Bagaimana Metode Penetapan Fatwa di MUI?

Posted by mochihotoru | Posted in , , , | Posted on 7:37:00 PM

Fatwa mempunyai kedudukan yang penting dalam agama Islam. Fatwa atau ketetapan ulama dipandang menjadi salah satu alternatif yang bisa memecahkan kebekuan dalam perkembangan hukum Islam. Hukum Islam yang dalam penetapannya tidak bisa terlepas dari dalil-dalil keagamaan (an-nushush as-syari’iyah) menghadapi persoalan serius ketika berhadapan dengan permasalahan yang semakin berkembang yang tidak tercakup dalam nas-nas keagamaan. Nas-nas keagamaan telah berhenti secara kuantitasnya, akan tetapi secara diametral permasalahan dan kasus semakin berkembang pesat seiring dengan perkembangan zaman. Sebagaimana ungkapan para ulama:

“Sesungguhnya nas itu terbatas, sedangkan persoalan-persoalan yang timbul tidak terbatas. Atau karena sesungguhnya nas itu telah berhenti sedangkan permasalahan akan senantiasa muncul dan tidak pernah berhenti.”

Dalam kondisi seperti inilah fatwa menjadi salah satu alternatif jalan keluar mengurai permasalahan dan peristiwa yang muncul tersebut.

Salah satu syarat menetapkan fatwa adalah harus memenuhi metodologi (manhaj) dalam berfatwa, karena menetapkan fatwa tanpa mengindahkan manhaj termasuk yang dilarang oleh agama. Menetapkan fatwa yang didasarkan semata karena adanya kebutuhan (li al-hajah), atau karena adanya kemaslahatan (li al-mashlahah), atau karena intisari ajaran agama (li maqashid as-syari’ah), dengan tanpa berpegang pada nushus syar’iyah, termasuk kelompok yang kebablasan (ifrathi).

Sebaliknya, kelompok yang rigid memegang teks keagamaan (an-nushus as-syar’iyah) dengan tanpa memperhatikan kemaslahatan (al-mashlahah) dan intisari ajaran agama (maqashid as-syari’ah), sehingga banyak permasalahan yang tidak bisa dijawab, maka kelompok seperti ini termasuk kategori gegabah (tafrithi).

Oleh karena itu, dalam berfatwa harus tetap menjaga keseimbangan, antara harus tetap memakai manhaj yang telah disepakati para ulama, sebagai upaya untuk tidak terjerumus dalam kategori memberikan fatwa tanpa pertimbangan dalil hukum yang jelas. Tapi di sisi lain juga harus memperhatikan unsur kemaslahatan dari fatwa tersebut, sebagai upaya untuk mempertahankan posisi fatwa sebagai salah satu alternatif pemecah kebekuan dalam perkembangan hukum Islam.


http://static.inilah.com/data/berita/foto/43946.jpg


Keberadaan metode dalam penetapan fatwa adalah sangat penting, sehingga dalam setiap proses penetapan fatwa harus mengikuti metode tersebut. Sebuah fatwa yang ditetapkan tanpa menggunakan metodologi, keputusan hukum yang dihasilkannya kurang mempunyai argumentasi yang kokoh. Oleh karenanya, implementasi metode (manhaj) dalam setiap proses penetapan fatwa merupakan suatu keniscayaan.

Metode yang dipergunakan oleh Komisi Fatwa MUI dalam proses penetapan fatwa dilakukan melalui tiga pendekatan, yaitu Pendekatan Nas Qath’i, Pendekatan Qauli dan Pendekatan Manhaji.

Pendekatan Nas Qath’i dilakukan dengan berpegang kepada nas Alquran atau Hadis untuk sesuatu masalah apabila masalah yang ditetapkan terdapat dalam nas Alquran ataupun Hadis secara jelas. Sedangkan apabila tidak terdapat dalam nas Alquran maupun Hadis maka penjawaban dilakukan dengan pendekatan Qauli dan Manhaji.

Pendekatan Qauli adalah pendekatan dalam proses penetapan fatwa dengan mendasarkannya pada pendapat para imam mazhab (denominasi) dalam kitab-kitab fikih terkemuka (al-kutub al-mu’tabarah). Pendekatan Qauli dilakukan apabila jawaban dapat dicukupi oleh pendapat dalam kitab-kitab fikih terkemuka (al-kutub al-mu’tabarah) dan hanya terdapat satu pendapat (qaul), kecuali jika pendapat (qaul) yang ada dianggap tidak cocok lagi untuk dipegangi karena sangat sulit untuk dilaksanakan (ta’assur atau ta’adzdzur al-‘amal atau shu’ubah al-‘amal) , atau karena alasan hukumnya (‘illah) berubah. Dalam kondisi seperti ini perlu dilakukan telaah ulang (i’adatun nazhar), sebagaimana yang dilakukan oleh ulama terdahulu. Karena itu mereka tidak terpaku terhadap pendapat ulama terdahulu yang telah ada bila pendapat tersebut sudah tidak memadai lagi untuk didijadikan pedoman.

Apabila jawaban permasalahan tersebut tidak dapat dicukupi oleh nas qath’i dan juga tidak dapat dicukupi oleh pendapat yang ada dalam kitab-kitab fikih terkemuka (al-kutub al-mu’tabarah), maka proses penetapan fatwa dilakukan melalui pendekatan manhaji.

Pendekatan Manhaji adalah pendekatan dalam proses penetapan fatwa dengan mempergunakan kaidah-kaidah pokok (al-qawaid al-ushuliyah) dan metodologi yang dikembangkan oleh imam mazhab dalam merumuskan hukum suatu masalah. Pendekatan manhaji dilakukan melalui ijtihad secara kolektif (ijtihad jama’i), dengan menggunakan metode: mempertemukan pendapat yang berbeda (al-jam’u wat taufiq), memilih pendapat yang lebih akurat dalilnya (tarjihi), menganalogikan permasalahan yang muncul dengan permasalahan yang telah ditetapkan hukumnya dalam kitab-kitab fikih (ilhaqi) dan istinbathi.

Dalam masalah yang terjadi khilafiyah di kalangan imam mazhab maka penetapan fatwa didasarkan pada hasil usaha penemuan titik temu di antara pendapat-pendapat mazhab melalui metode al-Jam’u wa al-Taufiq.

Jika usaha al-Jam’u wa al-Taufiq tidak berhasil maka penetapan fatwa dilakukan melalui metode tarjihi (memilih pendapat ulama yang dinilai paling kuat dalil dan argumentasinya), yaitu dengan menggunakan metode perbandingan mazhab (muqaran al-madzahib) dan dengan menggunakan kaidah-kaidah ushul fiqh perbandingan.

Membiarkan masyarakat untuk memilih sendiri pendapat para ulama yang ada sangatlah berbahaya, karena hal itu berarti membiarkan masyarakat untuk memilih salah satu pendapat (qaul) ulama tanpa menggunakan prosedur, batasan dan patokan. Oleh karena itu, menjadi kewajiban lembaga fatwa yang memiliki kompetensi untuk memilih pendapat (qaul) yang rajih (lebih kuat dalil dan argumentasinya) untuk dijadikan pedoman bagi masyarakat.

Ketika satu masalah atau satu kasus belum ada pendapat (qaul) yang menjelaskan secara persis dalam kitab fikih terdahulu (al-kutub al-mu’tabarah) namun terdapat padanannya dari masalah tersebut, maka penjawabannya dilakukan melalui metode ilhaqi, yaitu menyamakan suatu masalah yang terjadi dengan kasus padanannya dalam al-kutub al-mu’tabarah.

Sedangkan metode istinbathi dilakukan ketika tidak bisa dilakukan dengan metode ilhaqi karena tidak ada padanan pendapat (mulhaq bih) dalam al-kutub al-mu’tabarah. Metode istinbathi dilakukan dengan memberlakukan metode qiyasi, istishlahi, istihsani, dan sadd al-dzari’ah.

Secara umum penetapan fatwa di Majelis Ulama Indonesia selalu memerhatikan pula kemaslahatan umum (mashalih ‘ammah) dan intisari ajaran agama (maqashid al-syari’ah). Sehingga fatwa yang dikeluarkan oleh MUI benar-benar dirasa bisa menjawab permasalahan yang dihadapi umat dan benar-benar dapat menjadi alternatif pilihan umat untuk dijadikan pedoman dalam menjalankan kehidupannya.

Sumber: mui.or.id

Comments (0)

Post a Comment