Puasa dalam Ajaran Buddha
Posted by mochihotoru | Posted in Buddhism, Culture, Religions | Posted on 6:12:00 PM
Sehubungan dengan hadirnya bulan Ramadan yang merupakan bulan puasa bersama umat Islam, mungkin banyak saudara-saudara kita dari kalangan umat Islam yang bertanya-tanya apakah umat Buddha memiliki kebiasaan berpuasa. Seperti halnya dalam agama Islam, dalam agama Buddha juga dikenal sebuah istilah yang dapat diartikan sebagai “puasa”. Namun, hendaknya jangan ditafsirkan sebagai puasa tidak makan dan minum selama sekitar 14 jam seperti dalam agama Islam.
Sebagaimana yang kita ketahui bahwa masyarakat Buddhis terdiri dari para rohaniawan (Pabbajjita) dan para perumah tangga/ umat awam (Gharavasa). Para rohaniawan mendisiplinkan kehidupannya dengan menjalankan 227 tata tertib. Sedangkan para perumah tangga/ umat awam mendisiplinkan hidupnya dengan menjalankan tata tertib (Pancasila).
Sesuai tekad yang sudah diambil, para rohaniawan akan menjalankan 227 tata tertib selama hidupnya. Dengan kata lain, para rohaniawan akan berpuasa selama hidupnya. Sementara umat awam yang menjalankan lima sila, pada saat-saat tertentu dianjurkan untuk melakukan latihan spiritual yang lebih tinggi (puasa) dengan menjalankan delapan sila (Atthasila). Secara tradisi para perumah tangga/ umat awam akan menjalankan latihan puasa (Atthasila) pada bulan gelap dan terang (tanggal 1 dan 15 penanggalan bulan kalender buddhis). Di beberapa tempat, para perumah tangga/ umat awam juga menjalankan latihan ini pada tanggal 8 dan 23 (penanggalan bulan kalender buddhis). Disebutkan juga bahwa umat Buddha yang menjalankan latihan atthasila berarti sedang menjalankan uposatha. Uposatha artinya hari pengamalan (dengan berpuasa) atau dengan pelaksanaan uposatha-sila pada hari atau waktu tertentu (dapat disebut hari uposatha). Puasa tersebut dilaksanakan dengan menjalani uposatha-sila. Uposatha ini sering disinonimkan dengan kata upavasa.
Menilik kata puasa, banyak ahli bahasa memang menyatakan bahwa “puasa” berasal dari kata upavasa (bahasa Pali). Tidak bisa dipungkiri bahwa bangsa Indonesia pernah memeluk agama Buddha, dan menjadikannya sebagai agama negara (zaman Syailendra Majapahit) sehingga tidak bisa diragukan lagi bahwa kata puasa berasal dari kata upavasa. Sebagai contoh kita bisa menemukan banyaknya bahasa Pali atau Sansekerta yang diserap ke dalam bahasa Indonesia, misalnya: suriya menjadi surya, vanita menjadi wanita, dighayu menjadi dirgahayu, dan masih banyak lagi yang lainnya. Memang, kata puasa belakangan secara formal sudah digunakan oleh umat lslam ketika menjalankan ibadah di bulan Ramadan. Tetapi disebutkan juga bahwa kata puasa tidak ditemukan dalam kitab suci umat lslam. Yang ada dalam kitab suci umat lslam hanya kata shaum, tentu pengertiannya mirip dengan kata puasa.
Masalahnya, istilah puasa dalam pengertian umum kita, diterjemahkan lebih sempit dibandingkan istilah upavasa (uposatha). Kata upavasa atau uposatha (dalam kamus bahasa Pali) memiliki arti lebih luas yaitu menghindari nafsu duniawi. Sedangkan, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah puasa memiliki arti yang lebih sempit yakni menghindari makan, minum dan sebagainya dengan sengaja (terutama bertalian dengan keagamaaan).
Puasa dalam agama Buddha sedikit berbeda dan diperbolehkan minum. Dalam agama Buddha puasa itu disebut uposatha. Puasa ini tidak wajib bagi umat Buddha, namun biasanya dilaksanakan dua kali dalam satu bulan (menurut kalender buddhis dimana berdasarkan peredaran bulan), yaitu pada saat bulan terang dan gelap (bulan purnama). Namun ada yang melaksanakan enam kali dalam satu bulan, tetapi puasa (uposatha) tersebut tidak wajib.
Adapun upavasa (uposatha atthasila) yang dijalankan oleh umat Buddha adalah:
1. Bertekad akan melatih diri menghindari pembunuhan makhluk hidup.
Artinya adalah tidak melakukan pembunuhan atau melukai makhluk hidup. Makhluk hidup di sini adalah manusia dan binatang (tumbuhan tidak termasuk).
2. Bertekad akan melatih diri menghindari mengambil barang yang tidak diberikan.
Artinya adalah tidak melakukan perbuatan yang mengambil barang tanpa seizin pemiliknya.
3. Bertekad akan melatih diri menghindari berhubungan seks/asusila.
Artinya adalah tidak melakukan hubungan badan baik dengan apapun juga, dan tidak melakukan kegiatan seks sendiri (masturbasi). Intinya adalah tidak boleh melakukan kegiatan yang memuaskan diri secara seksual.
4. Bertekad akan melatih diri menghindari berbicara atau berucap yang tidak benar.
Pengertian ini jelas. Artinya tidak berbohong sehingga merugikan orang lain secara langsung atau pun tidak langsung dengan niat buruk.
5. Bertekad akan melatih diri menghindari segala makanan dan minuman yang dapat melemahkan kesadaran.
Artinya jelas, bahwa tidak berkonsumsi makanan yang membuat kesadaran lemah dan ketagihan (alkohol, obat-obatan terlarang). Jika seseorang mengkonsumsi untuk tujuan medis dalam jumlah kecil dan tidak hilang kesadaran, maka tidak terjadi pelanggaran.
6. Bertekad akan melatih diri menghindari makan setelah tengah hari.
Pengertian di sini adalah bahwa seseorang tidak boleh makan setelah lewat tengah hari hingga subuh/ dini hari. Patokannya adalah untuk tengah hari, ketika matahari tepat di atas kepala atau pukul dua belas. Sedangkan subuh/ dini hari adalah ketika tanpa lampu, seseorang dapat melihat garis tangannya sendiri atau ketika matahari terbit. Jadi seseorang boleh makan (berapa kali pun) hanya pada waktu dini hari/ subuh sampai tengah hari (sekitar jam 12).
7. Bertekad akan melatih diri menghindari menyanyi, menari, bermain musik, pergi melihat hiburan, memakai bunga-bungaan, wangi-wangian, serta alat-alat kosmetik yang bertujuan untuk memperindah diri atau menarik perhatian orang lain.
Pengertiannya jelas dan untuk mendengarkan musik pun tidak diperbolehkan. Jika musik atau kosmetik digunakan untuk terapi atau untuk menolak penyakit, maka seseorang tidak menjadi melanggar aturan.
8. Bertekad akan melatih diri menghindari pemakaian tempat tidur dan tempat duduk yang besar dan tinggi.
Pengertiannya di sini adalah tidak tidur di atas tempat yang tingginya lebih dari 20 inci termasuk juga duduk. Tidur atau duduk di tempat yang mewah juga tidak diperbolehkan.
Jadi puasa (uposatha) seorang umat Buddha dinyatakan sah, apabila ia mematuhi ke-8 larangan tersebut seperti yang tertulis di atas. Jika salah satu larangan tersebut dilanggar—baik sengaja atau tidak— berarti ia puasanya (uposatha-nya) tidak sempurna.
Ada satu jenis kegiatan lagi dalam agama Buddha yang bisa disebut “puasa”, yaitu vegetaris. Vegetaris berarti tidak makan makanan bernyawa (dalam hal ini daging). Atau bisa dikatakan hanya memakan sayur-sayuran. Dalam pelaksanaan vegetaris ini, umat Buddha yang vegetarian ini tidak makan daging, termasuk jenis bawang-bawangan. Untuk telur atau susu, ada vegetarian yang masih makan, ada yang tidak. Namun vegetarian murni tidak makan telur atau pun susu. Dalam melaksanakan puasa ini (vegetaris), seseorang boleh makan kapan pun dalam 24 jam, namun hanya makan sayur-sayuran, tidak boleh daging dan bawang-bawangan. Puasa ini (melaksanakan vegetaris) tidak wajib bagi umat Buddha. Biasanya umat Buddha melaksanakannya tanggal 1 dan 15 berdasar kalender lunar (berdasar revolusi bulan), ketika bulan purnama menurut perhitungan Cina.
Kesimpulannya dalam agama Buddha, terdapat puasa namun definisinya berbeda. Puasa jenis I, disebut Uposatha intinya tidak makan dari setelah siang hari sampai subuh. Puasa jenis II, disebut vegetaris intinya tidak makan makanan yang berasal dari makhluk hidup (dalam hal ini daging).
Comments (0)
Post a Comment