SIAPA BILANG PERNIKAHAN KATOLIK TAK TERCERAIKAN?

Posted by mochihotoru | Posted in , , , | Posted on 4:59:00 PM

Oleh Pormadi Simbloon

Kebanyakan umat Katolik meyakini bahwa pernikahan atau perkawinan gerejani Katolik itu tak terceraikan (baca: tidak dapat bercerai). Benar, perkawinan Katolik itu tidak terceraikan plus monogamis dalam situasi wajar. Namun tunggu dulu, bukan tidak mungkin perkawinan itu dapat diceraikan tergantung dari permasalahan yang ada.

Perkawinan Katolik “dapat diceraikan” dalam situasi yang tidak wajar. Kata “dapat diceraikan” saya beri tanda kutip dengan maksud sama dengan “pisah ranjang”, “perpisahan hidup bersama” atau pembatalan perkawinan.

Dikatakan perkawinan Katolik tidak terceraikan, benar jika kita mengacu kepada pernyataan Yesus bahwa pada dasarnya perceraian itu dalam situasi wajar tidak diperbolehkan (bandingkan Mat 19:1-9). Perkawinan dalam situasi wajar memiliki hakikat suci.


http://baliweddingphotography.files.wordpress.com/2009/02/0259_anita_vinod_aa_092.jpg


Hakikat Perkawinan

Pada hakikatnya, perkawinan Katolik adalah penggabungan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan (monogamis) mencakup kebersamaan seluruh hidup, kesetiaan hidup antara dua pribadi yang bersifat tetap (seumur hidup) terarah pada kesejahteraan suami-isteri serta kelahiran dan pendidikan anak. (Hukum Gereja, KHK 1055, [1]). Dengan kata lain, perkawinan menunjukkan relasi suami-istri yaitu persekutuan hidup dan cinta yang mereka pilih secara bebas dan pemberian diri secara timbal balik demi kesejahteraan mereka maupun anak-anaknya.

Hakikat perkawinan tersebut berangkat dari makna teologis relasi Allah dengan umat-Nya. Perkawinan Katolik merupakan cerminan relasi abadi antara Allah dengan seluruh umat manusia serta pemberian diri Allah yang tanpa batas (perjanjian cinta yang kekal) kepada seluruh umat terarah pada kebahagiaan manusia dan kemuliaan Allah dalam diri Yesus Kristus.

“Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan istrinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging. Rahasia ini besar, tetapi yang aku maksudkan adalah hubungan Kristus dengan jemaat” (Efesus 19).

Bisa “Diceraikan”

Pandangan bahwa perkawinan Katolik bisa diceraikan berangkat dari persoalan hidup berkeluarga seperti ancaman berbahaya atau kekerasaan dalam rumah tangga (KDRT) berupa perbuatan yang menimbulkan kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/ atau penelantaran rumah tangga (bandingkan Undang-Undang RI Nomor 23 Taun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga). Kekerasan dalam hidup berkeluarga merupakan realitas yang dapat mengancam siapa saja, khususnya mereka yang tidak berdaya. Inilah yang disebut juga situasi tidak wajar. Para pimpinan Gereja sudah sejak lama mengantisipasi akibat buruk dari persoalan tersebut. Gereja menegaskan dalam hukumnya yang dipromulgasikan tahun 1983 (KHK 1153 [1]):

“Jika salah satu pihak menyebabkan bahaya besar bagi jiwa atau badan dari pihak lainnya atau anaknya, atau membuat hidup bersama terlalu berat/ sulit, ia memberikan alasan yang berlegitimasi kepada pihak lainnya untuk meninggalkan dia (baca: berpisah, bercerai) entah itu dengan keputusan Uskup wilayahnya atau atas keputusannya sendiri bila penundaan membuatnya berbahaya [bagi hidupnya]”

Berangkat dari realitas yang ada, mayoritas korban KDRT adalah perempuan dan anak-anak. Konsili Vatikan II (Gaudium et Spes, 9) menandaskan bahwa bila kaum perempuan belum mendapatkan kesetaraan dan keadilan baik di depah hukum maupun dalam kenyataan hidup sehari-hari dengan laki-laki, mereka berhak menuntutnya.

Dengan demikian, pandangan bahwa perkawinan Katolik tidak terceraikan kecuali karena kematian tidak absolut benar. Harus dibedakan situasi perkawinan entah dalam situasi wajar atau tidak wajar. Baik istri maupun suami mempunyai hak dan kewajiban yang sama dalam perkawinan yaitu mendapat dan mengusahakan kesejahteraan (kebahagiaan lahir-batin) suami-istri dan anak-anak.

Catatan-Catatan

Agar KDRT dan ancaman bahaya besar dalam hidup berkeluarga tidak terjadi maka seseorang perlu merintis kebahagiaan perkawinan sejak masa pacaran. Seseorang perlu mempertimbangkan soal siapa calon suami/ istri kelak dalam hidup berkeluarga.

Seorang Katolik yang hendak meninggalkan suami atau istrinya atau hendak membatalkan perkawinan yang sudah terjadi, alangkah baiknya ia mempertimbangkan secara matang baik konsekuensinya dan perjalan hidup selanjutnya. Lebih baik terus mencoba jalan rekonsiliasi antara kedua belah pihak. Namun bila hidup bersama tidak menciptakan kebahagiaan dalam hidup dan membahayakan, lebih baik ia meninggalkannya. Hal ini dijamin oleh hukum Gereja. Tapi ingat, bukan berarti memudahkan perceraian dan menghilangkan kesucian perkawinan. (dari pelbagai sumber)

Sumber: pormadi.wordpress.com

(www.sammy-summer.co.cc)

Comments (3)

Trus bgm dgn janji pernikahan??masing2 org punya kuk, tp tdk melebihi kekuatannya

Saya setuju sekali dg Sdr Pormadi, sehrsnya kita tidak boleh terlalu kaku dalam menyikapi setiap aturan Gereja, krn walau bagaimanapun aturan2 itu dibuat oleh manusia. Memang benar sekali kalau perceraian itu tidak diperkenankan oleh Gereja, tetapi alasan2 di balik perceraian itu mesti di kaji lebih dalam lagi utk kebaikan bersama. Bukankah Tuhan berkehendak semua umatNya bisa hidup bahagia, jika perkawinan yang dijalani sudah tidak bisa memberikan jln kebahagiaan malah kesesatan, buat apa dipertahankan lagi perkawinan seperti itu. Saya harap Gereja dan orang2 di dalam Gereja jangan terlalu kaku dalam memahami semua ajaran Tuhan kita.

Di dalam Codex Iuris Canonici (KHK) Gereja Katolik, tidak ada satu kata pun yang memuat soal perceraian. Yang ada adalah anulasi/pembatalan perkawinan karena beberapa sebab misalnya, karena impotensi, hubungan darah, pemaksaan, d.l.l. Prinsipnya halangan2 nikah (yg sudah seharusnya di-check secara tegas pada saat penyelidikan kanonik) tersebut terjadi sblm pemberkatan perkawinan terjadi. Utk perkawinan yang sdh "ratum et consumatum", Gereja tidak memiliki kuasa untuk membatalkannya. Thanks.

Post a Comment