INDONESIA DAN PENYAKIT KRONIS MASYARAKAT
Posted by mochihotoru | Posted in Culture, Indonesia, Religions | Posted on 9:33:00 PM
Sudah terlalau banyak mungkin kita mendengar dan melihat di media cetak dan elektronik tentang tindak anarkis, huru-hara serta tindakan massa yang tak terpuji lainya, seperti belakangan ini terjadi bentrokan antar Warga Koja Jakarta Utara dengan aparat gabungan Satpol PP, Polri, dan TNI, yang dipicu adanya perbedaan kepentingan, yang sebenarnya bisa dirembug secara santun.
Semua itu sebenarnya merupakan gambaran terjadinya, disequilibrium (ketidakserasian) atau bahkan gejala cultural lag (kesenjangan) antara kelompok sosial yang menyusun struktur sosial masyarakat kita. Kasus-kasus di atas telah ditengarai oleh para pemerhati sosial sebagai gejala pelampiasan tekanan hidup yang lama terakumulasi.
Barangkali ada baiknya bila kita tidak usah terus membudayakan lagi pola penyelesaian anarkis, yang sama sekali tidak pernah termaktub dalam nilai dasar masyarakat kita. Bukankah sudah sepantasnya kita sebagai negara yang jauh tertinggal dibanding Negara Asia lainnya, dengan sigap menata dan memperbaiki seabreg aspek yang masih tertinggal.
Di antaranya adalah aspek pendidikan, ekonomi, kesehatan, iptek dan yag paling penting adalah aspek moralitas. Guna realisasi ketertinggalan itu, maka sebaiknya sedikitpun kita jangan lagi mentolelir gejala masyarakat yang layaknya sebuah pasien sakt sosiologis yang kronis.
Lepas dari kekisruhan institusi tersebut di atas. Kita harus mampu mencermati akar masalah yang melatarbelakangi benturan sosial tersebut, bila kita memang ingin menuntaskan Bad Social Behaviour tersebut. Konsep ini jelas harus segera diterapkan dengan tajam, memberi dampak positif yang signifikan dan meng-grassrote.
Mengutip pernyataan Dr Mahathir Muhamad Mantan Presiden Malaysia saat diwawancari salah satu reporter teve swasta kita, “Indonesia adalah negara besar, baik dari wilayah, jumlah penduduknya atau kriteria yang lainnya. Maka tentu saja Indonesia, memiliki permasalahan yang jauh lebih kompleks ketimbang Malaysia dan Negara ASEAN lainnya. Dengan demikian hal ini akan menimbulkan konsekuensi yang lebih pelik lagi dan menimbulkan juga spesifikasi tentang tumpah-tindihnya permasalahan yang menjadi penyebab utama ancaman instabilitas.”
Berdasarkan wacana tersebut di atas, maka cukuplah bagi kita untuk segera mengedapankan pendekatan social behaviour dari kacamata sosiologis. Meski pendekatan dengan cara pandang lainnya juga tidak kalah pentingnya.
Secara mendasar sosiologi telah menggambarkan kebutuhan kodrati dari setiap manusia dimanapun ia hidup, atau dari strata social apapun, pastilah akan terkena dampak virus need of achievment, yaitu upaya manusia yang serius untuk mencapai kebutuhan dasarnya, hingga dia mampu mencapai tingkat pemuasan diri terhadap apa yang dikejarnya.
Meski kebutuhan di atas bersifat kodrati, namun skala prioritas dalam daftar pencapaian kebutuhan dasarnya adalah sangat bervariasi, antara social multiculture satu dengan lainnya. Jelas sudah apabila kebutuhan mendasar ini tidak terpenuhi, maka jadilah sebuah masyarakat Indonesia yang cenderung nonkompromis (tidak perduli pada nilai dasar).
Indonesia dengan kondisi sebagian besar rakyatnya yang masih hidup di bawah garis kemiskinan, rendah level education-nya dan dengan kompetensi tenaga-kerja yang hanya menduduki urutan ke 50 dibanding dengan 55 negara yang lainnya.
Apalagi dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang berkisar hanya 4-5 persen per tahun, dibanding dengan tingkat pertumbuhan Negara Asia lainnya, yang menempati angka 7-8 persen, tentunya pemerintah memerlukan spirit yang lebih kuat untuk meningkatkan kesejahteraan rakyatnya. Atau bahkan menjadi bertambah terpuruk bila tidak segera dilakukan pencerahan unsur sosiologisnya.
Sehingga dengan demikian Rakyat Indonesia dengan berlatar belakang kondisi yang demikian ditengah iklim usaha yang tiada menentu, maka akan sulit untuk memenuhi hasrat ingin berkembang atau hasrat ingin meraih kesejahteraan hidup bagi rakyatnya. Padahal pada suatu social multiculture yang sehat, seharusnya terjadi mobilitas sosial yang aktif dan terbuka.
Semakin banyak anggota masyarakat yang berhasil dalam climbing mobility social yang diimpikan, akan semakin baik suatu masyarakat. Maka pada dekade dekade mendatang semakin terbuka lebar peluang timbulnya kasus Koja dan kasus-kasus lainnya. Dengan kondisi seperti tersebut di atas kita menjadi khawatir, akan adanya social changes ke arah yang tidak kita harapkan.
Sebab social changes yang dalam Ilmu Sosiologi disebut Perubahan Sosial, adalah cerminan dari dinamisasi masyarakat yang multikultur dalam menggapai kebutuhan dasarnya. Kentalnya aktifitas masyarakat multikultur di era globalisasi multidimensional dewasa ini, menuntut setiap masyarakat multikultur umtuk sigap melakukan perubahan. Lantaran dengan cara demikian itulah suatu masyarakat mengalami mobilisasi sosial.
Jelas dan tak dapat dihindarkan, keadaan seperti tersebut di atas, akan menimbulkan dampak baik positif maupun negatif. Adanya kelesuan iklim usaha untuk masyarakat yang nota bene masih jauh dari sejahtera itu sendiri telah terasa hingga saat ini. Adanya berbagai bentuk kriminalitas, tindakan anarkis, sudah jelas berasal dari alasan tersebut di atas.
Oleh karena itu, agar perubahan sosial ini mampu diarahkan ke tatanan yang dapat kita harapkan bersama, maka faktor pembatas yang signifikan mengarahkan perubahan sosial yang baik harus kita simaki dan diprogram dengan cermat, terpadu dan taktis. Seperti halnya pada jaman pemerintahan Soeharto dengan konsep Repelita berjangka (PJP) yang sistematik dan terpadu.
Langkah konkret untuk realisasi peningkatan taraf hidup ini, bisa dengan segera mengkonkretkan pemerataan kesempatan kerja, sehingga minimal mampu meminimalisasi pengangguran hingga 50%. Hal ini memang suatu fenomena yang tidak bisa ditawar-tawar lagi, karena kita akan segera berhadapan dengan masa pengangguran baik intelektual maupun nonakedemis yang mengalami stagnasi di stratifikasi sosial yang terendah, dan mengalami kendala yang relatif berat apabila harus memobilisasi ke strata yang ada di atasnya. Sehingga akan membentuk kerucut social stratification yang membuka ke bawah dengan sudut yang relatif besar.
Ketimpangan stratifikasi sosial semacam ini jelaslah memberikan kesempatan kepada mereka untuk bersikap sensitif dan gampang memberikan solidaritas yang semu kepada unsur, pihak atau siapapun yang memiliki kepentingan. Bukankah masyarakat kita sekarang gampang banget turun ke jalan tanpa harus mengerti betul apa maksud dan tujuannya. Yang tiba gilirannya jadilah mereka semua sebagai masa buih di laut, yang mengambang dan hanya menjadi penonton pesatnya laju modernisasi.
Bukankah negara kita sekarang telah mengalami perubahan musim yaitu, yaitu musim penghujan, musim kemarau dan musim menguatnya opini publik. Ada baiknya juga bila segala sesuatu diselesaikan melalui jalur yang berlaku di negara ini, yang telah terkenal sebagai negara santun, murah senyum, dan toleran serta terbuka pada setiap inovasi.
Oleh karena itu siapun autoritas yang menghadapi fenomena ini, sebaiknya jangan ditunda-tunda dalam menginjeksi masyarakat kita yang sedang sakit kronis, mewabah dan tidak memiliki lagi gairah hidup. Pendekatan sosiologis sebaiknya mengawali pendekatan lainnya. Karena dengan pendekatan sosiologis setidak-tidaknya kita tahu alasan yang paling mendasar.
*) Penulis merupakan Guru MA Futuhiyyah 1 Mranggen Demak
(Sumber: KabarIndonesia)
Comments (0)
Post a Comment