Kenakalan Spiritual Versus Agama (Di)Resmi(kan)

Posted by mochihotoru | Posted in , | Posted on 8:16:00 PM

Perbincangan tentang agama merupakan perbincangan yang tak ada habis-habisnya. Bahkan perbincangan tentang tema ini sama tuanya dengan kehadiran manusia di dunia ini. Beragam teori dan kerangka pemikiran mencoba mencari sebuah penjelasan yang komprehensif tentang fenomena spiritualitas manusia ini hanya berujung pada kegagalan karena selalu saja ada fenomena spiritualitas manusia yang tidak termuat dalam teori dan kerangka pemikiran tersebut.

Menurut Jalaluddin Rahmat (2005), “agama selalu diterima dan dialami secara subjektif. Oleh karena itu, orang sering mendefiniskan agama sesuai dengan pengalamannya dan penghayatan pada agama yang dianutnya”. Problem inilah yang menyebabkan kesulitan dalam memberikan sebuah defenisi yang rigid tentang agama. Bahkan seringkali muncul pengertian tentang agama yang begitu bertolakbelakang antara yang satu dengan yang lain.

Ada yang memahami agama sebagai ikatan yang mengikatkan pengikutnya dengan kekuatan supranatural melalui upacara yang diwariskan turun-temurun, tapi ada juga yang memahami agama sebatas perkhidmatan kepada sesama manusia atau sebagai perilaku yang baik. Ada yang memandang agama sebagai perjalanan spiritual untuk mencapai tingkat kesadaran yang tinggi atau sebagai inspirasi untuk kegiatan revolusioner, tapi agama juga sering difahami sebagai pembenaran untuk melakukan tindakan kekerasan dan teror.

Kenakalan Spiritual
Dengan melihat realitas plural dalam pemahaman tentang apa yang dimaksud dengan agama, maka kenakalan spiritual bukanlah hal perlu untuk diributkan bahkan membuat heboh. Hal ini karena kenakalan spiritual bukanlah hal baru dalam sejarah agama-agama. Kita mengenal Mansyur Al Hallaj, Mirza Ghulam Ahmad dan Syekh Siti Jenar sebagai anak nakal Islam atau David Koresh sebagai anak nakal Kristen.

Apabila kenakalan spiritual adalah realitas yang senantiasa hadir dalam realitas keagamaan kita sepanjang sejarah, lalu kenapa model kenakalan ini seringkali dipandang sebagai musuh dan dicap sebagai kriminal oleh penjaga stabilitas keamanan dan dicap kesesatan oleh penjaga stabilitas keagamaan? Sebagai contoh, Lia Aminuddin yang diklaim sesat oleh Majelis Ulama Indonesia dan diperlakukan seperti kriminal oleh pihak Kepolisian dengan tuduhan mengganggu stabilitas masyarakat.

Cara pandang yang mengedepankan upaya untuk menjaga stabilitas, baik stabilitas keamanan maupun stabilitas keagamaan merupakan mekanisme kerja dari sebuah praktek kuasa untuk mempertahankan hegemoni dan dominasi. Polisi menjadi aparatus penjaga keamanan untuk menstabilkan kuasa-hegemoni negara atas rakyatnya, sementara itu Majelis Ulama Indonesia menjadi aparatus penjaga keagamaan untuk menentramkan kuasa-dominasi agama atas ummatnya.

Memang disatu sisi, upaya untuk menjaga stabilitas keagamaan maupun stabilitas keamanan merupakan kebutuhan mendasar untuk membina sebuah tata kehidupan sosial yang beradab. Tapi di sisi yang lain, realitas ini justru memperlihatkan sebuah paradoks, bagaimana mungkin membangun sebuah tata sosial yang beradab yang dibangun dengan praktek-praktek hegemoni dan dominasi dengan alasan stabilitas.

Dibutuhkan sebuah upaya untuk secara serius untuk melihat persoalan ini lebih jernih. Dibutuhkan proses otentifikasi terhadap mekanisme kerja praktek hegemoni dan dominasi yang dilakukan oleh aparatus penjaga stabilitas, setelah itu dilanjutkan dengan mencoba membangun cara pandang baru dalam memperlakukan dan memposisikan kenakalan spiritual ini dalam realitas plural keagamaan untuk membangun sebuah tata kehidupan sosial yang bebas dominasi dan hegemoni.

Agama (Di)Resmi(kan) sebagai (Pen)Disiplin(an)
Berbicara tentang mekanisme kerja hegemoni dan dominasi atas kenakalan spiritual dalam wacana keagamaan, terutama Islam memang akan mengalami persoalan pelik, karena menurut Muhammad Arkoun (1994) ini menyangkut relasi kuasa yang didalamnya kekuatan dominan memonopoli tafsir dan pemaknaan tentang Islam, dan menyublimasikannya dari wacana politik ke wacana agama.

Upaya pelacakan tentang Islam sebagai sebuah agama, terletak pada sebuah kekuatan dominan yang memonopoli tafsir, yang dalam konteks Indonesia direpresentasikan oleh Majelis Ulama Indonesia. Dari tafsiran Majelis Ulama Indonesia, hadirlah versi Islam (di)resmi(kan) yang melaluinya segala bentuk praktek keagamaan dipandang dan dinilai. Praktek keagamaan yang selaras dengan Islam (di)resmi(kan) merupakan agama yang (di)benar(kan), sementara praktek keagamaan yang menyimpang dari apa yang (di)resmi(kan) otomatis (di)salah(kan) dan dicap sebagai kenakalan spiritual.

Jadi persoalannya tidak pada nilai benar atau salah melainkan terletak pada penilaian (di)benar(kan) dan atau (di)salah(kan) berdasarkan pada tafsiran kekuatan dominan sebagai pemegang otoritas. Cara berfikir ini pernah disindir oleh Hikmat Budiman (2002), bukan kebaikan yang datang untuk meniadakan kejahatan, melainkan kejahatan dengan sengaja diciptakan agar (produk) kebaikan bisa laku sebagai pemenang.

Disini terlihat bahwa kenakalan spiritual akan selalu hadir dan muncul selama praktek monopoli tafsir terus memproduksi agama yang (di)resmi(kan). Karena ketika klaim tentang yang (di)benar(kan) muncul, maka (di)salah(kan) otomatis akan mengejawantah. Praktek ini bekerja sebagai sebuah proses (pen)disiplin(an) melalui regulasi-regulasi sebagai wacana politik yang beimplikasi langsung pada wacana agama sebagaimana disinyalir oleh Arkoun. Fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia adalah contoh ril dari praktek regulatif sebagai sebentuk (pen)disiplin(an) kehidupan kegamaan, terutama Islam.

Setelah melihat dengan jernih bahwa persoalan kenakalan spiritual hanyalah persoalan pertarungan monopoli tafsir dan pemahaman, maka ini akan berimplikasi pada bagaimana menempatkan kenakalan spiritual ini dalam dinamika kehidupan keberagamaan kita. Tentu adalah hal yang naif kalau kita tetap terjebak pada cara pandang agama (di)resmi(kan) yang didominasikan oleh Majelis Ulama Indonesia. Sudah saatnya kita memperlakukan kenakalan spiritual sebagai khasanah dalam ragam penafsiran keagamaan yang demikian plural.

Dalam memperlakukan kenakalan spiritual, kita selayaknya mengedepankan anjuran Jean Francois Lyotard (1984) yang dilontarkannya dengan sedikit bertanya, kenapa kita tidak mencoba menciptakan perlbagai kondisi yang memungkinkan toleransi terhadap disensus permanen, ketimbang harus mencapai persetujuan-persetujuan atau konsensus yang nyata-nyata, meskipun tersembunyi, melestarikan dominasi. Dalam konteks tiadanya pada cara pandang agama (di)resmi(kan) sebagai sebuah konsensus, maka sebutan kenakalan spiritual menjadi tidak signifikan lagi digunakan.

(sumber: kasmanku.co.cc)

Comments (0)

Post a Comment