Puasa dalam Ajaran Islam

Posted by mochihotoru | Posted in , , , , | Posted on 4:27:00 PM

Puasa dalam agama Islam disebut juga dengan shaum (صوم), artinya menahan diri dari makan dan minum serta segala perbuatan yang bersifat duniawi dan bisa membatalkan puasa, mulai dari terbit fajar hinggalah terbenam matahari, untuk meningkatkan ketakwaan seorang muslim. Menurut bahasa (Arab), puasa atau shaum (صوم) atau shiyam (صيام), di mana keduanya merupakan kata dasar dari kata kerja shaama (صام), artinya sikap pasif atau usaha menahan diri. Sedangkan menurut istilah, puasa adalah menahan diri dari makan dan minum serta segala yang membatalkan ibadah tersebut, sejak terbit fajar sampai tenggelamnya matahari. Perintah puasa difirmankan oleh Allah Mahatinggi pada Alquran surat Albaqarah 2:183.

“Yaa ayyuhaladziina aamanuu kutiba alaikumus siyaamu kamaa kutiba ‘alalladziina min qablikum la allakum tataquun.” (Albaqarah 2:183)

(Hai orang-orang yang percaya, telah diwajibkan ke atas kamu berpuasa sebagaimana telah diwajibkan ke atas umat-umat yang sebelum kamu, agar kamu menjadi orang-orang yang bertakwa.)

Ibadah puasa Ramadan yang diwajibkan Allah kepada setiap beriman adalah ibadah yang ditujukan untuk merendahkan diri di hadapan Allah dan memuliakan-Nya seperti yang tertera dalam Albaqarah 2:183. Hikmah dari ibadah puasa itu sendiri adalah melatih manusia untuk melakukan pengendalian diri dan sabar dalam menjalani hidup. Maksud dari sabar yang tertera dalam Alquran adalah ‘gigih dan ulet’ seperti yang dimaksud dalam Ali Imran 3:146.

“Dan berapa banyak nabi yang berperang bersama-sama mereka sejumlah besar dari pengikutnya yang bertakwa. Mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka di jalan Allah, dan tidak lesu dan tidak pula menyerah kepada musuh. Allah menyukai orang-orang yang bersabar.” (Ali Imran 3:146)

http://i526.photobucket.com/albums/cc343/roy_aprilla/puasa-16.jpg

Puasa bukanlah cara untuk membuat Allah melakukan apa yang kita inginkan. Perintah puasa sebagai disiplin rohani lebih menekankan ke dalam aktivitas sendi kehidupan yaitu saat di mana kita mampu untuk menahan hawa nafsu duniawi (bahkan hingga makan dan minum pun kita tahan) kemudian menjalankan keinginan Allah sepenuhnya sehingga meraih ketakwaan, yaitu kesanggupan untuk mengikuti segala kehendak Allah dan menjauhi semua larangan-Nya. Selain itu juga untuk meminta daya dan upaya dalam berperang melawan godaan setan. Karena itu, saat berpuasa, seseorang harus berusaha untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah, yaitu dengan melakukan salat, berdoa, bersedekah, memohon ampunan Allah, mengisi dengan kegiatan rohani, dan melakukan amalan lain yang berkenan di sisi Allah.


Sejarah Perintah Puasa

Amanat puasa turun saat Muhamad berada di Madinah, ketika umat Islam mula-mula saat itu baru saja berhijrah dari Mekah setelah mendapat tekanan dari berbagai sisi kehidupan. Namun di sinilah terlihat sifat kesabaran (tidak lemah, tidak lesu, pantang mundur) dari semangat umat yang berserah diri untuk bangkit memberitakan ayat-ayat Allah ke seluruh bangsa.

Jumhur ulama dan sebagian pengikut Imam Syafi’i berpendapat bahwa tidak ada puasa yang pernah diwajibkan atas umat Islam sebelum bulan Ramadan. Pendapat ini dilandaskan pada hadis yang diriwayatkan oleh Mu’awiyah:

“Hari ini adalah Hari Asyura, dan Allah tidak mewajibkannya atas kalian. Siapa yang mau silahkan berpuasa, yang tidak juga boleh meninggalkannya.”

Sedangkan mazhab Hanafi mempunyai pendapat lain, bahwa puasa yang diwajibkan pertama kali atas umat muslim adalah puasa Asyura. Setelah datang Ramadan, Asyura dirombak (mansukh). Mazhab ini mengambil dalil hadisnya Ibn Umar dan Aisyah yang diriwayatkan dari Ibnu Amr bahwa Muhammad telah berpuasa hari Asyura dan memerintahkannya kepada umatnya untuk berpuasa pada hari itu. Dan ketika datang Ramadan, maka lantas puasa Asyura beliau tinggalkan, Abdullah Ibnu Amr juga tidak berpuasa (Hadis Bukhari).

“Diriwayatkan dari Aisyah, bahwa orang-orang Quraisy biasa melakukan puasa Asyura pada masa Jahiliah (Kebodohan). Kemudian Rasul Allah memerintahkan untuk berpuasa hari Asyura sampai diwajibkannya puasa Ramadan. Dan Rasul Allah berkata, Barangsiapa ingin berpuasa Asyura silahkan berpuasa, jika tidak juga tak apa-apa.” (Hadis Bukhari dan Muslim)

Pada masa-masa sebelumnya, Muhammad biasa melakukan puasa Asyura sejak sebelum berhijrah (bermigrasi) dan terus berlanjut sampai usai hijrah. Ketika hijrah ke Madinah, ia mendapati orang-orang Yahudi sedang berpuasa Asyura (Ibrani: ‘Asor) yang dilaksanakan tanggal 10 bulan Tisyri (penanggalan Yahudi), beliau pun ikut berpuasa seperti mereka dan manyerukan ke pengikutnya untuk melakukan puasa itu.

Hal ini sesuai dengan wahyu secara berkesinambungan dan ijtihad (interpretasi) yang tidak hanya berdasar hadis yang diriwayatkan oleh tidak lebih dari satu orang. “Ibn Abbas meriwayatkan: ketika Muhammad sampai di Madinah, beliau melihat orang-orang Yahudi sedang melakukan puasa Asyura, lalu beliau bertanya: (Puasa) apa ini? Mereka menjawab: Ini adalah hari Nabi Saleh, hari di mana Allah Mahatinggi dan Mahakudus memenangkan Bani Israel atas musuh-musuhnya, maka lantas Musa melakukan puasa pada hari itu. Lalu Muhammad berkata: Aku lebih berhak atas Musa dari kalian. Lantas beliau melaksanakan puasa tersebut dan memerintahkan (kepada sahabat-sahabatnya) berpuasa” (Hadis Bukhari).

Puasa Ramadan diwajibkan pada bulan Syaban tahun kedua Hijriah, maka lantas, sebagaimana menurut mazhab Abi Hanifah, kewajiban puasa Asyura terombak (mansukh). Sedang menurut mazhab lainnya, kewajiban puasa Ramadan itu hanya merombak kesunatan puasa Asyura.

Kewajiban puasa Ramadan berlandaskan Alquran, Hadis, dan ijma (kesepakatan).
“Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar, bahwasanya dia mendengar Rasul Allah bersabda: Islam berdiri atas lima pilar: kesaksian tiada ilah selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan salat, mengeluarkan zakat, haji ke Bait Allah (Mekah) dan berpuasa di bulan Ramadan.”

Jenis-Jenis Puasa

Berpuasa merupakan salah satu dari lima Rukun Islam, yaitu rukun ketiga. Terdapat dua jenis puasa yaitu puasa wajib dan puasa sunah, namun tatacaranya tetap sama. Berikut jenis-jenisnya:

  • Puasa yang hukumnya wajib:

o Puasa Ramadan,

o Puasa karena nazar,

o Puasa kifarat atau denda.

  • Puasa yang hukumnya sunah:

o Puasa enam hari di bulan Syawal,

o Puasa Arafah,

o Puasa Senin-Kamis,

o Puasa Daud (sehari puasa, sehari tidak),

o Puasa Asyura (pada bulan Muharam),

o Puasa tiga hari pada pertengahan bulan (menurut kalender Hijriah), tanggal 13, 14, dan 15.

Berbeda dengan puasa Ramadan yang merupakan puasa wajib bersama, puasa jenis lain biasanya bersifat personal dan sebisa mungkin dilakukan tanpa diketahui orang lain agar menambah nilai puasa.

Syarat Wajib Puasa

Puasa yang diwajibkan oleh Allah dalam ayat ini adalah puasa Ramadan, orang-orang beriman yang dipanggil untuk berpuasa Ramadan adalah bagi mereka yang telah memenuhi persyaratan sebagai berikut:

1. Mengikuti ajaran Islam,

2. Baligh (sudah cukup umur),

3. Berakal sehat (tidak gila atau mabuk),

4. Orang yang sedang berada di tempat (tidak sedang safar/ dalam perjalanan), sebab tidak wajib bagi musafir, sesuai firmanNya: Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu berbuka) maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” (Albaqarah 2:185)

5. Sanggup berpuasa. Bila tidak sanggup karena sakit atau sudah tua, tidak wajib atasnya puasa. Tetapi harus menggantinya pada hari lain (mengqada) atau membayar fidyah, yaitu memberi makan fakir miskin selama tidak berpuasa (sedekah). Orang-orang yang digolongkan ke dalam golongan orang yang tidak sanggup (tidak mampu) berpuasa ialah: wanita hamil dan wanita yang sedang menyusui anak, orang yang sudah sangat tua atau lemah, dan para pekerja berat. Seperti yang diisyaratkan Allah di dalam firman-Nya: Dan wajiblah bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah. (yaitu): memberi makan seorang miskin” (Albaqarah 2:184). Tetapi bagi seseorang yang telah memenuhi persyaratan (syarat-syarat) tersebut di atas maka wajib bagi mereka melaksanakan puasa.

http://www.fedroza.com/wp-content/uploads/2009/09/ramadhan.jpg

Syarat Sah Puasa

  1. Muslim (tidak murtad),
  2. Mummayiz (dapat membedakan yang baik dan yang buruk),
  3. Suci dari haid dan nifas,
  4. Mengetahui waktu diterimanya puasa.

Rukun puasa

  1. Niat.

Melakukan niat dengan pemikiran dan perkataan dengan sungguh-sungguh pada malam hari sebelum puasa. Tanpa niat sungguh-sungguh dalam hati, puasa seseorang tidak sah, sesuai sabda Rasul Allah dari Hafsah: Siapa yang tidak berniat puasa pada malam hari sebelum terbit fajar, tidak sah puasanya” (Hadis Abu Daud, Tirmizi dan Nasai). Tetapi dalam berpuasa sunat, dibolehkan niatnya siang hari, dengan syarat waktunya sebelum matahari condong ke barat (zawal) dan ketika itu sama sekali belum makan dan minum apa-apa. Perhatikan hadis dari Aisyah berikut: Pada suatu hari Rasul Allah datang ke rumahku, beliau bertanya: Apakah ada makanan?” Aku menjawab: Tidak ada.” Beliau berkata lagi: “Kalau begitu aku akan berpuasa hari ini.” Kemudian pada hari lain beliau datang lagi, lalu kami berkata: “Ya Rasul Allah, ada kue (haisun) dihadiahkan kepada kita.” Beliau berkata: “Coba perlihatkan kepadaku. Sesungguhnya aku sejak pagi berpuasa.” Lalu beliau pun memakan kue itu.” (Hadis bersama, kecuali Bukhari)

  1. Meninggalkan segala hal yang membatalkan puasa dari terbit fajar hingga terbenam matahari.

Hal-Hal Membatalkan Puasa

Hal-hal yang bisa membatalkan puasa adalah seperti berikut:

1. Makan atau minum yang dilakukan dengan sengaja. Sebab makan atau minum yang dilakukan tanpa sengaja tidaklah membatalkan puasa, sesuai Hadis Muhammad dari Abu Hurairah berikut: “Siapa yang makan dan atau minum karena lupa, tidaklah dia berbuka (tidak batal puasanya) karena hal itu semata-mata suatu rezeki yang diberikan Allah kepadanya” (Hadis Tirmizi dan Baihaqi).

2. Bersetubuh atau berhubungan kelamin serta melakukan hal-hal untuk memuaskan diri secara seksual.

3. Keluar air mani dengan sengaja (masturbasi). Tetapi air mani yang keluar karena mimpi di tengah tidur nyenyak tidak membatalkan puasa.

4. Muntah dengan sengaja. Berdasarkan hadis dari Abu Hurairah, bersabda Rasul Allah: “Siapa yang terpaksa muntah sedang dia berpuasa, tidaklah dia wajib mengqadanya. Tetapi siapa yang sengaja muntah, wajib dia mengqadanya” (Hadis bersama).

5. Hilang akal (gila atau mabuk).

6. Keluar haid atau nifas (khusus bagi wanita).

7. Membatalkan niat untuk berpuasa. Apabila seseorang membatalkan niatnya untuk berpuasa, puasanya menjadi batal meskipun ia tidak makan ataupun minum, karena niat merupakan salah satu rukun puasa.

Waktu haram puasa

Waktu haram puasa adalah waktu di mana umat Islam dilarang berpuasa. Hikmahnya adalah ketika semua orang bergembira, seseorang itu perlu turut bersama merayakannya. Berikut jenis-jenis puasa yang dilarang menurut ketentuan Islam:

1. Berpuasa pada Hari Raya Idul Fitri (1 Syawal)

Tanggal 1 Syawal telah ditetapkan sebagai hari raya sakral umat Islam. Hari itu adalah hari kemenangan yang harus dirayakan dengan bersukacita. Karena itu hukum Islam telah mengatur bahwa pada hari itu tidak diperkenankan seseorang untuk berpuasa. Meski tidak ada yang bisa dimakan, paling tidak harus membatalkan puasanya atau tidak berniat untuk puasa.

نَهَى رَسُولُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ صِيَامِ يَوْمَيْنِ: يَوْمَ الفِطْرِ وَيَوْمَ الأَضْحَى – متفق عليه

“Rasul Allah melarang berpuasa pada dua hari: hari Fitri dan hari Adha.” (Hadis Muttafaq)

2. Berpuasa pada Hari Raya Idul Adha (10 Zulhijjah)

Hal yang sama juga pada tanggal 10 Zulhijjah sebagai Hari Raya kedua bagi umat Islam. Hari itu diharamkan untuk berpuasa dan umat Islam disunnahkan untuk menyembelih hewan korban dan membagikannya kepada fakir miskin dan kerabat serta keluarga. Agar semuanya bisa ikut merasakan kegembiraan dengan menyantap hewan kurban itu dan merayakan hari besar.

3. Berpuasa pada hari-hari Tasyrik (11, 12, dan 13 Zulhijjah)

Hari tasyrik adalah tanggal 11, 12 dan 13 bulan Zulhijjah. Pada tiga hari itu umat Islam masih dalam suasana perayaan hari Raya Idul Adha sehingga masih tidak diperbolehkan untuk berpuasa. Namun sebagian pendapat mengatakan bahwa hukumnya makruh (lebih baik tidak dikerjakan), bukan haram (berdosa jika dikerjakan). Apalagi mengingat masih ada kemungkinan orang yang tidak mampu membayar dam haji untuk puasa tiga hari selama dalam ibadah haji.

إِنَّهَا أَيَّامُ أَكْلٍ وَشُرْب وَذِكْرِ اللهِ تَعَالى – رواه مسلم

“Sesunggunya hari itu (tasyrik) adalah hari makan, minum dan mengingat Allah.” (Hadis Muslim)

4. Berpuasa sehari saja pada hari Jumat

Puasa ini haram hukumnya bila tanpa didahului dengan hari sebelum atau sesudahnya. Kecuali ada kaitannya dengan puasa sunah lainnya seperti puasa sunah nabi Daud, yaitu sehari berpuasa dan sehari tidak. Maka bila jatuh hari Jumat giliran untuk puasa, boleh berpuasa. Sebagian ulama (sarjanawan Islam) tidak sampai mengharamkannya secara mutlak, namun hanya sampai makruh saja.

5. Berpuasa pada hari Syak (30 Syaban)

Hari syah adalah tanggal 30 Syaban bila orang-orang ragu tentang awal bulan Ramadan karena hilal (bulan) tidak terlihat. Saat itu tidak ada kejelasan apakah sudah masuk bulan Ramadan atau belum. Ketidakjelasan ini disebut syak. Dan secara hukum agama, umat Islam dilarang berpuasa pada hari itu. Namun ada juga yang berpendapat tidak mengharamkan tapi hanya memakruhkannya saja.

6. Berpuasa selamanya

Diharamkan bagi seseorang untuk berpuasa terus setiap hari. Bagaimanapun juga, tidak makan dalam jangka waktu yang panjang dapat merusak tubuh. Meski dia sanggup untuk mengerjakannya karena memang tubuhnya kuat. Tetapi secara hukum, puasa seperti itu dilarang oleh Islam karena akan berdampak buruk untuk banyak hal, termasuk dalam menjalin hubungan antarmanusia. Bagi mereka yang ingin banyak puasa, Rasul Allah menyarankan untuk berpuasa seperti puasa Nabi Daud, yaitu sehari puasa dan sehari berbuka.

7. Berpuasa pada saat haid (menstruasi) atau nifas

Wanita yang sedang mengalami haid atau nifas diharamkan mengerjakan puasa. Karena kondisi tubuhnya sedang dalam keadaan tidak suci dari hadas besar. Apabila tetap melakukan puasa, maka berdosa hukumnya. Bukan berarti mereka boleh bebas makan dan minum sepuasnya. Tetapi harus menjaga kehormatan bulan Ramadan dan kewajiban menggantinya (mengqada) di hari lain.

8. Berpuasa sunah bagi wanita tanpa izin suaminya

Seorang isteri bila akan mengerjakan puasa sunnah, maka harus meminta izin terlebih dahulu kepada suaminya. Bila mendapatkan izin, maka dia boleh menjalankan puasa. Sedangkan bila tidak diizinkan tetapi tetap puasa, maka puasanya haram secara syar’i.

Dalam kondisi itu, suami berhak untuk memaksanya berbuka puasa. Kecuali bila telah mengetahui bahwa suaminya dalam kondisi tidak membutuhkannya. Misalnya ketika suami bepergian atau dalam keadaan ihram haji atau umrah atau sedang beritikaf. Sabda Rasul Allah: Tidak halal bagi wanita untuk berpuasa tanpa izin suaminya sedangkan suaminya ada di hadapannya. Karena hak suami itu wajib ditunaikan dan merupakan fardhu (kewajiban mutlak) bagi istri, sedangkan puasa itu hukumnya sunah. Kewajiban tidak boleh ditinggalkan untuk mengejar yang sunah.

Selain hari-hari tersebut, ada pula waktu di mana umat Islam dianjurkan untuk tidak berpuasa, yaitu ketika ada kerabat atau teman yang sedang mengadakan pesta syukuran atau pernikahan. Hukum berpuasa pada hari ini bukan haram, melainkan makruh, karena Allah tidak menyukai jika seseorang hanya memikirkan kehidupan akhirat (kehidupan kekal) saja sementara kehidupan sosialnya (menjaga hubungan dengan kerabat atau masyarakat) ditinggalkan.

Sumber: Wikipedia.org, hajisunaryo.co.nr, pesantrenvirtual.com

Comments (0)

Post a Comment