AGAMA ANTIDISKRIMINASI DAN ANTI KEKERASAN: BELAJAR DARI HUBUNGAN KRISTEN-ISLAM DI TIMUR TENGAH

Posted by mochihotoru | Posted in , , , , , , , , | Posted on 9:19:00 PM

Bambang Noorsena, S.H.

Tatkala politik kekerasan yang berwajah konflik agama menggejala akhir-akhir ini, menyusul desakan tokoh-tokoh agama di Ciganjur untuk segera menghentikan segala bentuk politisasi agama, Gus Dur mengemukakan pernyataannya bahwa Indonesia harus segera menentukan sikap: memilih Negara teokrasi (yang mendasarkan Negara pada agama) atau Negara sekular (yang memisahkan Negara dari agama). Istilah “sekular” sudah sejak lama menimbulkan alergi dan reaksi yang apriori. Tetapi sebenarnya, reaksi demikian lebih diarahkan pada penerapan sistem itu, yang sebaliknya terlalu ekstrim di Barat, di mana proses penyelenggaraan Negara disterilkan sama sekali dari moral agama.1

Fenomena tersebut boleh disebut Sekularisme2. Padahal istilah Sekularisasi (berasal dari kata Latin: saeculum, “dunia”), justru mula-mula diarahkan untuk menghantam agama totalitas kosmik (ontokrasi) yang mengkeramatkan segala yang ada, termasuk pendewaan terhadap raja dan negara. Dalam kekuasaan-kekuasaan absolut tersebut, agama dijadikan justifikasi untuk merebut dan melanggengkan kekuasaan. Justru, melalui Sekularisasi itu ditempatkan kembali “(kekuasaan) dunia” yang selama itu disakralkan, sebagai dunia (saeculum) yang profan belaka. Dalam sejarah agama-agama Semitik, proses itu dimulai dari Israel (agama Musa): “Here a breaks is made with the everlasting cycle of nature and the timeless presentness of myth”.3 (Di sini diputuslah lingkaran alam yang melilit abadi dan mite tanpa waktu). Dengan proses itu, selanjutnya di dunia Barat melalui Renaisance dan Aufklaerung—meminjam padanan istilah yang diusulan Cak Nur—melakukan proses desakralisasi yang menghantam kekuasaan absolut “Droit Divin” (kekuasaan ilahi Raja),4 yang di belahan Timur lazim disebut kekuasaan “Dewa-raja”.

Mengapa catatan ini penting saya kedepankan di awal tulisan ini? Pertama, bahwa pilihan terhadap Sekularisasi yang memisahkan Negara dari agama, sama sekali tidak berarti menghapus peranan agama sebagai kekuatan moral untuk melandasi penyelenggaraan Negara. Di sini, agama sebagai sumber inspirasi, melaksanakan fungsi kritis dan korektif terhadap realitas empiris. Kedua, justru dengan adanya independensi (dimana agama dan negara menempati posisi dan fungsinya masing-masing)5, maka agama dapat menjalankan fungsi etis dan interpretatifnya dalam memandang dan mengarahkan kenyataan hidup, tanpa harus diperalat oleh kekuatan politik tertentu. Perlu dicatat pula, tindakan kekerasan dengan wajah agama di Indonesia akhir-akhir ini, dapat dibaca dari sudut pandang terakhir.

Agama, Kekuasaan dan Kekerasan: Belajar dari Sejarah Perjumpaan

Banyak ahli sepakat adanya kaitan yang sangat erat antara kekuasaan dan kekerasan. Ketika agama tersubordinasi di bawah kekuasaan, disana ia gagal menjalankan fungsi profetis atau kenabiannya, lalu menjelma sebagai “alat legitimasi” kekuasaan untuk meloloskan kemauan-kemauan politik suatu golongan. Lebih-lebih bila agama itu mayoritas di suatu negara, ia sangat potensial dijadikan legitimasi kekuasaan untuk memaksakan kehendaknya kepada umat. Sejarah perkembangan agama-agama besar sendiri telah membuktikan itu. Ketika Konstantin agung [dipercaya] menjadi Kristen tahun 313 M, ia menjadikan Kekristenan sebagai “agama Negara”. Memang, Kekristenan seperti “naik kelas”: dari agama rakyat teraniaya yang secara sembunyi-sembunyi beribadah di katakombe-katakombe (gua-gua) wilayah kekaisaran Roma, menjadi agama negara, dengan segala atribut kebanggaannya.

Eforia yang merayakan gegap gempitanya masa transisi dari agama tertindas ke agama negara ini, dalam Gereja Ortodoks Syria digambarkan dalam kisah para penghuni gua Efesus [Tujuh Pemuda Tertidur, yang juga dikisahkan kembali dalam Alquran surat Kahfi 18:9-26]. Kisah itu secara lengkap dijumpai dalam buku berjudul: Ahl al-Kahfi fii Mushadir Al Suryaniyyat6, dikisahkan tujuh orang pemuda yang bersembunyi di sebuah gua pada masa penganiayaan Kaisar Dakeus yang memerintah tahun 249-251 M, yang oleh takdir Ilahi ditidurkan panjang sampai tahun 447 M, ketika Kaisar Deodeus II yang sudah menjadi Kristen dan menjadikan Kekristenan sebagai agama Negara. Tetapi sejak Roma memposisikan dirinya menjadi “pelindung” gereja-gereja Kristen di wilayah kekuasaannya (di Timur Tengah), justru lembar-lembar sejarah berikutnya ditandai dengan pertumpahan demi pertumbahan darah. Kenyataannya, Gereja Ortodoks Syria hanya sebentar saja merayakan “eforia Konstantinus” itu, selanjutnya menjadi Gereja yang paling teraniaya oleh sesama Kristen: mereka menjadi sasaran fitnah, dicap sebagai bidat (aliran sesat) bahkan penganiayaan fisik oleh pihak Bizantium, sampai—justru tentara Arab Muslimlah—yang membebaskan mereka.

Nasib yang sama juga menimpa Gereja Kopti di Mesir, sebagaimana dicatat oleh Aziz S. Atiya, dalam History of Eastern Christianity.7 Kisah gugurnya Menas saudara Bathrik Koptik Benyamin, pada tahun 632 sebagai martir (syuhada) di tangan Cyrus, utusan Kaisar Heraklitus, telah mendorong mereka lebih menyambut pemerintahan Islam sebagai pembebas mereka kira-kira tujuh tahun sesudah peristiwa tersebut.

Apakah yang dapat dipelajari dari pengalaman sejarah Gereja Syria dan Kopti ini? Pertama, bahwa ternyata politisasi agama (oleh pihak Bizantium) yang menggunakan kelompok mayoritas Kristen, telah menyebabkan serangkaian penindasan atas nama “kebenaran”, bukan hanya terhadap agama lain, tetapi juga terhadap lingkungan agama sendiri yang berbeda formula keimanannya. Kedua, pengalaman perjumpaan yang intens dengan umat beragama lain, mengantarkan pada pengakuan terhadap nilai-nilai kebenaran dan keadilan yang lebih luas yang tidak terkungkung agama sendiri, sehingga orang-orang Kristen tertindas ini justru menyambut tentara Arab-Islam sebagai pembebas yang adil. Pengalaman nyata perjumpaan antar iman ini, telah mengajar orang-orang Kristen Ortodoks di Timur Tengah untuk melakukan proses—yang akhir-akhir ini acap disebut “crossing over” atau “pasing over” (melintas batas Agama)—dan membaptiskan nilai-nilai keadilan dan kebaikan, dari manapun asalnya, sebagai keadilan dan kebaikan sejati. Sebaliknya, mereka juga sekaligus belajar dewasa dalam beragama, yang antara lain ditandai dengan sikap otokritik: jujur mengakui bahwa brengsek itu tetap brengsek, kendati hal itu terjadi dalam agama sendiri.

Urgensi Dialog Antar Agama dalam Masyarakat Plural

(see caption below)

Pengalaman seperti ini, hendaknya mendasari sikap keagamaan otentik, yang lapang dan toleran terhadap kehadiran orang lain yang berbeda dalam keyakinan dengan kita sendiri. Jadi, perbedaan teologis (aqidah) tidaklah menjadi halangan bagi Dialog antar Agama. Bahkan, akhir-akhir ini agama-agama sibuk menggali landasan bagi Teologi agama-agama dalam rangka membangun peradaban bersama. Dalam bangunan pemikiran yang hendak dituju, adalah “bagaimana kita menyediakan ruang bagi yang lain”, karena sadar bahwa kita tidak berhak memutlakkan agama kita sendiri. Hanya Allah saja satu-satunya yang mutlak di dunia ini.

Dalam sebuah doa Yahudi, yang juga menginspirasikan Yesus ketika mengajarkan Doa Bapa Kami dalam Injil Matius 6:9-13, kita diajar untuk memohon shalom (perdamaian, anti-kekerasan): kmo ba-syamayim ke ba-aretz (seperti di surga, begitu juga di atas bumi). Seorang rabi bertanya: “Bagaimanakah shalom di surga itu, yang harus kita jadikan model shalom di bumi?”. Ternyata kuncinya terdapat dalam kata “surga” itu sendiri, yang dalam bahasa Ibrani: “syamayim”. Rabi itu menganalisis dua kata yang bersembunyi di balik syamayim itu, yang sebenarnya dua kata yang berlawanan: esy, “api” dan mayim, “air”. Air tidak menghilangkan api, dan api tidak melenyapkan air. Keduanya berada dalam posisi masing-masing. Melalui kata syamayim, api dan air sebagai dua unsur yang sangat berbeda telah didamaikan, tetapi tidak terlebur satu sama lainnya dan tidak saling meniadakan. Jadi, kunci penghadiran shalom di bumi ialah bagaimana kita menciptakan ruang bagi yang lain: tidak saling memaksa, membunuh atau menghilangkan eksistensi pihak lain.

Sikap keagamaan yang lapang dan tasamuh ini—atau menurut istilah Cak Nur: al-Hanifiyah al-Samhah, sangat mendesak dikembangkan dalam masyarakat plural seperti Indonesia, khususnya melalui dialog antaragama. Sejarah perkembangan agama-agama di Indonesia, menunjukkan bahwa kelemahan untuk mencapai pemahaman bersama terhadap misi agama yang berbeda-beda, telah menyebabkan kebencian, pertumpahan darah dan kebengisan berlarut-larut, yang justru bertolak belakang dengan hakikat agama itu sendiri. Justru, tindakan kekerasan berwajah agama, berangkat dari suatu theological killing (pembunuhan teologis), yang menjadi awal dari bentuk kekerasan untuk meniadakan sesama manusia atas nama “tuhan”. Di situlah, dimensi tragik itu dimulai, tragis dari sebuah bentuk Ortodoksi yang ingin mencapai wujud absolutnya, tetapi gagal meraihnya, lalu dilakukan dengan cara memaksa pihak lain.8

Sejumlah narasi dalam sejarah perkembangan agama-agama di Jawa, seperti: tragedi Hanacaraka versi Tengger (yang melaporkan tragedi konflik Hindu-Islam),9 Korawacrama pasca-kehancuran Majapahit dari abad ke-15 Masehi,10 maupun pensakralan pementasan epos Baratayudha sebagai kisah pemusnahan definitif Korawa, dalam pertunjukan wayang sekarang ini,11 dengan jelas merekam kesadaran akan dimensi tragis konflik agama-agama di masa lampau. Karena itu, kiranya agama-agama dapat menjadikan fenomena di atas sebagai “rambu-rambu” dalam menerjemahkan pesan misi atau dakwahnya dalam masyarakat plural Indonesia.

Manusia untuk Agama, atau Agama untuk Manusia?

Setiap agama mempunyai klaim-klaim eksklusif, yang bila dibawakan secara vulgar akan menjadi pemicu dalam hubungan antaragama. Tanpa menyangkal adanya penegasan semacam itu dalam setiap agama, Gereja-gereja Timur meneruskan penghayatan patristis atau salafiyah Gereja, mencoba memahami ayat-ayat eksklusif itu dengan lebih serius merenungi pribadi ‘Isa alMasih secara theantropos. Maksudnya, memahami AlMasih dalam relasi “Yang Ilahi-yang insani”. Karena itu, kata ganti diri Aku: menunjuk kepada Kalimatullah (Firman Allah) yang ghayr al-Makhluk (bukan ciptaan) dan qadim, yang bersama Roh Allah berdiam dalam Allah Yang Maha Esa, tetapi sekaligus juga Makhluq (ciptaan) dalam nuzul-Nya sebagai Manusia. Yang pertama mutlak, universal, dan kekal, sedangkan yang kedua relatif, terbatas dan temporal.

Kahal, eklesia (gereja) atau umat (jemaat) adalah jalan, bukan tujuan (betapapun paling baiknya agama tersebut dalam penghayatan penganutnya). Dalam kesadaran penuh memproklamasikan sebuah esoterisme, Isa Almasih merelativisir eksoterisme: “Hari Sabat (baca: agama) diadakan untuk manusia, dan bukan manusia untuk hari Sabat (baca: agama)” (Markus 3:27). Karena itu misi agama-agama adalah kemanusiaan.

Harus ditekankan, setiap agama mempunyai nilai-nilai universal dalam dirinya. Tetapi ketika prinsip-prinsip itu harus berjumpa dengan kenyataan empiris, ia dibungkus oleh bingkai partikular berupa “organized religion”. Pemutlakan terhadap agama sebagai agama (dan bukan terhadap Allah)—sadar atau tidak—telah melahirkan sikap diskriminatif terhadap pihak lain yang berbeda formula keimanannya. Karena itu, mengorbankan prinsip-prinsip kebenaran universal di bawah “bingkai partikular” suatu agama, nyata-nyata suatu bentuk “dehumanisasi”. Di sini religiositas, yang lebih menunjuk pada kualitas penghayatan seseorang atas ajaran yang diyakininya, ditun-dukkan oleh bentuk formal rumus-rumus keagamaan yang baku.

Untuk fenomena di atas, kita dapat belajar dari sejarah panjang diskriminasi “atas nama agama”. Apa yang harus kita katakan, ketika untuk alasan “kebenaran” agama: “The medieval Church did not view the taking of a man’s life as lightly as does the modern state”?12 (Gereja abad pertengahan tidak memandang bahwa merampas nyawa manusia se-enteng yang terjadi di Negara modern sekarang). Apa pula yang mesti kita katakan, di abad kita sekarang inipun, kita masih membaca dalam Qanun-i Shahadat (Hukum Pembuktian) yang berlaku di Pakistan (1984): bahwa di ruang pengadilan kesaksian seorang pria Kristen hanya bernilai separuh dibanding kesaksian pria Muslim?13 Tentu saja, praktik semacam ini sangat jauh dari teladan-teladan luhur seperti yang diberikan Nabi Muhammad dan para sahabatnya terhadap ahlu adz-Dzimmiy atau Ahli Zimmi (Yahudi/ Kristen/ Sabean) pada masanya. Juga, bukankah “concerto for violence”—meminjam istilah Max I. Dimont,14—yang tanpa rasa bersalah selalu dimainkan oleh gereja abad-abad Pertengahan, begitu jauhnya dengan sabda-sabda Yesus dalam Injil, yang bahkan harus mengasihi musuh sekalipun?15 Kendati mungkin ini bukan satu-satunya jawaban, tetapi dalam kedua kasus yang dicatat di atas, faktor pendorong utamanya ialah akibat campur-aduknya agama dengan politik. Karena itu agama hendaknya ditempatkan sesuai dengan proporsinya, khususnya dalam masyarakat majemuk Indonesia.

Catatan Kaki

  1. Di salah satu negara bagian AS yang secara konsisten memegang “Prinsip pemisahan Gereja dengan Negara”, malah pernah menjatuhkan hukuman bagi sekolah yang menyelenggarakan Reading The Bible. Alasannya, kegiatan agama adalah kegiatan priba-di yang tidak boleh dimasukkan dalam institusi pendidikan sekular.

  1. “The term ‘secularization’ derives from the word seculum, the Latin equivalent of the Greek word aion, which itself is the accepted term in the New Testament for ‘age, period, era’. Consequently the term also came-to mean ‘world’. Whereas the Greeks always conceived of the ‘Cosmos’ in exclusively spatial terms, the Bible at once—from the very first verse of the Book of Genesis—sets the world in the dimension of time and history. Right from the start the primary reference of the Hebrew expression ‘olam is to time and history -- within which the Lord moves with the people toward His Kingdom. It is the German theologian Fredrich Gogarten who defined secularization most adequately as ‘Vergeschictichung der men-schlichen Existenz’ (human exixtence comes to be ditermined by the dimenson of time and history). This takes its beginning in Israel. Here raised the protest against the religion of Cosmic totality, against the ‘sacralization’ of all being, against the supremacy of fate, against the divinizing of kings and kingdoms. Here a break ia made with the everlasting cycle of nature and the timeless presentless of myth”. Arend Th. Van Leeuwen, Christianity in the World History. The Meeting of the Faiths of East and West (London: Ediburgh House Press, 1966), p. 331.

  1. Ibid.

  1. Teori “Droit Divin” (hak ilahi Raja/Paus) berasal dari Kardinal de Richelieu, yang memegang kekuasan Negara tahun 1624-1642 di Perancis pada masa Louis XIII. Menurut de Richelieu, baik Raja maupun Paus masing-masing menerima kekuasaan dari Allah, sehingga keduanya sederajat.

  1. Dalam tradisi Kristen, landasan pemisahan kekuasaan Gereja dan Negara ini, diinspirasikan dari sabda Yesus sendiri: “Berikanlah kepada Kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada Kaisar, dan kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah” (Matius 22:22).

  1. Mar Ignatius Zakka I ‘I Was, Ahl al-Kahfi fii Mushadir al-Suryaniyat. Dirasat Al Suryaniyah Vol. IV (Halab/Aleppo: Al-Mathran Yuhanna Ibrahim, 1980). Sumber tertua kisah ini di Gereja Timur, mula-mula ditulis oleh Dionisius dari Tell Mahra, seorang Kristen Syria dari abad ke-5 Masehi, dan masih menjadi perdebatan apakah aslinya ia menulis dalam bahasa Yunani atau Syriac/Arami. Lihat: Dr. Clair Tisdall, Tanwir al-Faham fii Musadhir al-Adyan (Villach, Austria: Light of Life, t.t.), hlm. 56.

  1. Azis S. Atiya, History of Eastern Christianity (Notre Dame, Indiana: University of Natre Dame, t.t.), p. 77-78.

  1. Lihat: Th. Sumarthana, “Tragedi Hanacaraka dan Kebutuh-an Berdialog”, dalam Drs. Samuel Pardede, 70 Tahun Dr. T.B. Simatupang: Saya adalah orang yang Berhutang (Jakarta: PT. Media Interaksi Utama dan PT. Pustaka Sinar Harapan, 1990), hlm. 306.

  1. Menurut penelitian Robert W. Hefner, suku Tengger seba-gai sisa umat Hindu Majapahit yang menolak dakwah Islam dan memilih bertahan dengan “Hindu Jawa”-nya di gunung Bromo Jawa Timur, mempunyai versi khas tentang kisah terciptanya huruf Jawa: “Hanacaraka: Ada dua orang utusan; Datasawala: terlibat dalam perse-lisihan/hingga pertarungan fisik; Padajayanya: sama-sama jaya; Magabatanga: tetapi akhirnya mati semua”. Kisah dua orang utusan yang sama-sama setia pada gurunya masing-masing (Nabi Muhammad dan Sri Ajisaka), karena tidak ada dialog dan keterbukaan diri, akhirnya saling memusnahkan. Lihat: Robert W. Hefner, Hindu Java-nese: Tengger Tradition and Islam (Pricenton, New Jersey: Pricenton University Press, 1989), hlm. 137.

  1. Dalam Serat Korawacrama (akhir abad ke-15), dikisahkan sehabis kehancuran definitif Korawa pasca-Baratayuda, para Panda-wa sangat berduka: ibarat siang tanpa malam, laki-laki tanpa perempuan, langit tanpa bumi, begitulah logika berfikir Jawa yang mono-dualistik. Pendawa akhirnya minta Bagawan Abiyasa untuk menghidupkan kembali kaum Korawa. Lihat: R.M. Ng. Poerbatjaraka, Kapustakan Jawi (Amsterdam-Djakarta: Penerbit Djambatan, 1954), hlm. 67-69.

  1. Sakralisasi pementasan kisah Baratayuda dalam pekeliran wayang baru dimulai pada masa Jawa Tengah, yang agaknya menyimpan trauma masa lampau tindakan kekerasan/kehancuran definitif.

  1. Max I. Dimont, Jews, God and History (New York: A Men-tor Book, 1994), hlm. 238-240.

  1. Editorial: “Religious Apartheid”, dalam I.I.S.C. Bulletin (October/November, 1985), hlm. 2.

  1. Max I. Dimont, Loc. Cit.

  1. “Tetapi Aku berkata kepadamu: Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu. Karena dengan demikianlah kamu menjadi anak-anak Bapamu yang di surga, yang menerbitkan matahari bagi orang yang jahat dan orang yang baik, dan menurunkan hujan bagi orang yang benar dan orang yang tidak benar. Apabila kamu mengasihi orang yang mengasihi kamu, apakah pahalamu? Bukankah pemungut cukai juga berbuat demikian? Dan apabila kamu hanya memberi salam kepada saudara-saudaramu saja, apakah lebihnya daripada perbuatan orang lain? Bukankah orang yang tidak mengenal Allah pun berbuat demikian?” (Matius 5:44-47).

*) Makalah disampaikan dalam Seminar Sehari yang diselenggarakan Jami’ah Mudarasah al-Qur’an (JMQ), di Pondok Pesantren “al-Hikam”, Malang 15 Februari 1999. Dalam Seminar ini hadir sebagai pembicara Islam: Prof. Dr. Nurcholish Madjid dan Dr. Alwi Shihab, dan mewakili pembicara Kristen/Protestan: Prof. Sri Wismoady Wahono, Ph.D.

(www.sammy-summer.co.cc)

Comments (1)

FYI,

Buku Max I. Dimont lainya (The Indestructible Jews) sudah diterjemahkan dan diterbitkan dengan judul: "Dilema Yahudi, atau Suratan Nasib?"

Bisa diperoleh di Gramedia Pondok Indah Mall atau Gramedia Matraman, Jakarta.

Post a Comment