KISAH GHARANIQ: SEBUAH KISAH PALSU YANG MENYEBAR DI KALANGAN UMAT ISLAM
Posted by mochihotoru | Posted in Analysis, Hadiths, Holy Books, Islam, Myth, Religions | Posted on 10:43:00 PM
Oleh: Akhuna Abu Al Jauzaa
Mungkin sebagian orang telah mengenal kisah Gharaniq, yang disebut sebagai Satanic Verse oleh para orientalis Barat, yang beberapa di antaranya terdapat dalam kitab-kitab Tafsir. Apa itu kisah Gharaniq? Kisah Gharaniq adalah sebuah kisah yang menceritakan Muhammad memuji berhala-berhala bangsa Quraisy.
Kisah Gharaniq terkait dengan Al-Hajj ayat 52:
ومآ أرسلنا من قبلك من رسول ولا نبي إلآ إذا تمنى ألقى الشيطان في أمنيته فينسخ الله ما يلقي الشيطان ثم يحكم الله ءاياته والله عليم حكيم
“Dan Kami tidak mengutus sebelummu seorang rasul pun dan tidak pula seorang nabi, melainkan apabila ia mempunyai suatu keinginan, setan pun memasukkan godaan-godaan terhadap keinginan itu. Allah menghilangkan apa yang dimasukkan setan itu, dan Allah menguatkan ayat-ayat-Nya. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana.”
Sebagian ulama tafsir berkata tentang asbabun nuzul (sebab turunnya) ayat tersebut bahwa ketika Muhammad mengalami masa-masa berat, yaitu ketika ditinggal oleh kaumnya. Maka beliau berharap tidak akan ada hukuman yang diturunkan Allah Mahatinggi kepada mereka. Sebab Muhammad sebenarnya masih berharap suatu saat mereka akan menjadi orang-orang yang beriman. Pada suatu saat beliau sedang duduk di salah satu tempat pertemuan orang-orang Quraisy, tiba-tiba Allah menurunkan ayat:
وَالنّجْمِ إِذَا هَوَىَ
“Demi bintang yang terbenam.” (An-Najm: 1)
Beliau terus saja membaca ayat tersebut sampai dengan firman Allah Mahatinggi:
أَفَرَأَيْتُمُ اللاّتَ وَالْعُزّىَ * وَمَنَاةَ الثّالِثَةَ الاُخْرَىَ
“Maka apakah patut kamu (hai orang-orang musyrik) menganggap Latta (dewi bintang, kesuburan, musim panas) dan Uzza (dewi fajar, kekuatan, musim dingin) dan Manat (dewi nasib, bintang malam—istri dewa Hubal) yang ketiga, yang paling terkemudian (sebagai anak perempuan Allah)?” (An-Najm: 19-20)
Dan ketika sampai pada ayat di atas, Muhammad tanpa sadar lisannya membaca kalimat yang dituntun oleh setan sebagai berikut:
تلك الغرانيق العلى ، وإن شفاعتهن لترجى
“Itulah tiga berhala (gharaniq) pertama. Sesungguhnya syafaat ketiganya sangat dinantikan”.
Ketika kaum Quraisy mendengar perkataan beliau tersebut, mereka langsung bersuka cita. Sedangkan Muhammad meneruskan bacaan Alqurannya sampai dengan akhir surat. Ketika beliau sujud di akhir ayat surah tersebut, semua orang yang hadir di tempat itu, baik muslim maupun musyrik—yang membuat ilah lain di hadapan Allah, ikut bersujud. Orang-orang Quraisy pun bubar dengan keadaan senang atas kejadian tersebut. Mereka berkata, “Muhammad telah menyebutkan ilah-ilah kita dengan sebutan yang baik.” Maka beliau didatangi oleh Jibril yang berkata: “Apa yang telah engkau perbuat? Mengapa kamu membacakan kepada manusia sesuatu yang tidak aku bacakan kepadamu (dan juga) bukan berasal dari Allah?”. Muhammad pun merasa bersedih dan sangat takut. Maka Allah pun menurunkan ayat Al-Hajj: 52 tersebut di atas (Fathul-Bayaan fii Maqaashidil-Qur’an IV/244-245).
Riwayat-riwayat tentang kisah Gharaniq tersebut dinukil dalam beberapa sanad. Namun semua jalur sanad-sanadnya tidak terlepas dari kritikan akan kelemahannya.
Shiddiq Hasan Khan berkomentar atas kisah Gharaniq tersebut di atas: “Para ulama telah berkata bahwa riwayat (tentang kisah Gharaniq) sama sekali tidak benar. Bahkan berita itu bukan hanya sekedar tidak benar, namun juga merupakan berita batil. Beberapa orang ulama telah membantah kisah tersebut dengan dalil-dalil ayat-ayat suci Alquran, dimana Allah Mahatinggi telah berfirman:
وَلَوْ تَقَوّلَ عَلَيْنَا بَعْضَ الأقَاوِيلِ * لأخَذْنَا مِنْهُ بِالْيَمِينِ * ثُمّ لَقَطَعْنَا مِنْهُ الْوَتِينَ
“Seandainya dia (Muhammad) mengada-adakan sebagian perkataan atas (nama) Kami, niscaya benar-benar Kami pegang dia pada tangan kanannya. Kemudian benar-benar Kami potong urat tali jantungnya” (Al-Haaqqah: 44-46).
وَمَا يَنطِقُ عَنِ الْهَوَىَ
“Dan tiadalah yang diucapkannya itu (yaitu Alquran) menurut kemauan hawa nafsunya” (An-Najm: 3).
وَلَوْلاَ أَن ثَبّتْنَاكَ لَقَدْ كِدتّ تَرْكَنُ إِلَيْهِمْ شَيْئاً قَلِيلاً
“Dan kalau Kami tidak memperkuat (hati)mu, niscaya kamu hampir-hampir condong sedikit kepada mereka.” (Al-Israa: 74)
Di dalam ayat di atas disebutkan bahwa Allah menghindarkan Muhammad dari perasaan condong kepada orang-orang kafir. Apalagi sampai membiarkan Muhammad benar-benar condong kepada mereka.
Al-Bazzar berkata, “Aku tidak pernah menjumpai hadis ini diriwayatkan dari Muhammad dengan sanad yang tersambung.”
Al-Baihaqi berkata, “Kisah Gharaniq ini sama sekali tidak masuk akal ditinjau dari sudut pandang naqli. Sebab para perawi hadis tersebut adalah orang-orang yang banyak dikritik dan tidak dapat dipercaya.”
Imam Ibnu Khuzaimah berkata,”Sesungguhnya kisah Gharaniq ini termasuk kebohongan yang diciptakan oleh orang-orang zindiq (orang yang berpura-pura beriman, tetapi sebenarnya kafir-munafik yang ingin menghancurkan agama).”
Al-Qadli Iyadh berkata dalam kitabnya Asy-Syifaa, “Sesungguhnya umat ini telah bersepakat bahwa Muhammad adalah seorang yang makshum (terjaga, infallible) dari mengucapkan khabar yang bertentangan dengan keyakinan beliau, baik yang terucapkan secara sengaja, alpa, atau karena kesalahan ucap.”
Ar-Razi berkata, “Kisah Gharaniq itu adalah batil dan maudhu (palsu). Oleh karena itu tidak boleh disampaikan kepada khalayak.”
Allah Mahatinggi berfirman:
وَمَا يَنطِقُ عَنِ الْهَوَىَ * إِنْ هُوَ إِلاّ وَحْيٌ يُوحَى
“Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Alquran) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapan itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (An-Najm: 3-4)
سَنُقْرِئُكَ فَلاَ تَنسَىَ
“Kami akan membacakan (Alquran) kepadamu (Muhammad) maka kamu tidak akan lupa.” (Al-Aala: 6)
Tidak perlu diragukan lagi bahwa orang yang berpendapat bahwa Muhammad memperbolehkan pengagungan berhala adalah orang yang tidak percaya. Karena sudah sangat maklum bahwa di antara misi beliau yang terbesar adalah memeberantas berhala di muka bumi. Jika seandainya kita memungkinkan Muhammad—atau para nabi sebelumnya—bisa salah seperti dalam kisah Gharaniq tersebut, maka artinya hukum Allah tidak aman dari unsur kealpaan Muhammad—dan para nabi. Dengan kata lain, kita juga akan memiliki anggapan bahwa setiap aturan hukum dimungkinkan juga mengalami kesalahan sebagaimana yang terjadi pada kisah Gharaniq. Yaitu setan telah berhasil menunggangi lisan beliau ketika berbicara. Berarti keyakinan seperti ini sama saja telah membatalkan firman Allah Mahatinggi:
يَـَأَيّهَا الرّسُولُ بَلّغْ مَآ أُنزِلَ إِلَيْكَ مِن رّبّكَ وَإِن لّمْ تَفْعَلْ فَمَا بَلّغْتَ رِسَالَتَهُ
“Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya.” (Al-Maaidah: 67)
Dengan demikian secara rasional tidak ada bedanya antara pengurangan dan penambahan wahyu [Fathul-Bayaan VI/246, Tafsir Ar-Razi XII/15, dan Tafsir Ibnu Katsir III/229].
Akademisi luar seperti William Montgomery Watt dan Alfred Guillaume membantah keaslian kisah ini berdasarkan kemustahilan muslim membuat suatu kisah yang tak menyenangkan mengenai nabi mereka. Watt mengatakan bahwa, “Kisah ini sangat aneh sehingga haruslah benar hanya pada dasarnya.” Di lain pihak, John Burton menolak penilaian mereka. Kebalikan dari puncak pendekatan yang dilakukan Watt, Burton menolak adanya kefiktifan dalam kisah ini karena banyaknya elemen dalam komunitas muslim tertentu yang menceritakan kisah ini—yaitu, para penafsir yang percaya dan mencari asbabun nuzul yang berkenaan dengan pembatalan (nasikh).
Insiden Ayat-Ayat Setan ini diklaim oleh para orientalis sebagai bukti bahwa asal-usul Alquran adalah karangan Muhammad semata—tanpa wahyu ilahi. Maxime Rodinson menggambarkan kisah ini sebagai sebuah percobaan, yang disengaja untuk mendapatkan penerimaan dari kaum pagan Arab saat itu, yang kemudian dengan sadar ditolak karena bertolak belakang dengan usaha Muhammad dalam menjawab kritik umat yahudi dan kristiani saat itu. Ini diangap berhubungan dengan saat Muhammad mengambil “sikap bermusuhan” kaum dengan musyrik Arab. Rodinson menulis bahwa kisah Gharaniq ini tidak mungkin palsu sebab ini merupakan “suatu insiden yang, nyatanya, bisa diterima dengan layak sebagai kisah yang benar sebab penulis tradisi (periwayat hadis) tidak akan mungkin menciptakan suatu kisah dengan maksud merusak terhadap keseluruhan wahyu.” Karena keberatan atas penerimaannya atas kisah ini, William Montgomery Watt, menyatakan, “Bukanlah untuk tujuan duniawi apapun Muhammad akhirnya menolak tawaran orang-orang Mekkah, tetapi murni untuk tujuan agama; misalnya bukan karena dia tidak memercayai orang-orang itu, atau karena ambisi pribadi apapun yang akan meninggalkan ketidakpuasan, tetapi karena pengakuan terhadap dewi-dewi hanya akan membawa kepada gagalnya misi yang diemban, yaitu misi yang diberikan Allah kepadanya.”
Sementara itu, Shiddiq Hasan Khan melanjutkan komentarnya sebagai berikut: “Inilah argumentasi global untuk sanggahan kisah Gharaniq baik secara naqli (Qurani dan Hadisi) maupun aqli (rasional). Bagaimanapun juga kisah itu merupakan sebuah berita bohong (hoax) dan mitos. Dalam masalah ini banyak sekali riwayat yang kesemuanya lebih baik untuk tidak diungkap. Hendaklah seseorang memperhatikan riwayat-riwayat itu di dalam Tafsir Ad-Durrul-Mantsur karya As-Suyuthi. Kami tidak ingin berpanjang lebar membicarakan masalah ini. Hal paling penting yang kami sampaikan adalah bahwa kesemua riwayat tersebut tidak bias dijadikan hujjah (dalil, pertanggungjawaban). Sebab masing-masing berita itu tidak ada yang diriwayatkan oleh seorang perawi hadis yang sahih. Bahkan tidak ada seorang perawi tsiqah (terpercaya) pun yang menyandarkan sanad sahih dan mutasil (bersambung) pada riwayat-riwayat tersebut. Kisah-kisah itu hanya diriwayatkan oleh para mufassir (penafsir Alquran) dan sejarawan yang sangat tertarik dengan hal-hal yang asing. Mereka ini juga menerima segala berita baik yang sahih maupun batil. Sebenarnya kelemahan cerita ini sudah bisa dilihat dari kandungannya yang rancu, mata sanadnya yang terputus dan perbedaan beberapa lafaznya.”
Ada sebagian ulama yang mengesahkan kisah tersebut, diantaranya adalah Ibnu Hajar dalam kitabnya yang masyhur Fathul-Baari. Beliau berpendapat bahwa hadis tersebut kuat dengan banyak jalan, walaupun sanadnya mursal. Namun penilaian Ibnu Hajar ini telah dibantah oleh para ulama ahli hadis yang lain. Dan yang paling akhir dari deretan ulama ahli hadis tersebut adalah Al-Muhaddits al-Allamah Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani.
Bagaimanapun, Syaikh Al-Albani telah melemahkan kisah hadis tersebut dalam kitabnya yang secara khusus membahas kisah Gharaniq: Nashbul-Majaaniq linisfi Qishshatil-Gharaaniq. Bahkan beliau mengomentari kisah tersebut dengan perkataan:
لا يصح ، بل هو باطل موضوع
“Tidak sahih, bahkan kisah tersebut merupakan kisah batil lagi maudhu (palsu)” (Muqaddimah Kitab Nashbul-Majaaniq halaman 1).
Kisah Gharaniq tersebut diriwayatkan secara mursal lagi banyak kedaifan serta penyakit pada jalan-jalannya. Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadii—ahli hadis dari Yaman—juga tidak memasukkannya dalam Sahihul-Musnad min-Asbaabin-Nuzul.
*) artikel ini disunting dengan perubahan oleh Sandy Arifiadie
Comments (0)
Post a Comment