APAKAH ELOHIM PLURAL?

Posted by mochihotoru | Posted in , , , , , , , | Posted on 11:26:00 PM

0

Banyak orang akan sering mendengar pernyataan hingga berkesimpulan bahwa kata Ibrani elohim merupakan bentuk jamak—dari kata eloah, seperti yang dapat dilihat dari suffix -im. Gagasan yang menyeluruh di belakang klaim tersebut adalah bahwa bentuk jamak merupakan suatu petunjuk yang cukup atas adanya pluralitas dalam Ketuhanan. Karena kejamakan bentuk yang berada pada tempatnya ini, beberapa orang menyimpulkan bahwa rujukan-rujukan alkitabiah bagi Bapa dan bagi Anak ini merupakan cara Allah dalam membenarkan argumen (berapologi) bahwa “Allah” merupakan kesatuan dari sosok-sosok ilahi yang dipimpin oleh Bapa.

Mari kita ajukan beberapa pertanyaan yang relevan. Pertama, apakah benar bentuk elohim jamak? Selama pertanyaanya berkaitan dengan bentuk, jawabannya tentu saja iya. Namun, itu tidak menandai akhir dari pertanyaan relevan yang harus diajukan. Ada satu lagi pertanyaan penting yang harus dijawab, mengenai pengertian (sense, nilai rasa) dari kata tersebut. Apakah pengertian dari kata elohim jamak? Jawabannya adalah tidak. Kata ini memiliki satu bentuk, namun memiliki lebih dari satu pengertian, untuk suatu alasan kata ini dilihat baik dalam bentuk tunggal (singular) maupun jamak (plural). Ini merupakan suatu keistimewaan dari bahasa Ibrani, bukan suatu indikasi akan sifat Allah, seperti yang akan dijelaskan di bawah.

Setiap bahasa di dunia membuat pembedaan antara bentuk dan pengertian dari setiap kata yang dimilikinya. Dalam bahasa Inggris kata put(menyimpan) memiliki satu bentuk. Bentuk ini disusun dari tiga huruf yang spesifik yang disusun sedemikian rupa, tetap pengertian dari bentuk ini banyak sekali. “Putbisa berarti tindakan sedang menempatkan sesuatu di tempat tertentu (dalam bentuk sekarang). Bisa juga berarti tindakan telah menempatkan sesuatu di tempat tertentu (dalam bentuk lampau). Bisa juga berarti berbagai tindakan yang sepenuhnya berbeda, misalnya menempatkan kapal di suatu pelabuhan. Selain itu, kata putdapat mengambil konstruksi tunggal maupun jamak (he put, atau they put). Orang yang mengerti bahasa Inggris tentu tidak akan merasa bingung ketika suatu bentuk yang sama digunakan dalam beberapa pengertian berbeda. Lagipula pemakai bahasa Ibrani asli tidak akan merasa bingung oleh kata elohim yang memiliki satu bentuk dan beberapa pengertian berbeda.

Orang-orang yang menentukan sifat Allah dari fakta bahwa elohim merupakan bentuk jamak telah membuat sebuah kekeliruan pokok. Mereka berada di dalam kesan bahwa bentuk dari kata inilah yang menentukan pengertiannya! Tidak ada pengguna bahasa Inggris yang akan bersikeras bahwa bentuk dari kata putharus menjadi pedoman dalam menentukan pengertian yang dimilikinya. Hal demikian juga tidak mungkin dalam bahasa Ibrani. Faktanya, hal tersebut sama sekali akan menciptakan kebingungan. Dalam Kejadian 1:1 (B’reshit 1.1), misalnya, mengambil kata elohim sebagai bentuk jamak dalam pengertiannya akan mengubah makna teks Ibrani disebabkan beberapa alasan.

Kata kerja (verba) bahasa Inggris “created (menciptakan) memiliki bentuk yang sama secara tunggal dan jamak. Pengertiannya, bagaimanapun, dapat dimengerti dengan jelas ketika sebuah kata ganti (pronomina) diimbuhkan (he created, atau they created). Dalam bahasa Ibrani, bentuk tunggal dan jamak dari kata kerja ini memiliki dua bentuk yang berbeda. Kata kerja ini menggunakan bentuk tunggal (bara, he created). Kata kerja ini, lalu, mencegah penafsir dalam hanya mempertimbangkan bentuk kata kerja dalam bahasa Inggris. Seseorang harus melihat juga ke dalam nilai rasa bahasanya, atau jika tidak, sebuah penafsiran keliru akan muncul terhadap ayat ini. Dalam naskah Ibrani Kejadian 1:1, baik bentuk dan pengertian dari kata “menciptakan” (created) merupakan bentuk tunggal. Tidak ada kemungkinan akan munculnya sebuah pemahaman yang berbeda terhadap ayat tersebut. Dengan sendirinya, kata itu berarti Dia menciptakan”—bukanlah “Mereka menciptakan.”

Orang-orang yang mengemukakan ide mengenai suatu kesatuan Keallahan mengakui bahwa kata kerja tersebut berbentuk tunggal dan bahwa bentuk dan pengertiannya berbentuk tunggal. Namun mereka menghilangkan rincian ini dengan mengatakan bahwa ada contoh-contoh (dalam bahasa Inggris, misalnya) saat kata kerja tunggal mengikuti sebuah kata benda (nomina) yang memiliki arti majemuk (a family is, a nation is, dan lainnya). Langkah seperti ini tentu mengandung kekeliruan besar, karena hal itu mengisyaratkan (dimulai dengan suatu premis) bahwa nama “Allah”—meski tetap diterjemahkan sebagai (the) God, bukan gods—merupakan sebuah kelompok makhluk ilahi. Dengan demikian muncullah sebuah pertanyaan lain harus diajukan: apakah kata “Allah” menunjuk kepada sekelompok sosok ilahi? Orang-orang yahudi menjawab, “Tentu saja bukan. Itu sangat tidak masuk akal. Umat muslim pun akan menjawab demikian, dan umat kristiani mula-mula secara tradisional juga memegang pandangan yang sama seperti umat yahudi dan muslim.

Para pendukung teori kesatuan pribadi-pribadi ilahi ini mengakui bahwa konsep yang mereka pegang memang tidak masuk akal bagi umat yahudi, muslim, dan kristiani mula-mula, tetapi mereka menilainya sebagai sebuah indikasi kesesatan saat agama-agama tersebut didalami. Seperti bagi Kekristenan tradisional, penyerangan tersebut ditujukan kepada konsili-konsili gereja ekumenis. Klaim tersebut dibuat sehingga konsili-konsili itu menjadi tempat bermain bagi Iblis, karena satu-satunya hal yang nampak bermasalah adalah apa yang orang-orang pikirkan, bukannya apa yang Firman Allah ajarkan. Pendekatan terhadap persoalan ini mengundang pertanyaan relevan yang keempat berkaitan dengan kesatuan Allah. Bagaimana para pendukung doktrin kesatuan pribadi Allah itu terus membuktikan bahwa Firman Allah, Alkitab, merujuk kepada kesatuan pribadi-pribadi Allah ketika menggunakan kata elohim? Jawaban mereka adalah bahwa kata ini merupakan bentuk jamak. Tetapi, seperti yang dijelaskan di atas, sebuah bentuk jamak tidaklah selalu harus memberikan pengertian yang jamak pula. Inilah letak kekeliruan yang pokok.

Penjelasan di atas meninggalkan satu lagi pertanyaan yang belum terjawab. Bagaimana bisa sebuah rujukan terhadap Allah Yang Satu (echad) berakhir dalam bentuk jamak? Karena pertanyaannya berkisar mengenai bentuk, pertanyaan tersebut berkaitan dengan rasa bahasa bahasa Ibrani. Kata tersebut tidak membahas mengenai sifat Allah, sang TUHAN Yang Maha Esa. Meskipun demikian, jawabannya tidaklah sulit untuk dipahami. Bahasa Ibrani memiliki karateristiknya sendiri sebagai suatu bahasa. Di antaranya terdapat cara saat mengekspresikan kekuatan, kekuasaan, dan penghormatan1—namun bukanlah “jamak keagungan” (pluralis mejestaticus) yang mengarah pada “sekelompok kekuatan atau kekuasaan”. Sebuah contoh dari Alkitab Perjanjian Baru mungkin akan membuatnya jelas.

Dalam Keluaran 4:16 (Shemot 4.16), Musa diberi tahu bahwa Harun akan menjadi penyambung lidah baginya, sementara ia sendiri menjadi Allah (elohim) bagi Harun. Pertama, bentuk elohim adalah jamak, padahal Musa jelas-jelas merupakan satu pribadi atau sosok yang tunggal (yachid)bukanlah suatu kelompok atau kesatuan dari beberapa makhluk. Ini cukup untuk mengindikasikan perbedaan yang harus digambarkan antara bentuk dan pengertian dari suatu kata. Kedua, Musa menjadi seperti elohim bagi Harun, hanya dalam pengertian bahwa ia akan berada dalam sebuah posisi yang lebih berkuasa dan dihormati. Ekspresi yang sama ditemukan dalam Keluaran 7:1 (Shemot 7.1), di mana Musa dikatakan bahwa ia menjadi elohim2 bagi Firaun.

Contoh ini menunjukkan bahwa elohim memiliki sebuah pengertian yang tunggal (yachid), tanpa melihat bentuknya. Untuk memahami bagaimana bentuk ini didapat, seseorang harus memeriksa perkembangan bentuk-bentuk linguistik yang that diwarisi orang-orang Israel dari orang-orang yang memakai bahasa Semitik (Ibrani-Aram-Arab) sebelumnya. Dalam masyarakat politeistis seperti orang Kanaan, Amorit, Mesir, Yunani, Romawi, dan sebagainya, sebuah rujukan mengenai dewa-dewa (alah-allah atau ilah-ilah) merupakan hal yang standar, dan hampir tidak di luar tempatnya. Sebagai bahasa yang mengalami perubahan dalam masyarakat monoteistis seperti Israel, sangatlah alami bahwa bentuk-bentuk asli akan digunakan dengan pengertian baru.

Contohnya, dalam bahasa Inggris, bentuk kata conversation(hidup, berbicara, berperilaku) tidak berubah sampai munculnya Alkitab Raja James (KJV), namun rasa bahasa dari kata ini sudah berubah untuk memberi kesan “berbicara”, bukannya “bertingkah laku”. Alasan-alasan pergeseran semantik akan ditemui dalam studi mendalam mengenai bagaimana sebuah bahasa berkembang di bawah pengaruh tertentu dari luar dan dalam. Ini merupakan sebuah proyek linguistik, apakah fokusnya itu terhadap sebuah kata bahasa Inggris seperti conversation,” atau kata Ibrani seperti elohim.Sama seperti bentuk dari kata bahasa Inggris conversationyang tidak merujuk pada tingkah laku seseorang, begitu pula dengan elohim”; kata tersebut tidak merujuk pada konsep apapun mengenai politeisme atau yang mirip dengan politeisme, dan tidak ada ketidaksesuaian dalam penolakan yang konsisten terhadap politeisme (serta gagasan yang mengarah kepadanya) di seluruh Kitab Suci.

Catatan:

1 Ini sama dengan penggunaan bentuk plural “ba’al” (penguasa) dan “adon” (tuan). Dalam bahasa Etiopia, Amlak (yang berarti “tuan-tuan”) menjadi nama generik bagi allah (sesembahan) mereka.

2 Mengenai para nabi utusan yang dipanggil dengan sebutan Allah (elohim) bagi penyambung lidahnya (rasulnya) dan umatnya, lihat pula Mazmur 82:6-7 (Tehilim 82.6-7).

(www.sammy-summer.co.cc)


POLEMIK TENTANG ISLAM YANG MEMPERBOLEHKAN SUAMI MEMUKUL ISTRI (SEBUAH PENJELASAN SURAT ANNISA AYAT 34)

Posted by mochihotoru | Posted in , , , , , | Posted on 11:09:00 PM

0

Oleh Sandy Arifiadie

Pendahuluan

Banyak dari kalangan muslim maupun nonmuslim yang sering bertanya-tanya mengenai pernyataan Alquran yang mengatakan secara harfiah kepada kaum laki-laki untuk “memukul mereka”, yang berarti istri mereka, dalam Surat Annisa 4:34. Ayat ini begitu kontroversial sehingga sering dipakai para orientalis untuk menuding bahwa Islam adalah agama yang tidak toleran dan merendahkan martabat kaum perempuan.

Beberapa ahli hukum menentang bahwa bahkan walaupun “pemukulan terhadap istri” diperbolehkan dengan “legitimasi Alquran”, hal itu tetaplah menakutkan. Film berjudul Submission, yang terkenal setelah pembunuhan sutradaranya Theo van Gogh, berusaha mengupas ayat Alquran ini dan sejenisnya dengan memperlihatkan gambaran yang melukiskan tubuh-tubuh perempuan muslim yang teraniaya. Ayaan Hirsi Ali, penulis film, mengatakan “Tertulis dalam Alquran bahwa seorang perempuan boleh ditampar jika dia tidak menuruti keinginan mereka. Ini merupakan salah satu dari tindak kejahatan yang saya harap bisa menunjukkannya dalam film ini.”

Diakui oleh para ulama, ayat Annisa 4:34 ini memang sering dipakai kaum laki-laki (muslim) yang tidak mengerti Alquran sebagai legitimasi untuk melakukan perbuatan kejam dan diskriminasi terhadap istri mereka yang tidak mau mematuhi kehendak mereka. Kaum perempuan disuruh untuk tunduk sepenuhnya kepada perintah suaminya, seperti tunduk kepada Allah, tak peduli perintahnya itu baik atau tidak menurut Allah. Benarkah demikian?

Terjemahan Ayat

Mengenai Annisa 4:34 yang sering disalahpahami ini, pertama-tama, mari kita tengok langsung ke dalam naskah asli Alquran (berbahasa Arab), yang diikuti dengan bunyi fonetis dalam huruf Latin, setelah itu barulah diikuti dengan terjemahan dalam bahasa Indonesia beserta penjelasannya.


Arrijaalu qawwamuuna ‘alaa annisa-i bima faddhala Allahu ba’dhahum ‘alaa ba’dhin wa bimaa anfaqu min amwalihim; fasshalihatu qaanitaatun hafizhaatul lilghaibi bimaa hafizha Allahu, wallatii takhafuuna nusyuuzahunna fa’izhuhunna wahjuruuhunna fii almadhaji’i wadribuuhunna fa-in ata’nakum falaa tabghuu ‘alaihinna sabiilan; inna Allaha kaana ‘aliyyan kabiiran.

Berikut adalah terjemahannya dalam bahasa Indonesia dan tafsiran ayatnya sesuai dengan ajaran Muhammad dalam Kitab Hadis seperti yang dijelaskan oleh para ahli:

Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasihatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar. (Annisa 4:34, Departemen Agama)

Kaum laki-laki itu adalah kepala bagi kaum perempuan, oleh karena Allah telah melebihkan laki-laki atas perempuan, dan karena laki-laki telah [diwajibkan untuk] menafkahkan sebagian dari harta mereka [untuk kebutuhan perempuan]. Sebab itu maka perempuan yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya, [yang baik dan menjaga diri dari dosa itu,] tidak ada, dan [memelihara] apa yang Allah telah perintahkan kepada mereka [kesucian dirinya, harta bersama, kehormatan suami, dan lainnya]. Mengenai perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan pembangkangannya [dengan melakukan perbuatan tidak senonoh, berzinah, tak menjaga diri, berbuat sesuatu yang dilarang Allah], maka nasihatilah mereka; atau [jika masih berbuat seperti itu,] pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka; atau [jika masih berbuat seperti itu,] pukullah mereka [tetapi jangan sampai menyakiti dan melukai mereka]. Kemudian jika mereka menaatimu [untuk kembali berkelakuan sopan dan mengikuti perintah Allah untuk menjauhkan diri dari dosa tersebut], maka janganlah kamu mencari-cari cara untuk menyusahkannya; [hai kaum laki-laki yang telah mendapat hikmat dan pengertian yang benar tentang hukum Allah.] Sesungguhnya Allah Mahatinggi lagi Mahabesar. (An-Nisa 4:34, terjemahan bebas)

Men are the maintainers of women because God has made some of them to excel others and because they spend out of their property; the good women are therefore obedient, guarding the unseen as God has guarded; and (as to) those on whose part you fear desertion, admonish them, and leave them alone in the sleeping-places and beat them; then if they obey you, do not seek a way against them; surely God is High, Great. (Annisa 3:34, Ash-Shakir)

Men are the protectors and maintainers of women, because Allah has made one of them to excel the other, and because they spend (to support them) from their means. Therefore the righteous women are devoutly obedient (to Allâh and to their husbands), and guard in the husband's absence what Allah orders them to guard (e.g. their chastity, their husband's property, etc.). As to those women on whose part you see ill­conduct, admonish them (first), (next), refuse to share their beds, (and last) beat them (lightly, if it is useful), but if they return to obedience, seek not against them means (of annoyance). Surely, Allah is Ever Most High, Most Great. (Annisa 3:34)

Penjelasan Ayat dan Kesalahan Penafsiran

Para sarjanawan Islam (ulama) dan apolog Islam lain memiliki respons yang berbeda atas kritik-kritik para orientalis mengenai Annisa 3:34 ini.

Alquran memang mengizinkan suami—tentu saja yang telah berserah diri sepenuhnya kepada Allah—untuk menghukum istrinya karena terbukti dengan jelas (bukan sekedar asumsi) melewati batas-batas yang diberikan Allah, yaitu melakukan apa yang dilarang Allah. Meskipun demikian, Alquran dan Muhammad lewat Hadis tetap memberi wejangan bahwa seorang laki-laki, jika ia mau, hanya diperbolehkan untuk “memukul” istrinya dengan sangat perlahan sehingga tidak meninggalkan bekas di tubuhnya, kecuali laki-laki itu sendiri juga telah melewati batas-batas hukum Allah (sama-sama memelihara dosa). Hal ini dimaksudkan hanya sekedar untuk menyadarkan istri, dan bukan untuk melampiaskan rasa kesal dan dendam suami.

Begitu pula menurut kebanyakan sarjanawan Islam dan para penafsir. Mereka telah menekankan bahwa “pemukulan” itu, ketika diperbolehkan, bukanlah untuk dilakukan dengan kasar atau bahkan mereka haruslah ditafsirkan kurang lebih secara simbolis. Menurut Abdullah Yusuf Ali dan Ibn Katsir, para ulama muslim bermufakat bahwa ayat di atas menggambarkan pemukulan yang ringan. Banyak sarjanawan muslim menjelaskan bahwa pemukulan tersebut hanya tepat jika seorang perempuan telah melakukan “pekerjaan yang keji, berdosa, nakal, dan memberontak” di luar ketidakpatuhan biasa terhadap keinginan suami.

Akar kata dharaba yang dalam ayat di atas menjadi udhribu ini diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sebagai “memukul” dan ke dalam bahasa Inggris sebagai “beat” (memukuli dengan keras). Kata udhribu tersebut secara literal berarti to strike (memukul). Terdapat banyak penerjemahan literal, pada berbagai versi terjemahan, dalam menggunakan kosakata ini, mulai dari “tepuklah”, “berjalanlah dengan tenang”, “lecutlah secara ringan”, “pukullah (sesuatu)”, “berikan contoh yang jelas”, hingga “pukullah”.

Sedangkan, dalam terjemahan bahasa Inggris dari Mohammed Habib Shakir di atas, kosakata dalam bahasa Inggris “beat” untuk kata tersebut adalah terjemahan yang tidak tepat. Begitu pula dalam terjemahan bahasa Inggris pada masa lalu, selain menggunakan kata “beat” (memukul keras) atau “hit” (menampar), ada pula yang menerjemahkannya sebagai “scourge” (mencambuk). Kata-kata yang dipakai tersebut menampilkan kesan yang tidak benar akan suatu pemukulan keras yang diizinkan. Sebaliknya ia diterjemahkan menjadi “strike”, ini akan meliputi keseluruhan rentang mulai dari tepukan halus hingga tonjokkan penuh tenaga.

Ada pula pendapat lain seperti Raghib yang menyampaikan bahwa dharaba secara metaforis berarti “berhubungan seksual”, dan mengutip ungkapan “darab al-fahl an-naqah” (unta bertiang menutupi unta betina), yang juga dikutip dalam Lisan al-‘Arab. Dalam ungkapan ini jelas kosakata tersebut tidak diartikan sebagai 'memukul mereka (perempuan).' Pandangan ini diperkuat dengan hadis sahih Muhammad yang ditemukan dalam sejumlah riwayat, termasuk Bukhari dan Muslim: “Dapatkan salah satu dari kalian memukul istrinya padahal kalian seorang hamba, lalu tidur dengannya pada malam harinya?” Ada juga riwayat lain dari Abu Daud, Nasai, Ibnu Majah, Ahmad bin Hanbal, dan lainnya, yang menyatakan bahwa Muhammad melarang pemukulan terhadap perempuan, dan berkata: “Jangan pernah memukul dayang-dayang Allah!” (Sumber: Alquran: sebuah terjemahan kontemporer oleh Ahmed Ali, Princeton University Press, 1988; hlm. 78-79)

Ia menerjemahkan tiga kata seperti fa'izu, wahjaru, dan wadhribu dalam teks asli masing-masing sebagai ‘berbicara kepada mereka dengan sikap persuasif’, ‘meninggalkan mereka sendiri (di tempat tidur, fil madhaji'i)’, dan ‘berhubungan seksual’ (lihat Raghib Lisan al-'Arab dan Zamakhsari). Raghib dalam kitab Al-Mufridat fi Gharib Alquran memberikan makna dari kata-kata tadi dengan referensi khusus yang relevan. Fa-'izu, menurutnya, berarti 'berbicara kepada mereka secara persuasif untuk meluluhkan hati mereka.' (Lihat juga Annisa 4:63, di mana kata tersebut dipakai untuk pengertian yang sama.) Hajara - Wahjaru, menurutnya, berarti memisahkan tubuh dari tubuh, dan menyampaikan bahwa ekspresi wahjaru-hunna secara metaforis berarti menahan diri untuk tidak menyentuh dan menganiaya mereka. Zamakhshari secara eksplisit dalam Kashshaf menjelaskan, 'jangan masuk ke dalam selimut mereka.'

Berikut adalah terjemahan ayat tersebut, dengan memasukkan kata dharaba menurut penafsiran mereka, sejauh yang bisa didefinisikan menurut aturan penerjemahan sesuai penjelasan para ahli tersebut:

“Kaum laki-laki itu adalah kepala bagi kaum perempuan, oleh karena Allah telah melebihkan laki-laki atas wanita, dan karena laki-laki telah diwajibkan untuk menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka perempuan yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya (yang saleh dan takut kepada Allah itu,) sedang tidak ada, dan memelihara apa yang Allah telah perintahkan kepada mereka (yaitu, kesucian dirinya, harta bersama, kehormatan suami, dan lainnya). Mengenai perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan pembangkangannya (dengan melakukan perbuatan tidak senonoh, berzinah, tak menjaga diri, berbuat sesuatu yang dilarang Allah), maka nasihatilah mereka; atau (jika masih berbuat seperti itu,) pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka; atau (jika masih berbuat seperti itu,) [berikan dia pengertian yang sangat tegas dan pilihan antara meluruskan sifatnya tersebut atau bercerai, dan apabila perempuan itu kembali berkelakuan sesuai hukum Allah, kembalilah berbagi tempat tidur bersamanya]. Kemudian jika mereka menaatimu (untuk kembali berkelakuan sopan dan mengikuti hukum Allah), maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya; (hai kaum laki-laki yang telah mendapat hikmat dan pengertian yang benar tentang hukum Allah.) Sesungguhnya ALLAH Mahatinggi lagi Mahabesar.”

Menurut penjelasan mereka, bagian pertama ayat 34 berhubungan dengan hal kaum laki-laki yang diwajibkan melindungi kaum perempuan. Selanjutnya menjelaskan bahwa seorang istri harus taat kepada Allah karena Dialah yang telah menyediakan kebutuhan hidup dan perlindungan baginya dan harus mengargai dan menghormati suaminya, menjaga dirinya sendiri dan harta milik suaminya saat suaminya tidak ada. Seorang laki-laki diberitahukan cara yang pantas untuk berperilaku ketika ia mendapati istrinya tidak bertingkah laku pantas dan sopan sebagai seorang perempuan baik-baik. Seorang suami yang baik mendapat perintah langsung untuk mulai mengingatkan istrinya yang berkelakuan tidak baik itu dengan sopan dan tanpa menyakiti hati, dan jika dia rela untuk meninggalkan perbuatannya, jangan beri dia kesulitan lagi. Namun, jika kelakuan buruknya berlanjut, suami tidak boleh bercampur dengannya; dan ini akan membuat semua jelas baginya bahwa maksud suami sangat serius dan itu bukanlah lelucon. Selain itu, jika si istri telah mengerti dan sadar akan kesalahannya lalu suami harus membiarkannya dan jangan mengganggunya lagi dengan mengulas-ulas hal tersebut. Terakhir, jika istri masih bersikeras melakukan perbuatan kotornya, laki-laki harus berkata tegas kepadanya tanpa ragu-ragu bahwa mereka harus berpisah atau bahkan mengakhiri pernikahan mereka kecuali sang istri kembali berkelakuan dengan pantas. Sedangkan, jika perempuan mau patuh, maka suami tidak boleh melanjutkan permasalahan ini dan harus kembali berbagi tempat tidur dengannya.

Bagaimanapun juga, perlu dijelaskan bahwa bahasa Indonesia, salah satu bahasa ‘ajjam atau non-Arab, merupakan bahasa yang tidak baik untuk menerjemahkan, kata per kata, maksud dari bahasa Arab Alquran. Begitu pula bahasa lainnya di dunia, terutama non-Semitik. Oleh karena itu, yang kita punya adalah terjemahan kata berdasarkan pengertian terbaik yang dimiliki sang penerjemah—disesuaikan dengan kosakata yang cocok atau mendekati.

Dan tentu saja ini semua merupakan suatu usaha untuk menafsirkan satu frasa pendek namun sangat kuat maknanya dari bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia. Sumber dikutip di sini dan mungkin masih banyak interpretasi lain namun yang bisa diterima hanyalah yang berlandaskan ajaran Alquran dan ajaran Muhammad, yang tertulis dalam Hadis, secara menyeluruh—bukan setengah-setengah. (Sumber: Alquran: sebuah terjemahan kontemporer oleh Ahmed Ali, Princeton University Press, 1988; hlm. 78-79)

Pengertiannya sekarang adalah bahwa beberapa penerjemah tidak menggambarkan nuansa maknanya dengan baik. Bagaimanapun setiap bahasa memiliki kekayaan kosakata yang berbeda, dan bahasa Arab memiliki kekayaan kosakata dan makna yang berbeda dari bahasa-bahasa lainnya. Karena itu, terjemahkan-terjemahan itu tidak sepenuhnya dapat dianggap sebagai representasi dari apa yang dimaksudkan oleh Allah yang Mahakuasa.

Kata Dharaba dalam Ayat Lain

Satu-satunya arti yang bisa dilakukan terhadap apa yang ada dalam Kitab Suci haruslah menggunakan aturan-aturan dalam Kitab Suci, yaitu Alquran. Dan Allah telah menggunakan kosakata yang sama beberapa kali secara konsisten dengan maksud yang sama. Mari kita periksa bersama.

Selain itu, salah satu aturan untuk mengerti kata-kata dalam Alquran dalah pergi ke bagian-bagian lain dalam Alquran untuk memeriksa pemakaian kata yang sama di bagian lain; dan kata ini digunakan oleh Allah dalam bagian lain dalam Alquran untuk menunjukkan “membuat” atau “merancang untukmu” atau “membertahu kepadamu” Kata ini digunakan oleh Allah dalam beberapa tempat lain dalam Alquran untuk mengartikan “membuat” atau “membuat sebuah penyataan jelas untukmu” atau “membuatnya diketahui olehmu”—seperti yang dicontohkan dalam ayat-ayat berikut:

Ar-Raad 13:17, “…kadzaalika yadhribu Allahul amtsal…” (…demikianlah Allah membuat perumpamaan-perumpamaan (amsal-amsal)…)

[di sini kata “yadhirbu” berasal dari akar kata yang sama, dha-ra-ba]

Ibrahim 14:24, “Alam tara kaifa dharaba Allahu matsalan...” (Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan...)

Dan, lagi, dalam ayat berikutnya:

Ibrahim 14:25b, “…wa yadhribu Allahul amtsala linnaasi.” (Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia …)

[lagi, kata yadhirbu berasal dari dha-ra-ba]

Annur 24:35, “…wa yadhribu Allahu aamtsala linnaasi…” (…dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia…)

Arrum 30:28, “Dharaba lakum matsalan min anfusikum…” (Dia membuat perumpamaan untuk kamu dari dirimu sendiri…)

Attahrim 66:10, “Dharaba Allahu matsalan lilladziina kafaruu..” (Allah membuat (bagi istri Nuh dan istri Lut) perumpamaan bagi orang-orang kafir…)

Sebagian ayat lain yang memakai kata dharaba di bawah ini diterjemahkan sebagai “memukul” adalah:

Al-araf 6:160, Anidhrib bi’ashaakal hajar…” (Pukullah batu itu dengan tongkatmu!)

Alanfal 8:50, “Walautaraa idz yatawaffal ladzii kafaruul malaaikatu wadhribuuna wujuuhahum wa adbaarahum…” (Kalau kamu melihat ketika para malaikat mencabut jiwa orang-orang yang kafir seraya memukul muka dan belakang mereka.)

Annuur 24:31, “…wa laa yadhribna biarjulihinna liyu’lama maa yukhfiina min ziinatihinna…” (Dan janganlah mereka memukulkan (menghentakkan) kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan.)

Assyuura 26:63, Anidhrib bi’ashaakal bahr…” (Pukullah lautan itu dengan tongkatmu.)

Ashshafat 37:93, “…faraagha ‘alaikum dharban bilyamiin…” (Lalu dihadapinya berhala-berhala itu sambil memukulnya dengan tangan kanannya (dengan kuat).)

Shad 38:44, “Wakhudzbiyadika dhightsan faadhrib bihi…” (Dan ambillah dengan tanganmu seikat (rumput), maka pukullah dengan itu.)

Faktanya, kata dharaba di atas tidak hanya diterjemahkan sebagai “memukul” atau “menampar” pada ayat-ayat di atas. Dan berikut adalah ayat-ayat yang memakai kata selaindharaba untuk diterjamahkan sebagai “memukul”:

Albaqarah 2:275, “...kama yaqaamu allati yatakhabbatuhu ash-shaytanu mina almassi…” (…seperti berdirinya orang yang kemasukan (dipukul mundur) setan lantaran (tekanan) penyakit gila...);

Almaidah 5:3, “Hurrimat ‘alaikumul maitatu wad damu walahmul khinziiri wa maa uHilla li-ghairillaahi bihii wal munkhaniqatu wal mauquudzatu wal mutaraddiyatu wan nathiihatu wa maa akalas sabu’u…” (Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih dalam nama selain Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas…);

Al-anaam 6:93, “…wal malaaikatu baashithu aidihim…” (sedang para malaikat memukul dengan tangannya…);

Dan dalam Taha 20:18, Allah berkata, “Qaala hiya Aasaya atawakkau ‘alaiha waahushshu biha ‘ala ghanamii waliya fiiha maaribu ukhra.” (Ini adalah tongkatku, aku bersandar padanya, dan aku pukul (daun) dengannya untuk kambingku, dan bagiku ada lagi keperluan yang lain padanya.).

Seperti yang kita lihat, ketiga kata yang dipakai bahkan tidak ada hubungannya dengan kata dharaba.

Apa yang Dikatakan Sang Nabi?

Jika hanya membaca dan menafsirkan dari Alquran saja, baik muslim maupun nonmuslim, akan kesulitan mendapatkan pengertian yang benar dan menyeluruh mengenai maksud suatu ayat—malah hanya akan timbul kesalahpahaman dan penolakan, seperti pada Annisa 3:34 ini. Hanya dengan beralih pada sabda Muhammadlah maka pengertian yang benar mengenai Alquran di atas diperoleh. Terdapat banyak sabda Nabi yang relevan guna memahami secara benar ayat Alquran di atas. Merangkum hadis-hadis ini dengan segera dapat ditemukan bahwa suami bahkan tidak diperbolehkan untuk “memukul” istri-istri mereka, kecuali dalam kasus “perilaku yang berat/ menghebohkan,” dan bahkan mereka tidak boleh “menjatuhkan pada mereka hukuman berat apapun” Lebih dari itu, seorang suami diperintahkan bahwa ia tidak boleh “memukul di wajah (istri)-nya” dan sebagainya

‘Amr bin Al-Ahwas Al-Jushami meriwayatkan bahwa ia mendengar Nabi berkata dalam khotbah perpisahannya di akhir Haji Terakhirnya, setelah beliau memuliakan dan memuja Allah, ia memperingatkan para pengikutnya: “Dengarkan! Perlakukan perempuan dengan baik … Andai mereka bersalah karena perbuatan yang keji, engkau boleh memindahan mereka dari ranjangmu, dan memukul ringan mereka, tetapi jangan kenakan pada mereka hukuman keras apapun …” (Tirmizi 276)

Hakim bin Muawiyah al Qusyairi mengutip ayahnya berkata bahwa ia bertanya pada Rasul Allah: “Apakah hak seorang istri kami terhadap suaminya?” Rasul Allah menjawab: “Bahwa engkau harus memberinya makanan ketika engkau makan, memberinya pekaian ketika engkau memakaikan baju pada dirimu, tidak memukulnya di wajahnya, tidak mengehinakan atau memisahkan dirimu dari dirinya kecuali di dalam rumah.” (Abu Daud 2137)

Abdullah bin Zama meriwayatkan bahwa Nabi melarang menertawakan seseorang yang bersendawa dan berkata, “Bagaimana mungkin salah satu di antara kalian memukuli istrinya seperti ia memukuli unta, lalu tidur dengannya?” (Bukhari 8:68)

Utusan Allah … menyapa orang-orang, dan berkata … “Takutlah pada Allah berkenaan dengan perempuan! Sesungguhnya engkau telah mengambil mereka pada perlindungan Allah, dan mencampuri mereka telah halal bagimu melalui kata-kata Allah. Engkau juga memiliki hak atas mereka, dan bahwa engkau semestinya tidak memperbolehkan siapapun yang tidak engkau sukai duduk di ranjangmu (sama seperti engkau yang juga tidak boleh melakukannya dengan perempuan lain yang tidak halal). Tetapi jika melakukannya, engkau boleh menghukum mereka, tetapi jangan berat-berat …” (Muslim 2803)

Terdapat jaminan terhadap status istri dalam sebuah pernikahan antara seorang muslim, dengan catatan bahwa yang terbaik di antara mereka adalah “mereka yang bersikap baik terhadap istri-istri mereka”:

Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Rasul Allah berkata: “Muslim yang paling sempurna dalam keimanan adalah ia yang memiliki perilaku yang sangat terpuji (dan membawa damai), yang terbaik di antara kamu adalah mereka yang berperilaku paling baik terhadap istri-istrinya (dan membawa damai bagi mereka).” (Tirmizi 278; lihat juga 628 dan 3264)

Keseluruhan periwayatan hadis di atas mengilustrasikan bahwa Annisa 4:34 tidak memperbolehkan seorang suami “memukul” istrinya dengan cara apapun yang dapat menyebabkan cedera atau luka fisik.

Kesimpulan

Sekarang kita dapat memahami dengan baik bahwa Allah Yang Mahakuasa telah memerintahkan laki-laki muslim yang sejati untuk menafkahi perempuan dan mengizinkan mereka untuk menyimpan semua kekayaan, warisan, dan pendapatan mereka tanpa menuntut apapun dari mereka sebagai dukungan dan pemeliharaan.

Ayat 34 dan 35 dalam Surat Annisa perlu dibaca bersamaan untuk mengerti bahwa konteksnya menggambarkan hubungan yang semestinya antara laki-laki dan perempuan secara umum, dan antara suami dan istri secara khusus. Islam mencarikan jalan untuk menjaga keutuhan keluarga, dan untuk membawa damai, dan untuk rekonsiliasi antara pasangan. Ayat berikutnya membuat semakin jelas apa yang harus dilakukan ketika nampak bahwa perceraian mungkin akan terjadi sebagai akibat dari kelakuan buruk yang tidak diperbaiki. Ayat tersebut juga menekankan pada juru pisah yang ditunjuk dari kedua pihak dan mencari rekonsiliasi.

Bagaimanapun juga, hubungan suami dan istri dalam suatu pernikahan itu laksana busana satu sama lain, masing-masing menawarkan perlindungan dan kehangatan. Lebih dari itu, dalam kehidupan sehari-hari, tidak ada yang lebih dekat kecuali pakaiannya sendiri.

…Mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka (Albaqarah 2:187b)

Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir. (Arrum 30:21)

Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak. (Annisa 4:19, Departemen Agama)

Maka, jika perempuan sudah pasti bersalah karena melakukan perbuatan kotor dan tidak senonoh, maka seorang suami harus bisa berbicara lebih dulu dengannya dengan sopan dan penuh pengertian, menasihati atau mengingatkannya, sehingga seorang istri bisa berhenti melakukan perbuatan keji itu—sekedar catatan, seorang suami tidak boleh sampai ikut melakukan perbuatan dosa. Namun, jika seorang istri ternyata melanjutkan perbuatan tidak senonoh itu, maka suami diperbolehkan untuk tidak lagi berbagi tempat tidur dengannya, dan hal ini akan berlangsung selama beberapa waktu. Terakhir, jika istri lantas menyesali perbuatannya dan bertobat, maka seorang suami wajib menerima dia kembali dan berbagi tempat tidur lagi dengannya. Hanya sebagai alternatif paling akhirlah seorang suami diperbolehkan untuk memukul istrinya yang berbuat tidak baik itu dan itu tergantung pada kesabaran dan kecerdasan suami dalam menghadapinya.

Ringkasnya, “pemukulan” yang merujuk dalam Annisa 4:34 lebih mendekati suatu psikodrama pribadi di mana suami secara simbolis mengekspresikan ketidaksukaannya untuk membuat sang istri sadar akan perbuatan buruknya. Ini serupa dengan idiom orang Amerika “to strike/ to hit with a wet noodle” (“memukul dengan bakmi basah”). Persis seperti pedagang Venesia Shakespeare, yang hanya bisa memperoleh satu pon daging, hanya jika ia tidak mengucurkan setetes darah pun; maka seorang suami dapat “memukul” istrinya hanya jika ia tidak menyebabkan penderitaan fisik, cedera, atau luka.

Sumber:

· www.islamtomorrow.com

· www.searchtruth.com

· Dirks, Jerald F.: The Abrahamic Faiths: Judaism, Christianity, and Islam Similarities and Contrasts. Betsville, Amana Publications, 2004.

· Departeman Agama Republik Indonesia: Al-Qur’an dan Terjemahannya. Semarang, CV. Adi Grafika Semarang, 1994.

(www.sammy-summer.co.cc)


KASTA DI BALI: KESALAHPAHAMAN YANG SUDAH SIRNA

Posted by mochihotoru | Posted in , , , , | Posted on 11:08:00 PM

0

Oleh Ida Pandita Mpu Jaya Prema Ananda

Ketika Mayor Jenderal Polisi I Made Mangku Pastika mencalonkan diri sebagai Gubernur Bali tahun 2008 lalu, ada elite politik di Jakarta yang tak yakin dengan kemenangannya. Alasannya ternyata sangat aneh. Dia mengatakan, pemimpin di Bali harus dari orang yang berkasta tinggi. Kalau kastanya rendah seperti Sudra tak akan bisa terpilih sebagai Gubernur Bali. Lantas dia menyebut nama gubernur-gubernur Bali sebelumnya, seperti Dewa Beratha, Ida Bagus Oka, Ida Bagus Mantra. Made Mangku Pastika dianggap berkasta Sudra.


Pernyataan ini membuktikan bahwa masalah kasta di Bali masih membingungkan banyak orang dan masalah kasta masih dikait-kaitkan dengan berbagai macam pekerjaan. Di Bali sendiri masalah kasta sudah tidak relevan lagi dibicarakan, dan boleh disebutkan sudah tidak lagi menjadi “kesalahpahaman”. Mungkin hanya masih berlaku di pedesaan dan itu pun pada kalangan tua. Generasi muda Bali sudah lama meninggalkan kasta. Dengan demikian menjadi aneh terdengar justru di luar Bali orang masih membicarakan kasta dengan segala embel-embelnya seperti di masa lalu.


Kasta sebenarnya ada di mana-mana ketika peradaban belum begitu maju. Atau kelas-kelas sosial di masyarakat ini berusaha dilestarikan oleh golongan tertentu yang kebetulan “berkasta tinggi”. Dari sini muncul istilah-istilah yang sesungguhnya adalah versi lain dari kasta, seperti “berdarah biru”, “kaum bangsawan” dan sebagainya yang menandakan mereka tidak bisa dan tak mau disamakan dengan masyarakat biasa. Bagi mereka yang berada “di atas” entah dengan sebutan “darah biru” atau “bangsawan” umumnya mempunyai komplek pemukiman yang disebut keraton atau puri.


http://ariennanda.ngeblogs.com/files/2009/11/plate42.jpg


Di masa sekarang ini, kraton atau puri tentu tak punya kuasa apa-apa, namun penghuninya berusaha untuk tetap melestarikannya. Ada pun penerimaan masyarakat berbeda-beda, ada yang mau menghormati ada yang bersikap biasa saja.


Di India kasta itu jumlahnya banyak sekali. Hampir setiap komunitas dengan kehidupan yang sama menyebut dirinya dengan kasta tertentu. Para pembuat gerabah pun membuat kasta tersendiri.


Di Bali juga unik. Ketika Bali dipenuhi dengan kerajaan-kerajaan kecil dan Belanda datang mempraktikkan politik pemecah belah, kasta dibuat dengan nama yang diambilkan dari ajaran Hindu, Catur Warna. Lama-lama orang Bali pun bingung, yang mana kasta dan yang mana ajaran Catur Warna. Kesalahpahaman itu terus berkembang karena memang sengaja dibuat rancu oleh mereka yang terlanjur “berkasta tinggi”.


Ajaran Catur Warna dalam Hindu adalah menempatkan fungsi sosial seseorang dalam kehidupan di masyarakat. Orang boleh memilih fungsi apa saja sesuai dengan kemampuannya. Catur Warna itu terdiri dari Brahmana, yaitu seseorang yang memilih fungsi sosial sebagai rohaniawan. Ksatria, yaitu seseorang yang memilih fungsi sosial menjalankan kerajaan: raja, patih, dan staf-stafnya. Jika dipakai ukuran masa kini, mereka itu adalah kepala pemerintahan, para pegawai negeri, polisi, tentara dan sebagainya. Wesya, yaitu seseorang yang memilih fungsi sosial menggerakkan perekonomian. Dalam hal ini adalah pengusaha, pedagang dan sebagainya. Kemudian Sudra, yaitu seseorang yang memilih fungsi sosial sebagai pelayan, bekerja dengan mengandalkan tenaga.


Fungsi sosial ini bisa berubah-ubah. Pada awalnya semua akan lahir sebagai Sudra. Setelah memperoleh ilmu yang sesuai dengan minatnya, dia bisa meningkatkan diri sebagai pedagang, bekerja di pemerintahan, atau menjadi rohaniawan. Fungsi sosial ini tidak bisa diwariskan dan hanya melekat pada diri orang itu saja. Kalau orangtuanya Brahmana, anaknya bisa Sudra atau Ksatria atau Wesya. Begitu pula kalau orangtuanya Sudra, anaknya bisa saja Brahmana. Itulah ajaran Catur Warna dalam Hindu.


Yang jadi persoalan, ketika kasta diperkenalkan di Bali di masa penjajahan itu, nama-nama yang dipakai adalah nama Catur Warna: Brahmana, Ksatria, Wesya, Sudra. Jadi, pada saat itu semua fungsi Catur Warna diambil alih oleh kasta, termasuk gelarnya.


Celakanya kemudian, gelar-gelar itu diwariskan turun temurun, diberikan kepada anak-anaknya tak peduli apakah anak itu menjalankan fungsi sosial yang sesuai dengan ajaran Catur Warna atau tidak. Contohnya, kalau orang tuanya bergelar Cokorde, jabatan raja untuk di daerah tertentu, anaknya kemudian otomatis diberi gelar Cokorde pada saat lahir. Kalau orangtuanya Anak Agung, juga jabatan raja untuk daerah tertentu, anaknya yang baru lahir pun disebut Anak Agung. Demikianlah bertahun-tahun, bahkan berganti abad, sehingga antara kasta dan ajaran Catur Warna ini menjadi kacau.


Kekacauan ini lama-lama menjadi Kesalahpahaman. Misalnya, ada anggapan bahwa yang berhak menjadi rohaniawan (pendeta Hindu) hanyalah mereka yang keturunan Brahmana versi kasta, yang nama depannya biasanya Ida Bagus. Mereka yang tak punya nama depan Ida Bagus disebut bukan keturunan Brahmana, jadi tak bisa menjadi pendeta. Begitu pula kasta lainnya, yang berhak menjadi pemimpin hanya keturunan Ksatria. Orang seperti I Made Mangku Pastika yang tak punya “nama gelar” tak akan bisa menjadi pemimpin karena kastanya hanya Sudra. Kenyataan saat ini tentu sudah beda. Saya sendiri yang saat walaka (sebelum menjadi pendeta) bukan bernama awal Ida Bagus, toh nyatanya bisa menjadi pendeta atau Brahmana saat ini.Demikianlah kesalahpahaman itu, akhirnya dikoreksi terus menerus setelah majelis agama Hindu (Parisada Hindu Dharma Indonesia) berdiri pada 1959. Jauh sebelumnya, yakni pada 1951, DPRD Bali sudah menghapus larangan perkawinan “antarkasta” yang merugikan “Kasta” bawah seperti Sudra. Kesulitan yang dihadapi dalam menghapus Kasta di Bali itu tentu karena masalah ini sudah berlangsung berpuluh-puluh tahun, bahkan berganti abad. Namun yang menyebabkan Kesalahpahaman itu bisa dijernihkan adalah adanya toleransi dan merupakan kesepakatan yang tak perlu ditulis, yakni masyarakat akhirnya memperlakukan nama-nama depan yang dulu merupakan gelar pemberian penjajah tetap bisa dipakai sebagai nama keturunan. Tetapi tidak ada kaitan dengan fungsi sosial, juga tak ada kaitan dengan ajaran Catur Warna. Artinya, siapa pun berhak menjadi Brahmana (rohaniawan atau pendeta), tidak harus dari keluarga Ida Bagus. Siapa pun berhak menjadi pemimpin (misalnya Bupati atau Gubernur), tak harus dari yang bergelar Ksatria versi kasta masa lalu.


Era modernisasi ikut mengubur perjalanan kasta di Bali. Banyak orang yang tidak memakai nama depan yang “berbau kasta”, dan nama itu hanya dipakai untuk kaitan upacara di lingkungan keluarga saja. Apalagi nama-nama orang Bali modern sudah kebarat-baratan atau keindia-indiaan. Juga faktor pekerjaan di mana orang yang dulu disebut berkasta Sudra, misalnya, kini memegang posisi penting, sementara yang berkasta di atasnya menjadi staf. Dengan demikian hormat-menghormati sudah tidak lagi berkaitan dengan “kasta” yang feodal itu.


I Made Mangku Pastika pun akhirnya bisa menjadi Gubernur Bali, yang kalau dikaitkan dengan kasta masa lalu, tergolong Sudra. Wakil Gubernur adalah Anak Agung Puspayoga, yang kalau dikaitkan dengan kasta masa lalu, tergolong Ksatria. Staf di kantor gubernur banyak yang bernama depan Ida Bagus, yang jika dikaitkan dengan kasta masa lalu adalah Brahmana. Kalau saja kasta versi masa lalu masih dianggap eksis, tentu aneh Gubernur Bali orang Sudra, wakil dan stafnya orang Ksatria bahkan Brahmana. Ini tentu tak masuk logika, karena itu logikanya memang sudah tak benar.


Terbuktilah kini, bahwa kasta masa lalu itu sudah terkubur. Yang tetap berlaku adalah ajaran Catur Warna, orang diberi kebebasan untuk menjadi Brahmana, Ksatria, Waisya maupun Sudra, asalkan mampu.


Sumber: cybernetbali.co.cc