pintu gerbang Negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.

Atas berkat Rahmat Allah Yang Mahakuasa, dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan bebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaannya.

Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melasanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam satu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia yang terbentuk dalam suatu Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat, dengan berdasarkan kepada: Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan serta mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”

Dengan demikian disahkannya Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 oleh PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945, maka Rumusan Pancasila mengalami perubahan lagi, yaitu:

(a) Ketuhanan Yang Maha Esa.

(b) Kemanusiaan yang adil dan beradab;

(c) Persatuan Indonesia;

(d) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan;

(e) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Perubahan esensial dari Rumusan Pancasila II atau Pancasila menurut Piagam Jakarta tanggal 22 Juni 1945 dengan Rumusan Pancasila III atau Pancasila menurut Pembukaan Undang-Undang Dasar tanggal 18 Agustus 1945, yaitu pada sila pertama “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya,” diganti dengan “Ketuhanan Yang Maha Esa.” Perubahan ini ternyata di kemudian hari menumbuhkan benih pertentangan sikap dan pemikiran yang tak kunjung berhenti sampai hari ini. Sebab masih banyak umat Islam menganggap bahwa pencoretan anak kalimat pada sila pertama Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya, oleh PPKI adalah suatu pengkhianatan oleh golongan nasionalis dan Kristen. Karena Rumusan Pancasila II telah diterima secara bulat oleh BPUPKI pada tanggal 17 Juli 1945.


http://deathlock.files.wordpress.com/2007/12/ideologi-pancasila-xaliber.jpg


Selanjutnya melalui aksi militer Belanda pertama dan kedua, dan dibentuknya negara-negara bagian oleh Belanda, pemberontakan PKI di Madiun, statemen Roem Royen yang mengembalikan Bung Karno dan kawan-kawannya dari Bangka ke Yogyakarta, sedangkan Presiden darurat RI pada waktu itu ialah Mr. Syafruddin Prawiranegara, sampailah sejarah negara kita kepada konfrensi meja bundar di Den Haag (Belanda). Konfrensi ini berlangsung dari tanggal 23 Agustus 1949 sampai tanggal 2 November 1949. dengan ditandatanganinya “Piagam Persetujuan” antara delegasi Republik Indonesia dan delegasi pertemuan untuk permusyawaratan federal (B.F.O.) mengenai “Konstitusi Republik Indinesia Serikat” (RIS) di Seyeningen pada tanggal 29 Oktober 1949, maka ikut berubahlah Rumusan Pancasila III menjadi Rumusan Pancasila IV. Rumusan Pancasila IV ini termuat dalam muqadimah Undang-Undang Dasar Republik Indinesia Serikat (RIS), yang bunyinya sebagai berikut:

Mukadimah

Kami bangsa Indonesia semenjak berpuluh-puluh tahun lamanya bersatu-padu dalam perjuangan kemerdekaan, dengan senantiasa berhati teguh berniat menduduki hak hidup sebagai bangsa yang merdeka berdaulat.

Ini dengan berkat dan rahmat Tuhan telah sampailah kepada ringkatan sejarah yang berbahagia dan luhur.

Maka demi ini kami menyusun kemerdekaan kami itu dalam satu piagam negara yang berbentuk Republik Federasi berdasarkan pengakuan “Ketuhanan Yang Maha Esa, Perikemanusiaan, Kebangsaan, Kerakyatan dan keadilan sosial.”

Untuk mewujudkan kebahagiaan, kesejahteraan, perdamaian dan kemerdekaan dalam masyarakat dan negara hukum Indonesia Merdeka yang berdaulat sempurna.

Secara jelasnya Rumusan Pancasila IV atau Pancasila menurut Mukadimah Undang-Undang Dasar RIS tanggal 29 Oktober 1949, adalah sebagai berikut:

(a) Ketuhanan Yang Maha Esa.

(b) Perikemanusiaan.

(c) Kebangsaan.

(d) Kerakyatan dan

(e) Keadilan sosial.

Perubahan yang terjadi antara Rumusan Pancasila II dengan Rumusan Pancasila IV adalah perubahan redaksional yang sangat banyak, yang sudah barang tentu akan membawa akibat pengertian Pancasila itu menjadi berubah pula.

Republik Indonesia Serikat tidak berumur sampai satu tahun. Pada tanggal 19 Mei 1950 ditandatangani “Piagam Persetujuan” antara pemerintah RIS dan pemerintah RI. Dan pada tanggal 20 Juli 1950 dalam pernyataan bersama kedua pemerintah dinyatakan, antara lain menyetujui rencana Undang-Undang Dasar sementara negara kesatuan Republik Indonesia seperti yang dilampirkan pada pernyataan bersama. Pembukaan Undang-Undang Dasar sementara negara kesatuan Repiblik Indonesia seperti yang dilampirkan pada pernyataan bersama. Pembukaan Undang-Undang Dasar sementara 1950, yang di dalamnya terdapat Rumusan Pancasila, adalah sebagai berikut:

Mukadimah

“Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan peri keadilan.

Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentosa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.

Dengan berkat dan rahmat Tuhan tercapailah tingkat sejarah yang berbahagia dan luhur.

Maka demi ini kami menyusun kemerdekaan kami itu dalam suatu piagam negara yang berbentuk Republik Kesatuan, berdasarkan pengakuan ketuhanan yang Maha Esa, perikemanusiaan, kebangsaan, kerakyatan dan keadilan sosial, untuk mewujudkan kebahagiaan, kesejahteraan, perdamaian, dan kemerdekaan yang berdaulat sempurna.”

Untuk jelasnya Rumusan Pancasila di dalam Mukadimah Undang-Undang Dasar sementara dapat disusun sebagai berikut:

(a) Ketuhanan Yang Maha Esa.

(b) Perikemanusiaan.

(c) Kebangsaan.

(d) Kerakyatan dan

(e) Keadilan sosial.

Rumusan Pancasila dalam Mukadimah Undang-Undang Dasar sementara adalah merupakan Rumusan Pancasila V. Ternyata antara Rumusan Pancasila IV dan Rumusan Pancasila V tidak ada perubahan baik sistematikanya maupun redaksinya.

Tetapi setelah dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959, yang menyatakan “Pembubaran kostituante dan tidak berlakunya lagi Undang-Undang Dasar 1945”, Rumusan Pancasila mengalami perubahan, baik redaksinya maupun pengertiannya secara esensial dan mendasar. Sebab setelah itu Bung Karno merumuskan Pancasila dengan menggunakan “ Teori Perasan” yaitu Pancasila itu diperasnya menjadi trisila (tiga sila): sosionasionalisme (yang mencakup kebangsaan Indonesia dan perikemanusiaan); Sosio-demokrasi (yang mencakup demokrasi dan kesejahteraan sosial dan ketuhanan. Trisila ini diperas lagi menjadi Ekasila (satu sila); Ekasila itu tidak lain ialah gotong royong. Gotong royong diwujudkan oleh Bung Karno dalam bentuk Nasakom (nasional, agama, dan komunis).

Lebih jelasnya, teori perasan Bung Karno dapat disusun sebagai berikut:

1. Pancasila itu diperasnya menjadi tri sila (tiga sila).

2. Trisila terdiri atas:

a) Sosionasionalisme

b) Sosio

c) Ketuhanan.

3. Trisila diperas menjadi Ekasila.

4. Ekasila yaitu gotong-royong.

Teori perasan Bung Karno ini bukan masalah baru, tetapi itulah hakikat Pancasila yang ia lahirkan pada tanggal 1 Juni 1945; dan hal ini dapat dilihat dari pidatonya pada tanggal 1 Juni 1945 di depan BPUPKI, yang antara lain berbunyi, “Atau barangkali ada saudara-saudara yang tidak senang adas bilangan itu? Saya boleh peras sehingga tinggal tiga saja. Saudara tanya kepada saya apakah perasan tiga perasan itu? Berpuluh-puluh tahun sudah saya pikirkan dia, ialah dasar-dasarnya Indonesia, Weltanschaung kita. Dua dasar yang pertama, kebangsaan dan internasionalisme; kebangsaan dan perikemanusiaan, saya peras menjadi satu: itulah yang dahulu saya namakan socio-nationalisme. Dan demokrasi yang bukan demokrasi barat, tetapi politiek economiche democratie, yaitu politieke democratie dengan sociale rechtvaardigheid, demikrasi dengan kesejahteraan saya peraskan pula menjadi satu. Inilah yang dulu saya namakan socio democratie.

Tinggal lagi ketuhanan yang menghormati satu sama lain.

Jadi yang asalnya lima itu telah menjadi tiga: socionationalisme, sociodemocratie dan ketuhanan. Kalau tuan senang dengan simbol tiga ambillah yang tiga ini. Tetapi barangkali tidak semua tuan-tuan senang kepada trisila ini, dan minta satu dasar saja? Baiklah, saya jadikan satu, saya kumpulkan lagi menjadi satu. Apakah yang satu? ... Jikalau saya peras yang lima menjadi tiga, dan yang tiga menjadi satu, maka dapatlah saya satu perkataan Indonesia yang tulen, yaitu perkataan gotong-royong! Alangkah hebatnya! Negara gotong-royong.”


http://farm3.static.flickr.com/2433/3585510698_45fc0448a8.jpg


Selain “teori perasan” Pancasila, Bung Karno menjabarkan dan melengkapi Pancasila itu dengan Manifesto Politik (Manipol) dan USDEK (Undang-Undang Dasar 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin dan Kepribadian Indonesia). Hal ini bisa kita jumpai di dalam “Tujuh Bahan Pokok Indoktrinasi”, yang antara lain menyatakan: “Ada orang menanya: Kepada Manifesto Politik? Kan kita sudah mempunyai Pancasila? Manifesto Politik adalan pancaran dari Pancasila; USDEK adalah pemancaran dari pada Pancasila. Manifesto Politik, USDEK dan Pancasila adalah terjalin satu salam lain. Manifesto politik, USDEK dan Pancasila tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Jika saya harus mengambil qiyas agama—sekadar qiyas—maka saya katakan: Pancasila adalah semacam Qurannya dan Manifesto Politik dan USDEK adalah semacam hadis-hadisnya. Awas saya tidak mengatakan bahwa Pancasila adalah Quran dan Manifsesto Politik dan USDEK adalah Hadis! Quran dan Hadis sahih merupakan satu kesatuan—maka Pancasila dan Manifesto politik dan USDEK adalah merupakan satu kesatuan.” Teori perasan Pancasila yang dilengkapi dengan manifesto Politik dan USDEK adalah merupakan Rumusan Pancasila VI.

Dengan Naskaom memberi peluang yang besar kepada golongan komunis seperti Partai Komunis Indonesia (PKI) untuk memasuki berbagai instansi sipil dan militer. Dominasi komunis di dalam pemerintahan dan berbagai sektor kehidupan, memberikan kesempatan kepada mereka untuk melakukan kudeta dan perebutan kekuasaan; meletuslah Gerakan 30 September PKI.

Meletusnya G 30 S/PKI dari kandungan Nasakom, yang membawa runtuhnya rezim Orde Lama, menurut regim Orde baru disebabkan oleh penyelewengan Pancasila dari rel yang sebenarnya. Oleh karena itu rezim Orde Baru mencanangkan semboyan “Laksanakan Pancasila dan UUD 45 secara murni dan konsekuen.”

Menurut Orde baru, khususnya angkatan 66, bahwa penyelewengan Pancasila oleh rezim Orde Lama disebabkan “belum jelasnya filsafat Pancasila dan belum adanya tafsiran yang terperinci.” Pendapat ini bisa dilihat dari kesimpulan “Simposium Kebangkitan Generasi 66 Menjelajah Tracee baru”, yang diselenggarakan pada tanggal 6 Mei 1966, bertempat di Universitas Indonesia; yang isinya antara lain sebagai berikut:

Hal ini sebagaimana yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 1 ayat 2 yang berbunyi: “Kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR.”

Dan juga terdapat dalam pasal 3 yang berbunyi: “MPR menetapkan undang-undang dasar dan garis-garis besar pada haluan negara.”

Pasal 20 ayat 1: “ DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang.”

Pasal 22 ayat 2 berbunyi: “Peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan DPR dan persidangan yang berikut.”

Ayat 3: “Jika tidak mendapatkan persetujuan, maka peraturan tersebut harus dicabut.”

Sumber: mayapadha.wordpress.com

Comments (0)

Post a Comment