MENGKRITIK BEBERAPA FILM INDONESIA

Posted by mochihotoru | Posted in , , , | Posted on 8:27:00 PM

Saat perfilman diketok sebagai tema majalah SIAR edisi mendatang, penulis sangat senang. Betapa tidak, dunia inilah yang saat ini penulis geluti dalam studi perkuliahan. Selain itu, penulis memang sangat tertarik dengan perfilman Indonesia, yang katanya kini telah menjadi tuan rumah di negeri sendiri.

Kalimat tersebut tidaklah salah. Tidak.

Hanya saja, yang ingin penulis kritik di sini adalah mengenai betapa monotonnya tema-tema film yang dibuat oleh sutradara dan produser Indonesia: horor, komedi, cinta, horor, komedi, cinta, begitu seterusnya. Berangkat dari pengalaman nonton film, dan didalami di bangku kuliah, penulis dapat melihat bagus tidaknya sebuah film dari judul atau posternya, alur ceritanya, pengambilan gambarnya, dan lain-lain.

Dan ternyata, entah kenapa semuanya benar. Penulis akan mengambil contoh film horor Indonesia yang pernah penulis tonton, Hantu Terowongan Casablanca (HTC). Di film tersebut, penulis melihat ada banyak sekali adegan jumping. Jumping dalam perfilman terjadi ketika satu adegan dengan adegan lainnya tidak berhubungan. Misalnya, ketika si tokoh cewek menjadi hantu, kepalanya dipaku, lalu tidak bisa “tidur tenang”. Dan lebih aneh lagi bahwa hantu tersebut diceritakan melahirkan seorang bayi.

Dari segi spesial efek, film Indonesia juga sangat jarang dan bahkan tidak pernah menggunakan spesial efek apapun di semua filmnya. Kalaupun ada, mungkin di HTC dapat dikatakan ada spesial efeknya, yaitu ketika sosok hantu (atau tengkorak ya?) tiba-tiba keluar di depan si Vino lalu wajahnya meleleh. Penulis tertawa melihat adegan itu, sungguh. Dan karenanya, banyak orang yang menatapku dengan pandangan aneh—tentu saja, mana ada orang tertawa ketika melihat adegan mengerikan di film horor.

Kejadian yang sama terulang lagi ketika penulis menonton film-film Indonesia lainnya, khususnya film horor. Penulis selalu tertawa melihat adegan-adegan yang tidak masuk akal yang ada di film film horor tersebut. selain adegan, penulis cukup kecewa dengan alur cerita yang ditawarkan oleh penulis skenario film. Ada saja kesalahan-kesalahan dalam filmnya. Dan puncaknya, penulis men-generalisasikan semua film buatan Indonesia adalah film-film tidak bermutu dan sangat tidak mendidik.


http://topherlytle.files.wordpress.com/2007/04/movie-theatre-words_2.jpg

Mari kita buat sebuah perbandingan, misalnya dalam film bertemakan cinta. Alur cerita film Indonesia kebanyakan mudah ditebak (persis dengan jalan cerita sebuah sinetron). Tidak seperti alur cerita film barat yang memiliki kompleksitas tingkat tinggi dengan kalimat yang indah dan pesan moral yang kental—walaupun harus diakui entah mengapa didalamnya selalu memiliki adegan ciuman. Ambillah contoh film Tiga Hari Untuk Selamanya (THUS) dengan Lake House-nya Keanu Reeves.

Film THUS, bagi penulis pribadi, adalah film cinta terbaik yang dimiliki Indonesia. Ide cerita yang bagus, pemeran yang cantik, pesan moralnya juga tinggi. Namun jalan ceritanya muda ditebak, si cewek masuk rehabilitasi, si cowok mati-matian bantu si cewek dan merelakan tunangannya, lalu keduanya hidup bahagia. Nyaris tidak ada adegan jumping didalamnya, kecuali kalau penulis lupa. Penulis sempat terlupa bahwa saat itu penulis sedang menonton film cinta karena film ini mengisahkan seorang gadis pecandu narkoba. Dua jempol untuk THUS.

Namun Lake House tetaplah yang terbaik. Ide ceritanya sebenarnya cukup sederhana, hanya kisah cinta seorang insinyur dengan dokter cantik. Hanya saja, didalamnya terdapat banyak sekali kejutan-kejutan sehingga jalan ceritanya tidak dapat ditebak. Misalnya bahwa kisah cinta dua orang tersebut ternyata dipisahkan oleh waktu dan hanya bisa berkomunikasi melalui kotak pos yang ada di depan rumah. Misalnya lagi, ketika keduanya berjanji untuk bertemu, sang cewek menemukan kenyataan bahwa sang cowok ternyata meninggal saat ingin menemuinya. Saat itu, penulis berpikir bahwa disitulah akhir ceritanya. Ternyata, si cewek berusaha mengubah takdir si cowok. Konflik yang ada di dalam film ini naik-turun sehingga membuatnya tetap menarik walau ditonton berulang-ulang.

Yah, itu masih dari Barat. Kalau kita bandingkan lagi dengan film cinta buatan Korea yang mana dalam benak penulis adalah negara yang sangat pandai dalam menguras air mata para gadis remaja, dua film tersebut masih belum seberapa. Coba deh tonton “A Moment To Remember”, manusia macam apa yang tidak menangis saat menontonnya.

Bendera hedonisme yang kini mulai berkibar di Indonesia sedikit banyak turut memberikan sumbangsih terhadap industri perfilman. Suster Keramas, misalnya. Ia adalah salah satu dari sekian banyak judul film yang bernada pornografi yang didalamya mengeksploitasi tubuh wanita. Bahkan, film ini sempat akan mendatangkan Miyabi untuk bermain didalamnya. Sebagai info saja, Miyabi sendiri adalah seorang aktris Jepang—walau bukan nomer wahid di negaranya—yang bermain dalam film-film porno yang mana sering kita dapatkan di warnet.

Karena ditentang keras, ahirnya Miyabi tidak jadi datang, tetapi produser film ini tidak habis pikir. Mereka lalu mendatangkan aktris porno lainnya dan tentu saja tidak setenar Miyabi. Amukan massa selesai dan produksi film semi porno kembali lancar. Hahaha.

Selain film horor, kini giliran film bertema komedi yang kena efek hedonisme. Penulis jadi teringat dengan film yang dibintangi oleh Bella dimana semua pakaian yang ia gunakan di film itu menonjolkan bentuk tubuhnya, paha yang mulus, punggung yang—maaf—tidak terlihat menggunakan bra, dan lainnya. Semua cowok yang saat itu berada di bioskop selalu mendesah “Waaaaaaawww...” ketika melihatnya, padahal di samping mereka lagi ada pacarnya—atau mungkin orang tuanya (ck, ck, ck!).

Kalau lihat di teve, saat ditanya, “Kenapa sih, sekarang ini banyak film yang berisi adegan-adegan dan artisnya berpakaian minim?” Para punggawa perfilman (pasti) akan menjawab, “tuntutan pasar”. Penulis heran mendengar jawaban itu. Dari mana sih mereka dapat kesimpulan seperti itu? Bikin polling lalu disebar atau memang ada yang bikin surat kaleng untuk nyuruh mereka bikin film gituan?

Ngomongin film Indonesia yang sesuai “tuntutan pasar”, film yang paling penulis tunggu-tunggu adalah Merantau—mungkin banyak juga dari Anda yang akan setuju. Film ini merupakan film jenis baru di Indonesia karena mengusung tema beladiri. Kalau dibilang baru sih sebenernya juga nggak ya, kan sebelumnya dah ada film-filmnya Jackie Chan. Hanya saja, ini adalah pertama kalinya Indonesia membuat film aksi (action) bertema beladiri, terlebih jenis beladiri yang disuguhkan adalah beladiri khas Indonesia.

Penulis sempat terkagum-kagum dengan film ini dan nyaris tidak dapat menemukan adegan jumping. Selain itu penulis juga sempat salah prediksi dengan ending ceritanya, dimana sang tokoh utama pasti membunuh semua musuhnya, menghancurkan kejahatan, menyelamatkan dunia, dan mendapatkan sang gadis impian. Ternyata tidak semua imaji penulis tersebut benar. Yang menarik disini, dari puluhan orang yang dihajar si Yudha, sang tokoh utama, hanya ada tiga karakter saja yang mati, dan yang benar-benar dibunuhnya hanya satu. Intinya, sebelum adanya film ini, artis-artis Indonesia tidak ada yang ingin tersakiti dalam pembuatan film. Jangankan disakiti secara fisik, mereka bahkan pelit dalam hal mengeluarkan air mata ketika membutuhkan akting menangis.

Film ini benar-benar mengingatkan penulis akan film-film yang dibintangi Jackie Chan, dimana keseluruhannya menampilkan adegan kekerasan yang indah dan sangat artistik, namun minim korban meninggal. Kalau menurut penulis, dari skala 1-10, film ini layak mendapat nilai 10. Namun karena jiwa nasionalisme penulis yang tinggi, maka harus berkurang menjadi 9 lantaran film ide cerita film ini bukan buatan anak bangsa sepenuhnya. Sayang sekali.

Tentang jenis film produksi anak bangsa yang monoton, kini ada sebuah tren film baru dan bahkan dibuatkan penghargaan khusus untuknya, yaitu film indie bertemakan sosial dan terkadang berbau politik. Mungkin inilah film Indonesia sebagai alternatif baru dalam nonton film.

Sebenarnya, film bertema sosial-politik pernah dibuat sebelumnya, misalnya film Gie yang diperankan Nicholas Saputra. Tapi karena penulis belum menonton film ini, jadi penulis tidak akan mengomentarinya.

Dua film Indonesia pertama yang mengundang decak kagum penulis dengan tema unik dan nyaris sekelas film luar negeri terdapat pada Sang Pemimpi dan Pintu Terlarang. Keduanya tidak membawa tema cinta, horor, komedi seks, dan sebagainya. Film Sang Pemimpi, misalnya, lebih seperti film inspirasi dan nyaris tidak terdapat cerita di dalamnya. Sekalipun ada, kisah cinta yang ada sebatas bumbu tambahan saja.

Sedangkan Pintu Terlarang mirip bagi penulis mirip dengan film thriller yang mana membuat kita memutar otak untuk dapat mengikuti alur ceritanya. Film ini juga unik karena pembukaannya menggunakan animasi layaknya film-film lawas Amerika, serasa nonton film film adaptasi komik. Endingnya juga memuaskan sekali, sad-ending dan tidak terduga. Meminjam istilah yang digunakan oleh kawan penulis, sad-ending adalah akhir yang cantik dalam sebuah perfilman. Sayangnya, di film ini juga masih memiliki adengan jumping.

Intinya, penulis kira film-film seperti yang penulis sebut di atas juga film seperti Naga Bonar jadi Dua, Laskar Pelangi, Merah Putih, Merantau, atau Garuda Di Dadaku itu yang lebih cocok disebut film “tuntutan-pasar” saat ini.

Sumber: persma.com, dengan perubahan

(www.sammy-summer.co.cc)

Comments (0)

Post a Comment