Menindak Kelompok Anarkis
Posted by mochihotoru | Posted in Culture, Indonesia, Islam, Law, Organisations, Religions | Posted on 1:37:00 PM
Oleh Fajar Kurnianto
Ide membubarkan kelompok-kelompok semacam itu bisa jadi terlalu ekstrem. Tetapi, jika melihat realitas pergerakan mereka yang cukup memberikan alasan untuk dibubarkan, ide semacam itu patut diperjuangkan dan diapresiasi oleh pemerintah dan aparat penegak hukum. Masalahnya akan semakin sulit jika kelompok-kelompok itu lebih banyak diberi angin untuk mengembangkan sayap kekerasan mereka di seantero penjuru negeri yang tengah menghadapi masalah disintegrasi bangsa yang mengkhawatirkan.
Demokrasi di negeri ini memberikan berkah kebebasan pada setiap warganya untuk berserikat, berkumpul, berpendapat, dan lainnya, selama tetap dalam koridor hukum dan aturan yang berlaku. Tetapi, berkah bisa menjadi laknat jika kebebasan itu justru kontraproduktif dengan visi kebangsaan ke depan yang ingin digapai bersama.
Sebagai bangsa yang pluralistis, baik dari sisi agama, sosial, maupun budaya, kita sepenuhnya sadar bahwa tidak mungkin menyatukan dalam satu mainstream identitas tertentu. Bahkan, sekalipun yang ingin melakukan itu adalah kelompok orang yang memiliki kekuatan mayoritas yang mapan.
Bangsa dan negara ini telah sepakat menjadikan asas Bhinneka Tunggal Ika sebagai landasan masyarakat yang plural. Tujuannya, agar setiap perbedaan bisa menopang dan menjadi kekuatan produktif untuk visi ke depan yang sama, tanpa dibatasi dengan sekat-sekat perbedaan yang ada dalam masyarakat.
Namun, belakangan ini, semakin menguat kekuatan-kekuatan yang mengusung identitas tertentu secara tajam guna mencapai tujuan yang kontra dengan visi kebangsaan bersama. Parahnya, kekuatan-kekuatan itu menggunakan jargon identitas agama yang sangat sensitif dan rawan memunculkan konflik kala bersinggungan dengan penganut lain yang memiliki keyakinan berbeda.
Parah itu makin bertambah kala kekuatan-kekuatan itu membentuk kelompok-kelompok tertentu yang dengan identitas garis keras yang mengesankan intoleransi. Hadirnya kelompok-kelompok semacam itu, memang cukup diuntungkan oleh karena mereka merasa menjadi bagian mayoritas. Tetapi, belakangan, kekuatan-kekuatan mayoritas yang ada rupanya juga tidak begitu respek karena melihat tindak-tanduk kelompok itu yang dinilai sudah kelewat batas dan cenderung meresahkan.
Identitas Monolitis
Alih-alih menarik simpati masyarakat agar berafiliasi membentuk identitas dan platform tertentu untuk tujuan kelompoknya sendiri yang monolitik, citra mereka semakin ”menyebalkan” di mata masyarakat. Kehadiran kelompok-kelompok itu justru menampilkan ”sosok sebenarnya” tentang mereka, apa mau mereka, dan bagaimana mereka mengusung visi monolitiknya dengan cara-cara yang tidak dimengerti oleh masyarakat awam, sekali pun.
Maksudnya, sebagian orang, bahkan banyak, yang melihat visi monolitik mereka sebagai visi mulia. Tetapi penglihatan masyarakat berubah manakala melihat praktik ”perjuangan” mereka sangat anarkis, meresahkan, penuh teror, intimidasi, penekanan fisik maupun psikologis, hingga ancaman, yang dilakukan terhadap target-target yang mereka anggap ”menyimpang.” Julukan, misalnya, ”preman berjubah” dapat dipahami sebagai ekspresi ketakutan, kengerian, dan kekhawatiran, karena menjadi target-target yang sebetulnya tidak mereka alami di negara demokrasi Pancasila yang ber-Bhinneka Tunggal Ika ini.
Dapat dipahami pula jika beberapa gelintir orang ternama dan tokoh bangsa merasa resah dan meminta pihak berwajib (pemerintah dan aparat kepolisian) menindak kelompok-kelompok semacam itu secara tegas. Permintaan yang hingga saat ini baru sebatas “akan ditindak tegas” dan belum mewujud konkret sebelum ada bukti-bukti tindak pelanggaran hukum.
Aparat tampak masih gamang, mungkin juga takut, menindak tegas. Pasalnya, kelompok-kelompok itu, walaupun secara ideologis tidak banyak masyarakat yang menyambut positif, tetapi secara psikis kesamaan identitas keyakinan dan agama tetap mengalir dalam dirinya. Akibatnya, kerapkali muncul anggapan bahwa tindakan tegas terhadap kelompok-kelompok semacam itu sebagai tindakan melawan mayoritas. Untuk yang ini, aparat bisa jadi masih terlalu hati-hati dan menjaga jarak.
Padahal tugas utama kepolisian adalah menjaga dan memelihara keamanan/ ketertiban masyarakat, dan demi tujuan itu polisi berwenang menomorduakan tugas penegakan hukum demi mengayomi masyarakat, patut disambut hangat semua pihak. Kelompok-kelompok apa pun, dengan simbol-simbol identitas apa pun, jika membuat keresahan di masyarakat patut, bahkan harus ditindak tegas.
Kebebasan membuat kelompok memang dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945 (Pasal 27 ayat 2). Tetapi, negara ini juga memiliki sekumpulan aturan hukum yang melarang mereka bertindak anarkis dan meresahkan masyarakat, bahkan mengancam disintegrasi bangsa. Revisi UU No. 8/1985 tentang organisasi kemasyarakat (ormas) mutlak dilihat kembali, bahkan jika mendesak harus segera direvisi demi menyelamatkan bangsa dari ancaman yang membahayakan.
Ide membubarkan kelompok-kelompok semacam itu bisa jadi terlalu ekstrem. Tetapi, jika melihat realitas pergerakan mereka yang cukup memberikan alasan untuk dibubarkan, ide semacam itu patut diperjuangkan dan diapresiasi oleh pemerintah dan aparat penegak hukum. Masalahnya akan semakin sulit jika kelompok-kelompok itu lebih banyak diberi angin untuk mengembangkan sayap kekerasan mereka di seantero penjuru negeri yang tengah menghadapi masalah disintegrasi bangsa yang mengkhawatirkan.
Sekali lagi ditegaskan bahwa bangsa ini adalah bangsa yang pluralis dan warna-warni. Itu semua adalah kekayaan bangsa yang sudah berumur ratusan tahun silam, jauh sebelum kelompok-kelompok yang meresahkan masyarakat itu bermunculan saat ini. Bangsa ini tidak bisa disatukan dalam satu identitas tertentu, baik itu agama, sosial, maupun budaya. Hanya ada satu identitas bersama, yakni identitas bangsa Indonesia yang pluralis tercakup dalam platform bersama, Bhinneka Tunggal Ika! Wallahu a’lam.
*) Pegiat di Institut Studi Agama Sosial dan Politik (ISASPOL), Jakarta
Comments (0)
Post a Comment