MANUSIA ADALAH MAKHLUK PENCARI KEBENARAN
Posted by mochihotoru | Posted in Culture, Education, Humanity, Psychology, Science | Posted on 6:27:00 PM
Pendahuluan
Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna. Manusia dikaruniai budi sehingga mampu memahami, mengerti, dan memecahkan persoalan-persoalan yang ada di sekitarnya. Tentu saja kemampuan manusia ini tidak diperoleh begitu saja. Melalui pengalaman, pendidikan, lambat laun manusia memperoleh pengetahuan tentang segala sesuatu yang terjadi di lingkungannya. Namun manusia tidak pernah merasa puas dengan apa yang telah didapatnya. Rasa ingin tahu, ingin mengerti yang merupakan kodrat manusia membuat manusia selalu bertanya-tanya apa ini, apa itu, bagaimana ini, bagaimana itu, mengapa begini, mengapa begitu. Pertanyaan-pertanyaan ini muncul sejak manusia mulai bisa berbicara dan dapat mengungkapkan isi hatinya. Makin jauh jalan pikirannya, makin banyak pertanyaan yang muncul, makin banyak usahanya untuk mengerti. Jika jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut mencapai alasan atau dasar, sebab atau keterangan yang sedalam-dalamnya, maka puaslah ia dan tidak akan bertanya lagi. Akan tetapi, jika jawaban dari pertanyaan itu belum mencapai dasar, maka manusia akan mencari lagi jawaban yang dapat memuaskannya.
Untuk apa sebenarnya manusia bertanya-tanya dan mencari jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut? Semua itu dilakukan karena manusia ingin mencari kebenaran. Jika ternyata bahwa pengertiannya atau pengetahuannya itu sesuai dengan hal yang diketahuinya, maka dikatakan orang bahwa pengetahuannya itu benar. Pengetahuan yang benar adalah pengetahuan yang sesuai dengan objeknya. Namun kebenaran itu ternyata tidak abadi. Artinya sesuatu yang pada suatu saat dianggap benar di saat yang lain dianggap tidak benar. Ini semua terjadi karena dinamika manusia yang selalu bergerak dan ingin mendapatkan sesuatu yang baru.
Permasalahan
Manusia sebagai dinamika selalu aktif mengembangkan dirinya dan ilmu pengetahuannya. Semuanya ini dilakukan untuk mencari kebenaran. Maka timbul pertanyaan sesungguhnya bagaimana relasi antara ilmu pengetahuan dengan kebenaran.
Pembahasan
Untuk menjawab pertanyaan tersebut di atas, akan penulis bahas permasalahan-permasalahan berikut:
1. Apa manusia itu?
2. Apakah ilmu pengetahuan itu?
3. Apakah kebenaran itu?
4. Relasi antara ilmu pengetahuan dengan kebenaran.
1. Apakah Manusia Itu?
Jawaban dari pertanyaan apa manusia itu? ada bermacam-macam karena ada bermacam-macam sistem dan masing-masing mempunyai jawaban sendiri. Hal ini bisa dimengerti karena manusia memang makhluk yang kompleks, yang tidak sederhana. Manusia adalah makhluk yang “misterius”, yang selalu menarik untuk dikupas dan dibicarakan (Setiardja, 2005: 21).
Jika kita melihat kembali pada sejarah filsafat manusia dapat kita temukan jawaban mengenai manusia dari berbagai aliran. Aliran yang pertama adalah aliran materialisme belaka (ekstrem) yang dipelopori oleh Junalien Offray de Lamettrie yang hidup pada tahun 1709-1751. Menurut aliran ini manusia adalah materi belaka. Aliran ini mengingkari kerohanian dalam bentuk apa pun, bahkan mengingkari adanya pendorong hidup (Poedjawijatna,1997:165-166). Aliran lain yang dapat digolongkan dalam materialisme adalah darwinisme meskipun aliran ini kurang ekstrem. Aliran ini berpendapat bahwa manusia tidak ada bedanya dengan binatang, segala tindak tanduk manusia itu ditentukan oleh alam.
Materialisme belaka ternyata tidak dapat memuaskan, terutama mengenai perubahan-perubahan yang sukar dapat dimasukkan kerangka kejasmanian. Orang mulai menyadari bahwa manusia bukanlah mesin, ada kesatuan di dalamnya, ada pendorong untuk bertindak dan untuk hidup pada umumnya. Aliran ini disebut antropologia vitalitas. Aliran yang dapat digolongkan ke dalam aliran filsafat manusia yang vitalistis adalah marxisme. Marxisme berpendapat bahwa perkembangan masyarakat atau sejarah tak lain adalah perkembangan bahan. Cenderung hidup itulah yang menyebabkan manusia hendak terus ada dan terus berkembang. Makan, minum, dan pakaian merupakan kerangka hidup, dengan demikian manusia adalah sama dengan binatang karena mempunyai kebutuhan yang sama. Letak perbedaan manusia dengan binatang adalah usaha manusia menghasilkan keperluan hidupnya. Usaha ini dilakukan dengan menggunakan alat. Aliran ini sampai pada kesimpulan adanya pendorong hidup pada manusia, akan tetapi pendorong ini tak lain adalah materi. Meskipun mengakui adanya perbedaan antara manusia dengan binatang, tetapi aliran ini tidak menerangkan penyebab perbedaan tersebut.
Aliran marxisme ditentang oleh idealisme. Jika marxisme amat mengutamakan jasmani, maka idealisme amat mengutamakan roh, sehingga jasmani kurang dihargai. Tokoh aliran idealisme adalah Fichte, Schelling, dan Hegel. Aliran yang mempertemukan kedua aliran ini adalah eksistensialisme. Menurut aliran ini cara manusia ada di dunia itu khusus. Manusia menyatu dengan dunia.
Dalam cahaya kesadarannya manusia melihat dirinya sendiri terhadap realitas yang bukan “aku”. Dalam tangkapan yang pertama yang nampak ialah perbedaan antara si aku dan realitas sekitarku: tetapi sebenarnya di samping keduaan antara manusia dan dunia, manusia dan dunia itu juga merupakan kesatuan (Setiardjo, 2005:23).
Manusia adalah makhluk berbadan jasmani dan berjiwa rohani. “Manusia menjasmanikan diri dalam alam jasmani: makan, minum, bernapas, tidur, tetapi manusia juga memanusiakan dan merohanikan alam jasmani dengan mengangkatnya ke dalam dan ketinggian eksistensinya yang manusiawi. Manusia memiliki transedensi, memiliki keunggulan untuk mengatasi struktur alam jasmani (Setiardjo, 2005:24).
2. Apakah Ilmu Pengetahuan Itu?
Manusia melalui pancaindranya menangkap objek yang ada di lingkungannya. Objek yang ditangkap pancaindra kemudian disampaikan kepada caturrasa, yaitu keindraan batin yang terdiri atas daya ingat, daya gambar, daya umum, dan daya duga. Daya umum menyajikan data pengetahuan indriyani yang konkret kepada budi. Sifat-sifat konkret yang ditangkap budi kemudian disisihkan sehingga tinggal hakikatnya. Hakikat inilah yang menimbulkan pengertian atau kata budi, yang disebut juga ide. Proses penyisihan sifat-sifat konkret itu disebut abstraksi, dan pengertian atau idea merupakan gambaran abstrak dalam budinya. Manusia ingin mengetahui hal ikhwal mengenai objek yang sudah diketahui hakikatnya itu. Melalui pengalaman, dan pendidikan manusia memperoleh pengetahuan dari sesuatu hal yang sudah ditangkap itu. Manusia tahu bahwa kambing, ayam, kerbau, bebek, dan kucing adalah binatang. Manusia tahun akan musim kemarau dan musim penghujan. Manusia tahu juga tentang hukum atau aturan yang tetap, yang umum berlaku bagi satu dan semuanya, misalnya ia tahu bahwa es akan mencair bila kena panas. Pengetahuan ini walaupun kadang tidak dirumuskan dengan kata-kata, diakui kebenarannya dan dipergunakan dalam kehidupan sehari-hari.
Sebagaimana dikatakan di muka bahwa manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna. Walaupun demikian manusia mempunyai keterbatasan dalam kemampuan-kemampuan, terutama dengan budinya. Manusia tidak mungkin tahu segala-galanya. Namun dengan budi dan karsanya manusia adalah transenden, artinya mengatasi struktur alam jasmani ini. Ia dapat berpikir dan bercita-cita, berkeinginan secara melampaui ruang dan waktu. Ia dapat berpikir tentang keadaan ribuan tahun yang lalu dan ribuan tahun mendatang. Ia dapat mengetahui keadaan atau situasi yang jaraknya ribuan kilometer dari tempat ia berada. Berkat budi dan karsanya manusia transenden, penuh dinamika, namun materialitasnya membatasi aktivitas-aktivitas manusia. Sebagai makhluk transenden manusia penuh dinamika, maka dia tidak puas dengan pengetahuan yang sederhana yang dipergunakan dalam kehidupan sehari-hari. Manusia berusaha mencari pengetahuan yang tersusun secara teratur yang mempunyai sistem. Ia berusaha meningkatkan pengetahuan menjadi ilmu pengetahuan, yaitu seperangkat pengetahuan tentang satu objek yang tersusun secara sistematis dengan mempertanggungjawabkan sebab-sebabnya.
3. Apakah Kebenaran Itu?
Manusia dengan budinya melakukan aktivitas-aktivitas untuk mengejar kebenaran. Sebenarnya kebenaran itu apa? Jawaban dari pertanyaan ini telah coba dijawab oleh beberapa ahli seperti tersebut di bawah ini.
1. Protagoras, 481-411 SM
Manusia merupakan tolok ukur segala sesuatu oleh karenanya kebenaran tergantung pada manusianya; relativisme adalah visinya.
2. Socrates, 470-399 SM
Mencari kebenaran dengan metode dialektika (tanya-jawab). Menurutnya kebenaran itu mutlak, absolut, objektif.
3. Plato, 429-347 SM
Murid Sokrates ini berpendirian dualistis. Realitas ini terdiri atas dunia riil, jasmani, dan dunia ideal. Segala sesuatu yang ada di dua riil fisik ini benar jika cocok dengan ide-ide yang ada di dunia ideal.
4. Aristoteles, 384-322 SM
Murid Plato ini berpendapat bahwa kebenaran terletak pada kesesuaian antara pernyataan budi dan realitas.
5. Pyrrho, 365-275 SM
Pelopor golongan skeptis ini menyatakan bahwa di dunia ini tidak ada kepastian, maka manusia tidak mungkin menemukan kebenaran.
6. Agustinus, 354-430 M
Budi manusia “rasio insani” dapat mencapai kebenaran yang tetap, tak tergoyahkan, asal berpartisipasi dalam “budi ilahi” mencapai terang.
7. Thomas Aquinas, 1225-1274
Wahyu ilahi merupakan pedoman bagi kebenaran yang berasal dari budi manusia dan kekuatan rasio manusia untuk mengetahui kebenaran-kebenaran yang menentukan dalam hidup manusia: kebenaran tantang Allah, tentang manusia tentang kelakuan hidup.
8. Rene Descartes, 1596-1650
Terkenal dengan metodenya “Cogito, ergo sum” (saya berpikir, jadi saya ada), itulah kebenaran yang tidak dapat disangkal lagi. Pendiriannya adalah hanya yang saya mengerti dengan jelas dan terinci itu adalah benar (clearly and distinctly).
9. Immanuel Kant, 1724-1804
Kebenaran terletak pada pernyataan manusia sebagai subjek.
10. Kierkegaard, 1813-1855
Kebenaran itu merupakan pendirian sebagai hasil pengalaman pribadi subjek.
11. Friedrich Nietzsche, 1844-1900
Kebenaran, seperti moralitas, merupakan sesuatu yang relatif: tidak ada fakta, hanya interpretasi. Bahasa memalsukan kebenaran.
12. William James, 1842-1910
Setiap dalil, setiap pernyataan dapat disebut kebenaran jika berguna bagi kehidupan manusia.
13. John Dewey, 1859- 1952
Kebenaran adalah hal yang bersifat relatif yang diperoleh melalui pengalaman, melalui hidup.
14. Martin Heidegger, 1889-1976
Kebenaran tidak terletak dalam kesesuaian antara pernyataan dan kenyataan, dan juga bukan dalam pernyataan budi. Dalam prosesnya letaknya dalam perjuangan manusia. Kedua pandangannya itu disebutnya “Intellectualisme”. Menurut Heidegger itu merupakan “Grundzug des Seienden”, ciri pokok pengada. Inti pokok kebenaran terletak dalam pengada sendiri, dalam realitasnya sendiri.
Berdasarkan pandangan para ahli pikir mengenai kebenaran sebagaimana tersebut di atas A Gunawan Setiardja berpendapat bahwa kebenaran itu bersifat subjektivo-objektif. Kebenaran itu sungguh-sungguh dimiliki apabila realitas ada evidensi. Maksudnya adalah keadaan fakta atau realitasnya itu adalah sedemikian jelasnya ditinjau dari segala segi, sehingga pada subjek yang membuat pernyataan tumbuh keyakinan yang amat kuat. Keyakinan itu merupakan sikap budi yang pasti, artinya budi dengan tegas menolak keputusan yang sebaliknya (dinyatakan dengan kata “pasti”,“tentu”, atau “niscaya”. Selanjutnya dijelaskan bahwa kebenaran dapat dirinci menjadi dua, yaitu kebenaran kodrati dan kebenaran atas kodrati. Kebenaran kodrati dapat dicapai oleh manusia dengan budinya sebagai manusia, sedangkan kebenaran atas kodrati merupakan kebenaran yang di atas jangkauan budi manusia. Kemampuan budi manusia sebagai manusia tidak menggapainya karena kasih Tuhan kebenaran atas kodrati itu disampaikan kepada manusia melalui wahyu ilahi.
4. Relasi antara Ilmu Pengetahuan dan Kebenaran
Manusia dalam kehidupannya selalu mencari kebenaran itu adalah suatu kenyataan. Sebagaimana disebutkan di muka bahwa kebenaran itu selalu berubah, sesuatu pada suatu saat dikatakan benar, di waktu yang lain dianggap tidak benar. Sebagai contoh misalnya beberapa tahun yang lalu seorang ibu yang memberi makanan tambahan di samping ASI pada bayinya yang berumur empat bulan adalah benar. Akan tetapi saat itu tindakan ibu tersebut dianggap tidak benar, seorang bayi boleh diberi makanan tambahan setelah ia berumur enam bulan. Mengapa perbedaan pendapat ini bisa terjadi? Ini semua karena manusia selalu mengembangkan ilmu pengetahuannya dengan melakukan penelitian-penelitian untuk mencari kebenaran. Hasil penelitian mengenai makanan tambahan bagi bayi membuktikan bahwa bayi-bayi sekarang lebih sering terserang penyakit dibandingkan dengan bayi pada beberapa tahun yang lalu, dan berdasarkan penelitian diketahui (didapatkan evidensi) bahwa makanan bayi sekarang banyak mngandung zat kimia yang mengganggu kesehatan sehingga bayi kehilangan kekebalan.
Berdasarkan contoh di atas, jelaslah bahwa terdapat relasi yang sangat erat antara ilmu pengetahuan dan kebenaran. Kebenaran hanya dapat diperoleh dengan pengetahuan. Manusia sebagai dinamika selalu mengembangkan pengetahuannya untuk mencari kebenaran. Dan pencarian kebenaran ini tidak akan pernah terhenti karena sifat manusia yang tidak pernah puas dengan apa yang sudah didapatnya.
Kesimpulan
Manusia dengan transendennya dapat mengatasi struktur alam jasmani, dengan budinya dapat mengembangkan ilmu pengetahuannya. Manusia dengan ilmu pengetahuannya mencari bukti-bukti sebagai evidensi untuk mendapatkan kebenaran. Hanya dengan ilmu pengetahuanlah manusia mendapatkan kebenaran, namun karena sifat tidak puas yang ada pada manusia, maka manusia selalu mencari kebenaran.
Daftar Pustaka
Osborne, Richard. 2001. Filsafat untuk Pemula. (diterjemahkan oleh P Hardono Hadi). Yogyakarta: Kanisius.
Poedjawijatna. 1997. Pembimbing ke Arah Alam Filsafat. Jakarta : PT Rineka Cipta.
Setiardja, A.Gunawan.2005. Manusia dan Ilmu Telaah Filsafat atas Manusia yang Menekuni Ilmu Pengetahuan. Cetakan III. Semarang.
Comments (0)
Post a Comment