Tepuk Tangan dalam Ibadah

Posted by mochihotoru | Posted in , , , | Posted on 7:31:00 PM

Belakangan ini, jemaat sering bertepuk tangan di dalam ibadah setelah sebuah lagu pujian dipersembahkan oleh sebuah paduan suara, grup kolintang atau penyanyi tunggal, sebagai apresiasi terhadap indahnya lagu tersebut. Akibatnya, beberapa anggota paduan suara merasa kecewa apabila jemaat tidak memberi apresiasi dengan tepuk tangan, karena merasa bahwa lagu yang dinyanyikannya itu tidak bagus.

Sebenarnya, lagu pujian itu ditujukan kepada siapa? Kepada Tuhan atau kepada jemaat? Dan bagaimana seharusnya sikap jemaat di dalam mengapresiasi lagu pujian tersebut?

Lalu, saya memerhatikan bahwa di dalam beberapa ibadah sakramen pernikahan yang saya ikuti akhir-akhir ini, pengantin berdiri dan menghadap paduan suara, ketika paduan suara melantunkan sebuah lagu pujian, sebagai bentuk penghormatan pengantin atas persembahan lagu tersebut. Apakah hal itu tidak keliru?

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEio425VhsfOBNd_WcEGlCZz8aXV0tRl30UPfq5mf7QsuBpQ1LhmjFO-eOdUv5e7mDgE19jgxQVd-LDOfXTvrKHkPIYCFgyER8L1Tac_hVT8Hga-8lODzgGV6h04L_xt_YA5qd7nvQXoD7s/s320/TEPUK+TANGAN.jpg

Bagaimanapun, lagu-lagu pujian di dalam sebuah ibadah dipersembahkan kepada Tuhan dan bukan kepada pengantin, sehingga pengantin seharusnya tidak berdiri dan hanya mengamininya di dalam hati. Benarkah pengertian saya itu?

Dalam iman Kristiani, relasi manusia dengan Tuhan itu tidak bisa dipisahkan dari relasinya dengan sesama. Sebaliknya, relasi manusia dengan sesamanya seharusnya berdasarkan relasinya dengan Tuhan. Ini berlaku untuk semua jenis relasi, baik relasi suami-istri, orangtua-anak, pemimpin agama-umat termasuk juga relasi antara umat dengan sesamanya dalam hal ini kelompok paduan suara. Kita selalu berada dalam segitiga antara Allah dan sesama manusia.

Itulah sebabnya dalam Alkitab disaksikan, bahwa apa yang dilakukan manusia buat sesamanya sesungguhnya adalah yang dia lakukan buat Tuhan (Matius 25:40). Kita juga diajak untuk melakukan segala sesuatu (termasuk buat sesama kita) di dalam nama Tuhan dan untuk kemuliaan Allah (Kol. 3:17; I Kor. 10:31).

Dalam rangka itu, kita sebagai anak-anak Tuhan memang harus berhati-hati dalam menjaga perilaku kita. Kadang-kadang apa yang kita lakukan bisa saja menjadi batu sandungan buat orang lain sehingga mereka tidak bisa memuliakan Allah, meskipun maksud kita sesungguhnya baik. Bahkan kadang-kadang kita dipanggil untuk mengorbankan kebebasan kita demi menjaga hati nurani orang lain (1 Kor. 10:29-31). Sungguh berat ya? Tidaklah! Sepanjang kita menghayatinya untuk Tuhan!

Nah, kembali ke pertanyaan. Sebenarnya lagu pujian dalam ibadah itu ditujukan buat siapa? Jelas buat Tuhan, namun kembali kita harus ingat bahwa apa yang kita lakukan buat Tuhan itu proyeksinya adalah kepada sesama kita, dalam hal ini umat yang mendengarkan. Oleh karena itu sangat wajar bila umat atau pengantin kemudian memberikan apresiasinya, apapun bentuknya. Tetapi sekiranya tidak ada apresiasi pun, baik tepuk tangan atau pujian, kelompok paduan suara seharusnya tidak perlu kecil hati karena mereka melakukannya untuk Yang Terpuji. Justru kekecewaan kelompok paduan suara ini, meskipun dapat dipahami secara manusiawi, secara keimanan perlu dipertanyakan. Apa yang mereka cari? Kepada siapa mereka mempersembahkan pujian itu?

Seharusnya mereka melakukan yang terbaik buat Tuhan dan ketika mereka sudah melakukan hal itu, maka tidak ada tepuk tangan pun tidak ada masalah. Yang perlu mereka tangisi adalah ketika mereka belum memberikan yang terbaik buat Tuhan!

Dari sisi umat, sikap yang membeda-bedakan memang bisa menjadi batu sandungan. Karena itu lebih baik umat tidak memberikan tepuk tangan, tetapi masukan entah dalam wujud pujian atau kritikan kepada kelompok paduan suara, seusai ibadah. Masukan semacam itu sesungguhnya lebih bermanfaat ketimbang tepuk tangan.

Lalu, bagaimana dengan pengantin yang berdiri menghadap paduan suara yang sedang menyanyi? Benar bahwa kelompok paduan suara itu menyanyi buat Tuhan, tetapi kembali proyeksinya adalah kepada sesama, dalam hal ini selain umat, khususnya pengantin. Karena itu bagi saya, wajar saja bila pengantin mengapresiasi dengan berdiri, meskipun tidak salah juga bila pengantin duduk dan mengamini lagu tersebut. Toh, pada kenyataannya, tidak pada semua momen ibadah pernikahan pengantin dapat berdiri menghadap paduan suara. Karena itu, perlu disadari, bahwa bentuk apresiasi yang terbaik adalah sebuah masukan, entah pujian atau kritikan yang membangun.

Oleh karena itu, mari kita membiasakan memberikan masukan kepada paduan suara, bahkan kepada semua pendukung ibadah, seperti pendeta, prokantor, pemusik, lektor dan banyak lainnya. Sesungguhnya, sebuah masukan konkret dan membangun lebih berguna ketimbang ribuan tepuk tangan! Dan buat seluruh pendukung ibadah, lakukanlah yang terbaik, siapkanlah yang terbaik, karena Anda melakukannya buat Tuhan!

Sumber: gkipi.org

Comments (0)

Post a Comment