Hinduisme dan Buddhisme: Dua Warisan Filosofis dari India
Posted by mochihotoru | Posted in Buddhism, Hinduism, Religions | Posted on 8:38:00 PM
Di dalam usaha memahami karakteristik dari filsafat Timur, akan sangat membantu jika kita pertama-tama membedakan antara “budaya Timur” dan “filsafat Timur.” Memang lahirnya filsafat Timur pasti berasal budaya Timur, yaitu modus berpengetahuan dan berperilaku yang ditanamkan secara turun temurun pada masyarakat Timur, tetapi filsafat Timur, sebagaimana apa yang selalu dilakukan oleh filsafat, tidaklah menerima begitu saja apa yang disodorkan secara tradisional. Ia melakukan kritisisme dan sistematisi atas tradisi tersebut.
Oleh karena itu, saya lihat ketika To Thi Anh menerangkan bahwa “Timur” itu lebih menekankan intuisi atau “hati” daripada rasio, maka keterangan itu hanya mungkin berlaku bagi budaya Timur, tetapi bukan filsafat Timur. Filsafat selalu merupakan aktivitas rasional, di mana maksud “rasional” di sini adalah ia memberikan pengetahuan yang terbuka untuk dikritik dan diperdebatkan. Kita tidak akan bisa berdebat tentang suatu pengetahuan yang intuitif, sebab kebenarannya sudah dijamin secara penuh oleh intuisi masing-masing pihak.
Kalau begitu, pemahaman yang baik akan filsafat Timur hanya bisa dilakukan dengan berpijak pada bentuk-bentuk pengetahuan yang sistematis dan rasional yang dihasilkan oleh masyarakat Timur. Hinduisme dan Buddhisme merupakan dua contoh dari bentuk pengetahuan semacam itu. Dengan menelaah keduanya, kita dapat meraba-raba apa yang sesungguhnya menjadi ciri khas dari filsafat Timur, kalaupun memang ada.
Baik Hinduisme maupun Buddhisme sama-sama memusatkan perhatiannya pada kebahagiaan sejati manusia; kebebasan yang final dari segala bentuk penderitaan. Kondisi kebebasan itu dalam Hinduisme dinamakan moksha, sedangkan dalam Buddhisme disebut nirwana. Kebenaran (truth) selalu dikejar untuk melayani tujuan pembebasan tersebut. Dapat dikatakan bahwa orientasi utama dari kedua aliran filsafat itu bersifat praktis. Distingsi tegas antara pure reason dan practical reason, yang lazim ditemukan dalam sejarah filsafat Barat, tidaklah berlaku baik bagi Hinduisme maupun Buddhisme.
Yang membedakan kedua aliran filsafat itu adalah perihal cara untuk mencapai tujuan tersebut. Yang dimaksud dengan “cara” di sini juga melingkupi pandangan ontologis tentang realitas yang kita hidupi. Hinduisme berangkat dari pandangan akan dualisme antara roh dan materi, di mana diyakini bahwa roh itu lebih tinggi derajatnya daripada materi. Manusia, menurut Hinduisme, sejatinya adalah roh yang terperangkap dalam ‘penjara’ tubuhnya. Poin ini diungkapkan dengan gamblang dalam teks Bhagavad Gita berikut ini, “The wise do not mourn men, for men do not die; they but interchange one life for another… The embodied soul is eternally unslayable/ In the body of every one.” Kebahagiaan sejati (moksha) hanya akan tercapai ketika roh kita tidak lagi terperangkap oleh kekangan tubuh kita.
Cara pandang semacam itu saya kira sudah tidak asing bagi kita semua. Plato dahulu juga pernah mengemukakan dualisme yang hierarkis itu—hierarkis karena roh diposisikan superior daripada materi, di mana gagasan Plato itu memiliki pengaruh yang sangat besar bagi sistem kepercayaan masyarakat Barat, sebagaimana tampak jelas pada Kekristenan dan Islam. Akan tetapi, yang membuat Hinduisme unik adalah bahwa, bagi Hinduisme, kebahagiaan yang sejati itu (moksha) dapat dicapai tanpa seseorang secara sadar mengetahui atau memahami dualisme tersebut. Inilah yang menjelaskan mengapa Hinduisme mengakui adanya tiga jalan untuk mencapai moksha, di mana jalan “pengetahuan” (jnana) hanyalah salah satu jalan; bukan satu-satunya jalan. Dua jalan yang lain adalah melalui “pengabdian” (bhakti) dan “disiplin tindakan” (karma).
Pada Buddhisme, dualisme semacam itu tidaklah diakui. Penolakan Buddhisme ini berbeda dari penolakan kaum materialis yang bekerja dengan membalikkan hierarki pada dualisme itu (materi jadi lebih tinggi daripada roh), sebab Buddhisme menolak total adanya dualisme itu. Kalau Hinduisme percaya bahwa keselamatan itu menuntut kita untuk terus menerus “menyucikan” diri dari “godaan” tubuh, maka Buddhisme sama sekali tidak melihat adanya kegunaan dari usaha semacam itu. Kontras antara ontologi yang dipegang oleh Hinduisme dan Buddhisme sebenarnya dapat merujuk pada perbedaan pendapat antara Hui-neng dan Shen-hsiu ketika diminta oleh guru mereka, Hung-jen, yang merupakan pioner kelima dari aliran Buddhisme Cha’n di Cina, untuk mendemonstrasikan pemahaman mereka tentang Buddhisme di dalam sebuah sajak.
Shen-hsiu berpendapat seperti ini:
“This body is the Bodhi-tree,
The soul is like a mirror bright;
Take heed to keep it always clean,
And let not dust collect on it.”
Bandingkan dengan pendapat Hui-neng ini:
“The Bodhi is not like the tree,
The mirror bright is nowhere shining;
As there is nothing from the first,
Where can the dust itself collect? ”
Tak heran jika akhirnya Hung-jen memutuskan bahwa pendapat Hui-nenglah yang mencerminkan pemahaman yang benar tentang intisari Buddhisme. Pada kata-kata Shen-hsiu di atas tampak jelas adanya pengaruh dualisme antara roh dan tubuh, di mana roh harus terus-menerus “dijaga.” Sedangkan, Hui-neng menunjukkan bahwa roh dan tubuh itu hanyalah konstruksi pikiran kita, di mana kita sesungguhnya tidak punya dasar untuk percaya bahwa hal-hal itu memang sungguh ada.
Kalau bukan dari godaan atau tipuan jasmani, maka dari manakah penderitaan kita berasal? Jawaban Buddhisme sangat sederhana, yaitu kemelekatan/ keterikatan (attachment). Terhadap apa? Jawabannya adalah apa saja. Bahkan, termasuk kemelekatan terhadap kata-kata dari seorang Buddha seperti Buddha Gautama, jika mau ditarik konsekuensinya secara ekstrem. Pada titik ekstrem inilah kalangan buddhis mengalami perpecahan. Ada yang percaya bahwa pada Gautama Buddhisme sudah diterangkan secara utuh, sehingga kita tinggal mengikutinya saja. Orang-orang yang percaya akan hal ini lazim disebut kaum Theravada atau Hinayana.
Sedangkan, ada pula kaum mahayana yang melihat bahwa semangat utama dari ajaran Gautama justru adalah bahwa Buddhisme itu tidak pernah bisa diterangkan secara final. Masing-masing dari kita harus “menyelami” sendiri kebenarannya. Dengan kata lain, tidak ada ajaran yang tinggal kita ikuti saja. Sikap semacam ini justru mencerminkan suatu kemelekatan. Oleh karena itu, tidak heran muncul ungkapan paradoksal seperti “Jika anda bertemu dengan seorang Buddha di tengah jalan, maka bunuhlah dia!”.
Ketika kemelekatan itu sungguh-sungguh berhasil diatasi, maka itulah yang dimaksud dengan nirwana, atau dalam bahasa Jepang biasa disebut satori. Ketika situasi itu berhasil dicapai, apa yang berubah pada persepsi kita terhadap realitas di sekitar kita? Jawabannya sangat sederhana, yaitu suchness; bahwa kita akan bisa menerima segala sesuatu apa adanya. Tanpa berusaha menolak dan tanpa berusaha mempertahankan. Poinn ini diillustrasikan dengan sangat indah oleh seorang pelaku Zen bernama Ch’ing-yuan Wei-shin dalam kata-katanya berikut ini, “Before a man studies Zen, to him mountains are mountains and waters are waters; after he gets an insight into the truth of Zen through instruction of a good master, mountains to him are not mountains and waters are not waters; but after this when he really attains to the abode of rest, mountains are once more mountains and waters are waters.”
Mengacu pada konteks Indonesia, sangat menarik untuk diperhatikan bahwa perbedaan konseptual yang begitu tegas antara Hinduisme dan Buddhisme di atas justru tidak kelihatan jelas pada perkembangan kedua ide itu di Tanah Air. Buddhisme disodorkan dalam bentuk yang sulit dibedakan dari Hinduisme. Penjelasan atas fenomena ini dapat diberikan dengan merujuk pada konsep osmosis dari Dennis Lombart, di mana karena Hinduisme-lah yang masuk terlebih dulu, maka Buddhisme yang masuk belakangan haruslah bertransformasi menyerupai Hinduisme supaya dapat diserap oleh masyarakat kita. Oleh karena itu, tak heran jika Buddhisme yang kita temui hari ini di Indonesia tidak lagi punya perbedaan yang signifikan secara konseptual dari Hinduisme.
Hanya saja, saya juga mencurigai adanya kemungkinan bahwa hal itu bukanlah produk dari proses kulturasi yang “alamiah” (tanpa kekerasan), melainkan sebagai hasil dari politik monokulturalis yang menguasai bangsa ini semenjak kemerdekaannya, di mana segala sistem kepercayaan baru bisa dihargai dan diapresiasi sebagai sistem kepercayaan kalau ada rekognisi atas “roh” atau “spirit;” kalau ada konsep akan “dunia lain” yang akan kita hidupi pasca kematian. Memang ini adalah kecurigaan yang masih perlu diuji dengan penelusuran historis yang ketat dan mendetail. Namun, karena setahu saya belum ada pengujian yang mampu membuktikan kecurigaan itu keliru secara konklusif, maka kecurigaan itu tetap sah dan penting untuk diajukan sebagai sebuah kemungkinan.
Sumber: iriwij.wordpress.com
(www.sammy-summer.co.cc)
Comments (0)
Post a Comment