Fungsi Candi Hindu, Memuja Raja Memuliakan Dewa

Posted by mochihotoru | Posted in , | Posted on 9:48:00 PM

Oleh : I Gusti Ngurah Tara Wiguna

Candi yang tersebar di beberapa kawasan Indonesia khususnya di pulau Jawa, Bali, Sumatera, dan beberapa daerah lainnya, ternyata sangat erat kaitannya dengan kehidupan sosial-keagamaan yang berkembang pada zamannya yaitu agama Hindu dan Buddha. Maka dalam perkembangannya semua bangunan yang berasal dari zaman Hindu dan Buddha (Zaman Klasik) disebut dengan istilah candi, baik berupa keraton, permandian, pertapaan, maupun bangunan suci, bahkan makampun disebut juga candi. Seperti misalnya Keraton Ratu Boko di Yogyakarta disebut Candi Ratu Boko, permandian Jolotundo di Jawa Timur disebut Candi Jolotundo, pertapaan Selemangleng disebut juga Candi Selemangleng dan sebagainya. Rentang waktu pendirian bangunan-bangunan tersebut diperkirakan mulai abad VII-XV Masehi.


http://arifyudisejarah2006.files.wordpress.com/2009/01/candi-jawa-tengah.jpg


Fungsi Candi Hindu, pada awalnya beberapa ahli menduga, sebagai tempat abu jenazah seorang raja atau tokoh yang sangat dimuliakan dalam masyarakat pada masa lampau. Dugaan tersebut berdasarkan atas istilah candi yang dihubungkan dengan perkataan Candika yang merupakan nama lain dari Dewi Durga. Seperti kita ketahui bahwa Dewi Durga selalu dihubungkan dengan Dewi Maut atau kematian. Mereka menganggap bahwa setelah raja atau tokoh meninggal, lalu dibakar disertai dengan berbagai upacara, setelah upacara kremasi tersebut lalu abu jenazahnya ditempatkan di dalam pripih kemudian ditanam dalam prigi candi.


Prigi candi itu berupa lubang kecil yang cukup dalam yang berada di ruang dalam candi. Anggapan seperti ini rupanya sangat terpaku pada pengertian candi yang dilontarkan oleh Raffles, bahwa candi disebut juga cungkup oleh masyarakat Jawa Timur, yang tidak lain berfungsi sebagai pemakaman. Keragu-raguan timbul kemudian, karena masyarakat Jawa Timur tersebut bukanlah pemeluk agama Hindu, sehingga timbul pertanyaan dari mana mereka memperoleh keterangan bahwa cungkup sama dengan candi. Jawabannya belum ditemukan sampai saat ini. Keragu-raguan tersebut semakin kuat setelah dilakukan penelitian dengan seksama, yang juga disertai dengan penelitian laboratorium kimia terhadap campuran arang/abu fragmen tulang dan tanah yang ditemukan pada beberapa pripih candi. Hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa abu tersebut belum tentu merupakan abu jasad manusia begitu pula sisa fragmen tulang yang ternyata bukan tulang manusia melainkan tulang binatang yang mungkin merupakan sisa-sisa dari sarana upacara.


Apabila dikaitkan dengan proses pengkremasian mayat seorang raja atau tokoh yang dimuliakan, maka benda-benda yang ditemukan dalam pripih itu mendekati persamaan. Dari sejumlah sumber sastra seperti Pararaton dan Negara Kertagama misalnya, diketahui bahwa upacara kremasi bagi seorang raja atau tokoh yang dimuliakan diawali dengan pembakaran mayat dengan segala bentuk upacaranya kemudian abunya dilarung atau dihanyutkan ke laut atau di sungai yang bermuara ke laut. Upacara tersebut dilakukan beberapa tahap sampai pada tahap terakhir yang disebut upacara Sradha.


Upacara ini merupakan pelepasan roh dari segala ikatan keduniawian yang mungkin masih mengikat, sehingga roh tersebut dapat bersatu dengan dewa penitisnya. Sebagai lambang jasmaniah dibuatkan semacam boneka dari daun-daun kayu pilihan yang disebut dengan istilah Puspasarira. Sebagai penutup upacara Puspasarira tersebut dihanyutkan pula ke laut.


http://andreasrio.com/flickr/pamacekan2.jpg


Raja Pelindung

Oleh karena raja merupakan pelindung rakyat, walaupun sudah wafat dan rohnya sudah menyatu dengan dewa penitisnya, raja tersebut tetap dianggap sebagai pelindung rakyat di alam baka ini, maka setelah raja itu menjadi dewa didirikanlah sebuah bangunan suci untuk memuliakannya disertai dengan pembuatan patung dewa yang dianggap telah menitis dalam diri sang raja dan diletakkan di ruang utama candi. Di bawah arca tersebut disimpan pripih yang berisi berbagai jenis benda, seperti potongan-potongan logam, batu aki, dan beberapa jenis permata lainnya disertai pula dengan saji-sajian. Benda-benda itu merupakan simbol dari zat-zat jasmaniah sang raja yang telah bersatu dengan dewa penitisnya. Apabila dilakukan pemujaan, jasad jasmani pada prigi tersebut dinaikkan secara simbolis dan roh yang bersemayam di rongga atap candi diturunkan kemudian bersama-sama dimasukkan ke dalam arca sehingga arca tersebut menjadi hidup.


Atas dasar itu jelaslah bahwa pendirian candi-candi Hindu bertujuan untuk memuliakan sang raja/ tokoh yang sangat dimuliakan dan berfungsi sebagai tempat pemujaan bagi raja yang telah menjadi dewa sekaligus bagi dewa penitisnya, sebagai manifestasi Tuhan Yang Maha Esa. Adapun wujud arca yang distanakan di dalam candi sesuai dengan aliran agama sang raja yang dianut semasih hidupnya. Apabila raja tersebut menganut aliran Siwaistis, maka arca Siwalah yang distanakan di dalam candi. Begitu pula bila sang raja penganut aliran Waisnawa, maka arca Wisnulah yang distanakan di ruang utama candi.


Setelah kerajaan-kerajaan itu lenyap dari bumi Jawa, maka agama dan budaya Hindu pun mulai suram dan semakin lama semakin terbenam. Hanya tinggal sisa-sisa kemegahan berupa bangunan-bangunan suci (candi) yang agak tahan terhadap keganasan sang kala. Namun ia masih berdiri tegak walaupun telah ditinggalkan oleh pemakai dan pemeliharaan. Walaupun demikian toh nilai kebesaran dan nilai religiusnya masih terpatri di lubuk hati masyarakat di sekitarnya yang telah beralih keyakinan. Hal itu mengakibatkan terjadinya alih fungsi candi. Dari pengamatan terakhir diketahui, bahwa ada beberapa candi di Jawa yang masih berfungsi dalam kehidupan masyarakat. Beberapa di antaranya ada yang berfungsi sebagai tempat semedi untuk mencari wangsit atau memohon keberuntungan, mohon kesuburan tanaman, mohon jodoh bahkan ada yang mohon keturunan dan sebagainya. Di samping itu ada pula beberapa candi Hindu yang berusaha dikembalikan fungsinya seperti fungsi semula. Sebagai contoh Candi Prambanan di Klaten, Jawa Tengah, Candi Penataran di Blitar, Jawa Timur. Namun upaya tersebut perlu disertai dengan pengkajian lebih seksama tentang eksistensi candi, sehingga ada kesesuaian antara fungsi candi dan upacara serta prilaku keagamaan yang dilangsungkan pada candi tersebut.


(sumber: okanila.brinkster.net)

Comments (0)

Post a Comment