Puasa dalam Ajaran Katolik

Posted by mochihotoru | Posted in , , | Posted on 5:20:00 PM

Pada umumnya menjelang bulan puasa Ramadan selalu timbul pertanyaan; apakah bagi orang Kristen juga ada kewajiban puasa seperti para penganut agama lainnya? Bagaimana puasanya orang Kristen dan berapa lama?

Bahkan di kalangan Umat Katolik pun sampai saat ini masih banyak yang mempertanyakan, “Bagaimana sih sebenarnya puasa Katolik itu?”.

Setiap tahun, umat Katolik di seluruh dunia menjalani masa Prapaskah, yaitu yang dimulai sejak empat puluh hari sebelum Paskah (jatuh antara 22 Maret-25 April setiap tahunnya tergantung kapan terjadinya bulan purnama dan vernal equinox). Masa Prapaskah mempunyai dua ciri khas, yaitu mempersiapkan pembaptisan dan membina semangat tobat. Bentuk pertobatan yang paling nyata adalah dengan berpuasa dan berpantang. Lalu, apakah makna puasa dan pantang menurut tradisi Katolik?

Terminologi Puasa dalam Kitab Suci

Kitab Suci Perjanjian Lama (KSPL, atau PL saja) sering menggunakan kata tzam (צם) untuk menyebut istilah puasa (Neh 9:1; 2 Sam 12:21-23). Kata tzam dapat dibandingkan dengan kata shiyam (صيام) atau shaum (صوم) dalam bahasa Arab. Dalam bahasa aslinya, kata tzam menunjuk pada pengertian tidak makan sama sekali.

Kata atau ungkapan lain yang digunakan dalam KSPL adalah “tidak makan apa-apa” (1 Sam 28:20 dan 2 Sam 12:17) dan “merendahkan diri” (1 Raj 21:29). Ungkapan “merendahkan diri” ini menjadi istilah teknis untuk menyebut istilah puasa dalam tulisan-tulisan tradisi para Imam dan cenderung menjadi ungkapan baku pada periode selanjutnya.

Kitab Suci Perjanjian Baru (KSPB, atau PB saja) menggunakan kata ΝΗΣΤΕΙΑ (nésteia) yang berarti puasa (kt. benda) dan ΝΗΣΤΕΥΗ (nésteué) yang berarti berpuasa (kt. kerja). Nésteia adalah kata Yunani yang terdiri dari dua bagian: partikel negatif né (tidak) dan kata kerja esthio (makan). Kata benda dan kata kerja itu mempunyai arti umum: tidak makan, berpantang makanan, tanpa makanan, atau kelaparan.

KSPB mempunyai ungkapan yang lain, yaitu “menjauhkan diri dari makanan” (Kis 15:29; 1 Tim 4:3). Ungkapan ini lebih dipakai dalam pengertian tidak makan makanan tertentu atau berpantang.

Puasa Katolik

Agama Kekristenan Protestan tidak mewajibkan untuk berpuasa, sedangkan Kekristenan Katolik mewajibkan untuk berpuasa bahkan Gereja secara resmi menetapkan masa Prapaskah sebagai puasa resmi Umat Katolik, dimulai dari Rabu Abu dan berkahir pada hari Jumat Agung. Bila mungkin, puasa ini hendaknya diperpanjang sampai hari Sabtu Suci (lihat KL 110).

Bagi umat Katolik Roma, puasa berati pengurangan jumlah makanan yang disantap seseorang dengan hanya memakan satu porsi penuh makanan sekali sehari. Hal ini bisa disertai pula dengan penahanan diri untuk tidak menyantap daging. Gereja Katolik Roma percaya bahwa semua orang berkewajiban kepada Tuhan untuk melakukan semacam ibadat pertobatan, dan kegiatan-kegiatan pertobatan ini dilakukan baik secara pribadi maupun secara bersama-sama. Gereja Katolik Roma mengharuskan umat Katolik untuk melakukan kegiatan-kegiatan pertobatan yang nyata, termasuk di dalamnya puasa dan menahan diri beberapa kali dalam setahun, terutama dalam masa Prapaskah. Aturan Katolik Roma ini berasal dari Konstitusi Apostolik Paus Paulus VI, Paenitemini, tahun 1966. Umat gereja-gereja Katolik Timur (Katolik ritus Timur) berkewajiban untuk menaati kebiasaan gerejanya masing-masing mengenai hal ini.

Selain itu, bagi umat Katolik, puasa adalah ungkapan tobat, dan sekaligus merupakan ulah doa yang hangat. Dalam tradisi Gereja, puasa merupakan ibadat yang penting, yang dilaksanakan umat sebagai persiapan untuk perayaan-perayaan besar, khususnya Paskah yang dikenal dengan nama Masa Prapaskah.

Dalam tradisi Gereja, masa prapaskah merupakan masa di mana para katekumen (calon katolik) berpuasa sebelum dibaptis dan masa di mana seluruh umat beriman juga berpuasa untuk mendampingi para katekumen yang akan dibaptis.

Di samping puas resmi itu secara pribadi umat Katolik disarankan untuk berpuasa pada hari-hari yang dipilihnya sendiri sebagai ungkapan tobat dan laku tapa. Sebab puasa sangat bermanfaat untuk membangun semangat pengendalian diri (memudahkan bertobat dan merasa peka terhadap nilai-nilai rohani) dan menumbuhkan semangat kesetiakawanan dengan sesama yang berkekurangan, serta dan menyisihkan sesuatu untuk memberi (derma).

Bagaimana bentuk puasanya? Menurut paham Katolik puasa berarti makan kenyang satu kali sehari (dalam waktu 24 jam) dan dua kali sedikit. Minum air tidak termasuk soal puasa. Namun saat sekarang ini lebih ditekankan makan kenyang satu kali sehari.

http://bdm.um.ac.id/wp-content/uploads/2010/06/puasa-pantang1.jpg

Selain berpuasa, Gereja juga mempunyai kebiasaan berpantang. Pantang dilakukan setiap Jumat sepanjang tahun, kecuali jika hari Jumat itu bertepatan dengan hari raya gerejawi (lihat KHK 1251). Kecuali itu Gereja juga menetapkan pantang selama satu jam sebelum kita menyambut Sakramen Mahakudus.

Arti puasa bagi umat Katolik adalah sebagai berikut:

· Secara kejiwaan, berpuasa memurnikan hati orang dan mempermudah pemusatan perhatian waktu bersemadi dan berdoa.

· Puasa juga dapat merupakan korban atau persembahan.

· Puasa pantas disebut doa dengan tubuh, karena dengan berpuasa orang menata hidup dan tingkah laku rohaninya.

· Dengan berpuasa, orang mengungkapkan rasa lapar akan Tuhan dan kehendak-Nya. Ia mengorbankan kesenangan dan keuntungan sesaat, dengan penuh syukur atas kelimpahan karunia Tuhan. Demikian, orang mengurangi keserakahan dan mewujudkan penyesalan atas dosa-dosanya di masa lampau.

· Dengan berpuasa, orang menemukan diri yang sebenarnya untuk membangun pribadi yang selaras. Puasa membebaskan diri dari ketergantungan jasmani dan ketidakseimbangan emosi. Puasa membantu orang untuk mengarahkan diri kepada sesama dan kepada Tuhan.

Itulah sebabnya, puasa Katolik selalu terlaksana bersamaan dengan doa dan derma, yang terwujud dalam Aksi Puasa Pembangunan. Semangat yang sama berlaku pula untuk laku pantang. Yang bukan semangat puasa dan pantang Katolik adalah:

· Berpuasa dan berpantang sekedar untuk kesehatan: diet, mengurangi makan dan minum atau makanan dan minuman tertentu untuk mencegah atau mengatasi penyakit tertentu.

· Berpuasa dan berpantang untuk memperoleh kesaktian baik itu tubuh maupun rohani.

Pada hari-hari puasa dan pantang, umat Katolik diharapkan dapat meluangkan lebih banyak waktu dan perhatian untuk berdoa, beribadat, melaksanakan olah tobat dan karya amal (lihat KHK 1249).

Amal, Doa, dan Puasa (Mat 6:2-6.16-18)

Puasa adalah tradisi Gereja yang telah dihidupi dari masa ke masa. Dalam tradisinya, pelaksanaan puasa ditandai dengan doa, pantang, dan amal. Pandangan ini berakar pada perikop Mat 6:2-6, 16-18.

Secara umum, kegiatan amal, doa, dan puasa adalah gambaran ideal kesalehan umat Yahudi, bahkan dapat disebut sebagai pilar-pilar fundamental agama Yahudi (Yudaisme). Amal telah menjadi prinsip dasar dalam Taurat (Im 25:1-7). Doa telah menjadi semacam jiwa umat Israel. Puasa telah menjadi kebiasaan umum pada masa Hakim-Hakim dan Raja-Raja.

Sebagai sebuah konsep, amal, doa, dan puasa sudah muncul dalam Yes 58:4-10. Teks ini berbicara tentang puasa yang benar, yaitu dengan memecah-mecahkan roti untuk orang yang lapar dan memberi tumpangan kepada orang yang telanjang (Yes 58:7). Dengan demikian, doa menjadi efektif: “pada waktu itulah engkau akan memanggil dan Tuhan akan menjawab…” (Yes 58:9).

Melihat hal itu, jelas bahwa konsep amal, doa, dan puasa bukanlah suatu ajaran baru yang disampaikan oleh Yesus. Namun, ada sesuatu yang baru yang mau ditampilkan Yesus, yaitu sikap batin yang mendasari pelaksanaan amal, doa, dan puasa.

Yesus mengajak para pendengar-Nya untuk menyangkal diri secara total: jangan sampai diketahui tangan kirimu apa yang diberikan oleh tangan kananmu, ketika kamu berdoa tutuplah pintu dan kuncilah kamarmu, serta minyakilah kepalamu dan cucilah mukamu ketika kamu berpuasa. Dalam hal ini, Tuhan lebih menekankan soal sikap batin yang mendasari orang dalam beramal, berdoa, dan berpuasa. Tuhan lebih melihat apa yang ada dalam hati orang daripada apa yang kelihatan dari luar.

Oleh sebab itu, semoga puasa yang dijalani umat Katolik pada masa Prapaskah ini mempunyai dasar sikap batin yang benar dan bukan hanya dilakukan karena kebiasaan atau peraturan Gereja semata. Sikap batin yang benar itu adalah memurnikan hati dan budi untuk secara personal mengalami kembali misteri kebangkitan Tuhan. Puasa yang dilakukan selama masa Prapaskah adalah simbol yang mengungkapkan kesungguhan hati umat beriman untuk mengarahkan dirinya pada Allah. Segala macam bentuk disiplin diri selama masa Prapaskah adalah usaha umat beriman untuk mengendalikan diri dan memurnikan hati.

Ketentuan Gereja

Pantang makan daging atau makanan lain menurut ketentuan Konferensi para Uskup hendaknya dilakukan setiap hari Jumat sepanjang tahun, kecuali hari Jumat itu kebetulan jatuh pada salah satu hari yang terhitung hari raya; sedangkan pantang dan puasa hendaknya dilakukan pada hari Rabu Abu dan pada hari Jumat Agung, memperingati Sengsara dan Wafat Yesus Kristus. Peraturan pantang mengikat mereka yang telah berumur genap empat belas tahun; sedangkan peraturan puasa mengikat semua yang berusia dewasa sampai awal tahun keenampuluh; namun para gembala jiwa dan orang tua hendaknya berusaha agar juga mereka, yang karena usianya masih kurang tidak terikat wajib puasa dan pantang, dibina ke arah cita-rasa tobat yang sejati (KHK 1251-1252).

Berikut ini mari kita lihat ketentuan tobat dengan puasa dan pantang, menurut Kitab Hukum Gereja Katolik:

1. Kan. 1249, Semua orang beriman kristiani wajib menurut cara masing-masing melakukan tobat demi hukum ilahi; tetapi agar mereka semua bersatu dalam suatu pelaksanaan tobat bersama, ditentukan hari-hari tobat, dimana umat beriman kristiani secara khusus meluangkan waktu untuk doa, menjalankan karya kesalehan dan amal-kasih, menyangkal diri sendiri dengan melaksanakan kewajiban-kewajibannya secara lebih setia dan terutama dengan berpuasa dan berpantang, menurut norma kanon-kanon berikut.

2. Kan. 1250, Hari dan waktu tobat dalam seluruh Gereja ialah setiap hari Jumat sepanjang tahun, dan juga masa Prapaskah.

3. Kan. 1251, Pantang makan daging atau makanan lain menurut ketentuan Konferensi para Uskup hendaknya dilakukan setiap hari Jumat sepanjang tahun, kecuali hari Jumat itu kebetulan jatuh pada salah satu hari yang terhitung hari raya; sedangkan pantang dan puasa hendaknya dilakukan pada hari Rabu Abu dan pada hari Jumat Agung, memperingati Sengsara dan Wafat Tuhan Kita Yesus Kristus.

4. Kan. 1252, Peraturan pantang mengikat mereka yang telah berumur genap empat belas tahun; sedangkan peraturan puasa mengikat semua yang berusia dewasa sampai awal tahun keenampuluh; namun para gembala jiwa dan orangtua hendaknya berusaha agar juga mereka, yang karena usianya masih kurang tidak terikat wajib puasa dan pantang, dibina ke arah cita-rasa tobat yang sejati.

5. Kan. 1253, Konferensi para Uskup dapat menentukan dengan lebih rinci pelaksanaan puasa dan pantang; dan juga dapat menggantikan seluruhnya atau sebagian wajib puasa dan pantang itu dengan bentuk-bentuk tobat lain, terutama dengan karya amal-kasih serta latihan-latihan rohani.

http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/5/53/StMartin43-53.JPG

Memang sesuai dari yang kita ketahui, ketentuan dari Konferensi para Uskup di Indonesia menetapkan selanjutnya:

1. Hari Puasa dilangsungkan pada hari Rabu Abu dan Jumat Agung. Hari Pantang dilangsungkan pada hari Rabu Abu dan tujuh Jumat selama Masa Prapaskah sampai dengan Jumat Agung.

2. Yang wajib berpuasa ialah semua orang Katolik yang berusia 18 tahun sampai awal tahun ke-60. Yang wajib berpantang ialah semua orang Katolik yang berusia genap 14 tahun ke atas.

3. Puasa (dalam arti yuridis) berarti makan kenyang hanya sekali sehari. Pantang (dalam arti yuridis) berarti memilih pantang daging, atau ikan atau garam, atau jajan atau rokok. Bila dikehendaki masih bisa menambah sendiri puasa dan pantang secara pribadi, tanpa dibebani dengan dosa bila melanggarnya.

Maka penerapannya adalah sebagai berikut:

1. Kita berpantang setiap hari Jumat sepanjang tahun (contoh: pantang daging, pantang rokok dll) kecuali jika hari Jumat itu jatuh pada hari raya, seperti dalam oktaf masa Natal dan oktaf masa Paskah. Penetapan pantang setiap Jumat ini adalah karena Gereja menentukan hari Jumat sepanjang tahun (kecuali yang jatuh di hari raya) adalah hari tobat.

2. Jika kita berpantang, pilihlah makanan/ minuman yang paling kita sukai. Pantang daging adalah contohnya, atau yang lebih sukar mungkin pantang garam. Tapi ini bisa juga berarti pantang minum kopi bagi orang yang suka sekali kopi, dan pantang sambal bagi mereka yang sangat suka sambal, pantang rokok bagi mereka yang merokok, pantang jajan bagi mereka yang suka jajan. Jadi jika kita pada dasarnya tidak suka jajan, jangan memilih pantang jajan, sebab itu tidak ada artinya.

3. Pantang tidak terbatas hanya makanan, namun pantang makanan dapat dianggap sebagai hal yang paling mendasar dan dapat dilakukan oleh semua orang. Namun jika satu dan lain hal tidak dapat dilakukan, terdapat pilihan lain, seperti pantang kebiasaan yang paling mengikat, seperti pantang nonton teve, pantang ‘shopping’, pantang ke bioskop, pantang ‘gosip’, pantang main ‘game’, dan lainnya. Jika memungkinkan tentu kita dapat melakukan gabungan antara pantang makanan/ minuman dan pantang kebiasaan ini.

4. Puasa minimal dalam setahun adalah Hari Rabu Abu dan Jumat Agung dan ketujuh hari Jumat dalam masa Prapaskah.

5. Waktu berpuasa, kita makan kenyang satu kali, dapat dipilih sendiri pagi, siang atau malam. Harap dibedakan makan kenyang dengan makan sekenyang-kenyangnya. Karena maksud berpantang juga adalah untuk melatih pengendalian diri, maka jika kita berbuka puasa/ pada saat makan kenyang, kita juga tetap makan seperti biasa, tidak berlebihan. Juga makan kenyang satu kali sehari bukan berarti kita boleh makan snack/ cemilan berkali-kali sehari. Ingatlah tolok ukurnya adalah pengendalian diri dan keinginan untuk turut merasakan sedikit penderitaan Yesus, dan mempersatukan pengorbanan kita dengan pengorbanan Yesus di kayu salib demi keselamatan dunia.

6. Maka pada saat kita berpuasa, kita dapat mendoakan untuk pertobatan seseorang, atau mohon pengampunan atas dosa kita. Doa-doa seperti inilah yang sebaiknya mendahului puasa, kita ucapkan di tengah-tengah kita berpuasa, terutama saat kita merasa haus/ lapar, dan doa ini pula yang menutup puasa kita/ sesaat sebelum kita makan. Di sela-sela kesibukan sehari-hari kita dapat mengucapkan doa sederhana, “Ampunilah aku, ya Tuhan. Aku mengasihi-Mu, Tuhan Yesus. Mohon selamatkanlah … (sebutkan nama orang yang kita kasihi).”

7. Karena yang ditetapkan di sini adalah syarat minimal, maka kita sendiri boleh menambahkannya sesuai dengan kekuatan kita. Jadi boleh saja kita berpuasa dari pagi sampai siang, atau sampai sore, atau bagi yang memang dapat melakukannya, sampai satu hari penuh. Juga tidak menjadi masalah, puasa sama sekali tidak makan dan minum atau minum sedikit air. Diperlukan kebijaksanaan sendiri (prudence) untuk memutuskan hal ini, yaitu seberapa banyak kita mau menyatakan kasih kita kepada Yesus dengan berpuasa, dan seberapa jauh itu memungkinkan dengan kondisi tubuh kita. Walaupun tentu, jika kita terlalu banyak ‘excuse’ berarti kita perlu mempertanyakan kembali, sejauh mana kita mengasihi Yesus dan mau sedikit berkorban demi mendoakan keselamatan dunia.

Karena begitu ringannya, kewajiban berpuasa dan berpantang, sesuai dengan semangat tobat yang hendak dibangun, umat beriman, baik secara pribadi, keluarga, atau pun kelompok, dianjurkan untuk menetapkan cara berpuasa dan berpantang yang lebih berat. Penetapan yang dilakukan diluar kewajiban dari Gereja, tidak mengikat dengan sangsi dosa.

Dalam rangka masa tobat, maka pelaksanaan perkawinan juga disesuaikan. Perkawinan tidak boleh dirayakan secara meriah.

Sumber: Imankatolik.or.id, Keuskupanpkpinang.org, Gereja Katolik, Wikipedia, LenteraNews

Comments (0)

Post a Comment