Haramkah Menyentuh Lawan Jenis Non-Muhrim?
Posted by mochihotoru | Posted in Hadiths, Islam, Myth, Religions | Posted on 9:08:00 PM
Mengabaikan pembedaan, antara ungkapan yang sebenarnya dan yang majâz (kiasan), dapat menjerumuskan seseorang ke dalam banyak kesalahan. Sebagaimana sering kita saksikan pada sebagian orang masa kini, yang dengan mudah mengeluarkan berbagai fatwa. Mereka mengharamkan dan mewajibkan, membidaahkan dan memfasikkan, bahkan ada kalanya mengkafirkan orang lain, dengan berdalilkan “nas-nas” yang seandainya dapat diterima kesahihan sumbernya, namun masih belum dapat dipastikan dalalahnya (petunjuk yang disimpulkan darinya) secara tepat dan tidak menimbulkan keraguan.
Ambillah sebagai contoh, hadis yang oleh sebagian orang masa kini, dijadikan dalil untuk mengharamkan laki-laki berjabatan tangan dengan perempuan, secara mutlak. Yaitu hadis yang dirawikan oleh Tabrani:
“Adalah lebih baik bagi seseorang dari kamu ditusuk dengan jarum dari besi [dalam versi lain: ditusuk ubun-ubunnya dengan sepotong besi] daripada menyentuh seorang perempuan yang tidak halal baginya.”
Hadis tersebut telah dinilai sebagai hasan oleh Al-Albani, dalam takhrij-nya untuk buku karangan Yusuf Qardhawi, Al-Halâl wa Al-Harâm, dan juga untuk Shahih Al-Jami’ Ash-Shaghir.
Kalaupun kita bersedia menerima penilaiannya itu—meski hadis tersebut sesungguhnya tidak terlalu dikenal pada masa para Sahabat dan murid-murid mereka—maka yang tampaknya lebih tepat adalah bahwa hadis yang diragukan itu tidak dapat dianggap sebagai nas[1] mengenai haramnya jabatan tangan. Sebab, hadis itu menggunakan ungkapan ‘menyentuh’, yang dalam bahasa Alquran dan Sunnah (Hadis) tidak berarti sembarang persentuhan antara kulit dan kulit. Akan tetapi artinya di sini, sebagaimana dinyatakan oleh Ibn Abbas, yang digelari Turjuman Alquran, adalah bahwa al-mass (sentuhan) dan al-mulâsamah (persentuhan) dalam Alquran sering digunakan sebagai kinâyah (ungkapan tersamar) yang menunjuk kepada jimâ’ (hubungan seksual). Sebab, Allah Yang Mahasuci dan Mahatinggi (SWT) juga adalah Al-Hayyiy Al-Karim (Yang Maha Pemalu dan Mahamulia); dan karena itu, Dia menggunakan kinâyah dengan kata-kata yang dikehendaki oleh-Nya, untuk menunjuk kepada suatu makna yang dikehendaki oleh-Nya.
Itulah satu-satunya pemahaman yang dapat diterima, berkaitan dengan firman Allah seperti: “Wahai orang-orang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu menyentuh mereka, maka sekali-kali tidak wajib atas mereka ‘iddah [2]...” (Al-ahzab 33:49).
Para mufassir (penafsir) dan ahli fiqih (alhli hukum Islam) semuanya—termasuk dari kalangan Zhahiri sekalipun—menyatakan bahwa kata ‘menyentuh’ dalam ayat ini berarti ‘melakukan hubungan seksual’. Adakalanya mereka memasukkan dalam pengertian ini pula “keberadaan suami istri dalam suatu tempat yang tertutup dari siapa pun selain mereka, selama waktu tertentu”. Sebab hal seperti itu memungkinkan keduanya melakukan hubungan yang dimaksud.
Seperti itu pula, kata ‘menyentuh’ yang terdapat dalam beberapa ayat dalam surat Albaqarah yang menyangkut soal perceraian.
Demikian pula firman Allah yang menirukan ucapan Maryam (Maria) dalam surat Ali Imran ayat 47, menguatkan makna seperti itu: “Ya Allah, betapa mungkin aku mempunyai anak, sedangkan aku belum pernah disentuh oleh seorang laki-laki pun.” Cukup banyak dalil-dalil seperti itu, dari Alquran dan Hadis.
Oleh sebab itu, hadis yang disebutkan di atas tidak dapat dijadikan dalil untuk mengharamkan jabatan tangan biasa antara laki-laki dan perempuan, yang tidak disertai dengan syahwat (lihat Bukhari 8:609, 260), dan tidak dikhawatirkan menimbulkan akibat yang tidak diinginkan. Terutama ketika hal itu memang diperlukan, seperti saat-saat kedatangan dari tempat yang jauh, atau setelah sembuh dari sakit, atau terhindar dari malapetaka, dan lain-lain keadaan yang biasa dialami oleh masyarakat, sehingga mereka saling memberi ucapan selamat.
Di antara dalil yang menguatkan hal itu, adalah apa yang dirawikan oleh Imam Ahmad bin Hanbal dalam Musnad-nya, dari Anas, katanya:
“Adakalanya seorang anak perempuan, di antara sahaya-sahaya di kota Madinah, menggandeng tangan Rasul Allah, yang dilimpahi salawat dan damai sejahtera (SAW), sementara beliau tidak berusaha melepaskan tangannya dari tangan si anak sahaya perempuan[3], sehingga ia membawanya ke tempat mana saja yang ia kehendaki.”
Adapun Bukhari merawikannya dengan susunan kalimat hampir sama seperti itu pula.
Hadis tersebut menunjukkan betapa besarnya tawadhu’ (kerendahan hati) beliau serta keramahan dan kelembutan sikap beliau, walaupun terhadap seorang sahaya perempuan. Ia menggandeng tangan beliau, melewati jalan-jalan kota Madinah, agar beliau menolongnya memenuhi keperluannya. Sementara itu, beliau—disebabkan sikap kerendahan hati dan keramahtamahannya—tidak hendak mengecewakan si sahaya ataupun menyinggung perasaannya dengan menarik tangan beliau dari tangannya. Sebaliknya, beliau membiarkannya menggandeng tangan beliau menuju tempat yang dikehendaki guna dapat membantunya sehingga ia menyelesaikan keperluannya.
Artinya, semuanya bergantung dari niat. Seperti yang dijelaskan dalam hadis berikut:
Ibnu Abbas meriwayatkan bahwa ia tidak melihat apapun yang begitu menyerupai dosa-dosa kecil selain apa yang dikatakan Abu Hurairah dari Rasul Allah, yang bersabda: “Allah telah menulis bagi anak Adam perzinahan yang tidak dapat dihindarinya, apakah ia menyadarinya atau tidak. Perzinahan mata adalah melihat (pada sesuatu yang berdosa jika dilihat), dan perzinahan lidah adalah mengatakan (apa yang haram dikatakan), dan batin berharap serta menginginkan (perzinahan), dan bagian-bagian pribadi mengubahnya menjadi kenyataan atau berhenti dari mencegah pada godaan.” (Hadis Bukhari 8:609).
Ketika seseorang memandang lawan jenis serta menginginkannya demi hubungan seksual (syahwat), hadis di atas menjelaskan bahwa hal tersebut sudah dikatakan sebagai perzinahan dalam hati. Perzinahan inilah yang mutlak diharamkan oleh Allah. Sementara untuk bersentuhan biasa dengan lawan jenis, selama tidak timbul syahwat atau keinginan melakukan perbuatan keji, maka hal tersebut tidak secara mutlak haram (berdosa jika dilakukan) dalam ajaran Islam. Namun, menjaga diri agar tidak menimbulkan syahwat pada diri sendiri dan orang lain memang merupakan suatu keharusan untuk menghindari fitnah.
Catatan:
[1] dalil yang qath’i (jelas)
[2] masa iddah berlangsing selama empat bulan sepuluh hari
[3] pada zaman itu, status hamba sahaya (budak) merupakan sesuatu yang paling hina sehingga orang yang bergaul akrab dengan seorang hamba sahaya merupakan sebuah perbuatan yang paling memalukan di mata masyarakat Arab
*) Diambil dari karya Yusuf Qardhawi berjudul Bagaimana Memahami Hadis Nabi SAW (Bandung: Karisma, 1993), hlm. 177-179.
Sumber: muhshodiq.wordpress.com, dengan perubahan
Comments (0)
Post a Comment