Bahasa Daerah Semakin Punah
Posted by mochihotoru | Posted in Analysis, Culture, Education, Indonesia, Languages, Thoughts | Posted on 9:50:00 PM
Bahasa daerah di berbagai belahan bumi cenderung punah. Penyebab utamanya adalah praktik kolonialisme dan serbuan bahasa asing, khususnya Bahasa Inggris. Di Indonesia, tak kurang dari 32 bahasa daerah di Maluku dan Papua akan punah dalam waktu dekat.
Kecintaan dan kebanggaan menggunakan bahasa daerah, baik dalam acara resmi maupun informal, sebenarnya cenderung meningkat di era reformasi ini. Namun pada saat yang bersamaan, banyak keluarga tidak lagi menggunakan bahasa daerah dalam kehidupan sehari-hari.
Kesimpulan ini terekam dari jajak pendapat yang digelar oleh Litbang Media Grup pertengahan Februari lalu yang disajikan dalam satu terbitan Media Indonesia belum lama ini. Jajak pendapat di enam kota besar tersebut: Makassar, Surabaya, Yogyakarta, Bandung, Jakarta, dan Medan ini guna mengetahui pola penggunaan bahasa dalam kehidupan sehari-hari.
Tak kurang dari 479 responden dewasa yang dipilih secara acak dari buku petunjuk telepon residensial. Hasil survei tidak dimaksudkan mewakili pendapat seluruh masyarakat Indonesia, namun hanya masyarakat pemilik telepon residensial di enam kota tersebut. Margin of error survei plus-minus 4,6% pada tingkat kepercayaan 95%.
Survei menanyakan masyarakat tentang bahasa yang digunakan sehari-hari. Ternyata, responden yang menggunakan bahasa daerah sehari-hari di keluarganya masih sekitar 54%. Terdiri dari yang hanya menggunakan bahasa daerah sebanyak 14%, dan yang menggunakan bahasa daerah plus bahasa Indonesia 37%. Pengguna yang hanya menggunakan bahasa Indonesia tercatat 49%.
Dari 37% responden yang menggunakan bahasa daerahnya dan bahasa Indonesia dalam percakapannya sehari-hari dalam rumah tangga, kemudian digali lebih dalam. Kepada mereka ditanyakan dua pertanyaan lagi. Yang pertama, dalam percakapan antara orang tua kepada anaknya, bahasa apa yang paling sering digunakan. Mayoritas responden atau 57% menjawab bahasa Indonesia.
Pertanyaan selanjutnya, bahasa apa yang sering digunakan dalam percakapan di antara anak-anak dalam keluarga. Bahasa Indonesia lebih banyak dipilih, 67% responden. Dari jawaban-jawaban responden di atas, penggunaan bahasa nasional (bahasa Indonesia) dalam keluarga sudah memasyarakat, khususnya di keenam kota besar. Bahkan pengguna yang hanya memakai bahasa tersebut lebih banyak daripada keluarga yang juga menggunakan bahasa daerahnya masing-masing.
Padahal anak yang belajar membaca dan menulis dalam bahasa ibunya biasanya mempunyai keterampilan membaca dan menulis lebih baik daripada anak yang belajar dalam bahasa keduanya. Keterampilan membaca dan menulis dalam bahasa ibu gampang pindah ke bahasa lain.
Manusia yang dibesarkan bilingual (yaitu orang yang bisa dua bahasa) lebih gampang belajar bahasa lain. Artinya, pelajaran bahasa Inggris lebih gampang untuk anak yang bisa bahasa daerah dan bahasa Indonesia daripada anak yang hanya bisa salah satu dari bahasa itu.
Pentingnya Bahasa Daerah
Mengutip ethnologue.com, Koran ibu kota tersebut memaparkan bahwa sampai saat ini terdapat 6.912 bahasa di dunia. Para ahli menyatakan bahwa satu bahasa akan mampu bertahan apabila jumlah penuturnya lebih dari 100 ribu orang. Saat ini bahasa yang mempunyai penutur lebih dari 100 ribu orang hanya 1.239 bahasa. Dengan demikian, lebih dari 80% bahasa di dunia kini masuk kategori terancam kepunahan. Terdapat juga sekitar 57% bahasa dengan jumlah penutur tidak sampai 10 ribu orang, dan 28% lagi kurang dari 1.000 penutur.
Kepunahan bahasa sebenarnya merupakan hal yang wajar. Bahasa lahir, hidup, berkembang kemudian lenyap dalam suatu masyarakat. Hanya sedikit bahasa yang mampu bertahan lama. Beberapa di antaranya bahasa Basque, Mesir, Sansekerta, China, Yunani, Ibrani, Latin, Persia, dan Tamil yang mampu hidup lebih dari 2.000 tahun.
Yang menjadi permasalahan adalah laju kepunahan bahasa ternyata berlangsung cepat. Terutama akibat kolonialisme, bencana alam atau karena perbuatan manusia. Ranka Bjeljac-Babic, ahli psikologi bahasa Universitas Poitiers, Prancis, menuangkan hasil penelitiannya tentang mengapa bahasa-bahasa punah saat penggunanya dijajah oleh suku atau bangsa yang lebih berkuasa dan berpengaruh. Ia menyebutkan bahwa selama ini, kolonialisme melenyapkan tidak kurang dari 15% bahasa yang ada didunia.
Hasil penelitian Ranka menunjukkan bahwa selama 300 tahun, Eropa kehilangan banyak sekali bahasa. Di Australia, yang tertinggal hanya 20 dari 250 bahasa di akhir abad ke-18. Di Brasil sekitar 540 bahasa, atau sekitar tiga perempat dari jumlah seluruhnya, punah sejak penjajahan Portugal tahun 1530.
Lain lagi zaman kini. Sekarang bahasa mendapat gempuran yang tidak kalah hebatnya dari arus globalisasi dan komunikasi yang sangat deras. Chris Lavers dalam kupasannya berjudul Languages: Drowned Out by the Rise of English memprediksi bahwa sampai dengan akhir abad ini kemungkinan hanya akan tinggal separuhnya saja yang bisa bertahan.
Bahkan dengan kian gencarnya tekanan bahasa Inggris di era globalisasi ini, diduga akan semakin banyak lagi bahasa yang akan punah, mirip dengan nasib mahluk langka sehingga nantinya hanya sekitar 600 bahasa saja yang dinilai bisa lestari.
Indonesia Kaya
Indonesia dikenal dengan keanekaragamannya. Salah satunya, keragaman bahasa Indonesia menempati urutan kedua setelah Papua Nugini dalam jumlah bahasa yang dimiliki. Summer Institutute of Linguistik (SIL) Internasional cabang Indonesia dalam Grimes (2001:1) telah mencatat bahwa Republik Indonesia memiliki 7431 bahasa. Dari 741 bahasa tersebut, 726 bahasa masih memiliki penutur asli, 3 bahasa telah punah, dan 2 bahasa tidak memiliki penutur asli lagi.
Situs ethnologue.com juga mencatat saat ini ada sekitar 32 bahasa di Indonesia yang terancam punah dalam waktu dekat. Bahasa-bahasa ini hanya memiliki jumlah penutur kurang dari 50 orang. Bahkan bahasa Hukumina di Maluku dan bahasa Mapia hanya memiliki seorang penutur. Situs tersebut juga mencatat bahwa bahasa yang akan punah dalam waktu dekat banyak berasal dari wilayah Indonesia Timur, terutama Maluku dan Papua.
Bahasa adalah cara pandang dan pola pikir masyarakat pemakainya. Melenyapkan satu bahasa identik dengan melenyapkan pola pikir manusia. Maka Koentjaraningrat memasukkan bahasa sebagai salah satu aspek utama kebudayaan. Kita bisa mempelajari pengetahuan tentang cara mengelola lingkungan, cara bertahan hidup, pengobatan, perbintangan, dan lain-lain suatu bangsa dari bahasa bangsa tersebut. Pengetahuan tersebut secara turun-temurun diwariskan baik dalam bentuk tulisan maupun lisan. Dengan kata lain, sejarah intelektual suatu bangsa tersebut tersimpan dalam bahasanya masing-masing.
Segi lainnya, punahnya suatu bahasa indentik dengan memusnahkan keanekaaan hayati. Hubungan keanekaan budaya dengan keanekaan hayati bersifat kausal. Seperti tanaman dan spesies tertentu, bahasa-bahasa juga selalu berkaitan dengan kawasan tertentu.
Lebih dari 80% yang memiliki banyak keanekaragaman hayati, juga menggunakan bahasa tertentu yang terkait. Karena begitu mereka menyesuaikan diri dengan lingkungan, mereka pun segera menciptakan beberapa pengetahuan tentangnya, yang tercermin dalam bahasa mereka. Hanya melalui bahasa di masyarakat itu saja kita dapat memahami pengetahuan tersebut. Kalau mereka meninggal, dengan sendirinya pengetahuan tradisional mengenai lingkungan tersebut akan hilang.
Berkurangnya penutur bahas daerah di Indonesia juga tidak lepas dari stigma yang melekat kepadanya. Banyak yang menganggap bahasa daerah itu kuno, bahasa yang hanya dipakai oleh orang miskin dan tidak berpendidikan dan sesuatu yang menjadi halangan untuk berhasil dalam hidup.
Banyak orang berpendapat, untuk menjadi Indonesia, orang harus meninggalkan kesukuannya. Padahal orang menjadi orang Indonesia sambil tetap menjadi orang Jawa, orang Sunda, orang Melayu, orang Aceh, orang Minang, orang Bugis atau suku lainnya. Karena adanya salah paham itulah, rasa kedaerahan dianggap antikenasionalan.
Sekarang lebih banyak orang yang berbicara bahasa Indonesia bukanlah karena dorongan rasa kebangsaannya, melainkan lebih disebabkan adanya anggapan bahwa bahasa Indonesia kelasnya lebih tinggi daripada bahasa daerah. Seringkali orang tua mengorbankan bahasa daerah sehingga anaknya hanya bisa berbahasa nasional atau sekalian bahasa internasional. Bahasa daerahnya ditinggalkan. Padahal, rumah adalah benteng terakhir bagi perkembangan bahasa daerah.
Orang tua adalah matarantai “pewarisan” bahasa daerah ke anak-anaknya. Kalau si anak sudah tidak memakai bahasa daerah, anak dari anak itu tidak akan memakai bahasa itu. Menurut banyak ahli bahasa, ini permulaan kematian bahasa. Jumlah orang yang memakai bahasa daerah akan terus menurun, sampai tidak ada lagi orang yang memakainya. Dan akhirnya bahasa itu mati.
Sumber: Berita Indonesia
(www.sammy-summer.co.cc)
Kecintaan dan kebanggaan menggunakan bahasa daerah, baik dalam acara resmi maupun informal, sebenarnya cenderung meningkat di era reformasi ini. Namun pada saat yang bersamaan, banyak keluarga tidak lagi menggunakan bahasa daerah dalam kehidupan sehari-hari.
Kesimpulan ini terekam dari jajak pendapat yang digelar oleh Litbang Media Grup pertengahan Februari lalu yang disajikan dalam satu terbitan Media Indonesia belum lama ini. Jajak pendapat di enam kota besar tersebut: Makassar, Surabaya, Yogyakarta, Bandung, Jakarta, dan Medan ini guna mengetahui pola penggunaan bahasa dalam kehidupan sehari-hari.
Tak kurang dari 479 responden dewasa yang dipilih secara acak dari buku petunjuk telepon residensial. Hasil survei tidak dimaksudkan mewakili pendapat seluruh masyarakat Indonesia, namun hanya masyarakat pemilik telepon residensial di enam kota tersebut. Margin of error survei plus-minus 4,6% pada tingkat kepercayaan 95%.
Survei menanyakan masyarakat tentang bahasa yang digunakan sehari-hari. Ternyata, responden yang menggunakan bahasa daerah sehari-hari di keluarganya masih sekitar 54%. Terdiri dari yang hanya menggunakan bahasa daerah sebanyak 14%, dan yang menggunakan bahasa daerah plus bahasa Indonesia 37%. Pengguna yang hanya menggunakan bahasa Indonesia tercatat 49%.
Dari 37% responden yang menggunakan bahasa daerahnya dan bahasa Indonesia dalam percakapannya sehari-hari dalam rumah tangga, kemudian digali lebih dalam. Kepada mereka ditanyakan dua pertanyaan lagi. Yang pertama, dalam percakapan antara orang tua kepada anaknya, bahasa apa yang paling sering digunakan. Mayoritas responden atau 57% menjawab bahasa Indonesia.
Pertanyaan selanjutnya, bahasa apa yang sering digunakan dalam percakapan di antara anak-anak dalam keluarga. Bahasa Indonesia lebih banyak dipilih, 67% responden. Dari jawaban-jawaban responden di atas, penggunaan bahasa nasional (bahasa Indonesia) dalam keluarga sudah memasyarakat, khususnya di keenam kota besar. Bahkan pengguna yang hanya memakai bahasa tersebut lebih banyak daripada keluarga yang juga menggunakan bahasa daerahnya masing-masing.
Padahal anak yang belajar membaca dan menulis dalam bahasa ibunya biasanya mempunyai keterampilan membaca dan menulis lebih baik daripada anak yang belajar dalam bahasa keduanya. Keterampilan membaca dan menulis dalam bahasa ibu gampang pindah ke bahasa lain.
Manusia yang dibesarkan bilingual (yaitu orang yang bisa dua bahasa) lebih gampang belajar bahasa lain. Artinya, pelajaran bahasa Inggris lebih gampang untuk anak yang bisa bahasa daerah dan bahasa Indonesia daripada anak yang hanya bisa salah satu dari bahasa itu.
Pentingnya Bahasa Daerah
Mengutip ethnologue.com, Koran ibu kota tersebut memaparkan bahwa sampai saat ini terdapat 6.912 bahasa di dunia. Para ahli menyatakan bahwa satu bahasa akan mampu bertahan apabila jumlah penuturnya lebih dari 100 ribu orang. Saat ini bahasa yang mempunyai penutur lebih dari 100 ribu orang hanya 1.239 bahasa. Dengan demikian, lebih dari 80% bahasa di dunia kini masuk kategori terancam kepunahan. Terdapat juga sekitar 57% bahasa dengan jumlah penutur tidak sampai 10 ribu orang, dan 28% lagi kurang dari 1.000 penutur.
Kepunahan bahasa sebenarnya merupakan hal yang wajar. Bahasa lahir, hidup, berkembang kemudian lenyap dalam suatu masyarakat. Hanya sedikit bahasa yang mampu bertahan lama. Beberapa di antaranya bahasa Basque, Mesir, Sansekerta, China, Yunani, Ibrani, Latin, Persia, dan Tamil yang mampu hidup lebih dari 2.000 tahun.
Yang menjadi permasalahan adalah laju kepunahan bahasa ternyata berlangsung cepat. Terutama akibat kolonialisme, bencana alam atau karena perbuatan manusia. Ranka Bjeljac-Babic, ahli psikologi bahasa Universitas Poitiers, Prancis, menuangkan hasil penelitiannya tentang mengapa bahasa-bahasa punah saat penggunanya dijajah oleh suku atau bangsa yang lebih berkuasa dan berpengaruh. Ia menyebutkan bahwa selama ini, kolonialisme melenyapkan tidak kurang dari 15% bahasa yang ada didunia.
Hasil penelitian Ranka menunjukkan bahwa selama 300 tahun, Eropa kehilangan banyak sekali bahasa. Di Australia, yang tertinggal hanya 20 dari 250 bahasa di akhir abad ke-18. Di Brasil sekitar 540 bahasa, atau sekitar tiga perempat dari jumlah seluruhnya, punah sejak penjajahan Portugal tahun 1530.
Lain lagi zaman kini. Sekarang bahasa mendapat gempuran yang tidak kalah hebatnya dari arus globalisasi dan komunikasi yang sangat deras. Chris Lavers dalam kupasannya berjudul Languages: Drowned Out by the Rise of English memprediksi bahwa sampai dengan akhir abad ini kemungkinan hanya akan tinggal separuhnya saja yang bisa bertahan.
Bahkan dengan kian gencarnya tekanan bahasa Inggris di era globalisasi ini, diduga akan semakin banyak lagi bahasa yang akan punah, mirip dengan nasib mahluk langka sehingga nantinya hanya sekitar 600 bahasa saja yang dinilai bisa lestari.
Indonesia Kaya
Indonesia dikenal dengan keanekaragamannya. Salah satunya, keragaman bahasa Indonesia menempati urutan kedua setelah Papua Nugini dalam jumlah bahasa yang dimiliki. Summer Institutute of Linguistik (SIL) Internasional cabang Indonesia dalam Grimes (2001:1) telah mencatat bahwa Republik Indonesia memiliki 7431 bahasa. Dari 741 bahasa tersebut, 726 bahasa masih memiliki penutur asli, 3 bahasa telah punah, dan 2 bahasa tidak memiliki penutur asli lagi.
Situs ethnologue.com juga mencatat saat ini ada sekitar 32 bahasa di Indonesia yang terancam punah dalam waktu dekat. Bahasa-bahasa ini hanya memiliki jumlah penutur kurang dari 50 orang. Bahkan bahasa Hukumina di Maluku dan bahasa Mapia hanya memiliki seorang penutur. Situs tersebut juga mencatat bahwa bahasa yang akan punah dalam waktu dekat banyak berasal dari wilayah Indonesia Timur, terutama Maluku dan Papua.
Bahasa adalah cara pandang dan pola pikir masyarakat pemakainya. Melenyapkan satu bahasa identik dengan melenyapkan pola pikir manusia. Maka Koentjaraningrat memasukkan bahasa sebagai salah satu aspek utama kebudayaan. Kita bisa mempelajari pengetahuan tentang cara mengelola lingkungan, cara bertahan hidup, pengobatan, perbintangan, dan lain-lain suatu bangsa dari bahasa bangsa tersebut. Pengetahuan tersebut secara turun-temurun diwariskan baik dalam bentuk tulisan maupun lisan. Dengan kata lain, sejarah intelektual suatu bangsa tersebut tersimpan dalam bahasanya masing-masing.
Segi lainnya, punahnya suatu bahasa indentik dengan memusnahkan keanekaaan hayati. Hubungan keanekaan budaya dengan keanekaan hayati bersifat kausal. Seperti tanaman dan spesies tertentu, bahasa-bahasa juga selalu berkaitan dengan kawasan tertentu.
Lebih dari 80% yang memiliki banyak keanekaragaman hayati, juga menggunakan bahasa tertentu yang terkait. Karena begitu mereka menyesuaikan diri dengan lingkungan, mereka pun segera menciptakan beberapa pengetahuan tentangnya, yang tercermin dalam bahasa mereka. Hanya melalui bahasa di masyarakat itu saja kita dapat memahami pengetahuan tersebut. Kalau mereka meninggal, dengan sendirinya pengetahuan tradisional mengenai lingkungan tersebut akan hilang.
Berkurangnya penutur bahas daerah di Indonesia juga tidak lepas dari stigma yang melekat kepadanya. Banyak yang menganggap bahasa daerah itu kuno, bahasa yang hanya dipakai oleh orang miskin dan tidak berpendidikan dan sesuatu yang menjadi halangan untuk berhasil dalam hidup.
Banyak orang berpendapat, untuk menjadi Indonesia, orang harus meninggalkan kesukuannya. Padahal orang menjadi orang Indonesia sambil tetap menjadi orang Jawa, orang Sunda, orang Melayu, orang Aceh, orang Minang, orang Bugis atau suku lainnya. Karena adanya salah paham itulah, rasa kedaerahan dianggap antikenasionalan.
Sekarang lebih banyak orang yang berbicara bahasa Indonesia bukanlah karena dorongan rasa kebangsaannya, melainkan lebih disebabkan adanya anggapan bahwa bahasa Indonesia kelasnya lebih tinggi daripada bahasa daerah. Seringkali orang tua mengorbankan bahasa daerah sehingga anaknya hanya bisa berbahasa nasional atau sekalian bahasa internasional. Bahasa daerahnya ditinggalkan. Padahal, rumah adalah benteng terakhir bagi perkembangan bahasa daerah.
Orang tua adalah matarantai “pewarisan” bahasa daerah ke anak-anaknya. Kalau si anak sudah tidak memakai bahasa daerah, anak dari anak itu tidak akan memakai bahasa itu. Menurut banyak ahli bahasa, ini permulaan kematian bahasa. Jumlah orang yang memakai bahasa daerah akan terus menurun, sampai tidak ada lagi orang yang memakainya. Dan akhirnya bahasa itu mati.
Sumber: Berita Indonesia
(www.sammy-summer.co.cc)
mantap data2 nya...