KEKUATAN UANG DAN PROFESIONALISME

Posted by mochihotoru | Posted in , , , | Posted on 8:01:00 PM

Semula banyak orang berharap kepastian hukum di Indonesia akan segera terwujud seiring dengan terbentuknya pemerintahan baru yang diharapkan lebih baik dari sebelumnya. Sayangnya harapan itu semakin jauh dari kenyataan. Eforia reformasi dan demokrasi banyak disalahartikan masyarakat sebagai boleh berbuat apa saja. Tuntutan terhadap penegakan hak asasi manusia membuat aparat penegak hukum tidak berani berbuat menertibkan pelanggaran di tengah masyarakat, dan di pihak lain keinginan menegakkan pemerintahan yang berwibawa yang memisahkan antara legislatif, eksekutif dan yudikatif, bisa membuka peluang munculnya kasus hukum kontroversial.

Dunia hukum Indonesia setahun terakhir heboh oleh demikian banyaknya perkara besar dan menarik perhatian yang dimenangkan para terdakwa. Sebutlah di antaranya perkara Nurdin Halid, Tommy Soeharto, Beddu Amang, Arifin Panigoro, atau yang terakhir Joko S Tjandra. Tiga yang disebut terakhir bebas di putusan sela.

Reaksi yang muncul cukup seru. Sebagian teoritisi dan praktisi hukum spontan menyatakan bahwa bebasnya para terdakwa tersebut, merupakan simbol buruknya kualitas penegakan hukum, sehingga kalau muncul isu dugaan suap dan asumsi kian merebaknya ‘mafia’ peradilan, cukup beralasan. Teoritisi lainnya terus terang menyatakan ketidaksenangannya terhadap sebagian kecil pengacara yang terkesan kurang memiliki nurani sehingga bersedia mati-matian membela terdakwa perkara korupsi.

Beberapa ahli hukum seperti Prof Dr Achmad Ali dari Universitas Hasanuddin dan Dr Hamid Awaluddin menyatakan, para advokat Indonesia seyogianya tidak menutup mata terhadap kejahatan para koruptor. Ada baiknya advokat memilah-milah, mana yang patut dibela, mana yang sepantasnya dibiarkan berhadapan dengan jaksa, dan dihukum—bukannya memilah mana klien yang paling banyak duitnya atau mana yang popular atau mana yang orang Cina.

http://www.primaironline.com/images_content/20090704DEWI%20KEADILAN.jpg

Semestinya pula, advokat membiarkan nuraninya berbicara—tentunya atas nama kebenaran, bukan kemenangan. Sehingga dengan nurani itu, advokat tahu bahwa kliennya orang baik-baik atau tidak baik. Kalau orang tidak baik, tutur Hamid Awaludin, tetap mesti dibela, tetapi para advokat tidak perlu mati-matian menutupi kejahatan kliennya. “Malah ada yang cenderung memutarbalikkan fakta; kliennya penjahat besar tetapi disebut seperti malaikat baiknya,” ungkap Hamid.

Terlepas dari beberapa perkara di atas, menurut Hamid, terdapat sejumlah pengacara yang ia duga menggunakan kekuatan uang untuk memenangkan perkara. Ada pengacara yang bisa menyodorkan apa saja kepada para oknum hakim dan oknum jaksa. Si oknum jaksa “disodori” uang agar tuntutannya tidak terlampau tinggi. Sedang si oknum hakim “disuap” agar hukuman si terdakwa tidak berat. Kalau bisa sih bebas. Para penyogok ini, secara diam-diam merangsang oknum jaksa dan oknum hakim “bersinergi” agar terdakwa memperoleh hukuman seringan-ringannya. Menariknya, para pelaku “sinergi” tidak hirau terhadap kalimat pertama di setiap putusan yakni, demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Yang penting, mereka memperoleh fulus amat besar, yang bisa menjamin kehidupan ekonomi keluarganya.

Hal yang sangat menarik ditelaah ialah, menjadi pengacara di zaman edan seperti sekarang-kecerdasan, kepiawaiannya berdebat hukum, kehebatan menyodorkan bukti, maupun ketekunan membuka fakta yuridis-bukan lagi syarat mutlak untuk beracara di pengadilan. Kriteria terbaru (dalam banyak perkara) yang “mesti” dimiliki sejumlah pengacara ialah, kejagoan menyogok para oknum penegak hukum. Kepiawaian bernegosiasi dengan para penegak hukum ini bisa sangat menentukan nasib klien.

Kondisi seperti inilah yang kemudian menyebabkan seorang advokat senior yang pernah lama berkecimpung di lembaga swadaya masyarakat (LSM), dalam nada getir menyebutkan, jika (dulu, tahun 1970-an dan awal 1980-an) para pengacara menerima perkara, maka yang pertama berkelebat di kepala mereka ialah pasal-pasal apa yang dapat dipakai untuk menyelamatkan kliennya. Namun kini, bukan pasal-pasal lagi yang dicari, melainkan siapa-siapa yang mesti dilobi, didekati dan diberi fulus.

Praktik dekil seperti inilah yang menjadi cikal bakal munculnya istilah mafia peradilan. Mafia di sini, tidak diartikan sebagai kejahatan terorganisasi rapi yang dilakoni sejumlah orang berdasarkan sinergi rapi. Yang dimaksud mafia peradilan di sini, kurang lebih semacam persekongkolan atau kongkalikong sejumlah orang untuk mengatur putusan hakim, membebaskan si polan dan menghajar si polin.

http://vinnamelwanti.files.wordpress.com/2009/01/korupsi1-small.jpg

Dengan peta persoalan seperti ini menjadi agak repot bila hendak membayangkan lembaga pengadilan Indonesia dapat menjalankan fungsinya secara optimal-sebagai tempat rakyat mencari keadilan. Memang tidak semua hakim dan jaksa mempunyai tabiat “nakal” seperti itu. Akan tetapi, dengan begitu runyamnya kelakuan oknum jaksa dan oknum hakim, serta kian suburnya mafia peradilan, semuanya menjadi serba repot. Kita bisa terengah-engah bila terlampau mengharapkan lembaga pengadilan menjalankan fungsinya sebagaimana mestinya.

Jika kembali ke topik runyamnya peradilan Indonesia, maka bisa dikatakan semua pihak, baik polisi (pada tingkat permulaan), jaksa, hakim, pengacara maupun masyarakat mempunyai kontribusi sendiri-sendiri bagi jatuhnya wibawa hukum Indonesia. Akan kurang seimbang bila hanya menyebut salah satu pihak yang mempunyai kontribusi terbesar, atau yang paling bertanggung jawab atas buruknya kinerja hukum ini.

Ahli dan praktisi hukum, Dr Todung Mulya Lubis LLM menyatakan, mungkin ada baiknya para hakim menggunakan nurani. Jika terdapat putusan hakim yang meragukan, kondisikan saja supaya putusan-putusan itu diumumkan agar bisa dibaca banyak orang.

“Kalau hukum kita masih seperti itu, ngapain mempunyai kantor hukum. Bisa frustrasi. Mending jualan pizza atau lontong sayur sajalah,” katanya.

***

Soal menarik lainnya yang kiranya pantas mendapat kajian mendalam ialah menguatnya kesangsian terhadap kemampuan para jaksa. Kalahnya jaksa di begitu banyak perkara besar, seperti perkara Nurdin Halid, Beddu Amang, Tommy Soeharto, Arifin Panigoro, Joko S Tjandra dan sebagainya, mengokohkan asumsi tersebut.

Harus diakui kekalahan di perkara-perkara besar tadi, tidak bisa menjadi parameter bahwa kinerja jajaran kejaksaan sedang buruk-buruknya. Boleh jadi, para pengacara yang menangani perkara itu hebat-hebat sehingga mampu membebaskan kliennya. Boleh jadi, hakim berbeda pendapat dengan jaksa, boleh jadi ada faktor-faktor nonteknis lainnya.

Akan tetapi-terlepas dari urusan dugaan negatif yang menyungkupi perkara-perkara itu-boleh jadi para jaksa itu memang tidak mampu menjalankan tugasnya dengan sempurna. Bisa jadi, mohon maaf, kualitas rata-rata para jaksa memang sedang menukik secara fantastis sehingga tidak sempurna bekerja dalam proses penyelidikan, penyidikan, pelimpahan perkara, dakwaan dan penuntutan.

Di masa era hukum Indonesia sedang jelek-jeleknya seperti sekarang, tidak banyak jaksa menunjukkan karya cemerlang. Tidak tampak jaksa cemerlang di sidang seperti yang pernah tampak pada diri Chairuman Harahap (dalam perkara BNI ‘46 dan perkara Bank Perkembangan Asia, 1990), atau pada diri Anton Sujata, dalam banyak perkara menarik.

http://rizalarafah.com/wp-content/uploads/2010/03/mafia-hukum-dan-peradilan-di-indonesia.jpg

Sebaliknya, sebagian jaksa sekarang, kurang taktis. Buktinya para terdakwa bebas melulu. Kejaksaan pun rajin mengeluarkan SP3 (surat perintah penghentian penyidikan), tetapi kemudian SP3 itu dicabut dan dihidupkan lagi. Penerbitan dan pencabutan SP3 tampaknya tergantung siapa pemimpin baru kejaksaan.

Dengan uraian seperti di atas, beralasan bila kini muncul anggapan bahwa pekerjaan jaksa kerap menjadi pilihan terakhir bagi para sarjana hukum Indonesia. Para sarjana hukum yang berkualitas belakangan ini lebih tertarik bekerja sebagai konsultan atau pengacara, pelaku bisnis, pekerja swasta, dosen, wartawan atau hakim.

Dengan asumsi seperti ini, beralasan kalau muncul suara yang menyebutkan bahwa yang masuk ke lingkungan kejaksaan tidak banyak dari lulusan-lulusan terbaik fakultas hukum di Indonesia. Repotnya, sudah bukan lulusan terbaik yang datang, untuk masuk kejaksaan pun mesti melalui jalan cukup berliku. Apa yang bisa diharapkan dari kondisi seperti ini?

Ahli hukum Dr Mulya Lubis menyarankan agar ada semacam hakim atau jaksa ad hoc. Indonesia mesti berani, misalnya, mengangkat jaksa dari kalangan swasta, yang notabene mempunyai integritas sangat kuat. Adanya jaksa ad hoc secara langsung atau tidak langsung akan melahirkan iklim kompetisi yang sehat antara jaksa karier dengan jaksa ad hoc. Para jaksa agung muda (JAM) pun tidak perlu harus selalu jaksa karier.

“Kalau ada ahli hukum yang hebat, kenapa tidak bisa menjadi jaksa agung muda? Mestinya bisa,” ujar Lubis.

Sumber: Kompas

Comments (0)

Post a Comment