Jangan Berhenti Pada Simbol!
Posted by mochihotoru | Posted in Christianity, Culture, Protestant, Roman Catholic | Posted on 10:08:00 PM
Kekristenan kaya dengan simbol-simbol. Alkitab pun memberi tempat khusus bagi beragam simbol. Bahasa simbol mudah ditemui dalam Alkitab. Sebagai orang Kristen, bagaimana kita memaknai simbol? Bila orang Kristen mengenakan simbol-simbol sebagai aksesori, berdosakah? Bagaimana memahaminya? Apa kata para pakar?
Setiap tempat dan budaya di muka bumi ini, punya simbol-simbol tertentu. Simbol-simbol itu menunjuk pada identitas pribadi atau komunitas. Di Jawa misalnya, keris identik dengan orang Jawa, kujang menunjuk pada orang Sunda, samurai bagi orang Jepang, ulos bagi orang Batak, atau pistol bagi cowboy dari Texas. Pada dasarnya, simbol-simbol itu mewakili atau menunjuk identitas suatu suku atau komunitas. Di balik simbol-simbol tersebut, terkandung makna dan filosofi yang dalam. Apa makna filosofi yang terkandung di dalamnya? Tulisan ini tidak dimaksud untuk mengulas hal itu.
Kekristenan pun penuh dengan simbol-simbol. Perhatikanlah Alkitab kita. Bila kita belajar Alkitab, di dalamnya terdapat banyak simbol yang sarat makna. Bahkan pada zamannya, umat Yahudi, menyampaikan kekayaan iman dengan simbol-simbol. Pendeta Markus Hildebrandt Rambe dalam Penuntun Simbol-simbol Ibadah Kristen (Sebuah Ensiklopedi Dasar), mengatakan bahwa agama selalu berhadapan dengan paradoks. Melalui gambar, kita tidak bisa berbicara tentang Allah, karena Allah tidak bisa digambarkan dengan apa pun. Namun, tanpa gambar kita tidak bisa berbicara tentang Allah, karena komunikasi manusia hanya mungkin dengan menggunakan gambar, simbol, dan metafora manusiawi.
Berhubung dengan simbol-simbol seperti tertera di atas, Kitab Suci memberi tempat khusus. Sejarah juga mencatat, sejak gereja mula-mula, yakni gereja di sekitar para rasul, simbol-simbol telah dikembangkan. Untuk apa simbol-simbol itu? Pasti ada maksud agung di dalamnya.
PENEGAS IDENTITAS
Nah, pada zaman gereja awal, simbol-simbol kristiani menduduki posisi penting. Bahkan, orang-orang percaya harus mengenakannya. Bukan sekadar gaya, namun untuk maksud khusus. Melalui simbol-simbol itu, identitas mereka gampang diketahui. Ambillah contoh, simbol ikan. “Sebenarnya, simbol ikan yang digunakan umat pada masa itu, merupakan kode rahasia. Umat sudah mengenakannya sejak abad pertama,” kata Bambang Widjaja. Ketika memakai simbol itu, maka sesama orang percaya gampang mengetahui identitasnya. Hal ini penting. Mengapa penting? Tentu, karena kondisi politik dan penganiayaan yang berkembang pada zaman itu. Berarti, simbol membantu menunjukkan identitas seseorang.
Simbol ikan, atau kadang disebut ikan Yesus, yang biasa dipakai pada saat itu, sebenarnya berasal dari bahasa Yunani, IKHTUS (ἰχθύς, ΙΧΘΥΣ, atau ΙΧΘΥC). Kata itu berarti “Yesus Kristus, Putra Allah, Juruselamat” (Ἰησοῦς Χριστός, Θεοῦ ͑Υιός, Σωτήρ, Iēsous Christos, Theou Huios, Sōtēr). Bagi Bambang Widjaja, simbol tersebut amat penting. Sebab, dengan mengenakan simbol, umat sedang menegaskan pengakuan iman mereka. Selain itu, mereka juga sedang menegaskan identitas diri. Maka, bagi Ketua Majelis Pertimbangan PGLII itu, simbol bukanlah sesuatu yang negatif. “Simbol dan tradisi itu jangan selalu dicap negatif,” pintanya.
Secara sosial, Ketua STT INTI (Institut Teologi Indonesia) Bandung ini, menilai bahwa Kekristenan tidak dapat dipisahkan dari upaya membentuk budaya kelompok sosial. Hal ini tampak jelas dalam jargon, ritual, sejarah, dan simbol. Maka secara sosial, simbol berfungsi sebagai pembentuk budaya dan penegasan identitas diri.
Di manakah posisi simbol dalam tradisi Kristen? Jan Sihar Aritonang menyebutkan bahwa simbol-simbol adalah bagian dari tradisi Kristen. Dosen Sejarah Gereja di STT Jakarta ini menegaskan, sejak gereja mula-mula, simbol-simbol telah dikenal. Lebih jauh lagi, menurut Aritonang, karena Kekristenan berakar dari masyarakat Yahudi, banyak pula simbol-simbol mereka yang masuk dalam Kekristenan.
MENUNJUKKAN PEMAKAINYA
Bila diamati dengan seksama, sesungguhnya tidak ada agama tanpa simbol. Kekristenan pun sangat kaya dengan simbol-simbol. Maka, simbol-simbol itu harus dihargai. Maksudnya, orang Kristen jangan mengabaikan simbol-simbol yang ada. Mengapa? Karena simbol-simbol itu adalah kekayaan yang Kristen punyai. Aritonang menandaskan, jangan selalu berpikir negatif tentang simbol dan tradisi dalam Kekristenan. Alkitab sebagai dasar iman pun selalu menghargainya. Namun, ia tidak lupa mengingatkan agar orang Kristen tidak berhenti dengan menggunakan simbol yang kelihatan. “Kita tidak perlu menilai negatif tradisi dan simbol. Yang penting adalah orang Kristen jangan berhenti pada simbol yang kelihatan. Kita harus tahu apakah yang ada di balik simbol dan tradisi tersebut,” tandas Aritonang kepada Daniel dari Bahana.
Ada ungkapan yang mengatakan, bahasa menunjukkan bangsa. Demikian pula simbol menunjukkan pemakainya. Ruth Fainsan Selan berkata bahwa simbol-simbol adalah lambang yang mati. Namun, doktor dalam bidang Christian Education ini tidak menolak dampak yang besar bila simbol-simbol itu dihidupi. Bila simbol dimaknai dengan tepat, seseorang akan menjaga hidupnya supaya berpadanan dengan makna simbol yang digunakan.
MINUS MAKNA
Berbeda dengan dua abad pertama Kekristenan, di mana simbol salib hampir jarang dipakai dalam ikonografi kekristenan, karena salib menggambarkan eksekusi publik yang menyakitkan dan mengerikan sehingga harus dihindari, saat ini kita sering menyaksikan sebagian saudara seiman dengan bangga mengenakan salib sebagai aksesori. Misalnya, sebagai kalung, cincin, atau anting-anting. Bahkan, ada pula yang menjadikannya sebagai tindik dan tato. Tidak ketinggalan, ada juga yang menempelkan ayat-ayat Alkitab di mobil atau kendaraan pribadi. Ringtone rohani sangat akrab di telepon genggam. Jargon-jargon Kristen dengan leluasa diucapkan. Sebagian lagi selalu membuat tanda salib di depan umum sebelum melakukan sesuatu atau ketika bersyukur (lihat pula ini). Kesannya, ia adalah pribadi yang sangat rohani.
Akan tetapi, dalam kehidupan sehari-hari, sangat jauh dari kesan kristiani. Banyak tindakan yang dilakukan berlawanan dengan sikap seorang kristiani. Memang, rajin mengenakan simbol-simbol kristiani, namun berkubang dalam dosa tetap menjadi pilihan. Sungguh sebuah ironi. Pertanyaan yang muncul, di manakah karakter kristiani yang seharusnya? Mengapa tidak mencerminkan sikap Kristen yang sesungguhnya?
Terkait dengan hal di atas, Bambang Widjaja mengusulkan untuk membedakan secara tajam, antara tradisionalisme dengan tradisi. Tradisionalisme adalah suatu paham yang mengedepankan tradisi (simbol) di atas segala-galanya. Contoh: pandangan yang mengatakan bila gedung gereja tidak memakai tanda salib besar, maka itu tidak benar-benar gedung gereja. Berbeda dengan tradisi. Tradisi adalah sesuatu yang telah terjadi dalam sejarah, kini kita tinggal memelihara.
BERBAHAYA
Sekarang, apakah yang harus dipenuhi oleh seseorang ketika ia mengenakan simbol-simbol kristiani? Bagi Ruth Fainsan Selan, kita harus memahami beberapa hal. Mantan Ketua STT Simpson Ungaran ini menjelaskan bahwa simbol, aksesori, atribut, atau apa pun namanya, adalah benda mati. Namun, bila seseorang mengenakannya, ia harus sadar bahwa itu sebagai sarana untuk mengingat Tuhan dan hidup sesuai kehendak-Nya. Karena itu, setiap orang yang mengenakan aksesori rohani apa pun, ia berkewajiban hidup konsisten sesuai dengan simbol yang dipakainya. Kalau tidak, akan sangat merugikan Kekristenan. Bambang Widjaja berpendapat, jika orang Kristen menggunakan simbol-simbol kristiani, namun ia mengabaikan makna yang terkandung di dalamnya, ada bahaya yang mengintai. Setidaknya terdapat dua bahaya yang merugikan. Pertama, Kekristenan hanya menjadi bahan cemoohan. Kedua, orang Kristen bisa kehilangan kepekaan terhadap budaya atau lingkungan sekitarnya. Inilah yang sering disebut orang akontekstual, tidak kontekstual!
Akan tetapi, sikap berbeda berasal dari Pastor Ferdinandus Kuswardianto. Ia seorang pastor paroki yang melayani di St. Yohanes Maria Vianney, Cilangkap, Jakarta. Hamba Tuhan ini tidak terlalu merisaukan pemakaian simbol-simbol kristiani sebagai aksesori. Mengapa demikian? Pelayan umat ini menengarai bahwa pemakaian kalung salib dan sejenisnya hanya bersifat artifisial. Artinya, ada yang menggunakannya hanya untuk gaya-gayaan. Pernah di sebuah stasiun televisi swasta nasional, seorang non-Kristen mengenakan kalung salib besar. Inilah yang dimaksud hanya sekadar gaya. Maka, menurutnya, yang artifisial itu tidak perlu disikapi berlebihan. Atau, dibahas panjang lebar. Baginya, yang penting adalah bagaimana simbol-simbol itu dihidupi oleh orang percaya. Dari sudut pandang Katolik, yang jauh lebih berguna, bagaimana simbol-simbol tersebut menghidupi orang Katolik. Untuk mewujudkannya, peran imam sangat dibutuhkan. Imam bertugas membantu umat agar dapat bertumbuh dalam iman. Itu lebih berguna!
AJARKAN DENGAN BENAR
Memang patut disayangkan bila ada orang percaya yang mengenakan simbol-simbol kristiani dan menggemari segala hal berbentuk salib, bahkan sampai menjadi fanatik, tanpa dibarengi pengetahuan yang benar. Mengapa mereka melakukannya? Tentu, banyak faktor penyebabnya. Bisa karena ingin tampil bergaya saja. Lalu, kalung salib, tato salib, dan semacamnya dipakai tanpa penghayatan. Namun, bisa juga karena tidak punya pengetahuan memadai perihal makna simbol-simbol tersebut. Jika poin kedua ini penyebabnya, maka gereja harus bertanggung jawab. Gereja harus mengajarkan Pendidikan Agama Kristen (PAK) dengan benar. Mengambil contoh dari gereja di luar negeri, Paulus Lilik Kristianto, mengatakan bahwa di sana gereja punya tenaga dalam bidang PAK. Namun, di Indonesia tenaga profesional semacam itu masih langka. Kalau pun ada, hanya sedikit gereja yang memilikinya.
Pengajaran PAK yang efektif harus dimulai dari rumah. Menurut Paulus, kepala keluarga (ayah/ suami) bertanggung jawab untuk mengajarkan PAK kepada keluarganya. Mantan Rektor Universitas Kristen Imanuel (UKRIM) Yogyakarta tersebut mengatakan cara ini efektif untuk menanamkan nilai-nilai iman berdasarkan Alkitab. Bila nilai-nilai iman telah dihayati dengan benar, pasti simbol-simbol kristiani yang dikenakan pun telah diresapi dengan baik. Maka, bagi pengajar PAK di Sekolah Tinggi Teologi Injili Indonesia (STII) ini, sebenarnya simbol-simbol adalah salah satu metode pengajaran PAK. Jika orang Kristen mengenakan kalung salib atau dipasang di dinding rumah, apa sebenarnya tujuannya? Bagi, kandidat Ph.D bidang Christian Education ini, tujuannya adalah untuk mengingatkan kita akan kasih dan pengorbanan Kristus. Orang Kristen minum anggur dan makan roti yang melambangkan darah dan tubuh Kristus, tujuannya apa? Tiada lain untuk mengingatkan kita akan kasih Kristus yang telah menebus dosa kita. Tidak terlalu berlebihan bila simbol-simbol itu dikatakan amat penting.
POSITIF-NEGATIF
Bagaimana seharusnya orang Kristen berlaku terhadap simbol-simbol dalam Kekristenan? Pertanyaan ini penting diajukan. Bukankah ada prokontra dalam pemahaman? Sebagian berkata, abaikan saja simbol-simbol itu. Namun, sebagian lain berkata, simbol-simbol perlu dilestarikan. Hal ini dapat memicu kebingungan. Namun, alangkah baiknya bila kita mempertimbangkan pemikiran Mika Sulistiono. Pengajar di STT Tiranus Bandung ini berpendapat bahwa Kekristenan sebenarnya tidak hanya berbicara tentang simbol-simbol. Sebetulnya, Kekristenan berbicara perihal gaya hidup—bagaimana sikap hidup Kristen yang sejati. Namun, Mika juga tidak menolak bila orang-orang Kristen mengenakan simbol-simbol Kristen sebagai aksesori. Namun, harus dengan tujuan yang benar. “Orang-orang Kristen, silakan saja memakai simbol, kalau mau mengenalkan Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat. Tidak ada larangan penggunaan kalung salib atau simbol Kristen lainnya,” kata Mika menegaskan. Walau demikian, Mika memberi catatan, “Sebenarnya, nilai kekristenan bukanlah pada simbol-simbol, atau atribut lainnya. Kekristenan sejati terletak pada kehidupan yang serupa dengan Kristus,” tegasnya. Mika berpendirian bahwa Kekristenan bukan agama simbolis, melainkan kehidupan yang serupa dengan Kristus. Orang Kristen dipanggil untuk dewasa sama seperti Kristus (Roma 8:29; Efesus 4:13; Filipi 3:9-12).
Bila seorang Kristen telah dewasa dalam Kristus apakah ini berarti simbol-simbol kristiani diabaikan? Berefleksi dari perjalanan sejarah, dalam ajaran Lutheran dikatakan bahwa tradisi tidak perlu dalam Kekristenan. Namun, Jan Sihar Aritonang tidak menisbikan pentingnya simbol-simbol. Bagi Aritonang, di dalam tradisi, termasuk simbol-simbol, terekam kekayaan rohani. Namun, ketua STT Jakarta ini juga mengingatkan supaya umat tidak berfokus hanya pada simbol. “Tidak masalah bila di leher ada kalung salib, di mobil tertera ayat-ayat Kitab Suci, dan sebagainya,” cetus Pendeta Gereja Kristen Protestan Indonesia (GKPI) itu. Tapi, masih menurut Aritonang, kalau hanya simbol fisik tanpa pemaknaan yang dalam, tidak ada gunanya.
“Di negara yang Kristennya minoritas, mengenakan kalung salib, bukan sekadar aksesori, namun untuk mengatakan identitas,” kata Ketua Umum Persatuan Inteligensia Kristen Indonesia (PIKI) tersebut. Karena itu, bila seseorang mengenakan simbol-simbol kristiani (termasuk kalung salib) merupakan bentuk iman seseorang kepada Kristus. Untuk alasan itulah, kita patut mengapresiasi. Sebaliknya, bila berhenti hanya pada simbol-simbol tanpa pemaknaan yang tepat, inilah jadi masalah. Adalah baik menempelkan ayat-ayat firman Tuhan pada mobil, namun melanggar peraturan lalu lintas, inilah masalahnya. Maka, Kekristenan bisa dicemooh orang, kata Bambang Widjaja.
Adakah hukum yang pantas dikenakan bagi mereka yang tidak memaknai simbol-simbol Kristen dengan tepat? Menanggapi pertanyaan ini, Aritonang menyebutkan bahwa hukum manusia tidak bisa digunakan untuk menghakimi simbol-simbol religius. Hal ini dapat dipahami karena Kristen bukanlah agama hukum. Tidak ada hukum Kristen meskipun di negara yang mayoritas penduduknya Kristen. Tuhan pun mengajari kita untuk tidak menghakimi. “...penghakiman adalah hak-Ku” (Matius 12:19).
BERMANFAAT, TAPI...
Simbol-simbol Kristen memang penting. Namun, lebih penting lagi bila jemaat memahami makna di balik simbol-simbol itu. Tidak dapat disangkal, Kekristenan penuh simbol-simbol. Alkitab juga penuh bahasa simbol. Perjalanan sejarah telah membuktikan bahwa simbol-simbol itu bermanfaat. Liturgi ibadah Kristen pun selalu terkait dengan simbol. Sebab melalui simbol itu, kita diingatkan akan Tuhan dan kasih-Nya. Namun, di sini perlu catatan khusus. Sebagaimana dikatakan Jan Sihar Aritonang, kita tidak boleh berhenti pada pemakaian simbol sebagai aksesori. Meminjam istilah Pastor Ferdinandus Kuswardianto, janganlah menjadi “Kristen hiasan”. Kristen simbolisme, Kristen yang mengagungkan simbol-simbol melebihi firman Tuhan. Yang Tuhan lebih suka adalah menjalankan firman dan kehendak-Nya dalam hidup sehari-hari. Maka, harus ada kesesuaian antara simbol yang dipakai dengan hidup yang dijalani. Sebab, berdasarkan Matius 7:21, Ruth Fainsan Selan meyakini, hanya mereka yang melakukan kehendak Bapalah yang diperkenan-Nya. Bukan yang bertaburan simbol!
Sumber: Majalah Bahana, November 2009
Comments (0)
Post a Comment