Hakikat Taqiyah versi Syiah

Posted by mochihotoru | Posted in | Posted on 11:17:00 AM

Salah satu aspek dalam Syiah yang paling disalahpahami adalah, praktik taqiyah atau menyembunyikan sesuatu dengan berpura-pura. Di sini kami mengabaikan makna yang lebih luas dari taqiyah: “menghindari atau menjauhkan diri dari setiap jenis bahaya”. Kami lebih cenderung mendiskusikan jenis taqiyah dalam arti seorang menyembunyikan agamanya atau beberapa praktik tertentu dari agamanya dalam keadaan-keadaan yang mungkin atau pasti akan menimbulkan bahaya sebagai akibat tindakan-tindakan dari orang-orang yang menentang agamanya atau praktik-praktik keagamaan tertentu.

Di antara pengikut-pengikut berbagai mazhab (denominasi) dalam Islam maka kaum Syiah terkenal akan praktik taqiyah mereka. Dalam keadaan bahaya, mereka menyembunyikan agama mereka dan merahasiakan praktik-praktik dan upacara-upacara keagamaan yang khas terhadap lawan-lawan mereka.

Sumber-sumber yang menjadi dasar kaum Syiah dalam persoalan ini, termasuk ayat-ayat Alquran seperti di bawah:

“Jangan sampai orang-orang yang beriman menjadikan orang-orang kafir sebagai teman-teman mereka selain orang-orang yang beriman. Barangsiapa melakukan hal itu maka tidak ada pertolongan dari Allah kecuali untuk menjaga diri terhadap mereka (orang-orang kafir) dengan sebaik-baiknya. Allah memperingatkan kalian (agar selalu ingat) kepada-Nya. Dan kepada Allah-lah kalian kembali.” (Ali Imran 3:28) (Ungkapan menjaga diri terhadap mereka (orang-orang kafir) dengan sebaik-baiknya diterjemahkan dari tattaqu minhum tuqatan, kata tattaqu dan tuqatan mempunyai akar kata yang sama dengan taqiyah.)

Sebagaimana jelas dari ayat Alquran tersebut, Allah Mahatinggi sangat melarang wilayah (dalam hal ini berarti persahabatan yang sedikit-banyak memengaruhi hidup seseorang) dengan orang-orang tidak percaya (kafir) dengan memerintahkan agar berhati-hati dan mempunyai rasa khawatir dalam keadaan semacam itu.

Di tempat lain Ia berfirman:

“Barangsiapa mengingkari Allah sesudah mengimani-Nya (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali dia yang terpaksa untuk melakukan itu sedang hatinya masih tentram dalam keimanan; akan tetapi barang siapa yang membuka dadanya untuk kekafiran, maka laknat Allah menimpa mereka, dan bagi mereka hukuman yang dahsyat.” (Annahl 16:106)

Sebagaimana disebutkan dalam kedua sumber, Sunni dan Syiah, ayat ini diturunkan mengenai Ammar ibn Yasir. Setelah Nabi Muhammad berhijrah, kaum kafir Mekah memenjarakan beberapa orang Islam Mekah, menyiksa dan memaksa mereka untuk meninggalkan Islam dan kembali pada kepercayaan mereka semula, yakni menyembah berhala. Yang termasuk dalam kelompok ini adalah Ammar, berserta ayah dan ibunya. Orang tua Ammar menolak untuk mengingkari Islam dan meninggal karena mengalami penyiksaan. Tetapi Ammar—untuk menghidari siksaan dan kematian—pura-pura meninggalkan Islam dan menerima penyembahan berhala, dan karena itu ia terhindar dari bahaya. Setelah dibebaskan, dengan diam-diam ia meninggalkan Mekah pergi ke Madinah. Di Madinah ia menghadap Nabi Muhammad, dan dalam keadaan menyesal dan sedih dengan apa yang telah dilakukannya ia bertanya kepada sang Nabi, apakah dengan berbuat demikian ia telah keluar dari wilayah kesucian Islam. Nabi menjawab bahwa kewajibannya ialah apa yang telah ia lakukan. Kemudian ayat tersebut diwahyukan.

Kedua ayat yang dikutip di atas diturunkan mengenai kasus-kasus tertentu, akan tetapi pengertiannya begitu rupa, sehingga mencakup seluruh situasi yang menyebabkan pengungkapan iman dan perbuatan keagamaan yang mungkin dapat membahayakan diri. Selain ayat-ayat ini, terdapat banyak hadis dari Ahli Bait Nabi yang memerintahkan taqiyah jika terdapat kekhawatiran akan bahaya.

Beberapa pihak melancarkan kritik terhadap pihak Syiah dengan mengatakan bahwa melakukan taqiyah dalam agama adalah bertentangan dengan nilai keberanian. Pemikiran yang paling sederhana sekalipun akan menunjukkan bahwa tuduhan itu salah, sebab taqiyah harus dipraktikkan dalam keadaan orang tersebut menghadapi sesuatu bahaya yang benar-benar mengancam keselamatan jiwa yang tidak dapat ditolak dan dilawankan. Perlawanan terhadap bahaya dan kegagalan untuk mempraktikkan taqiyah dalam keadaan seperti itu dianggap menunjukkan tindakan yang sembrono dan membabi-buta, dan bukan keberanian. Sifat-sifat keberanian dapat dilakukan, namun hanya sedikit kemungkinan untuk berhasil. Akan tetapi menghadapi suatu bahaya yang pasti atau mungkin terjadi yang di dalamnya tidak terdapat kemungkinan untuk menang, seperti minum air yang mungkin ada racunnya, atau melemparkan diri ke muka sebuah meriam yang ditembakkan, atau berbaring di atas rel di depan kereta api yang sedang berjalan dengan cepatnya—semuanya perbuatan yang semacam itu—tidak lain daripada kegilaan yang bertentangan dengan logika dan pikiran yang waras.

Dari hal itu, dapat disimpulkan bahwa taqiyah harus dipraktikkan hanya apabila terdapat suatu bahaya yang pasti yang tidak dapat dihindari dan tidak ada harapan menang dalam menghadapinya—selama keadaannya benar-benar mendesak.

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiBmNZxoc-AZG-r2ikQg6bzrVLFm16zcnkFWtBBw5G0eqpRR9LAD6BHvhuI5Dl3Py9YjjbDD3q6fH9_vDVaF2mhDOseuNBnq1s5UOA9Xgv5e5lokdaRo9__irk4vtYUZAJMulRu0uY3ERFl/s1600/supporters+of+a+Shiite+Muslim+group+Imamia+Students+Organization+chants+slogans+at+a+rally+to+condemn+Monday's+suicide+bombing,%2BTuesday,%2BDec.%2B29,%2B2009%2Bin%2BLahore,%2BPakistan.jpg

Batas bahaya yang tepat yang memungkinkan dilakukan taqiyah telah diperdebatkan di antara para mujtahid Syiah. Dalam pandangan kami, menjalankan taqiyah dapat dibenarkan apabila terdapat bahaya yang pasti dan kemungkinan penganiayaan, yang mengancam hidup seseorang atau keluarganya, atau kemungkinan hilangnya kehormatan dan kesucian istri seseorang atau anggota-anggota keluarga wanita lainnya, atau bahaya hilangnya harga benda yang sedemikian banyaknya sehingga mengakibatkan kemiskinan yang total dan tidak memungkinkan seseorang untuk seterusnya memberikan nafkah kepada keluarganya dan dirinya sendiri—bukan berdusta demi kemuliaan Allah atau menipu agar orang memeluk Islam. Pendek kata, sifat berhati-hati dan menghindari dari bahaya yang pasti atau mungkin datang dan tidak dapat dicegah, merupakan hukum logika yang biasa dan diterima oleh semua orang dan dipraktikkan oleh orang-orang dalam seluruh tahap kesempurnaan mereka yang berbeda-beda.

(Oleh Al-Marhum Allamah Thabathaba’i - Ansariyan Publication,Qum, 1989,Shi’a, hlm. 223; PU Grafiti, 1989, Indonesia,Islam Syiah, hlm. 259, dengan perubahan)

Sumber: al-shia.org

Comments (0)

Post a Comment